Alkisah di sebuah perkotaan terdapat persaingan jajaran waralaba. Setiap pramuniaga diberikan instruksi cara melayani pembeli. Saya akan menceritakan satu pengalaman yang mungkin sering dialami oleh sebagian orang ketika merasa bosan dengan teknik pelayanan yang begitu-begitu saja. Ketika masuk diberikan ucapan selamat, ketika membayar ditanya kartu anggota, tambahan lainnya—pulsa atau paket promo yang sudah mendekati batas pakai-produk. Begitu seterusnya, tak ada henti mengulang, padahal saya sering bertemu dengan pramuniaga itu.
Karena terbiasa dengan celotehan mereka, jadi saya anggap itulah pelayanan terbaik. Waktu itu saya sedang membeli mi instan, kurang greget rasanya jikalau tanpa telur dan saus kecap. Tragis! Kondisi lapar membuat saya terburu-buru untuk segera mengambil mi instan, menuju kasir untuk membayar, lagi-lagi pengulangan instruksi a2+b2=c2 terjadi. Saya lekas keluar, belum ada 15 detik otak saya mendadak berdering mengingatkan kembali untuk melengkapi kekurangan telur dan saus kecap. Tanpa banyak pertimbangan saya kembali.
Setelah melengkapi kebutuhan, saya langsung menuju kasir. Heran, sekalipun selisih 1 menit semenjak bertatap muka, lagi-lagi terjadi pengulangan instruksi kerja yang membuat saya menepuk jidat, sembari mempertanyakan inikah yang dimaksud dengan kerja efektif dan efisien, kerja yang terbingkai rasionalitas teknologis. Semua menjadi seragam, kreativitas pun menjadi dangkal akibat kepatuhan yang dianggap logis tetapi sebenarnya begitu kaku.
Terlepas dari basa-basi saya di atas, saya akan menjelaskan beberapa pokok gagasan Herbert Marcuse terkait konsep Rasionalitas Teknologis dan bagaimana Rasionalitas Teknologis bekerja dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat industri maju. Salah satu yang menarik dari pembahasan para tokoh filsafat adalah cerita kehidupan mereka. Sampai saat ini saya lebih senang membaca biografi filsuf daripada dari pada gagasannya. Cukup menarik memang karena ada intrik-intrik seru di dalamnya. Saya akan menyasar sedikit latar belakang Herbert Marcuse (1898–1979) sebelum akhirnya dikenal sebagai bagian dari Gerakan Kiri Baru dan tokoh generasi pertama Mazhab Frankfurt.
Kehidupan Marcuse sempat diisi dengan mengelola sebuah penerbitan toko buku tua milik keluarga sembari menyunting beberapa karya filsafat dan seni pada masa itu. Ketertarikan Marcuse semakin mencuat ketika membaca karya fenomenal dari Heidegger, Sein und Zeit (1927), yang menjadi pokok perhatian dunia filsafat. Setahun kemudian Marcuse memutuskan untuk meniti kembali karir akademis ke Universitas Freiburg. Di sana Marcuse sempat bekerja sebagai asisten pribadi Heidegger, sekaligus menjadi salah satu “anak didik” Heidegger. Akan tetapi, kerja sama itu tidak berlangsung lama karena perbedaan sikap politik dan ideologis. Situasi bertambah sulit dan runyam ketika Heidegger secara tegas ambil bagian dalam kegiatan akademis yang mendukung Nazi. Konflik berpuncak ketika Marcuse menganggap bahwa Heidegger menjegal karier akademisnya ketika sedang mempersiapkan habilitas. Karier akademis Marcuse di Universitas Freiburg pun tamat.
Melihat kesulitan itu, Husserl mengirim sepucuk surat kepada kurator Universitas Frankfrut Kurl Riezler, untuk memberikan rekomendasi kepada Horkheimer agar dapat bergabung dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt. Marcuse meninggalkan Freiburg tahun 1932 menuju Frankfurt. Setelah mempertimbangkan dengan matang posisi filsafat Marcuse, Horkheimer menerima dia bergabung.[1] Tahun 1933 Marcuse menyusul ke Jenewa untuk diserahi tugas menggarap bidang teoretis dan kritik ideologi bersama Horkheimer dan Adorno. Tugas tersebut merupakan penghargaan besar dan pengakuan resmi atas kesolidan formasi akademis-filosofis Marcuse. Dari situ, mereka membawa Institut pada posisi yang prestisius dalam sejarah pemikiran filosofis kontemporer dengan Teori Kritis sebagai trademark Institut.
Minat terbesar Mazhab Frankfrut dalam pengembangan Teori Kritis adalah menyusun sebuah teori tentang proses modernitas dengan memahami rasionalitas[2] suatu masyarakat. Mereka melihat proses pencerahan yang diawali dengan kebangkitan fajar budi dari belenggu mitos dan teologi justru menjadi model penindasan baru. Betapa tidak, karena dialektika hanya dipandang secara positif, ketika mampu memenuhi kemajuan teknologi dan menjamin kesempurnaan. Ironisnya, mitos-mitos positif tersebut justru telah mengekang harkat dan martabat kemanusiaan. Perkembangan rasionalitas tidak lagi mengabdi pada kepentingan praksis moral (how to run a good life), melainkan menjadi suatu dominasi rasio instrumental.[3]
Rasio instrumental menurut Marcuse telah mereduksi manusia menjadi manusia satu dimensi (one dimensional man), di mana semua aspek kehidupan manusia, seni, agama, ilmu pengetahuan, dan bahasa, direduksi pada kepentingan kontrol teknis. Rasio instrumental tidak akan membawa masyarakat menjadi rasional, melainkan hanya menyembunyikan irasionalitas dengan kepentingan menguasai dalam bentuk fasisme. Rasio instrumental telah menciptakan suatu sistem dominasi baru. Menurut Horkheimer, “dahulu kala animisme menjiwakan benda-benda, namun saat ini industrialisme dengan rasio teknokratisnya membendakan jiwa-jiwa”. Demitologisasi yang menjadi proyek pencerahan (aufklarung) lewat rasionalisasi di segala bidang telah gagal karena rasionalisme telah menjadi mitos baru.
Dominasi semakin berperan aktif, ketika teknologi mampu menciptakan pola yang rasional, efektif, dan efisien untuk melahirkan kemakmuran bagi para warganya melalui pengaturan masyarakat yang nampak serba rasional, masyarakat yang tinggal dibuat menjadi pasif dan reseptif karena bersikap pasrah. Masyarakat menjadi masyarakat yang berdimensi satu, ketika segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan, yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem kapitalisme. Sejak itulah, Marcuse menyuarakan kritiknya.
Setelah membangun formasi nalar Mazhab Frankfurt, tidak menutup kemungkinan, secara psikologis, Marcuse masih merasa terbayang-bayang akan karir akademisnya bersama Heidegger, namun beras sudah menjadi nasi. Alih-alih ingin terlepas dari bayangan mantan mentornya, Marcuse segera mencari ramuan untuk memperkuat gagasannya untuk mengkritik kemajuan masyarakat industri maju pasca-Perang Dunia kedua. Ramuan Marcuse yang membentuk latar belakang teoretisnya antara lain berasal dari Hegelianisme Kiri[4], Marxisme[5], Psikonalisis Freudian[6] serta ditopang oleh fondasi filsafat kritis Mazhab Frankfrut.
Masyarakat Satu Dimensi
Implementasi dari latar belakang teoretis Marcuse adalah melakukan kritik terhadap kelesuan masyarakat Barat sekitar tahun 1950-1960an. Kondisi hilangnya gairah melakukan revolusi serta matinya suara-suara lantang terkait protes, diperparah karena keputusasaan, kerusakan dan kebangkrutan akibat perang. Teknologi modern banyak dijadikan tumpuan harapan. Konsekuensinya benih-benih kapitalisme semakin berkembang. Dominasi semakin berperan aktif, ketika teknologi mampu menciptakan pola yang rasional, efektif, dan efisien untuk melahirkan kemakmuran bagi para warganya melalui pengaturan masyarakat yang nampak serba rasional, masyarakat yang tinggal dibuat menjadi pasif dan reseptif karena bersikap pasrah. Masyarakat menjadi masyarakat yang berdimensi satu, ketika segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan, yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem kapitalisme. Sejak itulah, Marcuse menyuarakan kritiknya.
Gagasan Masyarakat Satu Dimensi Marcuse tertuang dalam buku One-Dimensional Man. Kritik utama Marcuse adalah mengenai krisis kapitalisme dengan model latar belakang dari dominasi teknologi dalam masyarakat industri maju melalui metode administrasi dalam ekonomi dan politik. Elemen struktur dominan dari masyarakat i maju telah menjadi bidang ilmiah dan teknik dari sistem produksi dan distribusi baik teknologi maupun praktik administrasi berbasis penerapan aturan otoritas. Teknologi fungsinya tidak lagi menjadi alat pembebas melainkan menjadi alat dominasi. Akar dominasi teknologi berasal dari pengembangan ilmu teknik melalui sistem produksi dan reproduksi yang menjalar ke seluruh aspek kehidupan sosial, sehingga rasionalitas teknologis memiliki peran paling dominan dalam masyarakat industri maju di mana telah membagi hubungan antara kaum borjuis dan proletar.[7]
Secara ekonomi, masyarakat industri modern memang mengalami berbagai kelimpahan mulai dari kenyamanan hingga keteraturan. Kemajuan pesat dalam bidang teknologi menjadikan manusia seolah terbebas dari cucuran keringat dalam pekerjaannya sehari-hari. Marcuse ingin menarik masyarakat untuk lebih dalam membongkar kenampakan halusinasi kenyamanan semu. Bahkan, struktur pasar disulap sedemikian rupa menjadi alat pemerasan buruh (yang tidak lagi secara fisik) maupun dengan memanipulasi kebutuhan dan penguasaan konsumen karena orientasi laba berlimpah. Kebutuhan palsu ini adalah kebutuhan yang dibebankan kepada individu oleh adanya kepentingan sosial khusus dalam represinya. Dengan demikian, kapitalisme telah menghasilkan suatu sistem ‘perbudakan sukarela’.[8]
Taktik wujud kekuasaan totaliter dilaksanakan secara halus melalui segi sosial dan politik. Caranya dengan manipulasi kebutuhan yang akan mampu mengarahkan masyarakat kepada sebuah stagnasi dan menghalangi timbulnya oposisi yang bertujuan mengadakan perubahan secara menyeluruh dan mendalam. Negara memiliki peran sebagai wadah demokrasi yang semu, masyarakat diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi, seolah semua kritik diterima. Marcuse menggambarkan negara-negara industri modern telah memadukan antara kemakmuran dengan ancaman perang. Masyarakat telah melahap habis berbagai iklan, kejahatan kemanusiaan, perlombaan senjata, kesintingan peradaban modern, yang kesemuanya dianggap normal, begitu saja—lumrah apa adanya.
Media massa juga mengambil alih alat pembentuk utama masyarakat satu dimensi. Media Massa merupakan alat yang paling efektif dalam menyebarluaskan one-dimensional behavior, melalui, pengaburan bahasa, persilangan fakta dan opini, hingga bahasa bujuk-rayu yang menghipnotis dan menggiring psikologis kerumunan. Hal itu dilakukan karena untuk membungkam seluruh dimensi-dimensi yang mampu memberontak, misalnya dimensi estetik yang mampu mempertahankan kebebasan ekspresi, sehingga seni/sastra dalam kebudayaan dialihfungsikan ke dalam bentuk operasional dan pragmatis semata untuk melunturkan ungkapan rasa kekaguman, keindahan, dan kerinduan manusia yang belum terpenuhi.
Demikianlah arah one dimensional masyarakat industri modern terungkap dalam tindakan-tindakan represif untuk mempertahankan sistem yang ada. Kritik dan kebebasan berpikir hanya dalam rangka status quo, untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem yang ada, tidak pernah boleh keluar darinya. Penguasaan atas teknik dan produksi menjadi alat pengendalian sosial. Akibatnya lahir permasalahan mulai dari matinya nalar kritis, dominasi dalam ketimpangan sosial, totaliterisme melalui teknologi, konsumerisme, tipu daya wacana, matinya kritik pengembangan keilmuan, dan berbagai macam ketimpangan sosial.
Rasionalitas Teknologis
Kerja masyarakat satu dimensi tidak dapat terlepas dari konsep rasionalitas teknologis Marcuse[9]. Merujuk langsung perdebatan filsafat teknologi perihal posisi Marcuse, yaitu apakah dalam rasionalitas teknologis, teknologi dipahami sebagai bentuk sarat nilai atau netral dan pesimis atau optimis. Bagi Marcuse, rasionalitas teknologis (technological rationality/operational rationality) merupakan pola pemikiran berdasarkan teknik yang menekankan sifat politis sebagai alat penindasan karena atas prinsip efisiensi, produktivitas, kelancaran, kepastian matematis, dan perhitungan untung-rugi.
Strategi rasionalitas teknologis telah menyelubungi dunia nalar manusia. Bahkan, tindakan represif dan totaliter digunakan untuk mempertahankan status quo. Penguasaan atas teknik dan produksi menjadi alat pengendalian sosial sehingga lahir konsep rasionalitas teknologis. Melihat sifat totaliter itu, teknologi semakin sulit untuk dipisahkan bahkan semakin mempengaruhi nilai-nilai masyarakat. Masyarakat teknologis merupakan suatu sistem dominasi yang sudah bekerja dalam konsep dan konstruksi teknik sendiri yang secara apriori menentukan tuntutan-tuntutannya. Rasionalitas teknologis menandai adanya fetishisme atau pemujaan terhadap teknologi[10]. Selain itu, rasionalitas teknologis juga melahirkan reduksi estetik ketika proses transformasi teknologis di mana mampu mengubah penguasaan menjadi pembebasan[11].
Kritik Marcuse menyayat segi dominasi teknologi yang memuat sisi dualitas, yang mampu membebaskan dan juga berpotensi menindas. Dari rasionalitas teknologis menjadi rasionalitas politis[12]. . Dasar teknologi menindas karena teknologi telah tercampur dengan balutan ideologis, sehingga teknologi tidak lagi dapat dikatakan sebagai sesuatu yang netral. Kritik Marcuse terkait rasionalitas teknologis masyarakat industri maju menjadikannya sebagai salah satu jajaran filsuf teknologi “romantisme-distopia” seperti halnya Jacques Ellul dan Martin Heidegger. Marcuse tetap bersikeras menolak “netralitas” teknologi dan percaya bahwa rasio teknis tidak dapat terbebas dari transformasi fundamental sosial[13].
Campur tangan dominasi semakin menjauhkan teknologi dari sifatnya yang netral. Teknologi bukan kesalahan politis karena hanya berfungsi untuk meningkatkan produktivitas buruh. Secara spesifik, desain teknologi dan aplikasi teknologi dalam bentuk masyarakat industri berbasis nilai dominasi atas manusia, sehingga teknologi tidak benar-benar bebas nilai, tetapi dapat dikatakan termasuk dalam struktur dari status quo. Teknologi menjadi sistem totalitas formasi kebudayaan serta legitimasi sosial. Maka, rasionalitas teknik-ilmiah adalah a priori yang diadaptasi dari pemeliharaan dominasi sosial.[14]
Posisi berbeda nampak melalui Jeffry V. Ocay terkait nilai teknologi[15]. menyadari bahwa awalnya teknologi bernilai netral sebab adanya dominasi menyebabkan teknologi tidak lagi sebagaimana telos –nya. Teknologi memberikan ruang emansipatoris, hanya saja setelah kehadiran industri maju, orientasinya menjadi alat dominasi. Mengubah sifat buruk teknologi hanya dapat dilakukan melalui kesadaran tiap individu untuk bergabung dalam penolakan besar-besaran—great refusal.
Jika Ocay memberikan fondasi rasionalitas teknologis melalui dasar aksiologi teknologi, Valentinus Saeng[16] mengawali proses rasionalitas teknologis dari adanya dominasi positivisme dan perubahan logos menjadi teknologos. Awalnya manusia memiliki daya nalar dialektis kritis yang muncul dari logos, tetapi kemudian kemampuan manusia diarahkan ke dalam mesin. Teknologi hadir dalam bingkai kebutuhan yang bermata ganda, dapat menjadi penyelamat maupun penindas manusia. Teknologi tergantung intensi subjek yang memanfaatkan dan menguasainya. Bagi Valentinus, Marcuse menempatkan kritiknya atas ambivalensi teknologi, sebab dualitas yang lebih didominasi oleh nilai logos-instrumentasi dapat menjatuhkan martabat manusia.
Menyulut Kritik
William Less[17] memberikan dasar pemikiran tentang rasionalitas teknologis Herbert Marcuse berdasarkan asal-muasal lahirnya rasionalitas yakni berdasarkan teori rasionalitas Weber terkait dominasi kapitalistik dalam sistem produksi. Setelah Weber memberikan konsepsi tentang rasionalitas, kemudian Marcuse mendasari pemikirannya dari Freud, Marx, dan beberapa inspirasi dari Teori Kritis Frankfurt. Jurgen Habermas juga memberikan kritik ambiguitas atas relasi antara teknologi dan dominasi serta memberikan alternatif untuk merombak gagasan Weber. Di sisi lain, ada beberapa kontradiksi atas dialektika yang dilakukan oleh Marcuse dari tegangan antara teknologi sebagai pembebasan maupun penindasan.
Habermas melakukan rekonstruksi proyek rasionalitas Weber dengan menyarankan sebuah skema interpretatif untuk memahami teori rasionalisasi dalam proses perkembangan sejarah. Habermas memusatkan diri pada “tindakan sosial” melalui dimensi kerja dan interaksi atau komunikasi[18]. Melalui dimensi-dimensi itu, Habermas menolak logika rasionalitas teknologis Marcuse yang mendambakan kesempatan menempuh kebebasan. Sejak semula tindakan rasionalitas ilmu dan teknik memang telah menyerap suatu apriori subtansial yang memiliki aturan-aturan yang justru melindungi keabsahan kekuasaan dan bukan lagi meniadakannya.
Tidak hanya itu, Marcuse juga melakukan peleburan aneh ketika dualitas-dikotomis yang sudah terkandung kepentingan-kepentingan kelas harus diubah melalui revolusi ilmu dan teknik baru. Habermas dengan tegas menolak hal tersebut karena sekalipun orang bersikeras untuk mengubahnya, tetap saja teknologi pada dirinya sendiri tidak mempedulikan tujuan-tujuan politik—ia hanya dapat mempercepat atau menghambat kemajuan suatu masyarakat. Sebuah mesin dapat dimanfaatkan baik oleh rezim kapitalis maupun sosialis, sebuah alat juga dapat menjadi alat perang maupun perdamaian. Akan tetapi, apabila teknik menjadi bentuk yang menyeluruh dari produksi material, maka ia melukiskan totalitas kebudayaan secara historis.[19] Bagi Habermas, posisi yang mampu mengubah tatanan hanyalah orientasi rasionalitas kontrol dan komunikasi. Sedangkan Marcuse tetap bersikeras sejatinya perubahan itu akan terjadi ketika mampu memahami relasi manusia, teknologi dan alam melalui wacana model sains baru yang mampu membebaskan para pekerja dari ikatan dominasi epistemologi positivisme.[20]
Marcuse di satu sisi dianggap sedang mengalami kesulitan mencari jalan keluar atas masalah-masalah rasionalitas teknologis beserta satu gerbong kapitalisme masyarakat industri maju. Kesulitan itu tercermin dari konsep dialektika Marcuse yang terkesan abu-abu dan terlalu gegabah mendefinisikan masalah masyarakat industri maju melalui masyarakat satu dimensi[21]. Marcuse juga cenderung subjektif terlebih banyak kontradiksi dalam gagasan rasionalitas teknologis, apalagi ketika Marcuse ingin membebaskan rasionalitas teknologis yang menindas melalui seni[22]. Keduanya memiliki suatu jurang yang begitu lebar jika akan disatupadukan, mengingat keduanya memiliki porsi yang berbeda-beda. Sehingga Marcuse juga dapat dianggap sebagai pemikir yang terlampau jauh berdistopia ria akan masa depan. Akhirnya, seluruh bukti-bukti kejanggalan rasionalitas teknologis justru menjebak Marcuse dalam utopia revolusi dan juga slogan great refusal karena justru masyarakat berbalik mempertahankan sistem yang dianggap sudah menyejahterakan.
Tesis CR Maboloc,[23] menempatkan posisi rasionalitas teknologis untuk melihat ketiadaan otentitas manusia zaman modern-kontemporer. Hari ini, kita bisa mengetahui bagaimana gawai memberikan efek keterasingan pada manusia bahkan memberikan tempat bagi munculnya simbol-simbol baru status sosial. Determinasi teknologi berubah menjadi nilai transformatif. Proses transformasi sosial ini menandakan adanya bentukan kontrol baru melalui budaya konsumen yang dianggap memiliki nilai kehidupan. Kontrol itu muncul secara tak sadar melalui nilai sosial dan kemajuan teknologi modern, yang justru secara tak langsung gagal merekognisi budaya lokal sebelumnya. Contohnya, hilangnya permainan tradisional yang digantikan oleh rasionalitas teknologis dalam permainan modern, serta berubahnya konsepsi interaksi dan komunikasi sosial masyarakat.
Justifikasi Perkembangan Rasionalitas Teknologis
Andrew Feenberg[24] menerapkan Teori Kritis menerapkan untuk meninjau ulang teknologi. Feenberg mendapatkan inspirasi dari Habermas dan Marcuse, terlepas dari kritiknya terhadap dua filsuf tersebut. Rasionalitas teknologis yang dibangun oleh Habermas jauh berbeda dengan Marcuse, sebab Habermas menyembunyikan struktur rasionalitas di balik perkembangan masyarakat modern[25]. Sedangkan Marcuse seperti halnya Weber memahami teknologi pada dirinya sendiri. Habermas secara teoretis tepat, namun terjadi distingsi ketika diujikan di dalam lapangan. Tanggapan atas Marcuse memperlihatkan bahwa ekspresi rasionalitas sejarah lebih besar daripada rasionalitas teknologis. Hal itu dikarenakan rasionalitas teknologis inheren dengan kebudayaan teknis. Secara tepat, Feenberg menyebutnya kode teknis[26].
Perkembangan arus kapitalisme termasuk industri maju membuat hilangnya hubungan antara logos dan eros serta hubungan multi-dimensi lainnya sehingga menjadi satu-dimensi berpikir. Ketika rasionalitas teknologis berdiri di atas model berpikir satu dimensi maka proses berpikir seseorang hanya dipandu oleh keadaan logos yang cenderung menindas eros. Pola rasionalitas teknologis terbentuk karena adanya permainan dari hierarki kekuasan yang terstruktur, sehingga menghalangi pemecahan akan kebenaran yang hakiki.
Lebih lanjut, Feenberg mengembangkan lebih lanjut konsep rasionalitas teknologis Marcuse dalam bentuk sosiologi konstruktivisme kritis untuk mengkritik proses determinasi teknologi dalam kehidupan manusia[27]. Hal itu ditengarai sekalipun konsep Marcuse memiliki kelemahan perihal romantisme tetapi memiliki kekuatan jika dan hanya jika rasionalitas teknologis mencapai puncaknya yaitu pasca-rasionalitas teknologis. Bahkan Feenberg melakukan perombakan tentang konsep ambivalensi, karakter sosial, dialektika, dan juga proses demokratisasi teknologi ketika terjadi trans-komunikasi dalam hal partisipasi demokratisasi desain teknologi.
Pemahaman terakhir terkait rasionalitas teknologis Marcuse adalah secara dialektis dan historis yang dijelaskan oleh Marcelo Vieta. Gagasan Marcelo menempatkan rasionalitas teknologis sebagai kritik atas ideologi dan praktik masyarakat industri maju. Marcelo membagi perkembangan rasionalitas teknologis menjadi tiga, yakni pra-rasionalitas teknologis, rasionalitas teknologis, dan pasca-rasionalitas teknologis.[28]
Kondisi pertama adalah kondisi sebelum rasionalitas teknologis atau pra-rasionalitas teknologis. Pada kondisi ini, teknologi masih sangat natural. Marcuse beranggapan bahwa kondisi alamiah ini di mulai ketika manusia mampu mengatur alam untuk bertahan hidup. Kapasitas rasionalitasnya hanya berdasarkan kemampuan mengidentifikasi sesuatu dan membangun sesuatu[29]. Asal-usul manusia teknologis sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno ketika ada gagasan perihal techne dan poiesis[30]. Semenjak techne ditemukan, manusia telah menemukan kemampuannya dalam proses menciptakan sesuatu yang memiliki suatu tujuan yang berguna untuk mengatur sesuatu hal atau biasa disebut dengan homo faber.
Pada kondisi sebelum rasionalitas teknologis, alam dan manusia dipandang sebagai cara untuk mengada yang selalu bergerak. Selain itu, identifikasi Marcuse tentang ketegangan sistem kerja antara logos dan eros, kedua prinsip yang saling menegasi, tidak bebas dan tidak benar hanya sebagai potensial[31]. Kemudian kondisi sebelum rasionalitas teknologis, tidak ada posisi teknologi sebagai hal yang menindas maupun sebaliknya. Hal ini ditengarai karena tidak adanya modus-modus sistem kapitalisme yang memaksakan sesuatu hal secara halus. Perkembangan arus kapitalisme termasuk industri maju membuat hilangnya hubungan antara logos dan eros serta hubungan multi-dimensi lainnya sehingga menjadi satu-dimensi berpikir. Pola rasionalitas teknologis terbentuk karena adanya permainan dari hierarki kekuasan yang terstruktur, sehingga menghalangi pemecahan akan kebenaran yang hakiki.
Ketika rasionalitas teknologis berdiri di atas model berpikir satu dimensi maka proses berpikir seseorang hanya dipandu oleh keadaan logos yang cenderung menindas eros. Secara sederhana Manusia Satu Dimensi telah membangun struktur budaya melalui universalitas logika formal yang kaku. Potensi manusia semata-mata hanyalah keinginan dan juga preferensi. Sekarang bahkan segala sesuatu menjadi terkesan rasional padahal irasional atau terkesan objektif namun ditunggangi oleh kepentingan tertentu[32]. Cara paling efektif adalah memperbaiki dan membangun rasionalitas teknologis secara utuh dan membebaskan.
Bagaimanapun Marcuse melihat adanya kemungkinan alternatif yang sangat dimungkinkan untuk membebaskan diri dari dominasi teknologi secara terus menerus dan melancarkan kebebasan atas rasionalitas teknologis[33]. Keadaan inilah yang disebut sebagai pasca-rasionalitas teknologis atau ketika adanya harapan model sains dan teknologi baru. Gagasan ini harus terbentuk melalui dialektika negatif yang mampu menjadi pembanding adanya gerakan protes dan menolak kestabilan hidup yang justru memiliki kepalsuan.
Selain itu, rasionalitas teknologis sangat berpengaruh terhadap perang melawan strategi neo-liberal. Sebab rasionalitas teknologis memuat seluruh siasat kapitalisme dalam melakukan strategi seperti halnya membuka jalur demokrasi, memanipulasi media dan bahasa, serta menelurkan nalar positivistik dalam segala kegiatan kemanusiaan yang justru telah menyengsarakan seluruh aspek kehidupan.
Pasca-rasionalitas teknologis memberikan arah baru bagi proses teknologi untuk mampu melampaui bencana yang timbul dari keadaan sebelumnya. Segala potensi tersembunyi dari teknologi dimaksimalkan dengan cara melahirkan kembali nalar kritis seluruh masyarakat. Salah satu terobosan utama Marcuse adalah menggali kembali rasionalitas teknologis dari seni[34]. Hal ini dilakukan untuk menjamin proses kebebasan berpikir dan berimajinasi. Menurut Vieta, posisi inilah yang akan membangun kesatuan rasionalitas universal antara logos dan eros dalam kehidupan serta melahirkan seni kehidupan dan kebebasan dari perang dan dominasi. Pasca-rasionalitas teknologis memberikan jalan untuk menuju nilai yang fokus dalam afirmasi kehidupan[35].
Batas Akhir
Filsafat Teknologi Marcusean memang tidak akan terlepas pada persoalan nilai dan pesimistik karena melihat ilmu dan teknologi yang lebih nampak mendominasi daripada membebaskan. Problem rasionalitas teknologis adalah ketika membangun sebuah kekuatan bersama untuk mengubah total kondisi yang menindas. Bagi Marcuse posisi untuk mengubah itu semua melalui cara berpikir kritis di dalam setiap bagian dari relasi dan kehidupan manusia. Selain itu, ilmu dan teknologi baru juga perlu adanya rekonstruksi model-model terapan yang memberikan nilai estetis serta keseimbangan antara nalar dan imajinasi untuk melahirkan posisi transendental yang mampu menjadi alternatif dari problem keduniawian.
Marcuse berdiri secara unik. Dalam perkembangannya, ada pertalian antara teknologi produksi dengan pertumbuhan ekonomi di mana status ontologis teknologi diandaikan dengan adanya evolusi secara eksternal melalui peran agen yang termediasi oleh teknik, kemudian memberikan efek terhadap lingkungan termasuk ke dalam struktur sistem maupun artifak sebagai sebuah proses-desain teknologi tertentu. Akan tetapi kondisi tersebut secara terus menerus menimbulkan krisis apalagi dalam sistem himpunan kapitalisme. Marcuse kemudian hadir dengan kritiknya melalui konsep rasionalitas teknologis, masyarakat satu dimensi, dan teknologi sistem produksi yang memberikan kontribusi dalam perkembangan filsafat teknologi kontemporer.[36]
Secara sederhana implikasi perkembangan rasionalitas teknologis berfungsi untuk mendapatkan pemahaman lebih baik perihal kemajuan filsafat teknologi terutama dalam perdebatan ilmu dan teknologi yang terkandung nilai ataupun bebas nilai. Sedangkan aktualisasi rasionalitas teknologis akan mampu terjawab ketika figur pasca-rasionalitas teknologis diikuti oleh siasat membangun nalar kritis dengan jalan: pertama, merekonstruksi subjektivitas dalam fondasi untuk penebusan teknologi pembebasan; kedua, mempraktikkan estetika; ketiga, penyatuan praktik sosial dan budaya; keempat, revolusi eksternal tanpa adanya kekerasan; kelima, melakukan kritik imanen; keenam, perjuangan dari bawah ke atas[37].
Selain itu, rasionalitas teknologis sangat berpengaruh terhadap perang melawan strategi neo-liberal. Sebab rasionalitas teknologis memuat seluruh siasat kapitalisme dalam melakukan strategi seperti halnya membuka jalur demokrasi, memanipulasi media dan bahasa, serta menelurkan nalar positivistik dalam segala kegiatan kemanusiaan yang justru telah menyengsarakan seluruh aspek kehidupan. Perkembangan rasionalitas teknologis dalam lingkaran Teori Kritis, karenanya, masih dapat dipertimbangkan sebagai suatu teori yang berpeluang untuk menembus batasan-batasan ekstrim kehidupan masyarakat kontemporer.
[1] Lih. Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 28.
[2] Rasionalisasi dalam satu segi bernilai positif, karena mengangkat manusia menjadi lebih rasional dalam mengatur kehidupannya. Perkembangan teknologi yang luar biasa, sistem birokrasi yang semakin efisien, dan pengaturan di sisi lain rasionalisasi ini juga menciptakan patologi-patologi berbentuk “rasio instrumental” (Horkheimer) atau “mitos” (Adorno dan Horkheimer), “selubung rasionalitas teknologi” (Marcuse), “sangkar besi birokrasi” (Weber) serta alienasi dan penindasan (Marx).
[3] Rasio instrumental adalah rasio yang melihat realitas sebagai potensi untuk dimanipulasi, ditundukkan, dan dikuasai secara total. Rasio instrumental memandang realitas (alam maupun manusia) sebagai objek untuk diklasifikasi, dikonseptualisasi, ditata secara efisien untuk tujuan apa pun yang dianggap penting oleh kekuasaan. Lih. Donny Gahral Adian, 2006. Percik Pemikiran Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hal. 54.
[4] Melalui Reason and Revolution Marcuse mengkritik metafisika Hegelian Kanan Nazi yang menyalahgunakan konsep Negara Absolut Hegel. Lih. Valentinus Saeng, Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, (Jakarta: Gramedia, 2012), hal. 80-90.
[5] Marx Muda menjadi inspirasi Marcuse dalam membaca proses represi, eksploitasi, dan negasi atas individu melalui pembagian kerja dan pola hubungan sosial yang mengubah aktivitas multidimensi ke satu dimensi. Sekalipun revolusi terlaksana, kerja tidak dapat disingkirkan, tetapi hanya cukup menghapus kerja yang menyengsarakan kaum pekerja saja. Lih. Ibid., hal. 120-146.
[6] Melalui Eros and Civilization A Philosophical Inquiry Into Freud, analisis Marcuse menitik beratkan pada kondisi penindasan Eros dan Logos terkait kerja dan pengaruhnya dengan menyusutnya multidimensi manusia. Lih. Ibid., hal. 102. Dalam era teknologi, pertentangan eros dengan peradaban diungkapkan dalam pertarungan interior dalam wilayah nalar: nalar praktis-teknologis melawan nalar dialektis Lih. Valentinus Saeng, Op. Cit., hal. 148 dan 171. Bahkan sempat terjadi ketegangan intelektual dan politik dengan Errich Formm perihal pemaknaan teori psikoanalisis Freudian beserta relevansinya dengan kehidupan.
[7] Lih. Rasovic, Milos. “Marcuse’s One-Dimensional Society in One-Dimensional Man”. Dalam Agathos: An International Review of the Humanities and Social Sciences, Vol. 4, No. 1, 2013, hal. 111-125.
[8] Lih. Sudarminta dalam Sastrapratedja, M (ed). Manusia Multidimensional: Sebuah Renungan Filsafat. (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 124-129.
[9] Technological rationality adalah postulat ide filsofis Herbert Marcuse dalam membaca kerangka teknologi dan dominasi yang terbit dalam bentuk artikel “Some Implications of Modern Technology” pada tahun 1947, melalui journal Studies in Philosophy and Social Sciences, Vol.IX.
[10] Lih. Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi terjemahan Sirvester G. Sukur dan Yusup Priyasudiarja, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hal. 341.
[11] Lih. Ibid., hal. 349.
[12] Lih. Robert Pipin (ed). Marcuse: Critical Theory and The Promise of Utopia. USA: Macmillan Education, 1988), hal. 226-227.
[13] Teknologi memiliki universalitas rasional teknologi, walaupun memiliki standar ukuran yang sama tetapi teknologi x dapat berbeda dalam pengaplikasiannya. Lih. Ibid., hal. 229-230.
[14] . Lih. Ibid., hal. 230.
[15] Lih. Jeffry V Ocay. “Technology, Technological Domination, and the Great Refusal: Marcuse’s Critique of the Advanced Industrial Society”. Dalam Journal Kritike, Vol. 4, No. 1, Juni 2010, hal. 55-57. Ocay memberikan ruang telaah teknologi via filsuf Mario Bunge untuk memahami proses dinamika teknologi kemudian membandingkan dengan rasionalitas teknologis Marcuse.
[16] Lih. Valentinus Saeng, Op. Cit., hal. 194-199 dan 203.
[17] Lih. William Leiss, “Technological Rationality: Notes on “Work and Freedom in Marcuse and Marx””. Dalam Canadian Journal of Political Science, Vol. 4, No. 3 (Sep., 1971), hal. 398-400. Bdk. William Leiss, “Technological Rationality: Marcuse and His Critics”. Dalam Journal Philosophy of the Social Sciences, Vol. 2. No. 1, 1972, hal 31-42.
[18] Kedua dimensi ini dijelaskan sebagai tindakan sosial. Habermas membedaknnya dalam dua macam yakni: “tindakan-bertujuan” (tercakup dalam dimensi kerja) dan “tindakan komunikatif” (tercakup dalam dimensi komunikasi). Lih. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 99.
[19] Lih. Jurgen Habermas, Technology and Science as Ideologi, terjemahan Hassan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 56-57.
[20] Lih. Ben Agger, “Marcuse & Habermas on New Science”. Dalam Polity. Vol. 9, No. 2, 1976. Bdk. Norman Stockman, “Habermas, Marcuse and the Aufhebung of Science and Technology”. Dalam Philosophy of the Social Sciences, Vol. 8, No. 1, 1978.
[21] Lih. Sudarminta, Op. Cit., hal. 164-165. Bdk. Franz Magnis Suseno, Dari Mao ke Marcuse – Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hal. 292.
[22] Lih. Parviz Piran, “Marcuse and the Problem of Instrumental Rationality”. Dalam Mid-American Review of Sociology, Vol. 2, No. 2, 1977, hal. 19-28.
[23] Lih. Christopher R Maboloc, “On Technological Rationality and the Lack of Authenticity in the Modern Age A Critique of Andrew Feenberg’s Notion of Adaptability”. Dalam Techné: Research in Philosophy and Technology, Vol. 20, Issues 1, 2016, hal. 48-49.
[24] Teori Kritis Andrew Feenberg dapat dilacak melalui bukunya Questioning Technology (1999) dan Critical Theory of Technology (1991).
[25] Lih. Andrew Feenberg, “Marcuse or Habermas: Two Critiques of Technology”, Dalam Journal Inquiry: An Interdisplinary Journal. Vol. 39, No. 1, March 1996, hal. 48-68.
[26] Technical code atau kode teknis adalah konsep yang membaca relasi kuasa terhadap masyarakat teknologis kontemporer. Kode teknis model kapitalis berbeda dengan sosial. Kode teknis tidak hnya sekedar desain melainkan juga fungsi dari teknologi itu sendiri, termasuk juga bentuk rasionalitas yang memandu proses pembuatan suatu teknologi. Lih. Revealing the Technical Code. Tesis Degree of Master of Art at the University of Windsor, Canada, karya Darryl Cressman, tahun 2004, hal. 15-17. Bdk. Andrew Feenberg, Questioning Technology, (New York: Routledge Press, 1999), hal. 131-147.
[27] Lih. Andrew Feenberg, Between Reason and Experience, (Cambridge, MA: MIT Press, 2010), hal. 66-82.
[28] Marcelo Vieta. 2006. Herbert Marcuse’s critique of technological rationality: An exegetical reading. Sumber http://www.academia.edu.
[29] Lih. Herbert Marcuse, One-Dimensional Man, (Boston: Beacon Press, 1964), hal. 138-139.
[30] Lih. Ibid., hal. 238.
[31] Lih. Ibid., hal. 123-128.
[32] Lih. Ibid., hal. 151.
[33] Lih. Ibid., hal. 47.
[34] Lih. Ibid., hal. 238.
[35] Lih. Vieta, Marcelo. “Marcuse’s “Transcendent Project” at 50: Post-Technological Rationality for Our Times. Dalam Radical Philosophy Review. Vol. 19, Issues 1 2016, hal. 143-172.
[36] Lih. A Reevaluation of Marcuse’s Philosophy of Technology, disertasi Doktoral Filsafat University of Tasmania karya Michael Kidd, tahun 2013. Hal. 13-14.
[37] Vieta, Marcelo. Hope for Our Technological Inheritance? From Substantive Critiques of Technology to Marcuse’s Post-Technological Rationality. Dalam Strategies of Critique: A Graduate Journal of Social and Political Though, Vol 1, No 2, 2010. 10-14. Bdk. Valentinus Saeng, Op.Cit., hal. 300-322 cara membangun nalar kritis adalah dengan memperkuat konsep pedagogi kritis dan seni.