dalam universe bertema zombie-apokalips, film 28 Years Later (2025) yang ditulis oleh Alex Garland, bagi saya, bukan sekadar tentang membangkitkan kembali genre zombie (mayat hidup; walau saya sendiri masih sangsi untuk menggunakan istilah Indonesia ini), tetapi merevolusinya. Film ini berhasil memperkenalkan kita pada bentuk ancaman baru, yakni bukan zombie yang bangkit dari kematian, melainkan bekas-sisa ‘manusia’ yang berubah menjadi sesuatu jauh lebih menakutkan.
Pada dua film pertamanya, yakni 28 Days Later (2002) dan 28 Weeks Later (2007), kisah yang disampaikan masih berkutat pada formula standar yang sering kali kita temukan dalam film-film bertemakan zombie ataupun zombie-apokalips. Hal-hal semacam gagalnya eksperimen lab, masyarakat kacau porak-poranda, dan kegagalan militer untuk mengambil alih yang berujung pada terbukanya kembali jalan bagi virus untuk menyebar luas masih menjadi plot utama dari kedua film tersebut. Kisah seperti ini tentu sangatlah standar sebab ia masih berada dalam bangun-ruang utama film-film zombie yang fondasi utamanya adalah kekacauan dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup.
Akan tetapi, ketertarikan sebenarnya muncul ketika kita memasuki film ketiga dari universe ini. Ketimbang sekadar mengulang formula dan ritme yang sama, Garland justru membangun sesuatu yang baru di atas fondasi lamanya. Ia memperluas lore dari virus rage dan mengeksplorasinya. 28 Years Later tidak hanya menyoal penyebaran virus dan dampak langsungnya, tetapi juga konsekuensi jangka panjang dari bentuk isolasi dan kemungkinan adaptasi. Oleh karena itu, hal yang ditawarkan film ini bukan lagi kisah kelam sekumpulan manusia yang bertahan hidup (atau yang kita kenal sebagai survivors), melainkan tawaran tentang apa yang terjadi setelah kekacauan—ketika asap pertempuran telah mereda dan baik manusia maupun virus berevolusi dalam keheningan yang terpisah.
Bila kebanyakan film bertema serupa selalu menjadikan zombie sebagai objek perlawanan manusia untuk bertahan dan sebagainya, 28 Years Later justru menawarkan jendela baru. Film ini menawarkan kita untuk melihat zombie sebagai yang-lain yang juga mampu bertahan dan berkembang dalam dunia pasca-apokalips, yakni ketika manusia telah terpecah dalam komunitas kecil yang saling terisolasi, bahkan mundur ke bentuk primitifnya. Di sini lah perubahan yang-lain itu terjadi, virus yang dahulunya memiliki siklus hidup jangka pendek—menginfeksi sampai tidak lagi mampu menginfeksi lalu kelaparan dan mati—kini juga mengalami mutasi, berkembang menjadi sesuatu yang beda-mengerikannya dan bertahan lama.
Keberadaan virus rage tidak lagi menjadi api yang menjalar cepat dan singkat—lewat perluasan infeksi yang terjadi—tetapi menjadi sesuatu yang mampu beradaptasi. Ia bercabang ke dalam bentuk-bentuk baru, menciptakan varian yang dibentuk oleh tantangan kelaparan, ekologis, bahkan reproduksi. Tentu, hal yang lebih mengerikan dari semua itu adalah kemampuan intelektual yang mungkin menyerupai manusia. Di titik ini, baik manusia maupun zombie, telah masing-masing secara terpisah menyesuaikan diri dengan dunia baru—yang mungkin lebih mengkhawatirkan bagi kita yang menontonnya.
Pada dua film awal, ancaman umumnya datang dari kehadiran zombie yang cepat dan mematikan, tetapi sayangnya berumur pendek: tanpa memakan manusia, ia akan kering-kelaparan dan mati. Di film ketiga, kita diperkenalkan lebih jauh pada konsep kebertahanan dan kelangsungan hidup sebuah virus. Tentu di film kedua, awal dari konsep ini sempat dikenalkan kepada kita lewat ide tentang asymptomatic carriers, yakni manusia yang terinfeksi virus tanpa gejala dan mampu menyebarkannya sebagai carriers atau pembawa. Walau begitu, virus di sini tetap memiliki keterbatasan eksistensial (dihadapan hukum biologis). Ia terus membutuhkan inang hidup sehingga carriers akan menjadi kendaraan untuk menginfeksi yang-hidup (terutama manusia di kamp-kamp konsentrasi). Namun, di film ketiga, virus itu tidak lagi sekadar menjadi kekacauan yang liar, tetapi telah menjadi sesuatu yang strategis, memiliki kemampuan beragam, dan mampu bertahan dalam waktu lama dengan berbagai penyesuaian.
Perubahan ini sangat berpotensi merombak alur cerita. Di film ketiga, beranjak mengenalkan beragam varian baru atau subspesies dari para zombie. Masing-masing subspesies digambarkan memiliki strategi bertahan hidup yang berbeda. Di titik ini, setidaknya, kita akan diperkenalkan dua subspesies zombie sebagai respons evolusi dari virus rage yang menggambarkan bahwa organisme yang ganas dan liar sekalipun tetap tunduk pada hukum alam dan menginginkan kebertahanan hidup yang lebih lama dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian.
Meski film ketiga ini belum secara resmi memberi nama bagi subspesies zombie tersebut, untuk kepentingan pengisahan, saya akan membahasnya lebih jauh dengan sebutan hunters dan bloaters.1 Subspesies hunters (pemburu) diperlihatkan memiliki kemampuan pikir beregu/berkelompok dan serangan terarah. Mereka tidak menyerang membabi-buta, tetapi bergerak seperti pemburu handal. Sementara bloaters diperlihatkan memiliki tubuh gendut (seperti kantung air) dan bergerak lamban dengan menyeret tubuh mereka di tanah sebagai pemakan segala. Mereka membawa virus di dalam tubuh yang membengkak sehingga, dugaannya, apabila ia pecah atau meluber sangat mungkin untuk menginfeksi dalam jangkauan luas. Kedua subspesies ini mengantarkan kita pada babak baru dari virus rage yang bukan hanya sebagai simbol kematian, tetapi juga sebagai bentuk kehidupan baru yang mengeklaim tempatnya sendiri dalam rantai evolusi pascamanusia.
Keberadaan subspesies ini juga turut membuka sebuah jendela pemahaman kita tentang zombie dan virus sebagai makhluk yang tidak sekadar hadir untuk dilawan ataupun dihindari. Dalam hal ini, zombie dan virus juga dipahami sebagai sesuatu yang memiliki potensi untuk berubah dan berkembang dalam cara tertentu, bahkan mungkin hidup berdampingan dengan sisa-sisa peradaban manusia. Selain itu, bagi saya pribadi, film ini juga menjadi sebuah refleksi atas keberadaan yang-lain: kemungkinan kepunahan atas apa yang kita sebut sebagai ‘manusia’ bukanlah sebuah akhir, melainkan bisa jadi awal dari sesuatu yang lain.
Subspesies hunters
Keberadaan mereka bukan sekadar varian baru yang lebih kuat, melainkan perwujudan dari fase evolusi virus rage yang telah beradaptasi dengan lebih baik. Dituntun oleh keberadaan para alphas—dapat kita anggap sebagai pemimpin—membuat kelompok hunters bukan lagi sebagai makhluk liar tanpa kendali sebagaimana versi awal mereka. Alphas adalah hasil dari mutasi bertahun-tahun, benturan tekanan lingkungan yang ekstrem, dan saringan alamiah di tengah dunia pasca-apokalips.
Berbeda halnya dengan para zombie biasa yang cenderung bergerak spontan dan tanpa arah—yang membuat daya bakar energi mereka begitu meledak—para alphas justru mampu lebih cerdas. Mereka tidak hanya bereaksi, tetapi juga mengamati pola dan merancang strategi; mereka tidak menyerang secara membabi-buta, melainkan dengan terarah. Di titik ini, virus rage terlihat telah belajar dari kegagalan biologisnya bahwa menjadi ‘kacau-menginfeksi’ saja tidak cukup untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Maka, sebagai respons evolusinya, ia mulai melibatkan sebuah ‘keteraturan’ dengan tidak lagi untuk menghancurkan, tetapi membangun dan mungkin mendominasi dengan kelompoknya.
Sebagaimana yang mungkin telah kita pahami dari pengisahan di film-film sebelumnya, versi awal dari virus rage ini memengaruhi bagian otak seperti amigdala dan hipotalamus yang memicu ledakan agresi, tekanan, dan lonjakan adrenalin. Ia seolah bekerja untuk meredam fungsi kognitif—tumpuan kita dalam berpikir—dan menggantinya dengan kehendak naluriah dengan berupaya menginfeksi ke inang lain dengan cepat. Namun, strategi semacam ini punya kelemahan. Sebagaimana yang kita sama-sama pahami pada fenomena Covid-19 lalu, bahwa tingkat penularan yang tinggi dan berujung pada kematian massal bagi inangnya akan menjadi titik jenuh dari suatu virus.2 Meskipun infeksi dapat menjalar dengan cepat, keuntungan tersebut harus dibarter3 dengan daya tahan inang yang rendah. Sementara dalam konteks subspesies hunters, virus tidak ingin membahayakan tubuh inangnya, tetapi belajar bekerja sama dengannya.
Secara kenampakan (fisiologis), sosok alpha diperlihatkan dengan massa otot dan kepadatan tulang yang besar serta daya tahan tubuh yang luar biasa. Mutasi genetik alpha sepertinya merangsang produksi hormon seperti adrenalin dan kortisol secara berlebih dan terjadi terus-menerus sehingga mendorong pertumbuhan otot secara masif dan regeneratif—fenomena ini kita dapat lihat sebagian pada kondisi medis congenital adrenal hyperplasia. 4 Mutasi ini berdampak pada meningkatnya ambang rasa sakit yang nyaris tidak lagi manusiawi. Ditunjukkan dalam film tersebut, alpha tetap dapat menyerang bahkan dengan puluhan anak panah bersarang di badannya. Selain itu, serangan fisik dari benda tumpul bahkan tidak lagi efektif. Satu-satunya cara yang diperlihatkan dapat melumpuhkan mereka sementara adalah dengan menggunakan racikan sedatif tinggi. Gambaran ini tentu memberikan kita penjelasan tentang perubahan mendasar yang terjadi pada diri mereka.
Namun, aspek fisik ini hanya bagian permukaan saja sebab yang benar-benar menjadi pembeda antara alphas-hunter dengan zombie lainnya adalah kemampuan kognitifnya yang memampukan mereka mempertahankan fungsi otak dalam tingkat yang tinggi, terutama di area yang berkaitan dengan perencanaan, kesadaran spasial, dan pemecahan masalah. Hal ini yang pada akhirnya menuntun mereka pada kebiasaan (habit) untuk tidak menyerang secara spontan, tetapi lebih pada melacak, menunggu, dan merespons buruan dengan kesabaran khas predator. Pada beberapa bagian di film tersebut, kita bisa melihat mereka memberikan instruksi pada kelompoknya melalui isyarat suara ataupun gerak tubuh, seolah menunjukkan adanya sebuah hierarki komando di sana. Maka, tentu terlihat jelas dalam posisi ini, kita tidak bisa lagi menganggap mereka sebagai zombie yang berjalan biasa tanpa arah ataupun tujuan, melainkan—mungkin saja—bagian dari spesies baru yang memiliki struktur sosial primitif yang umumnya ditemukan di hewan-hewan.
Melalui alpha—yang berperan sebagai pemimpin dan perencana—kelompok hunters tersebut berubah menjadi kawanan yang tersusun baik. Bahkan, para alphas di film tersebut terlihat bertanggung jawab memenuhi kebutuhan makanan kelompoknya dengan cara rutin berburu hewan di hutan. Hal itu yang membuat zombie di kelompoknya tidak lagi mati kelaparan.
Satu hal yang menarik juga adalah munculnya perilaku yang membuat kita teringat sebuah budaya sederhana yang penuh makna simbolik, yakni kebiasaan untuk menyimpan atau memamerkan kepala hasil buruan mereka. Dalam konteks ini, tentu kita masih tidak mengerti dan belum terjelaskan motif di baliknya. Namun, hal yang mungkin adalah budaya ini menandakan keberadaan sebuah konsep identitas—upaya komunikasi untuk membedakan antara mereka dengan yang-lain yang entah ditujukan sebagai penanda teritorial, dominasi, ataupun lainnya. Barangkali, kita juga bisa mengatakan hal ini sebagai potensi atas muncul dan/atau berkembangnya kebudayaan dalam kelompok melalui struktur dan simbol-simbol yang menantang peradaban sisa manusia yang-hidup.
Hal menarik lainnya juga adalah adanya indikasi bahwa subspesies zombie ini memiliki kemampuan dalam reproduksi, sebagaimana yang kita lihat dalam penggalan-penggalan film dengan keberadaan hunters yang bunting. Bagi sebuah virus, bentuk reproduksi sebagaimana yang manusia lakukan—laku seksual, bunting, dan melahirkan—merupakan hal yang tidak penting sebab sejatinya mereka dapat bereproduksi dengan cara menularkannya dengan waktu yang lebih cepat pada inang yang lain tanpa harus melakukan aktivitas seksual. Namun, ketika kita berbicara langkah yang lebih efisien, tentu berbeda. Adanya potensi atau laku seksual dan bunting membuka pengetahuan bahwa reproduksi virus rage tidak hanya terbatas menyebar melalui gigitan atau infeksi saja, melainkan juga dimungkinkan melalui proses melahirkan tadi. Selain itu, sepertinya, virus rage ini belajar untuk menghasilkan penerus baru dengan mutasi yang lebih stabil dan sesuai dengan kehendaknya berdasarkan apa yang virus tersebut anggap lebih baik. Sementara itu, penularan yang didapatkan dari inang acak (random) justru bisa jadi tidak sesuai dan butuh banyak sampel sampai akhirnya mungkin menemukan yang dianggap lebih baik—dalam kasus ini mungkin untuk menjadi sosok alpha.
Sejenak kita coba bayangkan, apabila virus yang mampu berpikir saja sudah menjadi ancaman, lantas bagaimana dengan virus yang mampu memimpin, bahkan ‘membangun’ untuk spesies mereka sendiri? Pembeda semacam ini yang menentukan garis nasib dengan bentuk zombie sebelumnya. Virus yang dulu dikenal karena kecepatan kehancurannya dan hidup jangka pendek ini telah berubah menjadi virus yang memakai tubuh inangnya untuk mendorong evolusi yang disengaja demi hidup jangka panjang. Maka, virus ini bukan lagi sekadar wabah, melainkan berubah menjadi predator dengan kesadaran, intelegensi, dan tujuan tertentu.
Subspesies bloaters
Berbeda dengan varian sebelumnya—hunters—subspesies bloaters memperlihatkan kita pada bentuk perubahan yang jauh lebih mengakar, yakni virus yang dahulunya bersifat cepat justru menjadi entitas layaknya parasit yang mungkin bertahan dalam waktu (hidup) yang lama. Keadaan perubahan ini bukan sesuatu yang tidak masuk akal, melainkan sangat umum kita temukan. Entitas parasit di alam banyak yang beradaptasi dan berupaya mengubah (modifikasi) perilaku inangnya demi keberlangsungan hidup mereka sendiri. Hal sederhana bisa kita temukan pada parasit toxoplasma gondii yang mampu mengubah respons ketakutan tikus terhadap kucing (sebagai predator) agar lebih mudah untuk dimangsa dan meneruskan siklus hidupnya; 5 atau pada jamur cordyceps yang mengendalikan semut untuk memanjat ke tempat lebih tinggi—yang memiliki tingkat kelembaban dan pencahayaan yang dianggap sesuai—sebelum mati agar memudahkan penyebaran spora lebih luas.6
Mengingat kondisi bahwa sebagian besar manusia saat itu telah mati ataupun terinfeksi dan hanya menyisakan sedikit populasi manusia yang hidup terisolasi, sumber inang bagi para zombie pun menjadi sangat terbatas. Hal ini membuat virus rage menghadapi tantangan evolusi biologis: bila ia tidak mampu beradaptasi, maka ia punah. Subspesies bloaters adalah responden dari tekanan tantangan tersebut, yakni sebagai virus yang tidak lagi mampu mempertahankan perilaku aslinya yang cepat dan beralih pada proses mutasi yang dianggap lebih menguntungkan. Sebagaimana halnya pengupayaan alokasi energi yang rendah dengan menekan tingkat agresivitas—sehingga inang mungkin bertahan hidup lebih lama—dalam ekosistem yang ‘tidak mendukung’ (akibat langkanya inang manusia), hal ini membuka potensi pecahan evolusi baru, khususnya para zombie yang mendiami bekas reruntuhan dan hutan untuk menjadi bloaters.
Secara kenampakan, bloaters sangat berbeda dari para zombie. Mereka tampak gendut, pucat, dan tidak bisa bergerak cepat. Mereka bergerak dengan cara menyeret tubuh mereka sendiri di atas tanah, mencari serangga ataupun bangkai sebagai sumber makanan. Perilaku mereka yang cenderung lamban dan oportunistik ini membuatnya lebih suka memakan apa yang tersedia—tidak pilih-pilih agar menghemat energi—daripada berburu. Akan tetapi, ketika merasa terancam, mereka tetap mampu menyerang dan membunuh manusia. Di sinilah wujud yang mengerikan dari mereka tampak. Dalam keadaan yang memprihatinkan, mereka justru menyimpan potensi yang lebih adaptif. Meski bukan predator pemburu, mereka menjadi parasit ekologis berbahaya yang tinggal dalam reruntuhan dan hutan-hutan.
Dalam memahami bagaimana virus rage bisa memunculkan varian seperti ini, tentu kita bisa melihat proses patogen beradaptasi dalam jangka panjang. Dalam bentuk awalnya, virus rage menyebar secara cepat dengan tingkat agresivitas akut yang mendorong fungsi fisik ke titik batas dan disertai dengan penurunan fungsi kognitif tinggi. Inang yang dijangkitinya berubah menjadi mesin pembunuh, tetapi dengan konsekuensi besar berupa penularan atau infeksi yang tidak akan bertahan lama sebab inang akan mati karena kelaparan. Virus dalam bentuk semacam ini terlalu cepat membakar energi yang ada dalam tubuh untuk bisa bertahan lama. Maka dari itu, kehadiran bloaters memperlihatkan kita pada sebuah pergeseran, yakni dari bentuk dominan agresif menjadi upaya penghematan dan/atau penumpukan energi dalam tubuh. Kita dapat melihat dalam potongan film bahwa tubuh mereka yang gendut mungkin merupakan bagian dari cadangan lemak untuk bertahan jangka panjang. Varian ini membuktikan bahwa virus rage menjadi sebuah parasit sistemik yang mengubah otak-tubuh agar menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, baik dari kehadiran bloaters maupun hunters, walau dengan respons menghadapi tekanan tantangan secara berbeda.
Dalam kajian virologi, virus RNA yang terkenal karena laju mutasinya yang tinggi dan absennya mekanisme koreksi genetik terhadapnya, ketika di bawah tekanan tantangan lingkungan—dalam konteks film ini: dihadapkan pada ancaman sedikitnya populasi inang atau keterbatasan makanan—cenderung memilih untuk menyeleksi karakteristik yang lebih menunjang keberlangsungan jangka panjang bagi mereka.7 Sebagaimana yang terjadi pada Covid-19, tingkat penularan dan kematian yang tinggi dianggap tidak menguntungkan dan virus beralih menjadi lebih koeksis dengan inangnya.8 Di titik ini, virus rage tidak lagi berusaha menyebar secara cepat, tetapi justru memilih menciptakan keragaman varian dari makhluk terinfeksi yang menggantungkan hidupnya pada tingkat metabolik yang efisien dan oportunis. Fenomena hampir serupa bisa kita temukan pada mycobacterium tuberculosis 9 yang mampu dorman dalam tubuh manusia selama bertahun-tahun dan hanya memilih aktif ketika kondisinya mendukung. Virus rage melalui bloaters mengambil pilihan yang sama untuk mempersiapkan hidup jangka panjang.
Selain itu, sama halnya dengan hunters, kita juga diperlihatkan dengan potongan adegan kemunculan bloaters berukuran anak kecil. Hal ini menuntun kita pada hadirnya dua spekulasi, yakni apakah bloaters juga punya potensi reproduksi yang sama seperti hunters (laku seksual dan bunting) ataukah ia adalah hasil perkembangan zombie anak yang berubah menjadi bloaters seiring waktu? Keduanya tetap membuka jendela pada konsekuensi biologis yang mengerikan, yakni kemampuan adaptasi. Apa yang mungkin awalnya muncul sebagai sesuatu yang spontan, kini beralih menjadi kelangsungan yang terstruktur dan virus rage melalui bloaters telah berhasil memperlambat dirinya sendiri serta menurunkan daya metabolisnya.
Fenomena dua subspesies ini telah membawa kita pada pemahaman lain bahwa virus tidak selalu berusaha membumihanguskan suatu peradaban manusia sampai titik punahnya. Virus mungkin saja dengan sadar memilih untuk koeksis dan menuntun bekas manusia tersebut untuk bertahan sebagai spesies yang baru—yang bisa mengungguli bentuk awalnya sebagai manusia—sekaligus membuka kotak pandora terhadap kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Membuka kotak pandora spesies
Membuka sebuah ‘kotak pandora’ dalam konteks spesies berarti membuka diri kita pada kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya tidak terpikirkan, termasuk kemungkinan reproduksi dalam tubuh inang yang telah terinfeksi virus rage. Untuk bisa memahami bangun-ruang fenomena seorang perempuan yang telah terinfeksi—yang seharusnya secara biologis, tubuhnya akan hancur oleh infeksi ini—tetapi masih mungkin untuk bunting dan melahirkan, tentu kita perlu melihat dari sisi mekanisme biologis.
Proses kehamilan pada dasarnya adalah kondisi yang secara imunologis sangatlah rapuh. Pada masa kehamilan, tubuh ibu berupaya untuk menekan keras respons imun alaminya sendiri agar tidak menolak janin yang sebenarnya merupakan entitas semi-asing bagi tubuhnya. Upaya penekanan atas sistem imun ini lantas menciptakan semacam jendela kerentanan yang nahasnya sering kali dimanfaatkan oleh patogen-patogen tertentu untuk menembus penghalang plasenta dan menginfeksi janin yang ada. Hal ini dapat kita lihat pada virus zika yang mampu menembus batas penghalang plasenta dan menghadirkan konsekuensi tragis bagi janin yang terlahirkan dari inang yang terinfeksi olehnya.10 Gambaran atas inang terinfeksi yang bunting dalam film ini memperlihatkan hasil dari evolusi virus rage di mana tampak dorman dan lebih memperlihatkan sikap manusiawi, misalnya ketika kita diperlihatkan pada adegan hunters bunting yang mampu terhubung atau terkoneksi dengan sosok ‘ibu’ saat melahirkan dengan saling menggenggam tangan dan bernafas dengan ritme yang selaras. Hal ini menjelaskan kemungkinan bahwa virus mengalami mutasi agar dapat koeksis dengan ekosistem imun yang berubah akibat kehamilan dengan cara membatasi dirinya dalam kondisi dorman untuk menjaga kelangsungan hidup inangnya agar dapat menyelesaikan proses kehamilan dengan aman. Walaupun ini masih sebatas asumsi, satu hal yang pasti: kita tidak lagi melihat bentuk agresi dalam sosok hunters bunting tersebut.
Potensi virus untuk berlaku demikian dalam tubuh inang semacam itu tentu bukan hanya menghadirkan kengerian lain, tetapi juga berhasil menunjukkan kita pada sebuah lompatan evolusioner. Sementara itu, pada sang bayi terdapat dua jendela asumsi yang muncul, khususnya pada pertanyaan mengapa bayi yang baru dilahirkan ini terlihat seolah-olah tidak terinfeksi? Pertama, keberadaan plasenta mungkin bertindak sebagai penghubung sekaligus penghalang bagi apa yang boleh masuk dan tidak dari tubuh sang inang ke janinnya. Sebagaimana kita tahu dari penjelasan sosok ‘dokter’ nyentrik di film tersebut, dalam banyak kasus, plasenta bisa menghambat atau bahkan mencegah penularan patogen berbahaya dari inang ke janin—walau dalam kasus virus zika ini berbeda, ia bisa menembus masuk. Apabila kita menerima asumsi ini, maka pemahaman kita terhadap penjangkitan virus rage tidaklah serapi itu sebab ia bisa berubah menjadi patogen yang dorman dalam kondisi tertentu dan memungkinkan inangnya untuk melahirkan sebuah kehidupan baru tanpa tersentuh oleh keberadaan virus tersebut. Bahkan, bisa jadi potongan adegan tersebut ingin menunjukkan bahwa ia imun. Kemungkinan semacam ini sangat wajar dalam imunologi di mana genetik janin mungkin telah membangun resistensi terhadap virus rage sejak dalam kandungan dan barangkali menjadikannya manusia imun pertama di universe tersebut. Kelak, bila kejadian ini bisa direplikasi—entah secara alamiahnya atau berkat keturunan manusia imun pertama tadi—maka ia berpotensi menjadi dasar bagi sebuah resistensi biologis massal bagi manusia atau bahkan pengembangan vaksin virus rage.
Akan tetapi, tanpa menafikan jendela pertanyaan lainnya, apakah bayi tersebut benar-benar tidak terinfeksi? Selayaknya bakteri mycobacterium tuberculosis, virus rage tersebut sebenarnya bisa saja tetap ada, tetapi memilih dorman atau bersembunyi dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk hidup sendiri. Dalam hal ini, virus tersebut menjadi agen laten yang tidak menggejala dan sewaktu-waktu bisa aktif kembali, terutama ketika terjadi pemicu tertentu. Apabila ini benar terjadi, maka bayi tersebut bukanlah simbol dari harapan manusia, melainkan ancaman atas masa depan mereka—ia tidak ada bedanya dengan bom waktu yang menunggu saatnya meledak.
Terlepas dari asumsi mana yang benar—tentunya masih sangat sulit untuk kita jawab pada perilisan film ketiga ini—virus ini memperlihatkan kita pada titik pergeserannya yang sedang beralih dari ‘wabah sementara’ menuju penghuni ekologis permanen. Virus ini tidak lagi membahayakan inangnya, tetapi telah belajar untuk hidup dalam tubuh mereka. Keberadaan infeksi, bunting, dan kelahiran bayi ini bagi saya bukan sekadar narasi film, tetapi sebuah sinyal yang membuka mata kita tentang potensi kehidupan dari suatu virus. Sebagaimana patogen-patogen lainnya yang ada dalam kehidupan kita, virus rage sukses beradaptasi dengan lingkungannya, inangnya, dan hal-hal lain di sekitarnya. Virus tersebut tidak puas dengan pola meledak-ledak dan mulai bertahan dalam api kecil, bahkan mungkin mencoba mewarisi peradaban yang pernah ia coba hancurkan sebelumnya. Keberadaan bayi itu seolah menjadi pertanda bahwa virus rage belum selesai. Ia tidak hanya bermutasi, tetapi juga mengintegrasikan dirinya; ia tidak hanya membunuh, tetapi mulai memilih; ia bukan sekadar virus, melainkan—mungkin—fase berikutnya dari patahan evolusi manusia itu sendiri.
Mengutip salah satu tokoh di film tersebut, “Begitu kau menginjak daratan, tidak ada jalan kembali.” Hal ini sama persis dengan kotak pandora, ia menjadi metafora tentang apa yang tengah terjadi. Dengan membukanya, kita membuka segala kemungkinan masa depan yang tidak bisa ditutup kembali. Film ini mengajak kita melangkah ke dunia baru di mana batas antara manusia dan sebuah patogen menjadi kabur dan masa depan manusia tidak lagi ditentukan oleh kekuatan untuk bertahan, tetapi mungkin oleh kemampuan untuk beradaptasi dengan apa yang dulunya merupakan ancaman, yakni hidup berdampingan (koeksis) dengan apa yang disebut zombie. Pada akhirnya, zombie barangkali adalah masa depan yang membusuk, tetapi tidak pernah sepenuhnya mati.
Sebuah nasib zombie terdahulu
Di akhir pengisahan ini, kita mungkin bertanya mengenai nasib para zombie terdahulu yang bukan menjadi hunters, bloaters, atau bahkan lainnya. Di film ketiga ini, kita ditunjukkan pada nasib zombie terdahulu yang ditampilkan dengan keadaan kurus-kering dan sering kali seorang diri. Bagi saya, ini adalah metafora yang cukup tragis sebab ia menampilkan sesuatu yang memilih untuk tidak berubah di tengah derasnya virus rage yang terus bermutasi. Mereka mengingatkan kita pada sisa-wujud menyedihkan dari para zombie awal, yakni makhluk yang bahkan tidak mampu memberi makan dirinya sendiri, tidak mampu beradaptasi, serta secara fungsional telah kehilangan kapasitas mereka untuk bertahan hidup dalam dunia yang menuntut perubahan. Lebih jauh lagi, mereka adalah rupa dari kegagalan seleksi alam; dari entitas biologis yang menghadapi kebuntuan proses evolusi. Sebagaimana halnya mutasi genetik, tidak semua perubahan tentu menghasilkan keuntungan. Beberapa kehidupan mungkin berkembang dan mendominasi dengan keberhasilan penyesuaian diri terhadap kondisi baru, layaknya kita manusia—bahkan hunters dan bloaters sekalipun. Sementara lainnya, justru ada yang tertinggal dalam kebuntuan dan beralih menjadi relik dari masa lalu yang gagal.
Sebagai umpama, tubuh manusia biasa yang tidak mendapatkan asupan makanan akan kehabisan energi dalam hitungan hari ataupun minggu. Sementara itu, tubuh para zombie ini terlihat kurus-kering dengan otot-otot menyusut yang saling memakan dirinya sendiri, disertai gerakan yang sangat lamban layaknya tidak lagi memiliki tujuan. Dalam keadaan masih terinfeksi, virus rage tentu masih hidup dalam tubuh mereka. Tidak heran bila banyak dari para zombie awal yang membangkai begitu saja di tengah jalan. Namun, ada juga sebagian kecil dari mereka yang—karena sebab tertentu yang kita tidak ketahui pasti—tetap bertahan. Sayangnya, mereka sudah tidak lagi mampu menularkan, menyerang, atau bahkan mempertahankan keberadaan mereka sendiri, seolah menunjukkan ada sebagian kehidupan dari virus tersebut yang gagal mempertahankan kehidupan di tubuh inangnya.
Ketika hunters dan bloaters kita anggap sebagai potensi evolusi virus rage yang sukses, maka zombie ini adalah rupa yang gagal mengikuti zaman. Dalam tatanan evolusi, terutama virus berbasis RNA yang mampu bereplikasi dengan cepat, perubahan tidaklah berlangsung secara linear. Sebaliknya, perubahan membentuk patahan cabang: beberapa menuju keberlangsungan jangka panjang dengan tingkat penyebaran yang lebih rendah ataupun strategi penjangkitan yang lebih efektif; sementara yang lain, buntu dan menjadi relik sejarah. Kegagalan para zombie ini menyampaikan sebuah pelajaran penting tentang makna adaptasi dalam ruang-bangun evolusi. Virus rage dalam bentuk aslinya bukanlah patogen yang dirancang untuk bertahan lama. Ia adalah pemicu kehancuran cepat dengan kekacauan tidak terkendali yang menguras energi tubuh inangnya dengan cara yang brutal dan tidak berkelanjutan. Akan tetapi, saat dunia berubah dan manusia yang tersisa mulai menata kembali kehidupannya dalam isolasi, virus ini pun tampaknya mulai meninggalkan sifat destruktifnya. Ia tidak lagi berbicara tentang kehancuran, tetapi juga memikirkan tentang warisan (penerusnya) dan mulai menunjukkan tanda-tanda adaptasi demi kelangsungan hidup jangka panjang. Ia berevolusi dari alat pemusnah massal menjadi entitas yang ingin bertahan dan mungkin bereproduksi.
Keseluruhan tawaran dari film ini justru memberikan kita beberapa pertanyaan eksistensial: dalam dunia yang porak-poranda oleh virus, siapa yang sejatinya berevolusi?; ketika manusia berhasil bertahan, apakah manusia masih memegang kendali peradaban ataukah justru virus yang kini menulis ulang hukum-hukum keberlangsungan hidup? Terlepas dari semua itu, film ini menjadi pengingat bahwa, dalam proses seleksi alam, yang tidak sanggup beradaptasi (dalam bentuk atau cara apapun) akan terpinggirkan—tidak pandang bulu, baik itu manusia, virus, ataupun sesuatu di antaranya.
Referensi
Alila Medical Media. (2016). Tuberculosis (TB): Progression of the Disease, Latent and Active Infections [Internet]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=202hkf43HXQ
Evolutionary Medicine. (2018). What Are Trade Offs? Stephen Stearns [Internet]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=c7suzKoZWpE
HealthSketch. (2017). What is Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH)? [Internet]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=8IoKNxbWCfE
Insider Science. (2020). How Viruses Like The Coronavirus Mutate [Internet]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=WOVJ9XgYvac
National Geographic. (2019). “Zombie” Parasite Cordyceps Fungus Takes Over Insects Through Mind Control [Internet]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=vijGdWn5-h8
SciShow Psych. (2018). Toxoplasmosis: How Parasites in Your Cat Can Infect Your Brain [Internet]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=FNm_MjrIUAI
SciToons. (2019). Zika virus: Tracing the origins of the epidemic [Internet]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=SPilbUzIDps
The Wall Street Journal. (2016). Zika and Pregnancy: What You Need to Know [Internet]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=oxIKdwrSZZc
University of California Television (UCTV). (2021). COVID-19: The Science of How we Got Here and Where we are Headed [Internet]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=tHxDnTtHL0w
Footnotes
- Dua penamaan ini bisa jadi keliru, seiring dengan munculnya film keempat, yang mungkin dirilis di awal tahun 2026 nanti.
- Lih. lebih lanjut pada Insider Science (2020); University of California Television (UCTV), (2021).
- Hal ini mengacu pada konsep trade-off (pertukaran/barter) dalam evolusi biologi. Lih. lebih lanjut pada Evolutionary Medicine (2018).
- Secara umum congenital adrenal hyperplasia (CAH) merupakan kelainan genetik sejak lahir yang disebabkan karena mutasi suatu gen. Sehingga menyebabkan terganggunya produksi hormon yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti halnya kortisol, aldosterone, dan adrogen. Pada penderita CAH, hormon kortisol dan aldosteron tidak mampu terproduksi sehingga menghasilkan androgen secara berlebih. Lih. lebih lanjut pada HealthSketch (2017).
- Ketika toxoplasma gondii menginfeksi bagian otak, ia bisa merangsang pembentukan dopamin dalam tingkat tinggi sehingga menyebabkan berbagai kondisi mental seperti mood yang berubah-ubah, psikosis, skizofrenia, dan gangguan bipolar. Selain itu, ia juga dapat merangsang pembentukan gamma-Aminobutyric acid (GABA) yang ketika dalam jumlah berlebih berinteraksi dengan amygdala bisa menyebabkan makhluk yang terinfeksi kehilangan rasa takutnya. Lih. lebih lanjut pada SciShow Psych (2018).
- Sayangnya, jamur cordyceps tidak hanya satu, tetapi memiliki banyak varian yang memiliki kemampuan untuk menjangkit dan menularkan pada hewan spesifik. Lih. lebih lanjut pada National Geographic (2019).
- Lih. lebih lanjut pada Insider Science (2020); University of California Television (UCTV) (2021).
- Lih. lebih lanjut pada Insider Science (2020); University of California Television (UCTV) (2021).
- Tuberkulosis merupakan penyakit umum yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis dan diduga sepertiga (⅓) dari populasi manusia di dunia telah terinfeksi dengannya. Sisi baiknya, hanya sebagian kecil saja kasus infeksi tersebut yang beralih aktif menjadi penyakit. Sementara sebagian besar tetap dorman—mirip seperti tertidur—dan/atau berpotensi aktif seiring bertambahnya usia. Dalam posisi dorman, bakteri ini tidak memperlihatkan gejala ataupun berupaya menularkan ke inang lain. Sehingga ia hanya mampu menjangkit dari inang yang telah terinfeksi melalui penyebaran air di udara, misal lewat batuk, bersin, dan lainnya. Menariknya, bakteri ini dapat tetap hidup di udara selama beberapa jam. Lih. lebih lanjut pada Alila Medical Media (2016).
- Virus zika berasal dari dua spesies nyamuk, yakni aedes aegypti dan aedes albopictus. Mereka yang terinfeksi virus zika sering kali tidak menunjukkan gejala. Seandainya menunjukkan gejala, ia rentan dianggap seperti demam biasa. Dampak dari virus zika pada kehamilan dan/atau inang yang bunting adalah kecacatan, seperti ukuran kepala kecil (mikrosefalus) yang bisa mengindikasikan adanya gangguan perkembangan di otak. Selain menyebar melalui nyamuk, virus ini juga dapat menulari inang lain melalui laku seksual dengan inang yang terjangkit. Walaupun pada awalnya virus ini berasal dari nyamuk Afrika, telah diketahui bahwa nyamuk penyebab potensi mikrosefalus ini hanya ditemukan pada varian virus turunannya di Asia, sedangkan virus turunannya di Afrika tidak. Sayangnya, sampai saat ini belum ada vaksin pasti untuk virus zika. Lih. lebih lanjut pada SciToons, (2019); The Wall Street Journal (2016).