Edson Arantes do Nascimento adalah salah satu talenta terbaik dunia persepakbolaan. Seorang bocah miskin yang lahir di Tres Coracos, Brasil, pada 1940 itu mendapat nama panggilan Pelé di masa kecilnya. Nama tersebut tak memiliki arti khusus dalam bahasa Portugis yang mereka gunakan—belakangan diketahui bahwa Pelé adalah nama dewi gunung berapi dalam mitologi Hawai dan dalam bahasa Ibrani, Pelé berarti mukjizat. Pelé terlahir dengan talenta seorang seniman, akan tetapi medium berkreasinya bukan di sebuah kanvas melainkan di lapangan sepak bola. Pelé punya kemampuan ajaib untuk melesakkan bola dari sudut paling muskil sekalipun. Gayanya saat menggocek bola terlihat seolah sedang membelai alih-alih menggiringnya. Bukti sahih bahwa selama kariernya sebagai pemain, Pelé berhasil membawa Brasil menjadi Juara Dunia sepak bola sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1958 di Swedia, tahun 1962 di Chili, dan tahun 1970 di Meksiko. Berkat keberhasilannya tersebut, Brazil berhak atas Piala Jules Rimet. Pelé mendapatkan julukan O Rei atau Sang Raja. Tapi siapa sangka di balik puja-puji atasnya, Pelé juga lekat dengan perubahan paradigma perekonomian di Brazil. Pelé adalah tokoh utama globalisasi sepak bola Brazil yang berjuang membebaskannya dari aturan kotor cartolas—mafia sepak bola Brazil. Franklin Foer, mantan redaktur senior The New Republic tak segan-segan menyebut Pelé sebagai sejarah perekonomian Brazil.
Sebelum menjelaskan lebih jauh mengapa Pelé dapat menjadi pintu masuk bagi neoliberalisme di Brazil ada baiknya saya menjelaskan situasi politik dan ekonomi Brazil pada era kejayaan Pelé, yaitu tahun ’50-an hingga ‘60-an. Brazil sebagai versi ganjil dari Amerika Serikat, sebagai kebudayaan Dunia-Baru yang teramat luas dan kaya sumber daya tetapi tidak menjelma sebagai hegemoni global. Fakta pada era ’50-an hingga ‘60-an Brazil telah mengalami dinamika politik yang berbeda-beda. Pertama Brazil menikmati sederet presiden populis dari tiap periode selama 1956 hingga 1964, kedua Brazil dipimpin oleh kediktatoran militer dari tahun 1964 sampai 1985. Kediktatoran militer secara agresif memberlakukan industrialisasi paksa dan nasionalisme ekonomi dengan menaikkan tarif, membuka berbagai BUMN, dan mengadakan proyek-proyek pekerjaan umum dengan laju yang menggila. Rezim presiden Juscelino Kubitschek pada akhir ’50-an dan ’60-an memakai slogan Soviet “Pencapaian 50 tahun dalam waktu 5 tahun”. Perubahan itu membawa pertumbuhan pada PDB Brazil tahun 1961 yang mencapai 11% per tahun, sebuah angka yang fantastis pada waktu itu.
Pelé punya kemampuan ajaib untuk melesakkan bola dari sudut paling muskil sekalipun. Gayanya saat menggocek bola terlihat seolah sedang membelai alih-alih menggiringnya. Bukti sahih bahwa selama kariernya sebagai pemain, Pelé berhasil membawa Brasil menjadi Juara Dunia sepak bola sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1958 di Swedia, tahun 1962 di Chili, dan tahun 1970 di Meksiko. Berkat keberhasilannya tersebut, Brazil berhak atas Piala Jules Rimet. Pelé mendapatkan julukan O Rei atau Sang Raja.
Pelé dipakai oleh rezim sebagai simbol lonjakan ekonomi ini, para ekonom Brazil menyebutnya sebagai “Mukjizat Brazil”—bukti bahwa Brazil mampu menjadi kekuatan internasional dengan ciri khasnya sendiri tanpa meniru model asing. Pada tahun ’70-an para diktaktor memasang foto Pelé di baliho-baliho dengan slogan mereka “Tidak ada yang bisa membuat Brazil mundur sekarang!”. Pelé menjadi magnet bagi perekonomian Brazil yang mulai mengalami peningkatan, seperti negaranya, Pelé mulai mendulang banyak pemasukkan. Klubnya, Santos memberinya gaji sebesar 125.000 dolar, sebuah Volkswagen, dan rumah untuk kedua orang tuanya. Seketika itu juga ia menjadi atlet termahal pada zamannya. Namun, sayang ketika harta itu membuat Sang Maestro kaya raya, para penjilat mengerubungi uangnya bak semut mengerubungi gula.
Meskipun Pelé memiliki pemasukan yang besar, tetapi karena tak berpendidikan dan tidak kenal kerasnya dunia ia terperosok dua kali. Pertama ketika Pelé dijadikan alat penghisap uang oleh agennya sendiri Pepe Gordo, ia menguras rekening Pelé untuk rangkaian investasi bodong pada perusahaan tak jelas, yaitu serangkaian perusahaan di sektor properti yang minim peminat. Alih-alih memecat sang agen atau menggugatnya ke meja hijau Pelé malah menjadikannya pendamping mempelai pria pada pernikahannya (Foer, 2017: 118). Mungkin di zaman ini Pelé tinggal menandatangani kontrak saja dengan Real Madrid atau hengkang ke liga Tiongkok. Tapi di zamannya tahun 1960 pemerintah menyatakan bahwa Pelé adalah “kekayaan nasional yang tidak untuk diekspor.” Kedua, saat Pelé pensiun pada tahun 1974, ia memercayai para penasehat yang memintanya menjadi penjamin kredit skala besar yang akhirnya mandek. Sialnya setahun setelah pensiun, Pelé memutuskan untuk bermain sepak bola lagi dengan New York Cosmos, tim bentukan Warner Communications di Liga Sepak Bola Amerika Utara. Saat itu ia bermain selama tiga musim dengan nilai kontrak sebesar 7 juta dolar, angka yang fantastis untuk seorang pensiunan yang merumput kembali di zaman itu.
Setelah pensiun kali kedua, seiring dengan memudarnya kejayaan dirinya, kemampuan mengeruk untuk melaju dengan kecepatan yang hampir berlipat ganda. Ia menjadi simbol kapitalisme global, menjadi simbol dagang beberapa perusahaan multinasional. Foto Pelé tampil di dua juta kartu MasterCard, Viagra, Nokia, Samsung, Coca Cola, dan Petrobras telah menunjukknya menjadi juru bicara internasional mereka.
Kejatuhan Pelé mencerminkan kekeliruan-kekeliruan kediktatoran Brazil sendiri. Seperti halnya Pelé, kediktatoran menarik para ‘penghisap’ datang yang merampok aset negara. Sialnya mismanajemennya memperparah keadaan itu. Setelah huru-hara minyak tahun 1973, diktator militer memaksa penggenjotan ekonomi pada laju pertumbuhan spektakuler yang sama seperti sebelumnya. Konsekuensinya adalah anggaran belanja negara menjadi membengkak, alhasil utang negara kepada bank-bank asing meningkat. Dalam satu dekade saja pemerintah Brazil telah berhutang 40 miliar dolar (Foer, 2017: 119). Seperti sudah jamaknya bahwa hutang negara yang besar selalu membawa petaka bagi rakyatnya, pemerintah Brazil tidak bisa lagi mendanai sektor industri. Selanjutnya bisa ditebak, seretnya modal industri berdampak pada pengangguran di berbagai sektor perekonomian. Inflasi pun datang dipicu oleh pengeluaran negara dan diperparah oleh cicilan hutang. Pada akhir era kediktatoran 1985, Brazil menjadi contoh kasus terburuk sedunia dalam ketimpangan pendapatan.
Jalan yang diambil Pelé pada akhir ’70-an dan awal ’80-an berseberangan dengan pemerintah Brazil. Bersama klub anyarnya, Cosmos, Pelé berhasil makmur secara finansial. Seperti wawancaranya kepada majalah Time pada tahun 2001 bahwa negeri ‘Paman Sam’ mengajarinya, “Anda tidak bisa berbisnis dengan sanak keluarga. Anda tidak mengangkat seseorang menjadi pemimpin perusahaan hanya karena dia kawan atau saudara. Anda harus menunjuk seseorang yang cakap. Bisnis ya bisnis, Anda harus keras.” Secara sederhana Amerika telah membuatnya jadi kapitalis. Kapitalis kelas kakap malahan. Setelah pensiun kali kedua, seiring dengan memudarnya kejayaan dirinya, kemampuan mengeruk untuk melaju dengan kecepatan yang hampir berlipat ganda. Ia menjadi simbol kapitalisme global, menjadi simbol dagang beberapa perusahaan multinasional. Foto Pelé tampil di dua juta kartu MasterCard, Viagra, Nokia, Samsung, Coca Cola, dan Petrobras telah menunjukknya menjadi juru bicara internasional mereka. Tak tanggung-tanggung setiap tahun pendapatannya dilaporkan sebesar lebih dari 20 juta dolar dari sponsornya saja (Foer, 2017: 120).
Watak borjuis Pelé pun semakin terlihat jelas ketika pada tahun 1993 ia siap membeli hak tayang kejuaraan nasional Brazil dari Konfederasi Sepak Bola Brazil (CBF). Pelé seperti punya ambisi membentuk Warner Communications versi Brazil. Namun sayang hal itu tidak telaksana sebab praktik korup di CBF sudah terlalu dalam mengakar. Pelé dimintai oleh salah satu petinggi federasi untuk mengirim satu juta dolar ke sebuah rekening bank Swiss agar hajatnya lancar tanpa gangguan. Pelé menolak permintaan tersebut dan akhirnya kalah dalam kontrak. Merasa dipermalukan, ia pun melancarkan serangan balik dan membongkar skandal suapnya ini ke majalah Playboy. Sasaran serangannya ini pun tak tangggung-tanggung, yaitu presiden CBF kala itu Ricardo Teixeira. Ricardo Teixeira memang merupakan representasi cartolas par excellence. Sebagai pengacara tak terkenal, tanpa mempunyai keterlibatan apapun dengan sepak bola sebelumnya, Teixeira menduduki posisi nomor wahid persepakbolaan negeri samba. Dugaan sederhana, Teixeira mendapatkan posisi mentereng itu karena pada saat itu João Havelange yang menduduki jabatan ketua FIFA adalah mertuanya (Foer, 2017: 120-121). Selama menjabat Teixeira memperoleh mobil-mobil mewah, apartemen mewah di Miami, dan segeromboran pengawal pribadi. Ketika CBF berhutang besar-besaran, gaji Teixeira naik 300 persen.
Kritik Pelé kala itu memang pas terhadap zaman. Amerika Latin sedang berhadapan dengan transformasi yang mendalam—suatu revolusi yang lebih luas dalam memberantas korupsi. Setelah beberapa dekade kebijakan proteksionis dan inflasi, Amerika Latin siap menyingkirkan kapitalisme ala diktator militer. Kala itu para elit di Brazil memilih gaya neoliberalisme ala Washington sebagai patron. Melihat semangat yang sama dengan Pelé presiden Cardoso pada tahun 1994 mengangkatnya sebagai Menteri Luar Biasa Olahraga—kabinet kulit hitam pertama di Brazil. Satu tahun menjabat Pelé menggagas “UU Pelé”, serangkaian reformasi untuk sepak bola Brazil. UU itu mewajibkan klub beroperasi layaknya badan-badan usaha kapitalis yang transparan, dengan pembukuan terbuka dan manajer bisa dimintai pertanggungjawaban. Para pemain dibolehkan meninggalkan klub jika kontraknya habis, dan diberi hak berdiri sendiri. Pelé berharap dengan adanya regulasi tersebut dapat menarik para investor asing. Dalam sejarah kehidupan Pelé telah berubah selama tiga kali dari seorang buruh Dunia Ketiga tertindas, menjadi ikon rezim otoriter, lantas menjadi legislator kaum neoliberal.
Pelé berhasil menapaki strata sosial dari seorang bocah miskin sampai menjadi menteri bukan dengan perkara mudah. Jauh sebelum presiden Cardoso mengangkatnya ke dalam kabinet, Pelé sudah menjalin hubungan baik dengan pemerintah. Pada masa kediktatoran militer Pelé tidak protes ketika citra dirinya dipakai untuk kepentingan propaganda. Ketika masyarakat Brazil menolak melaksanakan pemilu, Pelé dengan enteng mengatakan bahwa masyarakat Brazil masih terlalu bodoh untuk memberikan suara mereka (Foer, 2017: 126). Pelé memang pandai memanfaatkan peluang baik di dalam lapangan maupun di luar lapangan. Setelah berhasil mencetuskan “UU Pelé” yang anti-korupsi dan reformasi pro-kapitalis di sidang kongres tahun 1998, ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan kembali menjadi bintang iklan yang selalu tersenyum.
Lakon yang diperankan seseorang memang dapat berubah seiring jalannya waktu, namun benar seperti yang dikatakan Voltaire bahwa dihadapan uang semua agama sama saja. Pelé bertransformasi dari seorang bocah miskin yang lihai bermain ‘si kulit bundar’ hingga akhirnya menjadi elite pemerintahan yang haus akan harta.
Selayaknya hidup tak pernah hitam atau putih, UU Pelé tak bertahan lama. Dua tahun setelah Pelé mundur dari jabatannya, lawan-lawannya menyusun undang-undang yang membatalkan reformasi-reformasi penting sebelum sempat berdampak. Para cartolas tidak perlu membuat pembukuan yang transparan atau bertanggungjawab secara hukum atas akal-akalan neraca keuangannya. Ketika berhadapan dengan kenyataan ini, Pelé sepertinya sudah pasrah, lalu pada Februari 2001 ia menggelar konferensi pers dengan musuh lamanya, Ricardo Teixeira. Seluruh Brazil pun heboh karena foto Pelé dan Teixeira berangkulan dan saling memaafkan. Kebesaran Pelé runtuh sudah. Ia tak lagi jadi rival tangguh cartolas. José Trajano, kolomnis harian olahraga Lance!, mengkritik pedas “Bersatunya Pelé dan Ricardo Teixeira adalah penghianatan terbesar bagi kita yang selama ini memperjuangkan etika dalam olahraga…Ia telah menjualnya kepada Iblis.”
Setelah konferensi pers tersebut kritik para anti-korupsi di Brazil berbalik menyerang Pelé. Jurnalis-jurnalis reformis mulai membongkar masa dinas Pelé sebagai Menteri Olahraga. Setelah ditelusuri ternyata batang tubuh “UU Pelé” disusun oleh mitra-mitra bisnisnya, yang tanpa rasa sungkan pun mereka mengakui mengharapkan keuntungan atasnya. Sepanjang musim dingin 2001 harian Folha de São Paulo menuduh Pelé mengeruk 700.000 dolar dari sebuah pertandingan amal yang digelar di Buenos Aires oleh perusahaan Pelé Sport Marketing miliknya untuk UNICEF. Pelé meresponnya dengan pura-pura tidak tahu. Ia kemudian menyalahkan mitra bisnisnya yang telah bekerja sama selama 20 tahun dan memecatnya, serta membubarkan Pelé Sport Marketing. Namun kemarahannya itu tak membuatnya mengembalikan 700.000 dolar tersebut.
Begitulah kisah seorang legenda sepak bola jagad ini. Lakon yang diperankan seseorang memang dapat berubah seiring jalannya waktu, namun benar seperti yang dikatakan Voltaire bahwa dihadapan uang semua agama sama saja. Pelé bertransformasi dari seorang bocah miskin yang lihai bermain ‘si kulit bundar’ hingga akhirnya menjadi elite pemerintahan yang haus akan harta. Seperti arti namanya Pelé merupakan sebuah mukjizat, seperti seorang santo yang idealis kemudian berjalan menuju tiang salib dengan menanggung dosa-dosa rekan bisnisnya, semua karena uang.
Daftar Bacaan:
Foer, Franklin. 2017. Memahami Dunia Lewat Sepak Bola Kajian Tak Lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi. Yogyakarta: Marjin Kiri.