Dua film terakhir Mouly punya kelebihan yang langsung keliatan: kelebihan judul. What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013), Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Judul-judul panjang kayak gitu memang ribet, jadi akronim tetep juga gak enak, tapi mungkin ada intensi estetik berlebih si mbak-mbak sutradara di situ. Semacam nunjukin nih gini lhoo judul film yang keren.
Lagian kalau dipikir-pikir, sebanyak apa sih film-film Indonesia sekarang yang punya judul panjang? Mungkin sudah saatnya diberdayakan film-film (gak cuma indie) yang judulnya ngerepotin. Biar susah tuh judulnya pas ditulis di karcis bioskop.
What They Don’t Talk referennya judul cerpen Raymond Carver—yang kalo di luar sebenernya udah jadi tradisi parodi yang banal. Marlina judulnya agak sangar, bikin lumayan kebayang rupa-rupa thriller berbabak Tarantino atau bahkan Black Mirror, yang mungkin akan dicocokkin pake stelan film Indonesia feminis yang ya… gitu deh. Di Instagramnya, Mouly menyebut Marlina menyuarakan ide Funny Feminism gitu.
Salut sih untuk seluruh tim promosi resmi maupun tidak resmi—sebut saja konco-konco Marlina yang ngiklan dan ngendorse sana-sini “Pokoknya ini film buwaaguss, problem kita-kita banget nih yang cinta kesetaraan dan kemanusiaan” apalagi setelah diputar di festival-otomatis-wow-Cannes.
Teringat 2013 waktu nonton What They Don’t Talk. Ya harus diakui waktu itu cukup menyegarkan film Indonesia; ceritanya padat dan menarik, melihat sisi lain kesehariannya orang-orang istimewa. Sempat menaruh nama Mouly dalam watchlist; kalo dia buat film sempetin nonton lagi deh.
Akhirnya kami terseret antusiasme biar bisa setara hipster-hipster Jogja, duit 40 ribu direlakan buat nonton Marlina. Plus nontonnya mesti banget pas tayang perdana di festival film lokal yaa hmm… biar afdol bergumul dalam antrean kesenian dong; terdepan dalam seni, lunglai secara ekonomi. Okesip.
***
Sepanjang nonton kami dikasih alusi Tarantino-ian kayak main basket, filmnya dibagi dalam 4 babak. Lalu kami dapat bukti kalo cowok itu (ternyata lhoo) boleh nangis, kalo solidaritas (perempuan) punya makna untuk perubahan, dan kalo cewek bisa dan boleh garang. “Nikmat kali kau ini jadi korban,” kata si penjahat Markus di babak pertama.
Kondisi perempuan Sumba yang direndahkan itu digambarkan oleh mbak-mbak sutradara—yang member kelas menengah Jakarta: cinta kesubtilan meditatif—dengan minim dialog, banyak merenung, dan muka murung plonga-plongo. Apakah perempuan Sumba seperti itu? Apa mesti pula segamblang diperkosa-lalu-membunuh sporadically di satu tempat? Apakah mediasi-mediasi kompleksitas sosial-kebudayaan menjadi “perempuan Sumba” korban patriarki segampang berani lawan laki sampai memenggal kepala? Bagaimana politik representasi bermain dalam mencitrakan kembali kondisi perempuan Sumba? Aduh ini pertanyaan-pertanyaan sok scholars banget yaelah.
Tadinya kami berharap hal-hal struggle dicari bentuk-bentuk khasnya, yang paling tidak bikin terngiang dan bikin hidup lebih tergugah untuk peka, kayak What They Don’t Talk. Ya gitulah, yang lebih dari sekadar nunjukin kalo cewek berani “lawan” laki sampe mutusin kepala dan jadi pembunuh itu (satu-satunya) simbol kemajuan yang (sepertinya sih) jadi porosnya.
Jadi berasa ada proses representasi yang dijalankan dalam kredo Politik Telur Mata Sapi; ayam yang bertelur, sapi yang punya nama. “Perempuan-perempuan Sumba” yang hidup dalam kompleksitas, ambiguitas, dan problem-problem “menjadi perempuan”. Eee… tapi… kali ini Mouly yang kasih nama –representasi- , termasuk Mouly yang sekarang punya nama (baca:reputasi). Lalu hormat dan kami untuk “perempuan Sumba” dong ya… bukan Marsha Timothy lhoo yaa……
***
Baiklah, Marlina ini lebih cocok dibuat agar penonton ikut ngelancong ke Sumba dan main kuda-kudaan bareng Marsha Timothy #VISITSUMBA2018. Ini jelas tampak pada satu-satunya adegan yang bikin gregetan, pas Marsha Timothy maen “kuda-kudaan” di atas kasur bareng mas-mas Sumba gondrong Markus.
Yang jelas ada kuda beneran, kan Marlina katanya western ala ala. Sampai-sampai mbak Magiee Lee di Variety.com ngereview dan bilang kalo: Indonesian director Mouly Surya pioneers a new genre—call it the Satay Western. Scoringnya Morricone-an lah, shot-shot jauh, dan banyak gimik koboy yang mudah kebayang bakalan muncul. Marlina Timothy tentu dong (gaperlu diprediksi) karakternya gak banyak omong karena doi didaulat pembunuh berdarah dingin, jalan-jalan naik kuda ala koboy-koboy lone wolf, panas-panasan nenteng kepala kayak bawa belanjaan rumah tangga (wow, apakah itu juga simbol feminisme?), bahkan sempet singgah “mandi koboy” (mandi tapi abis itu masih keliatan dekil).
Kalo soal taste kearifan lokal, Marlina ini lokal banget. Sampe-sampe ada adegan si penjahat bersenandung lagu lokal di sela-sela aksinya. Tapi gak jadi arif juga, karena justru jadi nunjukin payahnya film diisi konten yang pas, misalkan dengan suspense. Yang digelar melulu taste kelokalan. Layaknya si penjahat adalah orang kampung biasa yang nyanyi-nyanyi buat buang-buang waktu kampungannya.
Maunya sih ini film bakal jadi medium meleburkan globalitas-lokalitas gitulah. Tapi shot-shot jauh bentang alam sumba yang mendominasi jadi terasa gombal. Ala mata Mooi Indie pejabat kolonial yang baru menemukan dunia timur yang mengairahkan nan eksotik, alih-alih mau main dengan kompleksitas estetika lokal-global, malah jadinya iklan kementerian pariwisata #VISITSUMBA2018. Maunya menggugah kesadaran tentang problem menjadi perempuan lokal, eh jatuhnya malah ke anak-anak hype Indoeskrim kebelet pengen ke Sumba sok-sok traveller.
Bolehlah Marlina Timothy berhasil jadi koboy perempuan. Cuma aja gak makan spageti tapi makan di warung sate depan kantor polisi-polisi laki yang suka main pingpong. Adegan di warung sate Marlina ketemu–yang mungkin titisan anaknya—bocah cewek Topan bersama bapaknya yang membakar sate, bikin terharu dong yaa… kan teringat almarhum anaknya yang namanya sama Topan juga.
Sepanjang adegan di warung, Topan gak ada dialog sedikitpun sama bapaknya. Hmm… Topan malah langsung akrab dengan Marlina Timothy si perempuan misterius, sampai membantu menyimpan kotak berisi kepala di warungnya saat Marlina harus melapor polisi. Aneh gak sih (atau kami aja yang aneh?), anak-bapak pemilik warung sate ini ga ada dialog? Ini di timur lho guys (kalo masih mau pakai simplisitas Barat-Timur; Global-Lokal) di mana nuclear family relations pentingnya minta ampun. Demi Tuhan, itu hanya Mouly yang tahu.
***
Sayangnya lagi (setelah beribu sayang) baru sampai babak ketiga kami keburu mules. Jadi tambah gak tenang, kayak lagi diusik garis depan penyembah seni yang trengginas berpropaganda. Jeroan gak bisa tahan kena AC bioskop, belum makan pula. Kondisi perut udah sama banget tuh kayak shot lanskap sabana dan bukit yang gak abis-abis ditampilin; sama-sama kering, tak berdaya dan nyusahin. Maklum, yang bukan soal eksistensi memang begitu urusannya.
Tapi tetap ada pelajaran moral sebagai anak muda dunia ketiga yang terseret arus kesenian indie: Jangan gampang terprovokasi untuk jadi anak-anak terdepan dalam seni tapi lunglai secara ekonomi. 40 ribu itu buat kami yang no one but everbody cukup berharga padahal dompet tipis dan hidup mapan tara tidak datang-datang. Dan terima kasih dong telah menyajikan tontonan untuk kami yang belum mengenal Sumba. Jangankan kenal, baunya saja tidak tau!
Sudahlah, buat kalian yang emang jarang jalan-jalan dan menjadikan imajinasi eksploratif sebagai gaya hidup, yang penting jangan tergesa-gesa. Sebelum pergi jalan-jalan ke Sumba, sebagai intelektuwil produk pascakolonial, kita mesti lebih dulu punya niat ngetes-ngetes. Kayak kami dong waktu nonton Marlina, ngetes-ngetes kekecewaan.
Next schedule nabung yang rajin dan liburan ke Sumba dong, dan semoga gak ketemu Marlina Timothy.