spot_img
More

    Filsafat sebagai Permainan: Pendekatan Huizingan dan Jungian

    Featured in:

    Filsafat di ranah akademis cenderung berbentuk lebih serius dan ambisius daripada filsafat awam (folk philosophy). Namun, di balik itu, terdapat ranah estetis luas yang melatarbelakangi kegiatan berfilsafat. Pada tahun 1949, Johan Huizinga menuangkan pemikirannya mengenai permainan sebagai aspek primordial dari budaya; ia berargumen bahwa hakikat estetis manusia yang termanifestasi dalam permainan inilah yang menjadi salah satu pendorong hasil pemikiran. Sebagaimana akan kita lihat nanti, permainan dengan segala peraturan dan tujuan akhirnya adalah agen motivator yang cukup kuat dalam segala aktivitas manusia. Bagi Huizinga, berfilsafat termasuk dalam kategori aktivitas ini.

    Membawa spirit Huizingan, penulis akan mendahului tulisan ini dengan menyatakan bahwa penulis tidak mengklaim suatu superioritas aktivitas bermain, dan bahwa segala kegiatan manusia adalah bermain. Poin yang diorientasikan Huizinga bukanlah itu, melainkan budaya sampai titik tertentu nyatanya memuat karakter permainan. Dalam tulisan ini, kita akan melihat cara permainan muncul sebagai salah satu aspek kegiatan berfilsafat; terutama melalui peraturan, tujuan, dan kontestasi.

    Selanjutnya, tulisan ini akan meminjam pemikiran Carl Jung untuk menemukan kemungkinan letak motivasi untuk bermain—dan berfilsafat—itu, terutama melalui pemikirannya mengenai konsep perluasan kesadaran dan shadow. Tulisan ini pada akhirnya bisa disebut menyandang karakter metafilosofis, dengan berusaha melacak motivasi awal seseorang mulai berfilsafat menggunakan sintesis pemikiran Huizinga dan Jung.

    Filsafat sebagai Produk Budaya

    Sampai hari ini, budaya tidak memiliki definisi yang pasti. Akan tetapi, terdapat beberapa konsepsi mengenai budaya agar kemudian dapat menjadi objek studi. Salah satunya, budaya diinterpretasikan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan manusia (Kroeber dan Kluckhohn, dalam Asy’ari, 1990). Konsepsi ini memasukkan—antara lain—pemikiran, simbol, kegiatan, dan perkumpulan yang dihasilkan manusia ke dalam kategori budaya.

    Konsepsi lain juga secara tidak langsung mengindikasikan hal yang sama. Raymond Williams (dalam Barker, 2004), misalnya, mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan cara hidup”. Meskipun pemahaman Williams pada awalnya muncul akibat perhatiannya terhadap cara kelas pekerja mengonstruksi kebudayaan, konsepsinya berlaku lebih luas. Bagi Williams, makna (nilai, norma, simbol) sehari-hari merupakan fokus budaya.

    Pada umumnya, manusia mengandaikan sebuah lingkup kegiatan yang berbeda dari biasanya ketika bermain. Contoh simpelnya adalah ketika seseorang memainkan permainan video yang di dalamnya terdapat peraturan yang sama sekali berbeda dengan kehidupan nyata.

    Kedua contoh konsepsi di atas merupakan bentuk reformatif dari konsepsi kebudayaan yang muncul sebelum pandangan mereka yang dianggap terlalu sempit. Pembaca kontemporer mungkin akan terkejut mengetahui bahwa definisi budaya pada awalnya hanya bersifat metaforis dan, kemudian, politis. Kata “cultura” yang berarti bertani atau bercocok tanam digunakan sebagai metafora untuk menjelaskan pengolahan “spirit” manusia. Manusia yang spiritnya terolah kemudian dianggap lebih mulia dan “terpelihara”, sehingga sehingga memunculkan penggunaan kata “orang berbudaya” yang merujuk kepada orang-orang kelas atas (Barker, 2004). 

    Namun, para pemikir budaya menemukan kedangkalan konsepsi semacam ini sehingga konsepsi yang sebelumnya disebutkan lebih cocok untuk digunakan: budaya berperan sebagai hasil perbuatan dan kecerdasan sehari-hari manusia. Hal itu menempatkan kita kepada pemahaman yang menarik mengenai objek kajian tulisan ini, yakni tindakan berfilsafat itu sendiri. Filsafat menempati kategori yang cocok dengan konsepsi budaya kita; filsafat merupakan salah satu hasil perbuatan dan kecerdasan sehari-hari manusia.

    Aspek Permainan dalam Berfilsafat

    Konsepsi budaya apapun yang kita gunakan tidak membatasi pembahasan mengenai permainan. Menurut Huizinga, konsep permainan bersifat lebih primordial daripada budaya. Huizinga (1949, hlm. 1) menulis, 

    Play is older than culture, for culture, however inadequately defined, always presupposes human society, and animals have not waited for man to teach them their playing.

    Dengan kata lain, seluruh aspek kebudayaan sedikit banyak merupakan hasil dari kegiatan manusia dalam bermain.

    Kalimat pertama dalam buku Huizinga tersebut menyimpulkan tesis utamanya. Dia ingin mengajukan sebuah kemungkinan bahwa hakikat manusia adalah bermain. Perspektif Huizinga tersebutlah yang kita kenal hari ini sebagai istilah “homo ludens”. Tesis tersebut dapat diperdebatkan semisal dengan berargumen bahwa jika manusia dan hewan (nonmanusia) sama-sama bermain, bermain tidak dapat dikatakan sebagai hakikat unik manusia. Namun, perdebatan tersebut tidak akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Penulis akan fokus pada aspek primordialitas permainan dalam kegiatan manusia.

    Dalam kerangka berpikir tersebut, kita perlu berhati-hati agar tidak jatuh ke perangkap reduksionisme semacam: seluruh kegiatan manusia hanyalah permainan. Huizinga tidak pernah berargumen demikian. Bahkan, sebaliknya, permainan justru adalah sebuah peralihan dari kegiatan manusia pada umumnya.

     Play is rather a stepping out of “real” life into a temporary sphere of activity with a disposition all of its own.

    (Huizinga, 1949, hlm. 8). 

    Permainan tidak mungkin menjadi keseluruhan kegiatan manusia karena manusia bermain agar “keluar” dari kegiatannya yang biasa. Pada umumnya, manusia mengandaikan sebuah lingkup kegiatan yang berbeda dari biasanya ketika bermain. Contoh simpelnya adalah ketika seseorang memainkan permainan video yang di dalamnya terdapat peraturan yang sama sekali berbeda dengan kehidupan nyata.

    Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah keseriusan tidak sepenuhnya terlepas dari permainan. Banyak dari kita akan secara terburu-buru mengekuivalenkan permainan dengan canda tawa, kepalsuan, dan sebagainya. Padahal, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang betul bahwa sering kali permainan yang dilakukan manusia akan menghasilkan keseruan—dan para pemain tentu mengetahui bahwa itu “hanyalah permainan”. Namun, bukan berarti keseriusan tidak bisa melekat dalam permainan. Bahkan, banyak sekali kegiatan bermain manusia yang dilakukan dengan penuh kesungguhan, seakan-akan mereka mempertaruhkan hidup dan mati. Itulah alasan seorang pesepak bola dapat merasa marah kepada lawannya dan seorang atlet catur dapat merasa kecewa berat atas performanya di atas papan, misalnya. Pemahaman bahwa permainan hanyalah sebuah lingkup kegiatan temporer tidak melulu mengharuskan para pemain untuk tidak bersikap serius. 

    The consciousness of play being “only a pretend’” does not by any means prevent it from proceeding with the utmost seriousness.

    (Huizinga, 1949, hlm. 8).

    Hal ini membawa kita kepada kegiatan berfilsafat. Filsafat, sebagai produk budaya, juga memiliki aspek permainan. Huizinga banyak mencontohkan berbagai bentuk permainan dalam filsafat Yunani kuno, terutama yang dilakukan oleh kaum sofis. Para sofis melakukan permainan dalam dua bentuk: “eksibisionisme megah” dan “aspirasi kompetitif” (Huizinga, 1949, hlm. 146). Secara esensial, para sofis menampilkan filsafat mereka sebagai bentuk pertunjukan dan ajang saling menjatuhkan. Retorika atletis yang mereka gunakan menjadi senjata utama untuk memenangkan perdebatan.

    Acap kali, agar seorang filsuf dapat diterima atau bahkan diberi kesempatan untuk menuangkan pemikirannya, dia harus mengikuti tuntutan filsuf sebelumnya yang telah memiliki “kekuasaan” di dunia akademis dan yang, dengan kata lain, menetapkan aturan main.

    Namun, filsafat masa kini sudah jauh melampaui kegiatan berfilsafat para sofis, bahkan sejak Sokrates. Filsafat tidak lagi dianggap sebagai pertunjukan kecerdikan dan retorika; malah justru kembali kepada etimologi awalnya sebagai pencarian kebijaksanaan. Filsafat telah melampaui dimensi estetis dan menapaki dimensi epistemis dan etis—setidaknya sampai batas tertentu. Apakah kriteria permainan Huizinga tidak lagi relevan di sini?

    Kegiatan filsafat sejatinya tidak berubah dari masa para sofis hingga kini, meskipun tentu kita tidak lagi memandang filsafat hanya sebagai hiburan. Ketika para filsuf berfilsafat, mereka memiliki tujuan untuk mendekati suatu kebenaran tertentu. Hal itu tidak dapat dimungkiri; tetapi seperti yang telah disampaikan sebelumnya, keseriusan sebuah aktivitas tidak menandakan bahwa aktivitas tersebut bukan permainan. Sebagai kegiatan yang dianggap serius oleh para filsuf, filsafat belum sepenuhnya lepas dari konsepsinya sebagai permainan.

    Konsepsi tersebut kemudian diperkuat dengan mempertimbangkan satu aspek penting dalam permainan, yaitu peraturan. “All play has its rules”, kata Huizinga (1949, hlm. 11); dan filsafat tidak lepas dari hal ini. Peraturan dalam kegiatan berfilsafat jatuh pada dua hal, yakni (1) logika dan (2) kesepakatan para filsuf. Posisi logika dalam kegiatan berfilsafat cukup mudah dimengerti. Seorang filsuf mengekang dirinya sendiri dalam suatu logika tertentu, entah hasil pemikirannya merefleksikan hal itu atau tidak. Tentu dia dapat keliru dalam logikanya sendiri, tetapi sulit dikatakan dia menciptakan kekeliruan tersebut secara sengaja. Pilihan sadar seorang filsuf untuk tetap menjaga dirinya dalam sebuah kerangka berpikir tertentu, yang seringkali implisit, membuatnya terikat dalam sebuah peraturan permainan.

    Peraturan kedua yang diikuti seorang filsuf adalah konsensus implisit dengan filsuf lain. Jika seorang filsuf bertindak di luar kesepakatan, dia tidak akan dianggap valid oleh filsuf lain sehingga dia akan berusaha untuk memperhatikan hal ini. Hal ini kentara di dunia filsafat kontemporer, ketika filsafat berada pada ranah akademis murni. Acap kali, agar seorang filsuf dapat diterima atau bahkan diberi kesempatan untuk menuangkan pemikirannya, dia harus mengikuti tuntutan filsuf sebelumnya yang telah memiliki “kekuasaan” di dunia akademis dan yang, dengan kata lain, menetapkan aturan main.

    Aspek lain yang patut disadari dari permainan adalah “the urge to be first” atau, singkatnya, keinginan untuk menang. Inilah aspek terujung dari sebuah aturan permainan oleh sebab permainan selalu memberikan sebuah tujuan akhir bagi para pemain. Aspek tujuan bersifat niscaya bagi sebuah permainan untuk menandakan ciri temporer yang telah disebutkan di atas. Sebuah permainan tidak mungkin berjalan selamanya; ia memiliki titik awal dan akhir. Pemain dapat keluar dari lingkup kegiatan sementara dari permainan dan kembali ke dunia “biasa”. Tujuan akhir itu dapat berupa apapun, baik mengalahkan final boss maupun mencapai sebuah garis finish.

    Hal ini juga berlaku dalam kegiatan berfilsafat. Seorang filsuf tidak bertindak tanpa alasan. Dalam berfilsafat, tujuannya dapat berupa sesimpel mencari kebenaran. Filsuf lain, contohnya, menulis untuk mengkritik dosen filsafatnya di perkuliahan. Pencarian uang dan status juga termasuk dalam maksud penjelasan ini. Seorang filsuf dalam kenyataannya tidak lepas dari hal-hal tersebut. Huizinga menyebutkan bahwa cara manusia berkompetisi demi mencapai superioritas muncul dalam berbagai bentuk, termasuk mendapatkan pengetahuan. Aspek pencapaian superioritas dengan mengalahkan filsuf lain dalam adu argumen menonjol dalam kegiatan berfilsafat bahkan hingga kini. Para filsuf melakukan kontestasi dengan satu sama lain, misalnya dengan saling menanggapi tulisan atau mengadakan debat terbuka. Semuanya demi mencapai tujuan dalam permainan berfilsafat.

    Kontestasi dan Dialektika dalam Filsafat

    Hasrat bersaing untuk secara sukarela terlibat dalam suatu kontestasi merupakan bukti bahwa bermain merupakan satu sifat primordial manusia. Orang-orang tidak terdorong untuk mengerahkan intensitas yang tinggi untuk bermain selain karena terdapat pemain lain yang akan melakukannya lebih baik—sebagaimana kembali kepada pemahaman atas the urge to be first. Dengan demikian, kontestasi menjadi aspek penting dalam permainan. Jika pemain menanggapi permainan secara serius, artinya dia menyadari kontestasi yang sedang dihadapinya. Hal yang terpenting dalam permainan bukanlah tentang dampak nyata dari kemenangan seorang pemain, melainkan kesempatan untuk mengekspresikan diri dan mengetahui bahwa dirinya telah melakukan sesuatu dengan baik atau perlu melakukannya lebih baik.

    Banyak orang memahami bahwa sikap “tidak perlu serius dan cukup bersenang-senang” merupakan kaidah dalam kegiatan bermain. Meskipun demikian, eksistensi kontestasi sejatinya adalah salah satu aspek yang ada dalam permainan. Keberadaan aspek kontestasi ini memicu keseriusan, sehingga memahami permainan sebagai lingkup “aktivitas yang tidak serius” perlu kembali dipertanyakan. Bagaimana kontestasi bisa terjadi dalam permainan? Pertama, kontestasi bisa jadi terkait dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang kompetitif dan selalu memiliki kebutuhan untuk memenangkan rivalitas (the urge to be first).  Kedua, kontestasi bisa terjadi akibat sifat permainan partikular yang sedang dimainkan. Keduanya dapat dipertimbangkan karena perbedaan antara kegiatan manusia pada umumnya dengan bermain adalah permainan selalu memiliki prinsip-prinsip dasar yang mendatangkan keinginan untuk berkontestasi dari manusia yang kompetitif. Bagi Huizinga (1949, hlm. 2), salah satu prinsip permainan adalah sebuah hasrat untuk mendominasi atau berkompetisi (desire to dominate or compete).

    Untuk memahami yang pertama, bayangkan suatu permainan dengan tantangan yang sulit untuk diselesaikan. Dalam prosesnya, mungkin akan terasa melelahkan; tetapi jika tantangan itu berhasil dilewati, muncul kesenangan tersendiri. Sejujurnya, sulit bagi kita untuk benar-benar menunjuk satu hal yang membuat hasrat kita terdorong untuk bermain. Kita bahkan senang bermain meskipun sering kali tidak mendapatkan keuntungan eksternal darinya. Huizinga menyebut ini sebagai disinterestedness of play ‘ketidaktertarikan atas permainan’, yakni bahwa keuntungan eksternal tidak niscaya bagi kegiatan bermain. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia selalu ingin terlibat dalam kontestasi dan bersukarela untuk bermain. Kemenangannya dalam permainan sering kali tidak melibatkan pemenuhan kebutuhan eksistensial atau peningkatan status sosial, melainkan ia bermain karena itu merupakan permainan.

    Untuk memahami yang kedua, kita harus menyelidiki dan memperhatikan kesamaan yang dapat kita temukan dalam berbagai macam bentuk permainan. Permainan selalu memiliki komponen utama; seperti tujuan (goals), peraturan (rules), tantangan (challenges), dan interaktivitas (interactivity) (Schell, 2008). Hal ini merupakan konsepsi yang lebih modern daripada Huizinga, tetapi poin utamanya tetap relevan. Berawal dari pengonsepan tujuan (goals) permainan, kita akan mendapatkan skema untuk meletakkan masing-masing komponen lain dengan sesuai. Alhasil, terbentuklah arena permainan dengan sejumlah peraturan berdasarkan hubungan antarkomponen dan variabel-variabel lain yang ditambahkan (logika permainan). Suatu permainan akan semakin menarik dan menantang apabila mengikuti formulasi variabel-variabel dan keempat komponen tersebut. Variabel yang dimaksud di sini adalah segala hal yang dapat dimanfaatkan pemain sebagai sarana untuk menanggapi keempat komponen tadi (mekanisme permainan). Hal ini merupakan aspek penting dalam permainan oleh karena menjadi faktor yang dapat menimbulkan kontestasi hingga kemudian memicu keseriusan sekaligus kesenangan. Contoh komponen utama dan variabel di atas dapat diilustrasikan melalui kasus sebagai berikut. Tujuan (goals) dari permainan sepak bola adalah mencetak gol sebanyak mungkin dengan berbagai peraturan (rules) yang harus dipatuhi dan tantangan (challenges) seperti batas waktu permainan dan pemain lain sebagai lawan yang juga berusaha mencetak gol (interactivity). Variabel yang bisa ditemui dalam sepak bola adalah teknik menendang bola, teknik mengecoh lawan, teknik menjaga stamina, dan sebagainya. 

    Jung berpendapat bahwa setiap kemajuan suatu budaya, secara psikologis, merupakan upaya perluasan kesadaran.

    Mari kita coba membawa kerangka permainan tersebut untuk diterapkan pada aktivitas berfilsafat dan melihat kemungkinan kontestasi hadir di dalamnya. Terkadang, para filsuf berfilsafat dengan cara yang sama dengan bermain. Mereka sebagai pemain hadir secara sukarela dan menghabiskan waktu untuk mencoba mencari solusi terhadap persoalan filosofis dan membawa penemuan mereka ke dalam arena perdebatan. Ajang diskursus kemudian terjadi untuk menemukan gagasan yang dapat bertahan setelah menerima berbagai sanggahan. Terlebih, jika sejarah filsafat terdiri dari sejarah perdebatan pemikiran manusia, kontestasi tampak menjadi sebuah faktor di baliknya. Para filsuf berkontestasi dalam filsafat dengan terlibat dalam dialektika. Dialektika bisa kita pahami sebagai satu set permainan serta prinsip-prinsip, di antaranya: memiliki tujuan (goals) untuk mencapai kebenaran; terdapat peraturan (rules) yang perlu dipatuhi oleh para filsuf, seperti logika dan konsensus dalam komunitas ilmiah; terdapat tantangan (challenges), yaitu menghadapi pemikiran lain yang telah eksis sebelumnya; dan pertukaran pendapat antarfilsuf (interactivity).

    Kontestasi dan Kebudayaan dalam Jung

    Kita dapat memperhatikan letak aktivitas bermain di antara berbagai macam aktivitas lain dalam kehidupan manusia; dan kita akan menemukan suatu wilayah yang terpisah. Wilayah terpisah ini kita temukan dengan memahami perbedaan cara aktivitas bermain dan aktivitas biasa yang umumnya menjanjikan sesuatu kepada pelakunya. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, permainan adalah sebuah peralihan dari kegiatan manusia secara umum dilakukan untuk bersenang-senang; beristirahat di sela formalitas kehidupan; dan mendapatkan kepuasan dari kemenangan yang dijanjikan dalam permainan. Kita telah melewati penjelasan yang cukup panjang mengenai kontestasi sebagai elemen yang memicu urgensi untuk menjadi pemenang, dan menuntut pemain untuk mengerahkan sebanyak mungkin tenaga. Hal ini kemudian berkaitan dengan komponen-komponen utama dalam permainan yang memberikan skema bagi permainan itu sendiri. Pada gilirannya, skema ini menghasilkan lapangan untuk berkontestasi (bounded space) bagi pemain. 

    Kajian-kajian psikologi biasanya menunjuk aktivitas bermain sebagai cara mengembangkan dan meningkatkan kemampuan manusia dalam memecahkan masalah, memproses informasi, dan mengendalikan stres. Spinka, Newberry, dan Bekoff (2001) mengatakan bahwa permainan bagi mamalia adalah suatu latihan atas sesuatu yang tak terduga (training for the unexpected). Hal ini dikarenakan permainan membiasakan pikiran untuk secara bebas melihat segala hal yang bisa digunakan sebagai cara menyelesaikan tantangan, sebagai sesuatu yang tak terduga (the unexpected). Jika kita mengingat kembali komponen utama dari permainan, kita akan menyadari bahwa situasi dalam permainan seringkali mengharuskan sikap spontanitas, fleksibilitas, dan kerja sama. Jika lawan bermain dalam sepak bola adalah juara bertahan yang telah mengalahkan banyak klub sepak bola lainnya, tidak ada cara lain untuk mengantisipasi “the unexpected” selain dengan berlatih untuk setidaknya menjadi lebih gesit, waspada, dan berani. Semua ini bisa menstimulasi mental seseorang melalui aktivitas yang dilakukan secara antusias tanpa paksaan dari luar, seperti bermain.

    Manusia, baik orang dewasa maupun anak-anak, melibatkan diri mereka dalam permainan dengan motivasi intrinsik; tidak ada dorongan dari luar yang memutuskan mereka untuk bergabung. Oleh karena itu, permainan merupakan aktivitas yang berbentuk self-directed ‘pengarahan diri’, yakni peraturan dan cara bermain diandaikan oleh pemain itu sendiri. Hal tersebut adalah alasan aktivitas bermain menjadi aktivitas yang berada di luar “kehidupan nyata”. Melalui perspektif psikologi, kita tidak hanya memahami aktivitas bermain sebagai aktivitas yang dapat memberikan manfaat bagi perkembangan psikis manusia, tetapi juga menunjukkan poin penting terkait pernyataan Huizinga bahwa permainan secara fundamental lebih tua dari kebudayaan.

    Psikologi memahami kebudayaan dengan memosisikan gejala psikis manusia sebagai faktor utama. Jung berpendapat bahwa setiap kemajuan suatu budaya, secara psikologis, merupakan upaya perluasan kesadaran. Dalam psikologi analitik, arketipe-arketipe dilihat sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tindakan manusia dan memiliki kedudukan tertentu dalam praktik kebudayaan, doktrin keagamaan, mimpi, dan gambaran imajinatif dari benak seseorang. Ketidaksadaran kolektif (collective unconscious) merupakan topik sentral dalam psikologi Jung. Menanggapi hal itu, Jung (1960, hlm. 212) berpendapat, 

    The collective unconscious contains the whole spiritual heritage of mankind’s evolution, born anew in the brain structure of every individual.

    Ketidaksadaran kolektif merupakan segmen terdalam dari struktur psikis manusia yang melebihi ketidaksadaran personal, dan menghubungkan setiap individu melalui hubungan intersubjektif. Ketidaksadaran kolektif menjadi alasan beberapa orang dapat memiliki kecenderungan atau kesukaan yang sama dan asal-usul kemunculan suatu kebudayaan. Perkembangan budaya berawal dari kemampuan seorang individu untuk dapat mengontrol ego dalam dirinya dan meraih konten dalam ketidaksadaran kolektif yang merupakan sumber dari warisan-warisan spiritual nenek moyang manusia selama perjalanan evolusi. Kemampuan inilah awal dari segala aktivitas kreatif yang memungkinkan manusia untuk menciptakan kebudayaan.

    Jika gagasan ini disandingkan bersama konsepsi Huizinga terhadap kebudayaan sebagai produk bermain, maksud dari upaya perluasan kesadaran dapat kita pahami sebagai cara meningkatkan level dalam permainan. Kebebasan memanfaatkan situasi yang terbatas dalam permainan adalah salah satu hal yang dibutuhkan untuk melakukan perluasan kesadaran. Tentu, bermain bukan satu-satunya cara manusia dapat memperluas kesadarannya, tetapi ia merupakan cara yang efektif karena memiliki insentif dan tidak begitu kaku. Dalam permainan bergenre role playing game (RPG), kita dapat menemukan bahwa ketika seorang pemain harus menyelesaikan suatu quest untuk mendapatkan experience point (XP) nyatanya diperlukan level-up ‘peningkatan level’ dan pengembangan atribut-atribut dari karakter yang dimainkan supaya dia bisa membuka wilayah baru dalam peta permainan. Di samping itu, sang pemain juga perlu menyelesaikan quest lainnya dengan lebih baik untuk mampu menghadapi final boss sebagai puncak dari permainan. Jika diterjemahkan dalam konsepsi kebudayaan Huizinga, kita dapat melihat perjalanan panjang seseorang dalam melakukan aktivitas bermain yang memberikan akselerasi dalam mengembangkan pikiran atau, dalam istilah Jung, memperluas kesadaran. Hal ini menegaskan homo ludens sebagai satu kualitas primordial manusia.

    Dalam gagasan ketidaksadaran kolektif, Jung mengusulkan sesuatu yang dapat membantu menjelaskan asal-usul dari keinginan berkontestasi. Gagasan ini ialah shadow yang merupakan bagian dari konten ketidaksadaran kolektif. Shadow berisikan kualitas primitif-negatif yang tersimpan jauh di dalam diri seseorang sebagai konsekuensi dari keberadaan suatu kepribadian yang diinginkan. Bagian gelap dalam kepribadian ini tidak dapat dengan mudah disadari pada diri setiap orang oleh sebab tidak semua orang bersedia mengakui shadow sebagai bagian dari keseluruhan kepribadian yang dia miliki. Jung dalam Psychology and Religion (1938, hlm. 93) menulis, 

    Everyone carries a shadow, and the less it is embodied in the individual’s conscious life, the blacker and denser it is. 

    Kontestasi seringkali dipahami sebagai persaingan antara dua orang dalam suatu sengketa. Hal ini terjadi ketika setiap pihak begitu terganggu akan kemungkinan bahwa lawan di hadapan mereka memiliki kapabilitas lebih unggul dan kemudian terdorong untuk membuktikkan bahwa hal itu salah. Dalam perspektif Jungian, alih-alih melihatnya sebagai upaya dua orang atau lebih untuk saling mengalahkan, kontestasi dipahami sebagai tindakan konfrontasi seorang individu terhadap shadow dalam dirinya setelah tersadarkan oleh keberadaan lawan yang dia pikir memiliki kualitas yang diinginkan olehnya.

    Perdebatan antarfilsuf adalah contoh yang juga bisa kita kontekstualkan dari eksplanasi di atas. Filsuf A mengajukan sebuah argumentasi dan filsuf B menyampaikan bantahan untuk menunjukkan kelemahan dari argumentasi filsuf A, sehingga memicu filsuf A untuk mempertahankan argumentasi yang dikatakan sebelumnya dan seterusnya. Cara umum untuk memahami kontestasi sejenis ini adalah bahwa terdapat dua pihak yang berusaha saling menguatkan pendapat. Akan tetapi, cara itu tidak memberikan penjelasan mengenai hal yang terjadi di dalam diri masing-masing pihak setiap kali mereka berusaha mempertahankan argumentasi, terutama dorongan untuk terlibat dalam suatu kontestasi. Dalam perspektif Jungian, faktor internal menjadi fokus utama dalam menggali penjelasan terkait fenomena tersebut. Hal yang mereka lakukan dalam perdebatan tersebut sesungguhnya adalah memperluas kesadaran mereka melalui konfrontasi terhadap shadow dengan membayangkan hal yang mungkin akan dilakukan oleh seseorang dengan kepribadian yang berkebalikan dan berusaha untuk sadar akan semua itu demi mengantisipasi kesalahan yang bisa saja timbul secara tidak sadar. Jung (1989) pada akhirnya menjelaskan bahwa 

    Everything that irritates us about others can lead us to an understanding of ourselves.

    Kesimpulan

    Filsafat adalah permainan sejauh filsafat memiliki peraturan, tujuan, dan kontestasi. Mempertimbangkan ketiga hal tersebut, kita menyadari bahwa aktivitas berfilsafat juga tidak jauh dari sebuah hakikat permainan. Para filsuf, terutama kalangan akademisi, menyediakan bounded space ‘ruang terbatas’, yakni sebuah medan dengan berbagai kekangan dan target sebagai tempat interaktivitas antarfilsuf terjadi. Dalam ruang terbatas yang dibentuk oleh konsensus implisit ini, semua orang, termasuk mereka sendiri, dapat berfilsafat secara lebih terstruktur. Semua filsuf harus mengikuti kekangan ruang terbatas ini agar dapat mempertahankan status mereka sebagai filsuf.

    Pada akhirnya, pelacakan motivasi awal kegiatan berfilsafat menunjuk kita pada dua poin. Poin pertama adalah permainan. Dengan kata lain, kegiatan berfilsafat memberikan sekumpulan insentif bagi para filsuf yang menggerakkan mereka untuk tetap melakukannya. Kita tidak perlu menunjuk secara definitif bentuk insentif tersebut, entah itu kebenaran, status, atau hal lainnya. Hal yang pasti adalah bahwa filsafat memberikan tujuan dan kontestasi bagi para filsuf.

    Namun, penjelasan ini masih belum cukup mendasar. Apa yang membuat para filsuf ingin mengejar tujuan dan melakukan kontestasi? Hal tersebut dapat dijelaskan menggunakan poin kedua, yakni upaya perluasan kesadaran. Realisasi diri para filsuf dilakukan dengan kontestasi akibat shadow mereka. Masing-masing dari kita memiliki sifat negatif yang tidak ingin kita akui dan itu muncul, baik dalam diri kita maupun kontestan lain, ketika kita berkontestasi. Dengan begitu, kegiatan berfilsafat memberikan kesempatan bagi para filsuf untuk memahami diri mereka lebih lanjut.

    ______________________
    Referensi

    Asy’ari, A. (1990). Kuliah-Kuliah Filsafat Kebudayaan dan Soal-Soal Abad Ke-XX. Yayasan Tri Bhakti Nusantara.

    Barker, C. (2004). Cultural Studies: Teori & Praktik. Kreasi Wacana.

    Huizinga, J. (1949). Homo Ludens: A Study of the Play-element in Culture. Routledge & Kegan Paul.

    Jung, C.G. (1938). Psychology and Religion. Yale University Press.

    Jung, C. G. (1960). The structure of the psyche. (R. F. C. Hull, penerj.). Dalam H. Read dkk. (Eds.), The Collected works of C. G. Jung: Vol. 8. The Structure & Dynamics of the Psyche (2nd ed., hlm. 186-213). Princeton University Press.  (Karya asli terbit 1931)

    Jung, C. G, dan Jaffe, A. (Ed.). (1989). Memories, Dreams, Reflections (rev. ed.). (R. Winston & C. Winston, penerj.). Vintage Books. 

    Schell, J. (2008). The Art of Game Design: a Book of Lenses. Morgan Kaufmann.

    Spinka, M., Newberry, R. C., dan Bekoff, M. (2001). Mammalian Play: Training for the Unexpected. The Quarterly Review of Biology, 76(2), 141-168.

     

    Authors

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...

    Metalearning? Di Balik Cognitive Load Theory

    Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang...

    Kultur Toksik Pengabdian Kampus: Mempertanyakan Kembali Makna Keberlanjutan

    Pengabdian kepada masyarakat merupakan serangkaian pola pikir dan tindakan dengan dasar sukarela untuk membantu korban dari...