“There is no limit to the human imagination-
to our ability to redescribe an object, and thereby contextualize it.”
-Richard Rorty
Klaim saya seperti ini: setiap hasil bermula dari imajinasi. Untuk melakukan dan mencapai sesuatu, seseorang harus membayangkan tujuan dan langkah-langkah apa yang harus ditempuhnya. Seorang arsitek memulai dengan mengimajinasikan bangunan tertentu yang hendak dibuatnya, menggambarnya dalam sketsa, dan kemudian mewujud-nyata-kannya dalam kerja sama dengan para insinyur. Seorang koki memulai dengan membayangkan makanan seperti apa yang akan dimasaknya. Setelah itu ia menyiapkan, membeli bahan-bahan, dan meraciknya menjadi sesuatu yang telah dibayangkannya. Seorang murid SMP atau SMA yang hendak mengerjakan soal Matematika, tentang luas dan volume bangun ruang, tentu mengimajinasikan dan menggambar secara detail tiap informasi yang didapatnya.
Dari beberapa paparan contoh tersebut, tampak bahwa imajinasi atau proses membayangkan mengambil peran yang cukup penting dalam hidup manusia. Dari hal-hal yang sederhana hingga hal-hal yang kompleks, imajinasi ada. Berdasarkan hipotesis awal ini, tentu dapat ditarik beberapa pertanyaan turunan: Mengapa imajinasi berperan penting dalam kehidupan manusia? Bagaimana cara melatih, mendidik, dan membiasakan kemampuan berimajinasi?
Di dalam dunia imajinasi, tidak demikian adanya. Seseorang mampu mengeksplorasi dirinya dan menunjukkan autentisitas refleksinya tanpa takut dibatasi dan dihakimi oleh siapapun.
Letak Imajinasi
Imajinasi berada dalam titik mula sebuah proses atau rangkaian panjang perjalanan untuk melakukan atau membuat sesuatu. Dengan kata lain, imajinasi merupakan sebuah persiapan yang perlu dibuat sebelum seseorang melakukan sesuatu atau bertindak nyata berdasarkan apa yang sudah diimajinasikannya. Ibarat kunci, imajinasi adalah kunci yang dapat membuka pintu ke alam realitas nyata. Dalam dunia imajinasi, seseorang bebas menciptakan apa saja sesuai dengan kreativitasnya. Tidak ada batasan-batasan yang dapat melarangnya.
Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Why Literature Matters”, Tim Gillespie mengutip dengan indah kata-kata dari Presiden Bill Clinton. Beliau berkata, “Children can’t be expected to live a life they can’t imagine.”[1] Apa yang ingin disampaikan oleh Tim kiranya jelas. Imajinasi mengambil peran yang penting dalam hidup. Apalagi, bagi anak-anak, mereka akan kesulitan menjalani hidup yang tidak dapat mereka imajinasikan. Mengapa demikian? Sebab mereka hidup dari imajinasi. Imajinasilah yang mendorong mereka untuk mampu berjuang dalam hidup mereka. Daya imajinasi inilah yang terus perlu dipupuk dan dirawat hingga tumbuh dewasa. Daya imajinasi tidak pernah menjadi milik anak-anak semata.
Dunia imajinasi sarat akan kebebasan diri yang autentik. Dalam titik tertentu, hal ini tentu sama sekali berbeda dengan dunia realita. Di dalam dunia realita, seseorang mungkin akan dibatasi oleh sekat-sekat yang ada, misalnya nilai sosial masyarakat, nilai agama, dan sebagainya. Batasan-batasan tersebut mungkin membuat seseorang tidak mampu dan tidak mau mengekspresikan dirinya secara bebas. Di dalam dunia imajinasi, tidak demikian adanya. Seseorang mampu mengeksplorasi dirinya dan menunjukkan autentisitas refleksinya tanpa takut dibatasi dan dihakimi oleh siapapun.
…selalu ada sesuatu yang baru yang dihasilkan melalui imajinasi-imajinasi yang tidak terbatas. Maka, tidak heran mengapa hasil-hasil karya anak-anak yang penuh dengan imajinasi selalu ada di luar ekspektasi orang dewasa.
Peran Sastra dalam Mendidik Imajinasi
Seringkali, kemampuan imajinasi seseorang diandaikan ada begitu saja. Semua orang diandaikan memiliki daya imajinasi, sehingga tahu ke arah mana ia harus bergerak atau tindakan apa yang harus diambilnya. Padahal, tidak demikian adanya. Apabila kemampuan imajinasi tidak pernah dilatih, lama-lama ia akan tumpul dan mati. Dengan demikian, jalan keluarnya menjadi cukup jelas, yakni terus-menerus melatih kemampuan imajinasi bahkan sejak usia dini.
Untuk dapat melatih imajinasi, sastra mengambil peran yang cukup jelas dan pasti. Sastra membantu seseorang untuk semakin akrab dengan imajinasinya. Dalam bentuknya yang sederhana, dalam pendidikan membaca dan menulis, kemampuan imajinasi seorang anak akan diasah terus-menerus. Dengan membaca, anak akan dilatih untuk mengenal kata-kata deskriptif sekaligus juga batasan-batasan yang dibuatnya. Kata-kata membuat mereka keluar dari batasan itu, menghadirkan sendiri imajinasi untuk membayangkan apa yang baru saja dibacanya. Dengan menulis, anak belajar untuk merealisasikan imajinasinya. Apa yang ada dalam angan-angannya diwujudnyatakan sehingga orang lain mampu melihat dan menikmati sesuatu yang ada dalam imajinasinya.
Seorang filsuf Amerika bernama Maxine Green, sebagaimana dikutip oleh Margaret Meek Spencer, mengatakan dengan cukup indah apa itu imajinasi. Maxine Green mengatakan, bahwa melalui imajinasi kita dirangsang untuk menghasilkan kebaruan atas pemahaman dan pengetahuan kita sendiri.[2] Dengan kata lain, selalu ada sesuatu yang baru yang dihasilkan melalui imajinasi-imajinasi yang tidak terbatas. Maka, tidak heran mengapa hasil-hasil karya anak-anak yang penuh dengan imajinasi selalu ada di luar ekspektasi orang dewasa.
Cukup memprihatinkan rasanya melihat sebuah fenomena bahwa generasi muda saat ini “tumbuh lebih cepat” daripada yang seharusnya.
Tantangan yang Dihadapi
Boleh jadi, selama ini pendidikan sastra telah diupayakan dalam berbagai kalangan dan di setiap kesempatan, baik formal maupun non formal. Dalam kesempatan formal, anak-anak tentu dididik di bangku sekolah melalui pelajaran-pelajaran sastra yang diterimanya. Di luar itu, mereka tentu dapat mengakses sendiri karya-karya sastra yang dapat mengasah imajinasi mereka. Meski demikian, usaha ini tidak lantas berjalan mulus begitu saja. Saat ini terdapat beberapa tantangan yang kiranya perlu dihadapi dan ditanggulangi, agar pendidikan sastra yang melatih imajinasi terus-menerus dapat dikembangkan dan dilanjutkan.
Pertama, kemajuan teknologi dan informasi di era digital. Di satu sisi, kemajuan teknologi dan informasi membawa pengaruh yang baik bagi generasi muda saat ini. Akan tetapi, di sisi lain, ekses yang dibawanya adalah mentalitas mudah bosan yang cenderung tertanam dalam diri generasi muda. Generasi muda di era digital ini terbiasa dengan begitu banyak tawaran informasi yang tersedia dalam gawai atau komputer mereka. Ketika tidak suka dengan suatu informasi, mereka dengan mudah menggantinya dengan yang lain. Kalau hal ini tidak diatasi, daya tahan generasi muda untuk bertahan, menikmati, mencecap, dan menghasilkan karya sastra lama-kelamaan akan luntur. Rasa (perasaan) tidak lagi (mudah) peka, ketika diharuskan berjumpa agak lama dengan proses pendidikan sastra.
Kedua, masih terkait dengan tantangan pertama, yakni tidak populernya lagi budaya membaca dan menulis, yang dalam hemat saya merupakan bentuk pendidikan sastra yang paling sederhana. Ada berbagai hal menarik lainnya yang saat ini dapat menggantikan kegiatan membaca dan menulis. Sebut saja, bermain komputer dan menonton televisi. Kedua kegiatan ini tentu saat ini dengan mudah dapat merenggut perhatian generasi muda dari budaya membaca dan menulis.
Ketiga, kurangnya bacaan-bacaan imajinatif anak yang mendidik. Cukup memprihatinkan rasanya melihat sebuah fenomena bahwa generasi muda saat ini “tumbuh lebih cepat” daripada yang seharusnya. Apa maksudnya? Preferensi mereka akan buku-buku bacaan tidak lagi seperti sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Tema-tema yang seharusnya diperuntukkan bagi para remaja dan orang dewasa, kini dapat dengan mudah dikonsumsi oleh anak-anak. Alhasil, makin lama makin tersisihlah bacaan-bacaan imajinatif yang mendidik bagi anak-anak, sebab para produsen buku mungkin lebih cenderung mengejar keuntungan yang lebih realistis dibandingkan dengan kepentingan pendidikan yang terasa agak idealis.
***
Sungguh, imajinasi adalah kunci. Dengan imajinasi, seseorang pertama-tama mampu dengan bebas dan autentik mengeksplorasi segenap potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Setelah itu, ia dapat mengetahui ke arah mana atau tindakan apa yang harus diambil untuk mewujudkan imajinasinya itu. Salah satu cara melatih imajinasi yang paling efektif adalah dengan pendidikan sastra. Dengan kata lain, sastra dapat mendidik imajinasi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, yakni membaca dan menulis, anak belajar untuk mengenal, memproduksi, bahkan keluar dari batasan-batasan kata-kata yang ada. Dari sanalah ia belajar berimajinasi. Lepas dari tantangan-tantangan yang telah disebutkan, bagaimanapun juga, pendidikan sastra mesti terus diperjuangkan. Tanpa itu, lama-kelamaan daya imajinasi manusia akan terkikis habis.
Catatan Akhir
[1] Bdk. Tim Gillespie, “Why Literature Matters?” dalam The English Journal, Vol. 83, No. 8, Literature (Queen of the Curriculum), Dec ‘94, 17
[2] Bdk. Margaret Meek Spencer, “What More Needs Saying About Imagination?” dalam The Reading Teacher Vol. 57 No.1 (September 2003), 107.
Daftar Pustaka
Gillespie, Tim. “Why Literature Matters?” Dalam The English Journal, Vol. 83, No. 8. Literature (Queen of Curriculum), Dec ’94, 16-21.
Spencer, Margaret Meek. “What More Needs Saying About Imagination?” Dalam The Reading Teacher Vol. 57 No.1 (September 2003), hlm. 105-111.