Akhir-akhir ini, kita diresahkan oleh Covid-19. Setiap segi dari kehidupan kita bisa dikatakan terhambat. Anak sekolah belajar dari layar laptop mereka, para pekerja kantoran bekerja dari rumah, jalanan ibukota mendadak sepi, pusat perbelanjaan pun perlahan ditutup paksa. Semua hal yang terjadi di hadapan kita adalah bukti bahwa kita sedang berperang melawan virus mematikan ini. Para politisi yang tadinya berseberangan mendadak bersahabat, bergandengan tangan mencari alternatif agar kehidupan yang sudah tergoncang ini tidak semakin chaos. Bukan perang fisik melawan sesama manusia, tetapi berperang melawan virus yang tak kasat mata, namun terbukti telah berhasil merenggut banyak nyawa manusia.
Banyak himbauan kepada kita untuk hidup higienis, namun usaha tersebut tidaklah cukup. Pembenahan mental masyarakat di sekitar kita disorot tajam. Dalam beberapa siaran berita internasional misalnya, laporan perihal anak muda di Amerika/Inggris yang masih meremehkan kasus ini. Bahkan mereka sampai melakukan kegiatan “pesta-pora” seperti tak terjadi apa-apa. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah banyak dari kita yang merasa tidak mungkin tertular karena hidup sehat dan masih segar bugar. Sungguh ego di atas segala-galanya bagi mereka yang bersikap demikian. Mereka lupa hidup di tengah masyarakat komunal yang katakanlah tak mampu hidup sendiri hanya dengan individualitasnya saja. Alhasil, langkah pemerintah untuk menerapkan #tinggaldirumah menjadi sia-sia belaka. Mereka merasa cukup dengan tinggal di rumah, melakukan aktivitas vital dari rumah, tapi masih bepergian entah kemana. Melalui orang-orang seperti itulah virus menyebar dengan sangat cepat. Sehingga tak butuh waktu lama—ketika artikel ini ditulis—di Indonesia sudah lebih dari 1400 orang dinyatakan positif Covid-19—dan akan masih banyak yang berpotensi menyusulnya.
Maka ketika ada seseorang yang dengan keangkuhannya mengatakan bahwa dirinya kebal atas Covid-19, itu tidak serta merta menggenaralisir dirinya sebagai representasi manusia secara keseluruhan, karena perkataannya tak lain adalah gambaran kualitas dirinya sendiri yang acuh atas kehidupan sekitar secara faktual.
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk berbahasa dan bahasa adalah syarat utama bagi semua pengalaman manusia. Melalui bahasa, maka kita bergaul dengan masyarakat, mengungkapan tentang dirinya, mengerti atau memahami sesuatu dengan mempergunakan istilah-istilah yang terdapat di dalam bahasa. Meskipun di sisi lain kita salah paham juga melalui bahasa. Oleh karena itu kita harus selalu ingat bahwa bahasa sangat kelindan dengan penafsirannya masing-masing. Salah satu pemikir yang banyak berbicara soal penafsiran adalah Paul Ricouer.
Mengenal metode penafsiran ala Ricouer
Pertama-tama mari kita simak terlebih dahulu paparan Ricouer mengenai metodenya yang disebut sebagai metode penafsiran. Dalam pembahasannya tentang analisis struktural, Ricoeur menegaskan perlunya untuk mempertimbangkan bahasa sebagai suatu peristiwa (parole) dan bahasa sebagai sistem tanda (langue). Perkataan adalah hasil ungkapan yang bersifat individual dari seseorang pembicara yang juga individual, dan itu terwujud dalam dimensi peristiwa dari diskursus. Maksudnya adalah, setiap manusia adalah pribadi yang memiliki kebebasan untuk mengatakan apapun terkait kehidupanya dan orang lain. Maka ketika ada seseorang yang dengan keangkuhannya mengatakan bahwa dirinya kebal atas Covid-19, itu tidak serta merta menggenaralisir dirinya sebagai representasi manusia secara keseluruhan, karena perkataannya tak lain adalah gambaran kualitas dirinya sendiri yang acuh atas kehidupan sekitar secara faktual. Ricoeur berpendapat bahwa dalam hubungannya dengan langue, setiap teks memiliki kedudukan yang sama seperti perkataan. Apa yang dibakukan lewat tulisan tentu saja adalah diskursus yang mungkin untuk dikatakan, tetapi hal itu dituliskan justru karena tidak dikatakan. Jadi, pembakuan lewat tulisan persis menggantikan tempat dari perkataan yang terjadi pada sisi di mana perkataan mungkin untuk dimunculkan. Ada suatu hubungan langsung antara makna dari sebuah pernyataan dengan makna dari tulisan. Teks hanya sungguh-sungguh menjadi teks kalau tidak dilihat sebagai salinan dari perkataan yang mendahuluinya, melainkan sebagai sesuatu yang langsung menuliskan, dalam huruf-huruf, apa yang menjadi maksud diskursus. Dengan kata lain, data analisis Covid-19 hanya akan menjadi bermakna manakala setiap dari kita sadar dengan sungguh bahwa angka kematian itu adalah riil bukan sekadar ilusi untuk meneror kehidupan kita sekalian.
Analisis Struktural
Hubungan langsung ini oleh Ricoeur diperjelas lewat refleksinya atas fungsi dari kegiatan membaca. Kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa membaca berarti berdialog dengan penulis. Apabila muncul pertanyaan di pihak pembaca, sang penulis tidak menjawabnya. Si pembaca kemudian memang dapat berjumpa dengan si penulis dan bisa berdialog dengannya, tetapi perjumpaan itu merupakan pengalaman yang berbeda karena relasi yang terjadi bukan lagi dengan tulisan. Dari pembahasan tentang hubungan antara teks dengan perkataan, kita bisa menarik beberapa kesimpulan mengenai karakteristik dari teks yang sejajar dengan tiga kriteria.
Disinilah keunggulan dari teks atau diskursus yang dibakukan dengan tulisan. Teks membakukan diskursus yang sifatnya cepat berlalu. Pemaknaan teks secara konkrit dapat kita lihat dari proses internalisasi nilai-nilai yang diberitakan oleh media.
Pertama, di dalam tutur kata sehari-hari, diskursus sebagai peristiwa itu bersifat temporal dan berlalu begitu saja. Korban dari virus Covid-19 hari ini akan berlalu secara temporal dan bukanlah sesuatu yang statis: ada korban yang meninggal dan ada korban yang sembuh. Diskursus semacam itu muncul dan hilang silih berganti. Disinilah keunggulan dari teks atau diskursus yang dibakukan dengan tulisan. Teks membakukan diskursus yang sifatnya cepat berlalu. Pemaknaan teks secara konkrit dapat kita lihat dari proses internalisasi nilai-nilai yang diberitakan oleh media. Dari berita yang disampaikan itu, kita merefleksikan kata demi kata yang disampaikan, khususnya terkait penanganan Covid-19. Setiap waktu kita dapat melihat dan menyaksikan lewat teks media tersebut perubahan temporal yang terjadi di sekitar kita, bahkan yang terjadi di seluruh dunia.
Kedua, diskursus dikatakan sebagai representasi dunia secara faktual. Di dalam tutur kata sehari-hari hal ini berarti bahwa apa yang pertama-tama ditunjuk dalam suatu dialog adalah situasi atau lingkungan yang meliputi baik si pembicara maupun lawan bicaranya. Situasi ini memberi kerangka atas dialog, dan itu bisa ditunjukkan dengan sebuah isyarat atau dengan menudingkan jari, mengepalkan tangan atau dengan hal lainnya. Banyak simbol atau tanda yang kita lihat akhir-akhir ini, seperti #dirumahaja, #WFH, #socialdistancing, dan sebagainya. Referensi dalam situasi dialog ini kita katakan bersifat nyata–penunjuk (ostensive). Salah satunya adalah petunjuk yang telah dibuat oleh dunia: bagaimana supaya pulih dari virus mematikan ini.
Ketiga, hanya diskursus dan bukan bahasa yang dialamatkan pada seseorang. Ini merupakan dasar dari komunikasi. Di dalam situasi dialog, yang menjadi tujuan adalah si lawan bicara. Maka, segala bentuk arahan dari pemerintah, tim medis, dan bahkan para pemuka agama untuk memerangi virus corona ini adalah seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.
Menurut Ricoeur, tujuan interpretasi bukanlah untuk memahami pengarang di belakang teksnya, melainkan teks itu sendiri dengan makna yang ada padanya, sebagai dunianya sendiri. Teks memberikan sesuatu pada pemahaman kita. Atau dengan kata lain: tujuan interpretasi adalah mengobati apa yang disebut Ricoeur sebagai penjarakan (distansiasi)–yang membuat teks menjadi otonom tetapi sekaligus melepaskannya dari konteks aslinya.
Kesimpulan
Setidaknya ada dua pernyataan penting dari Ricoeur berkaitan dengan distansiasi ini, pertama, ia mengatakan bahwa distansiasi paling awal adalah adanya jarak antara makna dan peristiwa yang menyangkut tindak berbicara dalam apa yang dibicarakan, jadi kelihatan bahwa distansiasi sudah dijumpai di dalam karakteristik pertama dari teks. Lebih jauh lagi dia juga menambahkan pernyataan lain yang menyangkut distansiasi yang terjadi di dalam tindakan menulis:
- Distansiasi tulisan dari yang menulisnya
- Dari situasi diskursus yang menjadi konteksnya
- Dari sidang pembaca awal
Dari dua pernyataan tersebut nampak usaha Ricoeur untuk menunjukkan bahwa distansiasi bukanlah keterasingan, malahan merupakan kondisi untuk pemeliharaan makna yang sekaligus menimbulkan interpretasi. Maka walau petunjuk yang diberikan sudah jelas, masih begitu banyak lapisan masyarakat yang tidak mematuhinya secara ketat. Itu karena pemahaman dan pemaknaan terhadap teks, dalam hal ini aturan tertulis terbiaskan oleh ego semata.
Pada akhirnya, dari paparan analisis struktural tersebut, kita paham bahwa selama ini yang menjadikan korban Covid-19 semakin banyak bukanlah semata-mata usaha yang belum maksimal dari pemerintah dan jajarannya, melainkan karena setiap pribadi dari kita, sebagai manusia yang salah memaknai bahasa.