Judul: Kumpulan Kalimat Demotivasi II: Panduan Hidup Bahagaia untuk Medioker
Penulis: Syarif Maulana
Penerbit: buruan.co
Tahun terbit: 2021
Jumlah halaman: vii + 96 halaman
Bahasa: Indonesia
ISBN: 978-623-94440-3-7
I
Apa arti prefiks ‘de’ dalam demotivasi? Prefiks “de” berfungsi untuk menunda, membatalkan, atau membalikkan suatu kata. Di titik ini, prefiks “de” tidak sama dengan negasi atau antonim, tidak hanya sekedar oposisi lawan kata yang biner yang selalu menegasikan satu sama lain. Selalu ada kontaminasi: demotivasi mengandaikan suatu motivasi, atau dekonstruksi juga—tentu dalam arti Derridean—mengandaikan suatu konstruksi, atau deaktivasi yang juga selalu mengandaikan aktivasi. Terdapat satu tawaran yang beresiko: prefiks “de” berarti tidak bisa keluar dari apa yang ingin ia batalkan, tetapi hanya sekadar menunda, membatalkan sementara—yang kelak akan terjatuh kembali kepada apa yang ia tunda, lalu menundanya kembali. Momen ini disebut sebagai kontaminasi resiprokal minus telos. Demotivasi ingin memotivasi tanpa suatu telos, tanpa tujuan, sebagai gerak sirkular tanpa henti. Apakah demotivasi bersifat nihilis, menuntut kita untuk jatuh ke dalam kegelapan?
Satu hal yang saya dapat dari membaca karangan Syarif ini adalah ketakmampuannya untuk mendefinisikan apa itu ”demotivasi”. Di satu sisi bagi Syarif, “gampangnya, demotivasi adalah lawan kata motivasi” (hlm. 03). Tentu kita was-was, karena prefiks “de” sudah selalu kembali kepada apa yang ia batalkan. Oleh karena itu, demotivasi sebagai lawan kata motivasi juga tidak adekuat. Demotivasi tidak benar-benar meninggalkan apa yang coba ia tolak. Di sisi lain Syarif juga sadar, “…terkadang tidak perlu berpikir terlalu mendalam, melainkan bisa dimulai dengan memutarbalikkan kalimat-kalimat motivasional” (hlm. 29). Dari sini menjadi jelas, terdapat gestur ganda. Demotivasi terkontaminasi dan tetap mengandaikan struktur logika motivasi, tetapi logika motivasional itu hanya perlu diputarbalikkan. Pembalikan dari yang motivasional ke demotivasional ini tidak hanya sekadar permainan gramatik, tetapi juga mengandung konsep dan makna. Misalnya, “sukses adalah soal bakat. Percuma kerja keras dan belajar, jika tidak memiliki bakat” (hlm. 17). Pembalikan dan permainan gramatik dari konsep tentang “sukses adalah soal kerja keras” bukan hanya sekadar pembalikan, melainkan terdapat konsep yang ingin ditawarkan, yang bermakna, dan alasan yang masuk akal juga di belakangnya. Demotivasi bukan omong kosong. Syarif mampu menawarkan apa yang selama ini dieksklusi oleh sistem dan rezim motivasionalistik yang sarat dengan totalisasi serta penuh rasa ‘sok tahu’ terhadap pengalaman individu yang otentik.
Ketika sebuah motivasi didemotivasi, persis dari situ makna lain akan menyembul keluar. Ketika makna lain sebagai hasil dari mendemotivasi sebuah jargon motivasional itu menyembul keluar, maka ia akan (niscaya?) menjadi kata motivasional baru. Di titik ini, demotivasi harus merombak apa yang dihasilkannya sendiri: mendemotivasi apa yang telah menjadi motivasional. Dengan demikian, baik motivasi maupun demotivasi sama-sama dibayang-bayangi hantu pasangan “negatif”nya sendiri. Pemilihan kata demotivasional, bukan non-motivasional, bagi saya adalah tepat. Syarif tidak terjatuh pada bineritas yang penuh dengan tendensi untuk menotalisasi; berhasrat mengejar inti dan menjadi sebuah rezim. Memilih demotivasi dibanding non-motivasional juga berarti bahwa Syarif lolos dari jebakan nihilisme. Kita harus mendemotivasi motivasi kita sendiri, sebuah pemeriksaan internal tentang apa yang dikehendaki. Namun, tidak terjatuh pada pesimisme brutal yang ingin mengakhiri hidup, Syarif hanya mengajak kita berdiri di ruang liminal antara motivasi dan demotivasi. Menari di pinggir jurang tanpa harus melompat ke dalam kegelapan.
Syarif menunjukkan ruang liminal antara motivasi dan demotivasi itu: “Kita tidak benci kalimat motivasional. Kita benci klise dan keyakinan berlebihan tentangnya. Kita benci bagaimana ia digunakan untuk memanipulasi keadaan demi keuntungan pihak tertentu” (hlm. 45). Di satu sisi, Syarif menyebut motivasi yang penuh dengan hasrat totalisasi ini sebagai motivasi artifisial. Namun, di sisi lain, bagi Syarif, manusia tidak bisa dilepaskan dari kehendak, sebuah motivasi “psikologis” (hlm. 03). Jika manusia tidak bisa terlepas dari motivasi “psikologis”, dan motivasi artifisial adalah hal yang patut dibongkar—terlepas dari pemilihan istilah ini tepat atau tidak—lantas, bagaimana hubungan demotivasi dengan manusia? Dengan sejarah? Dan dengan yang-akan-datang (l’avenir)?
II
Kita patut curiga, jangan-jangan sumber masalah yang selama ini terjadi disebabkan oleh rezim motivasional yang diam-diam mendarah daging dalam diri manusia. Kehendak atau motivasi tentu memengaruhi tingkah laku manusia. Kecurigaan Syarif yang mengatakan bahwa motivasi (artifisial) menyebabkan ilusi, tentu sangat masuk akal. Sejarah memberi tahu kita, manusia didorong oleh motivasi atau kehendak untuk menotalisasi dan menguasai semua hal. Kolonisasi dan penjajahan didorong oleh kehendak motivasional untuk “mencerahkan bangsa Timur.” Perang juga selalu dimotivasi oleh hasrat untuk menundukkan dan memerintahkan bagaimana seharusnya suatu wilayah tunduk pada kekuasaan tertentu, entah motivasi perang itu berupa pencarian atas kekayaan atau sekadar percaturan politik semata (motivasi artifisial). Motivasi untuk meramal, menguasai, dan menundukkan alam, kini memunculkan berbagai problem pelik, salah satunya, krisis iklim. Jika sejarah manusia adalah sejarah motivasional yang menyebabkan keributan semata, bukankah sejarah harus mendemotivasi, membongkar, dan memikirkan ulang kehendaknya sendiri? Saya terkejut, sebab saya pikir demotivasi ini juga adalah momen pembongkaran struktur “kehendak” dari conditio humana, yakni apa yang dikatakan oleh Derrida dalam The Ends of Man (1968) sebagai sebuah upaya untuk merombak ulang humanisme (metafisik) dan mempertanyakan ulang, “siapa, kita?”.
Jika motivasi artifisial ini adalah sumber masalah sepanjang sejarah umat manusia, apakah demotivasi dengan demikian adalah jalan yang harus kita tempuh? Tentu saja, bagi Syarif dan saya, jawabannya adalah ya, sejauh demotivasi dipahami sebagai yang secara terus-menerus mempertanyakan kehendaknya sendiri. Apabila motivasi muncul dengan tendensi artifisial, totalistik, dan penuh dengan hasrat menundukkan, maka demotivasi muncul sebagai momentum dekonstruktif. Dengan demikian, demotivasi ingin melepas jangkar esensial dari motivasi artifisial yang hendak mengejar suatu inti. ‘Inti’ ini, bisa kita deskripsikan sebagai hasrat yang ingin mengejar telos, entah itu kesejahteraan, kekayaan, kebahagiaan, kemapanan, keberkemajuan, dan lain sebagainya. Syarif dengan gemilang mengatakan bahwa, “…ekspresi motivasional adalah ekspresi kosong yang bisa dibolak-balik secara semena-mena” (cetak miring oleh saya, hlm.33). “Ekspresi kosong” mempunyai peran penting bahwa tidak ada yang esensial secara absolut dari jargon motivasional, sebab dalam hidup semuanya bergerak, berubah, fluktuatif, dan chaos. Motivasi tidak bisa merangkul akumulasi konsep maupun cara absolut untuk hidup, sebab ada “lubang” dan celah yang selalu bisa dipenetrasi. Tidak ada bineritas dalam perjalanan hidup manusia. Realitas tidak bisa sekadar ditundukkan pada struktur dan forma motivasionalistik.
Akan tetapi, konsep demotivasi bukanlah sesuatu yang baru (hlm. 04). Bagi Syarif, sudah ada “proto”-demotivasi, yakni mereka yang cenderung sinis, pesimis, dan nihilis dalam melihat peradaban. Syarif juga mengakui, bahwa konsep demotivasi ini meminjam dan meramu konsep-konsep Camusian, Nietzschean, atau Schopenhauerian, melalui media atau gaya yang baru. Namun, demotivasi ini, seperti yang Syarif katakan sendiri, “…punya perbedaan dengan konsep-konsep pendahulunya” (hlm. 05). Perbedaan demotivasi dengan nama besar dan konsep gigantik itu tidak dijelaskan sepenuhnya oleh Syarif. Demotivasi ini harus bermetamorfosis menjadi problem konseptual dengan medan problem yang juga harus lebih luas, dan Syarif, mau tidak mau, harus melanjutkan proyek demotivasi ini.
Kekhasan demotivasi yang tampak di sekujur tubuh buku ini adalah keengganannya untuk menjadikan demotivasi sebagai satu-satunya cara untuk hidup. Demotivasi tidak ingin terjerembab pada apa yang dia bongkar dan kritik. Itulah mengapa ada beberapa pengecualian kepada siapa demotivasi ini ditujukan. Seperti yang ditunjukkan Syarif, di beberapa wilayah demotivasi ini tidak patut dikumandangkan (hlm. 75). Sekali lagi, demotivasi cenderung sebagai “proses” untuk membongkar kehendak subjektif yang terjatuh pada sebuah hasrat untuk mengejar telos. Dengan demikian, demotivasi bukanlah sebuah dogma absolut. Kata-kata atau jargon-jargon yang ditawarkan oleh demotivasi pada akhirnya akan dipertanyakan ulang oleh dan bagi dirinya sendiri. Berbeda dengan Camus misalnya, yang memaksa kita untuk membayangkan Sisifus bahagia, bagi Syarif, kita harus membayangkan Sisifus sedih, nestapa, dan diganjar duka. Apa bahagianya dihukum mengangkat batu ke atas gunung, digelindingkan ke bawah, dan mengangkatnya lagi? Bagaimanapun, Syarif dengan pendahulunya itu mempunyai kedekatan konseptual. Namun, saya lebih setuju jika demotivasi tidak sepenuhnya sama dengan sinisme, nihilisme, pesimisme, atau absurdisme—bahkan, jangan-jangan, mereka tergolong atau terhimpun di bawah konsep demotivasi? Demotivasi adalah momen membongkar dirinya sendiri ketika ia telah menjadi jargon motivasional yang baru: gerak terus menerus untuk mempertanyakan kehendak atau motivasi yang berhasrat mengejar telos; entah mengejar telos di wilayah yang-akan-datang maupun terhadap fakta-fakta sejarah. Tidak ada telos, tidak ada inti.
III
Motivasi adalah tuntutan, sebuah kategori imperatif harus ini harus itu. Tanpa motivasi, kita akan dianggap sebagai seorang yang melawan hukum “alamiah” kehidupan, sebagai yang abject, dan yang menjijikkan. Nahasnya, struktur sosial kita dibentuk dan dibangun oleh struktur hiper-motivasional seperti itu. Tentu bagi Syarif, ini adalah waham (kapitalisme). Di bab keenam, seperti yang dijelaskan dengan singkat oleh Syarif, kapitalisme telah menggunakan jargon motivasional untuk melanggengkan sistemnya sendiri. Kepentingan yang brutal menjadikan motivasi hanya sebagai selubung waham untuk meraup untung sebanyak-banyaknya, sebuah hasrat dan motivasi untuk sejahtera dan kaya. Singkatnya, kehidupan yang borjuistik hanya merupakan jargon murahan untuk memperkaya orang lain. Barangkali, revolusi dapat dimulai dari mendemotivasi hasrat. Kita bisa melakukan revolusi dengan pasivitas—mager kerja adalah bentuk radikal dari mogok kerja. Kita harus bisa membayangkan seluruh buruh mager, tidak termotivasi untuk bekerja demi menggerakkan mesin modal. Barangkali, kalimat demotivasionalnya berupa, “tidak hanya orang kaya, kita juga berhak untuk bermalas-malasan!” Di titik ini, bagi Syarif, motivasi (artifisial) memiliki hubungan dekat dengan sistem kapitalisme yang serakah itu.
Hasrat totalistik dari rezim motivasional (artifisial) ini kita asumsikan telah dibongkar. Seperti yang kita singgung di awal, demotivasi akan menjelma menjadi sebuah motivasi baru. Akan tetapi, di bab terakhir buku ini, Setelah Demotivasi, Syarif menunjukkan secara gamblang bagaimana demotivasi harus terus menerus mempertanyakan ulang oleh dan bagi dirinya sendiri, agar demotivasi tidak terjerembab kembali pada rezim motivasional. Ia tak lain adalah sebuah gerak terus-menerus tanpa telos dalam mempertanyakan—meminjam pertanyaan Nietzschean—apa yang saya kehendaki ketika menghendaki sesuatu? Pernyataan genealogis ini tidak akan pernah berhenti pada satu titik ajeg, dan tidak harus menghasilkan sebuah jargon-jargon. Demotivasi bisa menjelma sebagai sebuah konsep, sebuah analisis ilmiah, sebuah paradigma, sebuah ideologi, sebagai laku-hidup (yang Syarif contohkan melalui sosok Charles Handoyo), atau menjelma sebagai apa pun itu. Namun, satu hal yang penting, gerak “negatif” dari demotivasi ini ingin menerima ruang enigmatik dari wilayah yang-akan-datang, menjemput yang-lain, dan bersahabat dengan kengerian.
Barangkali Syarif ingin mengajak kita untuk hidup lebih ugahari, menerima kenyataan secara aktif, bukan secara pasif: seperti judul bab kelima, menjadi istimewa dengan cara biasa saja—gestur ganda untuk menyikapi hidup yang ngeri. Demotivasi sebagai konsep filosofis berpotensi besar untuk dikembangkan. Entah mengapa, demotivasi memiliki peluang besar untuk mengatasi humanisme yang cenderung brutal, egologik, dan penuh hasrat menguasai. Jangan-jangan, hasrat hiper-motivasionalistik ini adalah dosa asal (original sin).