Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari 2023
Preambul
Untuk apa aku harus bersusah payah menelusuri rahasia bintang-bintang, sementara kematian dan perbudakan terus menerus hadir di hadapanku?
– Anaximenes
Sejauh pembacaan saya terhadap aneka rumusan masalah dalam rangkaian proyek filsafat di—jika menggunakan diksi yang agak kolonial—tradisi Barat, pertanyaan Anaximenes adalah pertanyaan yang paling moralis. Dalam suratnya kepada Pythagoras, Anaximenes kala itu mencoba menggugat kinerja para pengkaji kosmogoni Yunani klasik yang cenderung mementingkan diskursus filsafat mereka, alih-alih mempertimbangkan kondisi sosio-kultural bangsa. Tak heran. Pada kurun 540 SM, Ionia tengah menghadapi invasi Kekaisaran Persia yang menyebabkan kerusakan berskala masif (Fine, 1983). Bukan hanya struktur kemasyarakatan, patung-patung megah serta kuil-kuil suci panionium di daerah Miletos dan Samos pun ikut remuk redam bak disapu gempa bumi.
Setelah pertanyaan Anaximenes, Pythagoras menjadi seorang filsuf yang lebih “sempurna”. Pythagoras tak lagi hanya memproduksi pengetahuan bernuansa logis, matematis, dan kosmogonis. Ia juga tak lagi mengeksklusifkan diskursusnya. Sebaliknya, Pythagoras turut memberikan ceramah berhaluan politis dan moralis di Magna Graecia yang populer bagi kalangan masyarakat Yunani klasik saat itu. Ia juga tak sungkan untuk turut menyumbangkan pemikirannya demi kondisi bangsa yang lebih baik. Jika dirangkum dengan penjabaran yang lebih ringkas, pertanyaan Anaximenes kepada Pythagoras ingin membongkar signifikansi dimensi moral yang acap kali lupa dipertimbangkan dan diterapkan oleh para filsuf dalam laku kehidupan sehari-hari. Hal ini, secara tegas saya sampaikan, masih terjadi hingga hari ini. Latar belakang emosional penulisan Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi 2022 ini tepat berada dalam medan permasalahan tersebut.
Pada mulanya, 2013-2014, Lingkar Studi Filsafat (LSF) Cogito tak lebih dari tongkrongan kumpulan orang-orang haus filsafat yang membutuhkan lahan untuk menulis jurnal. Tongkrongan itu tak puas dengan sajian dongeng filsafat di ruang-ruang kelas. Jangankan diskusi kritis antar-mahasiswa, dialog mahasiswa-dosen dan tugas-tugas yang diberikan pun dikerjakan sebagai formalitas belaka. Dari rahim jurnal, LSF Cogito resmi terlahir sebagai komunitas yang berstatus Badan Kegiatan Mahasiswa (BKM) Fakultas pada 2014. Selain LSF Cogito, kelahiran komunitas-komunitas studi filsafat yang disokong mahasiswa sejatinya sudah muncul di Indonesia sedari 2009. Saya bisa mengambil contoh Komunitas Marx di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Komunitas Deadpool di Universitas Indonesia yang turut menunggangi ombak yang sama pada kurun momentum itu.
“Eksklusivitas di dalam hal ini merupakan isu penting sehubungan dengan komposisi mahasiswa … yang beragam asal usul dan latar belakang. Karenanya, terdapat banyak upaya untuk melumerkan batas-batas eksklusivitas di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat akademik, dan salah satunya adalah melalui penyelenggaraan/pembentukan komunitas studi ilmiah.” (Astika, 2009)
LSF Cogito hari ini bisa dikatakan sudah beralih wajah menjadi komunitas studi filsafat yang cukup mapan di Indonesia. Sebutan “komunitas” telah betul-betul bermetamorfosis menjadi “lembaga”. Pada kurun dua tahun belakangan, lembaga ini dibangun via proyek inovasi yang berjibun. Didorong evaluasi atas situasi kiamat yang hampir mendatangi lembaga pada Muktamar IV (Musyawarah Besar 2018), Kepengurusan LSF Cogito 2021 giat melakukan pembaruan di segala lini; entah visi/misi, struktur, dasar organisasi, atau program kerja. Kesuksesannya, secara umum, bisa kita lihat hari ini: mulai dari Program Ruang Baca dan Suplemen; struktur Dewan Pimpinan dan Tim Jurnal; hingga Dasar Organisasi “baru” serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Semua pembaruan itu dimotori oleh satu visi, yakni kemapanan lembaga.
Namun, kegemilangan terobosan-terobosan tersebut bukan tanpa cacat. Saya membayangkan refleksi semacam itu terlintas di benak Chra Ali Rashed dan George Mouyiais (2013) saat menginvestigasi keberadaan dari konsekuensi negatif setiap proposal inovasi yang mencuat dalam berbagai aktivitas akademis. Pendek kata, Kepengurusan LSF Cogito 2022 niscaya harus menanggung sisi gelap gerakan Lompatan Jauh ke Depan kepengurusan periode lalu sebab inovasi-inovasi tersebut belum mengalami fase testability (keterujian). Berbekal warisan dari keterlupaan akan terukurnya pengaktualisasian suatu inovasi di setiap sudut lembaga, alih-alih menjalankan program kerja dengan tokcer, saya dan teman-teman Dewan Pimpinan justru banyak membenahi residu negatif itu pada enam bulan pertama periode kepengurusan.
Itu masalah besar yang pertama. Seperti Ionia era Anaximenes, awan badai yang menerpa tiang-tiang kapal Kepengurusan LSF Cogito 2022 juga hadir dalam instrumen sosio-kulturalnya.
Kami jalan sama.
Sudah larut menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental-pekat.
Aku tumpat-pedat.
Tulis Chairil Anwar hampir seabad lalu dalam puisi Kawanku dan Aku; kalau saya diperkenankan sedikit mengutip untuk menjelaskan luka yang sedang dialami lembaga. Tak perlu ditutupi, gerhana lain yang menyurami LSF Cogito pada kurun dua tahun belakangan termanifestasi dalam merebaknya masalah kekerasan seksual di tubuh lembaga. Sekali tertulis, tetap tertulis; saya berani menyampaikan ini karena memang inilah yang terjadi. “Moral” seolah-olah hanya berakhir dalam diskusi-diskusi intelektual. Penjagaan nama baik lembaga, sebagaimana tercantum dalam Bab VI dan VII Anggaran Rumah Tangga LSF Cogito, laksana diabaikan begitu saja.
“Moral” seolah-olah hanya berakhir dalam diskusi-diskusi intelektual.
Saya dan teman-teman Dewan Konstituante (perumus Dasar Organisasi dan AD/ART) pada waktu itu telah melihat gejala masalah ini mulai muncul sepanjang berjalannya Kepengurusan LSF Cogito 2021. Celakanya, masalah itu juga menyeruak tak hanya dalam diri Anggota, tetapi juga Pengurus. Dengan cekatan, kami harus tegas mengambil sikap ketika menyusun Dasar Organisasi serta AD/ART yang merupakan penjamin pengentasan masalah tersebut. Saya berpikir kalau masa penyusunan ini adalah kurun waktu yang sangat krusial. Alangkah tercelanya saya kalau hanya berpangku tangan, sementara saya tahu dari para penyusun itu pun ternyata terlibat kasus di muka. Inilah dasar sikap saya dan teman-teman Dewan Konstituante semasa itu. Kami ogah menjadikan pemegang struktur tingkat atas lembaga atau kerja-kerja yang berdalih pengembangan sumber daya manusia (PSDM) menjadi semacam de sterke arm van de overheid (tangan kuat penguasa). Dasar Organisasi dan AD/ART haruslah disusun dan berlaku objektifsebab ia adalah rechtelijke grond (dasar hukum) bagi lembaga (Harahap, 2008, hlm. 58). Hasilnya, saat ini LSF Cogito memiliki Dasar Organisasi dan AD/ART yang menjadi poros mitigasi ketika problem serupa timbul. Musyawarah Luar Biasa LSF Cogito 2022 adalah bukti konkretnya.
Lantas, apa yang bisa dilakukan dari kontemplasi atas dua batu sandungan itu? Lewat pernyataan bernada fenomenologis, saya akan dengan tegas menjawabnya: kembalilah melihat sejarah lembaga; kritisi setiap arsipnya, temukan kehadirannya, interpretasikan makna yang sesungguhnya. Selain AD/ART, dua arsip penting lainnya yang perlu dijadikan pedoman dalam rangka mengayomi lembaga termaktub dalam Dasar Organisasi LSF Cogito 2022 serta tulisan Mas Banin Diar Sukmono dalam prosiding Simposium LSF Cogito yang bertajuk Maju Terus, Cogito. Pada kesempatan ini, izinkan saya mencantumkan ulang landasan ideologi yang disaripatikan dari Pengantar Redaksi Jurnal Mahasiswa Filsafat “Cogito” 2014 itu:
“Saya, dengan membaca paragraf tersebut, dapat memberikan suatu interpretasi atas ideologi kita.
- Kondisi apa yang membuat Cogito lahir? Tidak adanya budaya menulis, membaca, dan berdiskusi.
- Apa yang kita lawan? Yang kita lawan adalah kemalasan berpikir dan gaya hidup hedonis mahasiswa.
- Apa yang kita perjuangkan? Mendarah dagingkan budaya menulis (menyatakan pemikiran secara jelas dalam suatu karya), membaca (konteks yang luas, lebih dari membaca buku), dan berdiskusi.”
Walaupun pertemuan saya dengan prosiding itu datang terlambat; di samping Dasar Organisasi dan AD/ART, saya menjadikan suara-suara yang terkemas dalam lembaran-lembaran lusuh itu sebagai pegangan. Dari lembaran-lembaran lusuh itulah saya betul-betul memahami bahwa moral dan intelektual harus melangkah beriringan tanpa timpang; dan dari lembaran lembaran-lembaran lusuh itu pula saya dapat bersentuhan dengan semangat jerih payah para pendiri kala memupuk tunas lembaga. Pembacaan atas arsip bisa dikatakan adalah suatu kerja yang harus dilaksanakan dengan harga mati. Ia bekerja
layaknya rambu lalu lintas di suatu persimpangan jalan. Di satu sisi, ia mendasari inovasi untuk memungkinkan evaluasi sebagai titik berangkat. Di sisi lain, ia dapat memagari inovasi ketika dirinya cenderung melanglang buana menjauhi kekhasan lembaga. Melalui fondasi itu, niscaya program-program kerja dan iklim sosio-kultural LSF Cogito yang baik bisa terus tercipta meski kepengurusan silih berganti di tengah gempuran arus zaman.
Tuntas sudah tugas saya menyampaikan hal-hal yang belum tersampaikan kepada seluruh Awak LSF Cogito 2022. Sekarang, sudah waktunya mengadili saya atas amanat tugas sebagai Pemimpin Redaksi yang diberikan kepada saya pada Muktamar VIII (Musyawarah Besar 2022). Oleh karena saya telah disumpah untuk menaati AD/ART, dengan modal AD/ART itu pula adililah saya seadil-adilnya dan selurus-lurusnya. Saya dengan lapang hati membuka diri jika ada layangan komentar dan kecaman saat saya memang salah bertindak. Jangan takut untuk bersuara demi kebenaran, apalagi mengkritik. Sokrates telah menggaungkan ini meski harus meneguk racun di hadapan hakim-hakim Athena yang naif. Setidak-tidaknya, semangat kritis itu merupakan asas dan dasar bagi para pembelajar filsafat, para pencari kebenaran dunia.
Jangan takut untuk bersuara demi kebenaran, apalagi mengkritik.
Penutup
Saya sudah berusaha untuk tidak menuliskan laporan pertanggungjawaban ini dengan berlarut-larut. Apa daya, nyatanya tidak bisa tidak. LSF Cogito adalah tempat belajar pertama saya kala memasuki jenjang perkuliahan. Sebenci-bencinya saya dengan mereka yang sudah merusak nama baik lembaga; sesebal-sebalnya saya dengan mereka yang banyak alasan ketika mengerjakan program, saya tetap tak bisa memungkiri bahwa saya tak pernah jelak untuk mengabdi kepada lembaga. Dinamikanya, meski pelik, tetap terasa begitu mesra. Perasaan itu menjadi satu-satunya tempat saya merebah diri sewaktu permasalahan dengan jumlah tak terhitung datang layaknya hujan timah panas yang menghujam anak negeri ini menjelang masa kemerdekaan. Dari bekal yang diberikan lembaga, saya siap terjun ke samudra masyarakat seusai kuliah. Dari lingkungan yang disituasikan lembaga, saya dipertemukan dengan orang-orang yang saya cintai. Sekali lagi, nyatanya tidak bisa hati saya enggan menyayangi lembaga ini. Lembaga yang, dalam beberapa saat, akan segera saya tinggalkan. Saya tiada henti mengucap syukur.
Daftar Pustaka
Astika, A. (2009). Berderapnya anak zaman menyongsong rebahnya inlander: Orasi pembukaan serial diskusi membaca Das Kapital. Jurnal Problem Filsafat, 1(1). 2-7.
Fine, J. V. A. (1983). The ancient Greeks: A political history. Belknap Press of Harvard University Press.
Harahap, M. Y. (2008). Hukum acara perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Sinar Grafika.
Montaigne, M. D. (1842). The complete works of Michel de Montaigne. John Templeman.
Rashed, C. A. dan Mouyiais, G. (2013). Negative unintended consequences of innovation – a case study regarding innovation and sustainability. Linkopings Universitet.