Entah berapa kali para homoseks harus berpikir: “Kejahatan macam apa yang telah kami lakukan, dan terhadap siapa?” Bagaimana sebuah tindakan mencintai yang spontan bisa amat mengerikan, dianggap setan, sehingga ada yang berpikiran tindakan homoseks mengganggu cinta kasih Tuhan bagi manusia, mengganggu juga proses terciptanya masyarakat beradab? Seksualitas memang sudah lama bukan lagi urusan yang melulu personal, persis ketika seksualitas dipahami sebagai proses (re)produksi dan keberlangsungan umat manusia. Di situlah titik mula seks meluas dari ruang privat.
Seks dan cara memahami seks bisa menjadi amat egois dan picik manakala kita berada dalam dan melalui sebuah proses transformasi sirkulasi kapital yang panjang, tanpa sikap kritis. Kita diam-diam dididik oleh dan dalam kuasa kapitalisme. Dalam ruang sejarah kemunculan dan perkembangannya, kapitalisme bisa dikatakan tidak berurusan dengan seksualitas secara langsung. Urusan kapitalisme hanya pada akumulasi keuntungan kapital. Tapi persis pada saat ambisi akan keuntungan kapital menjadi roh kapitalisme, saat itulah sistem ini harus bisa masuk dan ikut mengontrol berbagai hal, termasuk seks. Tujuannya jelas: mengondisikan tata sosial yang mampu menghasilkan keuntungan terbesar.
Tahun 2015 kita sempat digegerkan dengan kebijakan legalisasi pernikahan sejenis oleh pemerintah Amerika Serikat. Homoseksualitas, karena momentum itu, tiba-tiba menjadi pembicaraan publik. Ada yang pro, banyak juga yang kontra, begitulah media menggambarkan pertarungan mereka –kelas menengah- yang bisa menyuarakan pendapatnya soal homoseks. Awal tahun 2016, soal homoseks kembali menjadi pembicaraan saat SGRC UI tiba-tiba dituntut pihak kampus memberikan klarifikasi soal pencatutan lambang UI.
Kondisi semakin memanas ketika Menristekdikti M. Nasir tiba-tiba seolah malaikat penjaga moralitas, sehingga kelewat berbudi merasa paling bertangung jawab menjaga peradaban dan keadaban dunia akademik warga negera Indonesia. Katanya, moralitas warga kampus harus dijaga, jangan sampai homoseksual bisa masuk kampus. Tidak mau ketinggalan dan juga untuk memperluas asas pemerataan kebingungan Encik Prof. DR Mahfud M.D, mantan ketua mahkamah konstitusi yang sering kita puji ketegasannya, tiba-tiba saja berciap di twitter: “LGBT itu berbahaya dan menjijikkan”. Sontak Republika sebagai koran kelas menengah paling bermoral memasang ciapan Mahfud MD sebagai berita di halaman pertamanya. Tujuanya tentu mengarahkan opini publik untuk sama-sama membenci makhluk laknat homoseks. Begitulah M. Nasir dan Mahfud MD diam-diam menjadi juru bicara kelas menengah kita.
Biasa saja, tidak ada yang amat menarik dari (isi) pertarungan pendapat soal homoseksualitas di antara warga kelas menengah kita. Dari polemik tentang homoseksual selama akhir tahun 2015 hingga awal tahun 2016 yang menarik justru kenyataan: kelas menengah kita adalah komentator ahli berbagai isu. Kelas menengah kita terentang mulai dari prosefor, dosen, mahasiswa, pegawai, konglomerat, pokoknya mereka yang mempunyai akses pada informasi, askses pendidikan memadai. Mereka adalah penyumbang terbesar segela bentuk keriuhan kehidupan kita sebagai bangsa Timur yang agamis, berbudaya, sopan, tapi agak picik dan munafik. Anda harus bersiap-siap dan tidak boleh kaget jika suatu saat ada profesor atau anggota kelas menengah berpendidikan tinggi kita lainnya yang jadi komentator ajang pencarian bakat penyanyi dangdut. Mengertilah itu hanya satu bentuk tugas politik-moral kelas menengah.
Lewat berbagai cara, kapitalisme bekerja untuk mengondisikan tata sosial yang mendukung akumulasi kapital pada kelas tertentu (borjuis, menengah). Saya secara khusus melihat bagaimana introduksi moralitas seksual sebagai satu bentuk strategi kapitalisme, benar-benar telah berhasil merasuk dalam pikiran kelas menengah kita. Kelakuan M. Nasir dan Mahfud MD adalah cermin keberhasilan itu. Homoseksulitas sebagai bentuk praktik seksual non-prokreasi tentu tidak dapat mendukung pemenuhan segala faktor produksi kapital. Cinta yang tidak melahirkan dan membantu pengondisian faktor produksi tidak berguna bagi kapitalisme, dan karenanya harus disingkirkan dengan cara apapun.
Negara juga punya andil untuk menertibkan semua warganya, termasuk dalam soal seks. Apalagi negara kita yang falsafahnya UUD 1945 mengikuti konsepsi Dr. Supomo tentang negara sebagai struktur organis-integralistik. Masyarakat dilihat sebagai kesatuan organis, individu dan kelompok harus menjadi bagian dari keseluruhan: “tubuh” negara. Organ individual yang tidak sesuai dengan konstruksi yang diuniversalkan negara tidak dapat hidup di luar kesatuan organis masyarakat. Individu harus hidup sesuai totalitas masyarakat yang didefinisikan negara. Rumusan Supomo tentang negara Indonesia yang organis-integralistik ini adalah hasil perkawinan antara konsepsi kekuasaan paternalistik Jawa (gusti-kawulo) dengan konsepsi Hegel mengenai negara. Rakyat adalah roh negara, negara mewujudkan “roh” rakyat, tapi alih-alih negara harus mengikuti kemauan rakyat yang terjadi justru sebaliknya, rakyat harus mengikuti segala kemauan negara sebagai puncak kekuasaan tertinggi, sebagai gusti. Bahkan rakyat sah dikorbankan demi kepentingan negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Orang-orang yang menolak homoseksualitas bisa jadi tidak mengetahui dan tidak sadar apa yang mereka lakukan ikut melanggengkan tata sosial-ekonomi yang penuh penghisapan. Lantas apa sebenarnya yang ada di dalam bawah sadar kelas menengah kita yang anti-homoseksualitas?
Ketika kita mengatakan “Homoseksulitas itu menjijikkan, tidak bermoral, dan tidak normal, ia harus disembuhkan,” apa yang tersembunyi di balik perkataan itu? Bagaimana kita yang heteroseks, yang katanya normal bisa tahu jika homoseksual itu menjijikkan, tidak normal? Apa yang aneh dari sepasang lelaki atau perempuan yang saling mencintai: bergandengan tangan menyusuri trotoar, makan bareng di kafe? Bukankah sepasang heteroseks (lelaki-perempuan) yang saling mencintai juga sering melakukan aktivitas bersama? Apa yang membuat cinta sesama jenis di mata sebagian kelas menengah kita sangat menjijikkan?
Hampir bisa dipastikan, bahwa pada saat sebagian dari kelas menengah kita berkata “homoseksualitas menjijikkan” yang ada di pikiran kita adalah adegan-adegan mesum. Sepasang lelaki berciuman, saling oral, menjilati bagian tubuh satu sama lain. Kita membayangkan seks sesama jenis seperti juga aktivitas perangsang gairah seks antara lelaki dan perempuan yang sering kita lakukan. Bedanya, ketika gairah sudah memuncak, tubuh sudah panas, lelaki yang berperan sebagai maskulin menancapkan penis pada lubang anus pasangannya, sementara kita menancapkan penis ke lubang vagina lawan jenis. Sambil penis menancap pada anus, seperti juga kita, para homoseks dalam pikiran kita juga melakukan kebiasaan yang sama dengan kita, yaitu melakukan variasi gerakan sampai beberapa waktu untuk kemudian kedua laki-laki mengeluarkan sperma dan orgasme.
Itulah yang mengisi pikiran kelas menengah kita hingga kemudian mereka pun berkata “homoseksual itu menjijikkan, tidak bermoral, dan tidak normal”. pikiran itu jelas didasarkan pada bayangan kita sendiri tentang hubungan cinta sejenis sebagai melulu hubungan seks, dengan adegan-adegan yang tidak jauh berbeda dengan yang kita lakukan sebagai heteroseks. Hanya saja hubungan seks itu dilakukan sesama jenis, penis lawan penis atau penis lawan anus. Karikatural pornografik itu diam-diam memadati pikiran kelas menengah kita, dan sebab itu mereka jijik terhadap homoseks.
Kita membenci habis-habisan pornografi, tapi diam-diam pikiran kita amat mesum. Kita perjuangankan kehidupan yang beradab, berbudaya, tapi mata kita cepat terpancing imajinasi erotik ketika melihat sepasang laki-laki pasangan homoseks duduk satu meja. Mungkinkita yang heteroseks memang amat jijik melihat adegan senggama pasangan sejenis. Begitu juga homoseks melihat adegan heteroseks bersenggama—mungkin mereka merasa jijik juga. Tapi lantas dengan mudahnya, kelas menengah kita mengungkapkan rasa jijik mereka terhadap homoseks, sebab prilaku seksual tersebut melanggar norma agama, moralitas ketimuran dan macam-macam argumen mulia lainnya. Kita terus saja bersembunyi di balik tameng agama, moralitas keadaban dan lain-lain.
Kenapa tidak ada kelas menengah kita yang anti homoseks berani berkata bahwa mereka jijik pada hubungan seksual sejenis sebab hubungan itu tidak sesuai dengan preferensi hubungan seksual yang mereka sukai. “Duh jelek dan tidak enak sekali dalam bayangan saya penis ketemu penis”. Atau apakah memang yang kita maksud dengan bangsa berkeadaban, jujur, dan menjunjung moralitas adalah bahasa lain dari sikap picik, bermuka dua, dan penakut. Jika memang iya, tentu pretensi moralis-agamisnya kelas menengah kita di balik penolakan mereka terhadap homoseksual adalah cara jitu untuk tetap menjadi anak kesayangan Tuhan sekaligus kekasih simpanan iblis.
Padahal, seperti juga kita yang mencintai pasangan kita, mereka yang homoseks tidak melulu mencintai pasangan mereka sebab urusan kasur. Bahkan ada pasangan gay yang tidak melakukan anal seks, mereka saling mencintai sebab merasakan satu kenyamanan, semacam gereget atau perasaan sreg. Dalam Serat Chentini yang banyak mengeksplorasi adegan-adegan homoerotik, syarat cinta itu cuma perasaan sreg, greget, suasana romantik yang kadang kala ditaruh Tuhan tanpa berpikir soal jenis klamin. Hanya saja otak kita memang terlanjur jadi otak selangkangan.
Soal homoseksualitas yang memancing emosi, dan tidak jarang membuat segala ketololan yang selama ini kita sembunyikan menyeruak ke permukaan adalah tanda betapa paranoid dan tidak rasionalnya kelas menengah kita. Kelas menengah kita adalah kumpulan orang-orang terdidik, menguasai faktor produksi lebih banyak. Tapi apakah kelas menengah itu mau meluangkan sedikit waktunya untuk membaca literatur tentang seks, agar apa yang kita katakan tidak semau mulut sendiri? Bukankah dengan kepemilikan faktor produksi material yang memadai kita seharusnya lebih bisa dan mudah mengakses segala informasi/ilmu?
Kita, kelas menengah ini, sepertinya sudah sepatutnya tahu, atau malah sudah tahu, atau jangan-jangan kepalang amat sekali sangat tahu bahwa diri kita memiliki kedudukan khusus sebagai agensi-agensi di ruang publik. Kita yang secara langsung menentukan arah kebijakan ekonomi-politik negara. Segala bentuk tatanan sosial dan kebijakan negara yang melahirkan diskriminasi hak ekonomi-politik LGBT dan minoritas seksual lain lahir dari kondisi sosial yang kita ciptakan penuh prasangka, rasa jijik, dan kepicikan. Tapi, juga segala cita-cita muluk tentang keadilan ekonomi-politik, bangsa cerdas berkeadaban juga lahir dari benak kita. Hebat memang. Tidak percaya? Coba tanyakan pada orang-orang yang bermukim di daerah kumuh pinggiran Jakarta: apa cita-cita mereka tentang republik ini? Pasti mereka kesulitan menjawab. Yang terpenting bagi para buruh di daerah kumuh pinggiran Jakarta, hanya bagaimana besok tetap bisa makan, bayar kontrakan, ada ongkos naik angkutan umum, tidak telat bayar pajak. Mereka tidak bisa membayangkan tentang republik ini seperti dalam gambaran kita kelas menengah ini, tapi merekalah yang tidak pernah mengelak dari jadwal bayar pajak.
Saya tidak ingin memberikan kuliah pembelaan tentang betapa tidak tepat tuduhan kita soal homoseksualitas sebagai perilaku menyimpang, menjijikkan, biang tindakan tidak bermoral dan kerusakan bangsa. Segala tuduhan itu bisa jadi –kalau kita mau jujur- memang ekspresi kepicikan yang kita sembunyikan di balik dalil-dalil moralitas. Untuk apa menanggapi kepicikan. Saya hanya ingin bertanya soal mengapa kita tidak pernah mempermasalahkan orientasi seksual ratusan koruptor, pejabat-pejabat maling yang heteroseks –yang normal- , jangan-jangan perilaku korup dan picik sebagian dari kita justru disebabkan orientasi seksual yang heteroseks?
Kalau sepasang homo menikah ataupun mereka hidup bersama –entah dengan ikatan apapun- mereka kan tidak perlu berpikir soal kebutuhan rumah tangga yang terus membengkak –layaknya keluarga laki-laki dan perempuan- seiring lahirnya bayi-bayi mungil, biaya makan dan kebutuhan sehari-hari 2 bayi yang masih minum susu, 3 anak yang masuk universitas. Tidak usah terlalu jauh, adakah mereka yang homoseks bekerja dalam sektor-sektor utama yang sering menguras uang rakyat? Mungkin ada, tapi dia malu pada orientasi seksnya sendiri, akhirnya menikah dengan lawan jenis, punya anak tetapi diam-diam juga punya “kucing” (lelaki simpanan om-om homoseks) yang disembunyikan di apartemen mewah. Siapa memang kelas menengah yang berani dan megikhlaskan dirinya dikutuk menjijikkan dan biang kebobrokan moral?
Dalil moralitas, agama, sopan santun adalah senjata ampuh untuk menyekap mereka-mereka yang berpotensi mengusik ketentraman dan keamanan kekuasaan. Siapa saja yang bagi penguasa “berbahaya”, tuduh saja mereka ateis, tidak bermoral, melanggar adat ketimuran. Setelah tuduhan itu, lakukanlah mobilisasi massa biar mereka terkucil, tertekan dan hilang, atau jika mereka tetap saja ada, tuduh sekali lagi mereka melanggar ideologi negera dan layak dibinasakan.
Kita memang sejak awal diciptakan dengan gairah seksual, seperti juga jenis mahluk hidup lainnya. Tetapi seks ternyata tidak cukup kita pahami hanya dengan pendekatan esensialis. Seks adalah sesuatu yang amat rumit, tapi sial, kerumitannya justru terus kita tambah dengan betapa paranoidnya kita menghadapi segala variasi seksual yang ada. Kelas menengah terdidik seperti Pak Menteri Nasir seharusnya berkata dan mengeluarkan kebijakan berdasarkan pertimbangan logis, tapi yang terjadi malah Pak Mentri Riset itu amat terburu-buru, dan diam-diam menciptakan mitos baru di gerbang-gerbang kampus tempat kelas menengah dididik bepikir rasional: LGBT dilarang masuk kampus, membahayakan moralitas!
Di tengah segala respon paranoid kelas menengah kita soal seksualitas minoritas, ada yang sepatutnya kita syukuri. Sebab, ternyata di antara banyak jenis hewan yang memiliki kemampuan dan dorongan seksual, hanya manusia-lah yang diciptakan untuk bisa juga tertawa, terharu, menangis, dan yang penting berbohong dengan cara amat canggih![]
*(Terima) kasih untuk Danang T.P. atas pancingan, masukan, keluaran dan kesediaan waktu-waktu tololnya.