Zaman ini telah mengubah segala tatanan moral masyarakat. Masyarakat telah kehilangan kemasyarakatannya. Berbagai problem terlahir setiap hari. Moralitas, politik, sosial, ekonomi, bahkan sampai aspek yang sifatnya sangat individual seperti agama dan kepercayaan berlomba meninggalkan tidak hanya jejak-jejak positif, melainkan ribuan persoalan di masyarakat. Dalam menjawab berbagai problematika masyarakat tersebut, India telah menghasilkan berbagai macam teks yang menjelaskan tujuan-tujuan pokok hidup manusia dan jalan-jalan untuk mencapai tujuan itu. Beberapa teks besar di India pada umumnya tersusun sekitar tahun 400 SM dan tahun 200 M, dengan mencakup dua epos besar, yaitu Ramayana dan Mahabharata; Bhagavad Gita; dan berbagai risalah tentang tingkah laku yang benar (dharma shastras) yang menentukan jalan benar untuk hidup. Teks-teks tersebut menghubungkan kitab Veda yang menekankan upacara religius dan kewajiban dengan Upanishad yang menekankan disiplin diri dan pengetahuan meditatif, tatkala teks-teks itu mengupayakan perpaduan gambaran dunia dari Rig Veda dengan gambaran dunia dari Upanishad.
Dari berbagai teks yang lahir di belahan bumi India, Bhagavad Gita merupakan teks yang, setidaknya bagi saya, mampu memberikan tuntunan praktis yang komprehensif bagi semua kalangan, tidak hanya untuk kalangan umat Hindu saja. Selain mengajarkan tentang konsep ketuhanan dan tujuan hidup manusia, Bhagavad Gita juga mengajarkan tentang tuntunan kemanusiaan, kehidupan, dan moralitas.
Tuhan di dalam Bhagavad Gita juga dipahami secara mendua, yakni dalam konsep Nirguna Brahma dan Saguna Brahma. Pertama yang akan kita bahas di sini adalah konsep Nirguna Brahma. Nirguna Brahma adalah sisi transendensi atau pemahaman monoteistik dalam Hindu.
Harus saya terangkan bahwa hadirnya artikel ini merupakan lanjutan dari artikel saya sebelumnya yang berjudul “Berkenalan dengan Bhagavad Gita”. Sebagai sebuah kitab yang paling banyak dianut oleh para penganut Hindu, Bhagavad Gita merupakan perpaduan yang paling penting antara visi-visi Veda, Upanishad, dan visi teistis. Bhagavad Gita merupakan anak cerita dari Mahabharata, baik identifikasi pribadi individual dengan Atman maupun identifikasi Atman dengan realitas tertinggi alam semesta diambil alih dari Upanishad. Namun dalam Bhagavad Gita, Atman/Brahman disimbolisasi dengan avatara Sri Krishna, sebagai lukisan dari satu bentuk terbatas dari Yang Tak Terbatas. Dari gambaran tersebut, saya akan berupaya memberikan ‘penengah’ antara transendensi dan imanensi Tuhan dengan mencoba mengupas hal-ihwal dimensi mistik di dalam Bhagavad Gita.
Tuhan dalam Bhagavad Gita
Bhagavad Gita dalam hal Tuhan, dan bahkan kitab-kitab suci yang lain memberitakan hal-hal yang kontradiktif. Rig Veda misalnya, menyebutkan 33 dewa-dewi, meskipun pada tempat lain dalam kitab suci yang sama menyangkal bahwa dewa-dewi itu benar-benar ada. Yang tampak adalah Dia di atas segalanya. Dia adalah asal dari segala ciptaan—hakikat rahasia, hakikat suka cita, dan sang sejati (Keene, 2006: 14-15). Dia ini yang oleh orang Hindu dikenal sebagai Brahman.
Orang Hindu percaya bahwa Yang Maha Kuasa, Brahman, menguasai dunia dengan tiga sifat utama yang digambarkan dalam konsep Tri Murti—Brahma (Pencipta), Visnu (Pemelihara), dan Siva (Pelebur). Saat ini, Brahma jarang sekali dipuja, tetapi Visnu memiliki berjuta-juta pengikut. Orang-orang Hindu percaya bahwa Visnu hadir ke dunia (inkarnasi) sebagai avatar dalam rangka memerangi kuasa kejahatan.
Tuhan di dalam Bhagavad Gita juga dipahami secara mendua, yakni dalam konsep Nirguna Brahma dan Saguna Brahma. Pertama yang akan kita bahas di sini adalah konsep Nirguna Brahma. Nirguna Brahma adalah sisi transendensi atau pemahaman monoteistik dalam Hindu. Dalam Bhagavad Gita dikatakan: “Orang yang picik pemahamannya (tentang Tuhan) akan beranggapan bahwa Aku yang tidak terikat dengan wujud tertentu, mereka hanya melihat Aku yang termanifestasikan, mereka tidak mengetahui sifat-Ku yang lebih tinggi, yaitu Yang Kekal Abadi, dan Yang Maha Tinggi (Bg. VII: 24). Sloka di atas dengan sangat jelas menguraikan bahwa Tuhan itu tidak dapat disamakan dengan apa-apa sebab Dia tidak memiliki wujud tertentu (nirguna). Dia harus dilihat dalam kedudukan-Nya sebagai Yang Tertinggi atau Yang Maha Tinggi.
Hindu sangat menyadari dan sangat meyakini akan ke-Esa-an Tuhan. Sebagaimana agama yang lain, Hindu juga memiliki konsep bahwa Tuhan itu tidak memiliki wujud tertentu, acintya, nirguna, dan tidak dapat terpikirkan. Tetapi konsep Tuhan yang demikian itu sifatnya hanya cocok menjadi pedoman oleh orang yang telah mapan dalam pemahamannya tentang sesuatu yang absolut sekaligus abstrak. Tuhan yang didefinisikan seperti itu sangat sulit dihayati oleh umat manusia pada umumnya. Oleh karena itu, demi kepentingan umat manusia secara keseluruhan agar dapat berbakti kepada Tuhan, maka Hindu memberikan pilihan jalan atau cara; mulai dari tahap yang paling dasar hingga tahap yang paling tinggi di mana aktivitas pikiran harus dihentikan (Donder, 2006: 234).
Saguna Brahma adalah salah satu jalan atau cara menghayati dan meyakini Tuhan dalam berbagai aspek manifestasi-Nya, baik dalam manifestasi-Nya sebagai dewa-dewa atau sebagai inkarnasi Tuhan (avatar). Dasar pemikiran ini sangat jelas tertuang dalam sloka-sloka Bhagavad Gita, sebagaimana dinyatakan: “Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku. Aku terima, O Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku dalam segala jalan”.
Kata ‘Aku’ dan ‘Ku’ dalam sloka di atas sesungguhnya dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, ‘Aku’ dan ‘Ku’ sebagai ucapan dari Tuhan yang transenden. Kedua, kata ‘Aku’ dan ‘Ku’ dapat dilihat dalam wujud fisik Sri Krishna, dalam pengertian Tuhan yang imanen. Sampai di sini konsep teologi Hindu seakan-akan sangat problematis—di satu muka mengajarkan ide monoteisme mutlak, sedangkan pada muka yang berlainan terdapat ide politeisme. Namun, bila kita cermati kembali, dua ide besar ketuhanan tersebut tidaklah kontradiktif, melainkan memiliki benang merah yang cukup jelas.
Kembali lagi pada nama Tuhan dalam bahasa Sanskerta, Brahman—yang memiliki etimologi ganda, yakni br untuk bernapas, dan brih untuk menjadi agung. Tiga atribut utama yang seringkali dikaitkan dengan nama tersebut adalah sat, cit, dan ananda; Tuhan adalah ada, kesadaran, dan kebahagiaan. Ini adalah pandangan akan Tuhan yang mendasar dari ajaran Hindu sejauh kita terus-menerus menyadari bahwa atribut-atribut ini tak lebih dari cara pemahaman kita yang terbatas akan Dia yang tak terbatas (Smith, 2015: 76-77).
Berangkat dari asumsi itulah Hindu semacam memberikan semacam ‘toleransi teologis’—sebuah arahan bagi keterbatasan manusia untuk membayangkan Tuhan sebagai sesuatu yang paling mulia yang bisa kita temukan di dunia nyata. Dipahami secara demikian, Brahman adalah Saguna Brahman, atau Tuhan dengan atribut atau nama, yang berbeda dengan Nirguna Brahman atau Tuhan tanpa nama yang lebih abstrak dan tidak termanifestasikan.
Nirguna Brahman adalah lautan tanpa riak; Saguna Brahman, sementara itu, merujuk pada lautan yang sama tetapi lengkap dengan gelombang dan pasangnya. Namun, Bhagavad Gita memiliki para pengusung yang luar biasa untuk tiap-tiap pandangan tersebut. Menurut Bhagavad Gita, kebenaran dalam kedua konsep tersebut tidaklah mendua—ia merupakan Satu Kebenaran dengan jalan yang berlainan.
Menengahi Transendensi dan Imanensi: Jalan Mistik Bhagavad Gita
Dimensi mistik dalam Hindu seringkali disepadankan dengan istilah yoga. Berbeda dengan beberapa tradisi mistik dalam agama-agama lain—yang dalam beberapa hal memiliki serangkaian ritual penyangkalan diri yang cukup ekstrim—hal itu tidak melulu berlaku dalam tradisi Hindu. Hindu memandang jalan mistik sebagai pendakian menuju Tuhan melalui pengaktualisasian potensi diri.
Hindu, melalui Bhagavad Gita, berangkat dari adanya asumsi perbedaan potensi dan spiritualitas yang dimiliki tiap-tiap manusia. Hasilnya adalah pengakuan yang mewarnai segenap aspek dalam agama itu, bahwa terdapat banyak cara menuju Tuhan, yang masing-masing membutuhkan model pendekatan berbeda-beda. Kemudian, Hindu memperkenalkan jalan mistik itu ke dalam empat metode atau jalan yang lengkap dipaparkan dalam Bhagavad Gita. Pertama, jalan menuju Tuhan melalui pengetahuan, Jnana Yoga. Pengetahuan di sini tidak berkaitan dengan pengetahuan faktual, melainkan semacam pemahaman intuitif atau naluriah yang mentransformasi si pemilik pengetahuan menjadi serupa dengan apa yang diketahuinya.
Terlalu naif kiranya bila mengaitkan gambaran-gambaran Hindu tentang Tuhan dengan pemujaan berhala, dan jumlah dewa-dewi mereka yang banyak dengan politeisme. Hal-hal semacam itu sesunggugnya merupakan landasan pacu agar roh manusia yang terbelenggu indra bisa bangun dan melakukan “penerbangan sang diri kepada Sang Diri”.
Ada tiga tahap yang perlu dijalani untuk melalui jalan ini. Yang pertama adalah mendengarkan. Dengan mendengarkan kisah-kisah kebijaksanaan serta kisah-kisah dari kitab suci, pelaku spiritual diperkenalkan pada prospek bahwa inti terdalam dari keberadaannya adalah Ada itu sendiri. Tahap kedua adalah berpikir. Melalui refleksi yang panjang dan intensif, apa yang diperkenalkan oleh tahap pertama sebagai hipotesis memperoleh roh yang menghidupkannya. Apabila sang yogi sanggup dan tekun, ia kemudian akan siap untuk tahap yang ketiga di dalam jalan pengetahuan ini. Ia ditandai oleh pergeseran dari identifikasi diri menjadi diri yang abadi—yang dengan itu orang menjadi sepenuhnya sadar akan apa yang sejatinya sudah ada di dalam hakikatnya (Smith, 2015: 42-43).
Jalan menuju Tuhan yang kedua dikenal dengan istilah Bhakti Yoga. Bhakti Yoga adalah pendakian menuju Tuhan dengan didasarkan atas Cinta Yang Total kepada Tuhan. Bhakta membayangkan Tuhan dengan cara yang berbeda dari kaum Jnani. Bagi kaum Bhakta, yang menganggap perasaan lebih penting dari pemikiran, Tuhan kelihatan berbeda dalam setiap aspek yang disorot. Pertama, karena Cinta yang luar biasa terarah ke luar, kaum Bhakta menolak segala anggapan bahwa Tuhan yang seseorang kasihi adalah diri orang itu sendiri, bahkan Inti Dirinya yang terdalam, serta menekankan aspek ke-Liyan-an Tuhan. Kedua, karena yakin pada ke-Liyan-an Tuhan, kaum Bhakta akan berjuang, tidak untuk menjadi serupa dengan Tuhan, melainkan untuk memuja Tuhan dengan segenap hati, budi, dan hidupnya—pengabdian dalam kerangka kepasrahan yang total. Seperti disampaikan oleh seorang Hindu devosional klasik,
“Aku ingin merasakan gula; aku tidak ingin menjadi gula.”
“Dapatkah air menenggak dirinya sendiri?
Dapatkah pohon merasakan buah yang mereka hasilkan?
Dia yang memuja Tuhan harus terpisah dan berbeda dari pada-Nya,
Hanya dengan demikianlah dia tahu kasih Tuhan
Yang penuh sukacita.”
Jalan Bhakti ini cukup banyak diterangkan Mariasusai Dhavamony dalam bukunya Phenomenology of Religion, bahwa yang profan (makhluk) berkomunikasi dengan Yang Sakral (Tuhan) melalui mitos-mitos, simbol-simbol, ritual-ritual, doa-doa, upacara kurban, dan upaya-upaya lainnya, baik secara verbal maupun non-verbal.
Oleh karena itu, terlalu naif kiranya bila mengaitkan gambaran-gambaran Hindu tentang Tuhan dengan pemujaan berhala, dan jumlah dewa-dewi mereka yang banyak dengan politeisme. Hal-hal semacam itu sesunggugnya merupakan landasan pacu agar roh manusia yang terbelenggu indra bisa bangun dan melakukan “penerbangan sang diri kepada Sang Diri”. Sebuah simbol berupa sosok bertangan banyak dapat merepresentasikan kekuasaan Tuhan; mitos dapat menjelaskan kedalaman yang tertututp bagi kalangan cendekia; perumpamaan dan legenda merepresentasikan berbagai gagasan ideal yang membuat para pendengarnya merindukan untuk menjadi bagian darinya.
Terdapat tiga karakter pendekatan Bhakta yang layak kita sebut di sini: (1) praktik mendaraskan nama Tuhan (japam), (2) beragam cara untuk mengungkapkan Cinta, dan (3) pemujaan pada ista dewata ideal yang dipilih tiap-tiap manusia.
Jalan ketiga menuju Tuhan, yang dimaksudkan bagi orang-orang yang memiliki kecondongan aktif, adalah Karma Yoga, jalan melalui pekerjaan. Sejalan dengan Marx, pada titik ini Bhagavad Gita menyatakan bahwa bekerja merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan. Nilai yang dikandungnya pun sama, yakni sebagian besar orang bahagia ketika melakukan sesuatu yang konstruktif—mereka merasa puas menjadi bagian dari pekerjaan mereka.
Menurut Bhagavad Gita, setiap tindakan yang diarahkan ke dunia luar memberi reaksi kepada yang melakukan tindakan. Segala sesuatu yang dilakukan demi keuntungan pribadi akan menambah lapisan baru kepada ego akan membuat jarak antara Tuhan dan diri semakin lebar. Sebaliknya, setiap tindakan yang dilakukan tanpa memikirkan keuntungan pribadi, dapat menggerus ‘ke-aku-an’, hingga pada puncaknya tidak akan ada lagi sesuatu yang memisahkan ‘diri’ dengan Yang Ilahi. Sejalan dengan prinsip ini, orang-orang yang lebih condong pada jalan ini secara emosional akan melaksanakan pekerjaan mereka demi Tuhan alih-alih demi diri sendiri. Sebagaimana diterangkan Bhagavad Gita:
“Dia yang melaksanakan tindakan-tindakan tanpa kelekatan, dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, tidak ternoda oleh pengaruhnya seperti daun bunga teratai oleh air.”
“Karena itu hendaknya seseorang bertindak karena kewajiban tanpa terikat terhadap hasil kegiatan, sebab dengan bekerja tanpa ikatan terhadap hasil seseorang sampai kepada Yang Mahakuasa.” (Bg. III: 19)
Jalan terakhir, dikenal dengan Raja Yoga, yang berarti “jalan bangsawan (raj) menuju persatuan kembali”. Dirancang bagi orang-orang yang memiliki kecenderungan eksperimental, Raja Yoga adalah jalan menuju Tuhan melalui latihan-latihan psikofisik. Hipotesis yang mendasari Raja Yoga adalah ajaran Hindu mengenai pribadi manusia yang memiliki empat lapisan: (1) lapisan yang paling kasat mata (tubuh material), (2) lapisan kedua adalah pikiran sadar kita, (3) lapisan ketiga adalah bawah sadar individual, yang terbangun dari endapan-endapan sejarah individual, dan (4) lapisan keempat adalah Sang Pribadi itu sendiri—Yang Tidak Terbatas, Maha Kuasa, dan Kekal (Smith, 2015: 54-55).
Tujuan Raja Yoga adalah untuk menunjukkan kesahihan dari keempat lapis kepribadian manusia dengan menuntun sang pencari kepada pengalaman personal akan “Yang Tak Terbatas di dalam batin kita”. Metodenya adalah dengan introversi sukarela; intensinya, mengarahkan energi jiwa kepada bagiannya yang paling dalam.
Akhir dari Pendakian itu…
Selaras dengan sifat-sifat Brahman—Sat-Cit-Ananda, Ada-Sadar-Bahagia—jalan mistik, sebagai pendakian spiritual menuju Tuhan akan menjadi imbalan bagi sang mistikus, yakni menjadi ada, menjadi sadar, dan menjadi bahagia. Kenikmatan, keberhasilan, dan tugas yang masih terkungkung dalam belenggu dunia material tidak lebih dari sekadar kondisi yang mendekati apa yang sejatinya kita inginkan.
Pada akhirnya, menjadi ada-menjadi sadar-menjadi bahagia akan nyata hadir bagi para mistikus ini. Sat-Cit-Ananda yang awalnya terkubur di dalam diri kita, di bawah endapan distraksi, delusi, dan berbagai insting mementingkan diri yang nyaris tak tertembus dan membentuk diri kita di permukaan, melalui laku Yoga dapat dimungkinkan hadir dalam bentuk cahaya bagi proyek kemanusiaan untuk mengalami, atau bahkan manunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pusat diri manusia, yang menjadi daya gerak yang menghidupkannya, adalah suatu sumber kehidupan yang tidak pernah mati, tidak pernah habis, dan tak terbatas di dalam pengetahuan dan kebahagiannya. Pusat dari kehidupan yang abadi ini, atau hakikat diri yang tersembunyi atau Atman ini, tidak lebih dan tidak kurang adalah Brahman. Tubuh, kepribadian, Atman-Brahman—diri manusia, belum sepenuhnya terpuaskan sampai ketiga-tiganya bisa dipusatkan (Smith, 2015: 33). Kepuasan spiritual ini hanya akan terjadi, jika dan hanya jika, metode atau jalan mistik sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dapat dilakukan dengan sempurna.
Perlu ditekankan di sini, Bhagavad Gita tidak melihat keempat jalan menuju Tuhan tersebut terpisah satu sama lain. Tidak ada individu yang semata-mata reflektif, emosional, aktif, atau eksperimental, dan situasi kehidupan yang berbeda membutuhkan berbagai sumber daya yang berbeda pula. Sebagian besar orang akan mendapati bahwa mereka merasa lebih nyaman dan lebih berkembang di satu jalan daripada jalan yang lain, sehingga mereka akan terus memilih untuk berada di jalan tersebut. Tetapi, Bhagavad Gita mendorong orang untuk mencoba keempat-empatnya dan memadukannya sedemikian rupa sehingga mereka tahu cara yang paling tepat dan produktif.
Pada akhirnya, menjadi ada-menjadi sadar-menjadi bahagia akan nyata hadir bagi para mistikus ini. Sat-Cit-Ananda yang awalnya terkubur di dalam diri kita, di bawah endapan distraksi, delusi, dan berbagai insting mementingkan diri yang nyaris tak tertembus dan membentuk diri kita di permukaan, melalui laku Yoga dapat dimungkinkan hadir dalam bentuk cahaya bagi proyek kemanusiaan untuk mengalami, atau bahkan manunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Daftar Pustaka
- Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya: Teologi Kasih Semesta. Surabaya: Penerbit Paramita
- Keene, Michael. 2006. Agama-agama Dunia. Alih bahasa: F.A. Soeprapto. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
- Prabhupada, Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2006. Bhagavad Gita Menurut Aslinya. Alih bahasa: Tim Penerjemah. Tangerang: Penerbit Hanuman Sakti
- Smith, Huston. 2015. Agama-agama Manusia. Alih bahasa: FX Dono Sunardi & Satrio Wahono. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta