“Berbuat baik, menghindari yang jahat, memurnikan hati seseorang, inilah jalan Buddha.” -Sajak Dhammapada meringkaskan ajaran Buddha
Dalam iklim religius dan budaya India, Buddhisme muncul sebagai salah satu agama besar yang tumbuh dan berkembang pesat. Kemunculannya tentu tidak dapat dilepaskan dari sosok pendirinya, yakni Siddharta Gautama. Dalam relasinya dengan Hinduisme, kita melihat bahwa Buddhisme tampil sebagai sebuah reaksi atas ritualisme yang dianggap terlalu dangkal dan reaksi atas Upanishad yang dianggap penuh dengan refleksi filosofis yang terlalu berbelit-belit. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa Buddhisme memang menolak beberapa ide dari Hinduisme. Sebagai contoh, Buddhisme menerima ide tentang reinkarnasi (samsara) dan hukum sebab-akibat (karma), namun menolak ajaran Hinduisme tentang sistem kasta, Brahman sebagai Realitas Absolut, dan keberintian (substansialitas) jiwa manusia. Meski demikian, kita juga tidak dapat memungkiri bahwa Buddhisme juga mengambil ide-ide dari Hinduisme. Buddhisme sendiri memiliki tiga pilar khasnya (Triratna), yakni Buddha, Dharma, dan Sangha. Di dalam tulisan berikut, penulis akan memaparkan salah satu dari tiga pilar tersebut, yakni Dharma atau ajaran Buddhisme tentang Realitas dan Etika. Secara spesifik, penulis akan membahas empat macam Kebenaran (Catur Aryasatyani) yang tentu tidak dapat dipisahkan dengan jalan pelepasan yang juga disebut Aryasanghika.
Dharma: Ajaran Buddhisme tentang Realitas dan Etika[1]
Sesudah mengalami pencerahan, Buddha meninggalkan banyak ajaran dan paham-paham tradisional yang baru. Keagamaan yang diwartakannya lebih bersifat moral daripada ritual atau filosofis. Iluminasi Buddha pertama-tama menyangsikan “ke-aku-an” manusia, yang menurutnya merupakan sumber segala kekeliruan. Buddha tidak mementingkan pemikiran, melainkan tindakan untuk pembebasan dari samsara. Dalam ajarannya, Buddha menemukan bahwa realitas dunia ini sia-sia, karena memiliki tiga ciri pokok (trilaksana), yakni anatman, anitya, dan duhkha. Anatman mempunyai pengertian bahwa dalam hidup kita ini tidak ada jiwa. Anitya mempunyai pengertian bahwa dalam kehidupan manusia ini segala sesuatu bersifat sementara, tidak ada yang menetap atau substansial. Duhkha berarti penderitaan.[2] Duhkha secara utuh berarti penderitaan yang paling dalam terutama karena adanya perulangan hidup melalui reinkarnasi berulang-ulang akibat dari buah-buah perbuatan (karma). Ajaran samsara sering dilukiskan dengan simbol roda dengan enam jeruji. Maka samsara dapat juga dianggap sebagai yang jahat. Itulah ciri-ciri kenyataan hidup di dunia ini.
Buddha juga mengajarkan bahwa individu (antropologi-manusia) bukanlah suatu entitas yang menetap, melainkan hanya aliran kejadian baik yang bersifat materiil maupun mental. Keadaan ini dapat dijabarkan dalam lima macam skandhas, yang kesemuanya dapat berubah dan hancur. Kelima skandhas ini adalah: rupa (fisik), vedana (sensasi), samina (persepsi), samskara (kehendak), dan vijnana (kesadaran). Kelima skandhas ini hanyalah menghasilkan khayalan yang sifatnya sesaat, padahal kenyataannya di balik lima skandhas tersebut tidak ada sesuatu pun yang menetap yang disebut substansi. Anggapan ini menyebabkan hidup manusia selalu penuh dengan kegelisahan.
Buddhisme tampil sebagai jalan pelepasan, pembebasan dari diri dan dunia. Jalan ini tampil sebagai jawaban atas kondisi hidup manusia yang menyedihkan, yaitu suatu kelahiran kembali dalam hidup yang bercirikan penderitaan, kesementaraan, dan ketidaknyataan.
Kemalangan yang ditanggung manusia, menurut Buddha, sebetulnya bukanlah yang terburuk. Ada lima macam nasib/pancagati (dalam ajaran tentang kosmologi) yang berbeda-beda yang ditanggung oleh berbagai makhluk hidup selain manusia. Tiga yang pertama ada di bawah nasib manusia, yakni naraka (nasib paling buruk), tiryagoni (nasib yang ditanggung binatang), dan preta (roh-roh yang liar). Di atas ketiga gati ini terdapat nasib yang lebih baik, yakni manusya dan deva, di mana kesukaan dan kedukaannya berimbang.
Selain realitas seperti yang digambarkan di atas, Buddha juga masih mengajarkan tentang traidhatuka (tiga macam dunia yang ada dalam hidup manusia). Ketiga macam dunia itu adalah kamadhatu (berupa dunia materi yang berisi kehendak dan hasrat yang menguasai manusia), rupadhatu (berupa dunia halus di mana dialami kebahagiaan dalam semedi), dan arupadhatu (berupa dunia rohani yang berisi kesukaan mutlak). Penggambaran ketiga dunia ini dapat kita lihat dalam susunan Candi Borobudur dengan tiga tingkat bangunan yang naik ke atas secara bertahap; dari kehidupan moral baik-buruk dalam dunia hasrat, meningkat ke tingkat rohani yang meditatif, hingga mencapai kebijaksanaan dalam kekosongan.[3]
Ajaran Budha sebagai “Perahu” untuk Mengarungi Samsara[4]
Ajaran Buddha sendiri disebut Yana (kendaraan atau kereta). Sebenarnya, istilah tersebut lebih tepat diartikan sebagai perahu. Sebagaimana jelas dalam metafora perahu, kendaraan Buddha dimaksudkan untuk mengarungi arus dan gelombang samsara. Memasuki kendaraan Buddha berarti mulai menyeberangi lautan samsara. Perjalanan dimulai dengan pengalaman orang yang belum mendapat penerangan (avidya), menderita, ke sisi kebijaksanaan transendental dengan kelepasannya (moksa).
Metafora ini sungguh tepat, karena mampu menunjukkan sifat pragmatisme Buddhis. Buddhisme hanya mengajarkan apa yang perlu untuk mengatasi penderitaan. Buddhisme tampil sebagai jalan pelepasan, pembebasan dari diri dan dunia. Jalan ini tampil sebagai jawaban atas kondisi hidup manusia yang menyedihkan, yaitu suatu kelahiran kembali dalam hidup yang bercirikan penderitaan, kesementaraan, dan ketidaknyataan.
Dengan demikian, salah satu sifat yang juga dapat ditampilkan terkait hal di atas adalah bahwa Buddhisme bercirikan pesimistis. Inti ajarannya adalah bahwa eksistensi dunia ini pada dasarnya adalah penderitaan. Meskipun demikian, pesimisme itu tidak sama dengan keputusasaan. Buddhisme justru tampil sebagai teknik terpercaya untuk mengatasi kondisi manusia yang menyedihkan itu.
Empat Macam Kebenaran (Catur Aryasatyani)
Menurut Buddha ada empat kebenaran yang disebut dengan catvari aryasatyani (empat kebenaran mulia/four noble truths), yang menjadi dasar kehidupan moral Buddhis. Keempatnya merupakan asumsi yang saling berkaitan, yakni (1)bahwa ada penderitaan di dunia ini (duhkha); (2)bahwa penderitaan itu mempunyai penyebab (samudaya); (3)penderitaan dapat dihilangkan dengan menghilangkan penyebabnya (nirodha); (4)cara melenyapkan sebab-sebab penderitaan adalah dengan mengikuti kiat (marga) yang disebut sebagai “Jalan Tengah” (madyamika) yang terdiri dari delapan langkah kebenaran (aryasanghika).
Buddhisme sungguh mengajarkan bahwa dorongan untuk mencari kenikmatan itu bersifat dangkal dan berada di permukaan hingga tidak akan dapat memberi kebahagiaan bila dituruti terus-menerus.
Kebenaran pertama menguraikan bahwa semua kehidupan tanpa terkecuali termasuk dalam lima kelompok kehidupan (skandhas), yakni: badan jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk pikiran (sankhara), dan kesadaran (vinnana). Oleh karena itu, segala bentuk kehidupan merupakan sesuatu yang menyedihkan dan dicengkeram oleh penderitaan, sesuatu yang tidak kekal, sesuatu yang tidak berpribadi, dan hampa adanya. Mudji Sutrisno mengutip Clarence H. Hamilton menuliskan demikian,
“Kebenaran luhur pertama, para biarawan, adalah kenyataan adanya sengsara. Melahirkan anak itu derita, membusuk itu derita, sakit itu sengsara, kematian itu derita, hadirnya hal-hal dan pribadi-pribadi yang kita benci itu membuat sengsara, perceraian atau perpisahan itu sengsara, berpisah dengan orang-orang atau hal yang kita cintai itu membuat sengsara, tidak mendapatkan apa yang kita dambakan itu sengsara. Secara singkat, lima indera yang membentuk pemahaman dan pengertian, inilah yang menyengsarakan.”[5]
Menyangkut kenyataan adanya derita, Mudji Sutrisno menambahkan bahwa sebenarnya ada 7 (tujuh) wilayah sengsara yang dialami setiap orang. Dalam hal ini, kita juga harus mengingat bahwa nikmat yang dialami seseorang seringkali juga menjadi malapetaka bagi yang lain. Bahkan, bila kenikmatan hidup seseorang tidak terkait dengan derita sesama, kenikmatan itu masih akan tetap dibayangi oleh kesengsaraan. Apa buktinya? Kenikmatan hidup membuat orang menjadi lekat dengan apa yang disukai dalam kenikmatannya itu. Kecemasan yang timbul dari kemungkinan adanya pemisahan dan pelepasan dari apa yang disukai/apa yang menimbulkan kenikmatan itu menumbuhkan rasa sakit karena candu atas rasa suka/nikmat tadi. Selain itu, kenikmatan juga dapat membawa sengsara dalam arti bahwa ia seringkali berusaha mendesar pemenuhan macam-macam keinginan akan kenikmatan itu sendiri. Memenuhi salah satu nafsu akan kenikmatan ternyata tidak dengan sendirinya menghentikan dorongan nafsu lain untuk mencari kenikmatan, bahkan semakin memperkuat dorongan tersebut. Maka, Buddhisme sungguh mengajarkan bahwa dorongan untuk mencari kenikmatan itu bersifat dangkal dan berada di permukaan hingga tidak akan dapat memberi kebahagiaan bila dituruti terus-menerus.[6]
Hanya dengan mematikan segala hasrat/keinginan/nafsu-nafsunya, menjalankan segala tindakan tanpa pamrih, seseorang melepaskan diri dari durkha.
Kebenaran kedua mengajarkan bahwa semua penderitaan atau kehidupan adalah karena keinginan (tanha). Tanha inilah yang mengakibatkan reinkarnasi serta penderitaan yang menjelma sebagai aktivitas badan, perkataan, dan pikiran. Oleh karena itu, kebenaran kedua ini juga termasuk dalam ajaran tentang karma, reinkarnasi, dan sebagai hukum sebab-akibat yang saling bergantungan (pratityasamutpada), dari semua aktivitas kehidupan.
Hukum pratityasamutpada berkata bahwa setiap pekerjaan mengandung pahala dan siksa. Hal yang menentukan adalah kesadaran dan kehendak seseorang dalam tindakan atau motivasi dan keputusan yang menggerakkannya. Berbeda dari pemahaman samsara, dalam ranah Hinduisme, yang sangat menekankan sebab akibat dalam substansi materiil, dalam pratityasamutpada peranan kesadaran dan keputusan mendapat tekanan. Artinya, setiap kesadaran dan keputusan yang dijalankan oleh seseorang mempunyai tanggungan yang harus dilunasi. Maka, meskipun akibat perbuatan itu bersifat materiil (vipakaphala) dan bisa menyenangkan atau menyusahkan, namun mata rantai karma lebih terletak pada penyebabnya yang bersifat.
Mengenai penyebab tindakan yang menghasilkan duhkha, Buddha menyebutnya hasrat (klesa) dan keinginan (trsna).[7] Kedua hal inilah yang memberi inspirasi untuk tindakan. Pada prinsipnya, Buddha menolak segala macam kesenangan, tidak saja kesenangan jasmani dan inderawi, tetapi juga kesenangan akan angan-angan mengenai hidup abadi atau pun anihilasi total. Dengan kata lain, Buddha menolak materialisme dan spiritualisme sekaligus. Keinginan dapat meracuni tindakan melalui tiga cara, yakni nafsu (raga), kebencian (dvesa), dan penyimpangan (moha).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa apa yang harus dilakukan oleh seorang pengikut Buddha adalah mematikan segala hasrat/keinginan/nafsu-nafsunya. Hanya dengan mematikan segala hasrat/keinginan/nafsu-nafsunya, menjalankan segala tindakan tanpa pamrih, seseorang melepaskan diri dari durkha. Ia dapat mencapai nirvana. Nirvana adalah suatu keadaan tanpa kondisi, keadaan di mana penderitaan tak dimungkinkan, di mana tindakan bersifat netral dan reinkarnasi terhenti.[8] Inilah kebenaran ketiga. Kebenaran ketiga mengajarkan tentang lenyapnya atau hilangnya sama sekali rasa keakuan atau keinginan yang menjadi sumber penderitaan. Kebenaran ini, sekali lagi, bertujuan membebaskan semua makhluk dari rantai reinkarnasi dan penderitaan, yakni menuju tercapainya nirvana.
Kebenaran keempat adalah tentang delapan Jalan Utama yang memberi petunjuk menuju jalan pembebasan dari penderitaan; dan mengandung praktik seluruh ajaran Buddha. Oleh karena tidak adanya pengetahuan (avidya), maka orang tidak dapat menembus keempat Kebenaran tersebut. Akibatnya, saudara-saudara kita sekalian telah mengembara sekian lamanya melalui lingkaran reinkarnasi dan hidup dalam penderitaan (samsara).[9]
Jalan Tengah
Buddha mengatakan bahwa cara melenyapkan sebab-sebab penderitaan, untuk kemudian dapat mencapai nirvana, adalah dengan mengikuti apa yang disebut dengan “Jalan Tengah” yang meliputi delapan langkah. Delapan langkah ini disebut juga aryasanghika. Di dalam aryasanghika tindakan-tindakan moral yang harus dilakukan dipaparkan dengan jelas. Secara positif tindakan moral dapat juga disebutkan sebagai (1) ucapan yang benar (samma vaca), (2) perbuatan yang benar (samma kammanta), dan (3) mata pencaharian yang benar (samma ajiva). Dari keutamaan moral kehidupan meningkat ke dalam alam kerohanian. Di sini terdapat tiga macam kebenaran, yakni (4) berkehendak yang benar (samma vayama), (5) kesadaran yang benar (samma sati), dan (6) konsentrasi yang benar (samma samadhi). Pada akhirnya, setelah orang mencapai kesempurnaan dalam kerohanian, ia mencapai pengetahuan kebijaksanaan. Ada dua tahapan yang penting di sini, yakni (7) pengetahuan yang benar mengenai kenyataan (samma ditthi) dan (8) motivasi yang benar (samma samkappa). Berbagai tindakan hidup yang ditawarkan dan dipimpin oleh pedoman-pedoman tersebut haruslah dihayati dengan satu tujuan yang sama, yakni untuk mencapai tata hidup seimbang, tertinggi, utuh, dan tersatukan.
Ajaran Buddha mengatakan bahwa keutamaan menduduki tempat sentral karena “hanya keutamaanlah yang mampu membersihkan dan menghapus nafsu dan keinginan manusia di dunia ini”.
Kedelapan langkah ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap gradual, yakni (1) tindakan benar atau moralitas (sila), (2) meditasi, permenungan atau konsentrasi (samadhi), dan (3) kebijaksanaan atau pengetahuan (prajña). Ketiga tahap tersebut saling berkaitan satu sama lain secara progresif. Artinya, tahap kebijaksaan (prajña) hanya dapat dicapai setelah tahap meditasi (samadhi) dicapai. Demikian juga tahap ini dicapai setelah moralitas (sila) terpenuhi. Tidak mungkin terjadi perloncatan. Meski demikian, tahap-tahap progresif ini bergerak melingkar. Artinya, tahap kebijaksanaan akan mendorong moral baru, mengangkat tahap meditasi yang lebih mendalam untuk mencapai kebijaksanaan yang lebih tulus demikian seterusnya.[10] Penjelasan lebih lanjut mengenai tiga tahap gradual ini akan saya tuliskan dalam bagian selanjutnya.
Selain itu, dalam ajaran moralnya, Buddhisme juga mengajarkan bahwa tindakan kita harus dikendalikan oleh lima aturan (kelima aturan ini disebut pañcasila). Orang harus menahan diri untuk (1) merusakkan kehidupan, (2) mengambil apa yang tidak diberikan, (3) menyalahgunakan seksualitas, (4) melakukan kebohongan, dan (5) menggunakan obat bius (substansi yang menghilangkan kesadaran manusia/self awareness). Bagi para biksu/ni, aturan diperbanyak dan semakin ketat. Aturan-aturan tersebut adalah untuk tidak menggunakan kasur yang empuk, tidak berhubungan seks, tidak minum minuman keras, tidak makan setelah tengah hari, tidak menikmati musik, tarian, atau drama, tidak menggunakan bunga dan wangi-wangian/parfum, tidak menggunakan uang, emas, perak, atau kekayaan lainnya, dan harus mengikuti aturan komunitas (conditions of the order).
Tiga Tahap Gradual Aryasanghika[11]
Seperti telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, jalan menuju pelepasan dilakukan melalui “Jalan Tengah” yang terdiri dari delapan langkah. Kedelapan langkah ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap gradual, yakni prinsip moralitas, konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan transendental (insight wisdom/vipassana panna). Di dalam prinsip moralitas, hakikat aktivitas moral harus dipahami sebagai struktur mental tertentu yang memungkinkan munculnya aktivitas mental, verbal, maupun fisik. Keutamaan akan ditampilkan orang yang memiliki “struktur mental atau kerohanian yang menguntungkan”: iman (kepercayaan akan kesaksian Buddha, ajaran, dan komunitasnya), suara hati, ketakutan melakukan kesalahan, pengetahuan, tenaga (energi), kesadaran dan pemahaman. Iman ditampilkan pada urutan pertama justru karena ia dipandang sebagai prinsip keutamaan, kondisi fundamental yang harus menyertai momen sadar.
Ajaran Buddha mengatakan bahwa keutamaan menduduki tempat sentral karena “hanya keutamaanlah yang mampu membersihkan dan menghapus nafsu dan keinginan manusia di dunia ini”. Buah yang penting darinya adalah bahwa “karena keutamaan itu pikiran menjadi tenang dan jernih, sehingga memungkinkan meditasi (samadhi) dan kontemplasi (panna)”.
Langkah kedua dalam jalan menuju pelepasan adalah konsentrasi (samadhi). Maksud dari latihan ini adalah untuk memfokuskan seluruh formasi mental yang murni sampai tercapai kesadaran murni. Karakteristik kegiatan mental yang terfokus ialah jauh dari distraksi, goncangan, dan dapat mencapai keheningan. Nilai utama bagi orang yang melakukannya terletak pada terfokusnya kesadaran yang pada akhirnya memungkinkan dia memasuki kebenaran (nibbana). Ada latihan yang hanya ditujukan untuk menghilangkan distraksi demi terfokusnya kesadaran, tetapi ada pula yang dimaksudkan untuk mencapai keadaan ekstase.
Ada tahap-tahap ekstase. Pada tingkatan pertama orang melihat peralatan dari tanah (misalnya: periuk) seakan-akan bersinar, air seakan seperti cermin di angkasa, dan seterusnya. Ia terpusat pengalaman tersebut dan menikmatinya. Pada tingkat kedua, orang tidak lagi berpikir tentang pengalaman itu. Ia semakin masuk dalam pengalaman itu sendiri. Pada tahap ketiga, antusiasme terhadap pengalaman menjadi hilang. Tahap yang keempat, rasa nikmat dan nyaman hilang. Ia memasuki konsentrasi murni dan absolut, meski objek itu masih menjadi pusatnya. Di dalam tingkat kelima, ia mampu melihat ruang tak terbatas dalam batas-batas bayangan benda tersebut. Tahap keenam, ia sampai pada “kesadaran tak terbatas”. Pada tahap ketujuh, ia sampai pada kekosongan (nothingness). Tahap kedelapan, ia mencapai kondisi tanpa persepsi maupun non-persepsi dengan kedamaian dan ketenangan sebagai faktor dominan penyerta kesadaran. Tahap kesembilan, fungsi kongnitif dan afektif berhenti. Ia mencapai kebenaran mutlak.
Langkah ketiga dalam jalan menuju pelepasan adalah kebijaksanaan transendental (insight wisdom/vipassana panna). Baik moralitas maupun konsentrasi selalu diarahkan ke tingkat yang lebih tinggi, yakni kebijaksanaan transendental. Kebijakan dicapai dengan insight meditation. Latihan ini bertujuan untuk membawa kesadaran masuk (pativedha) ke dalam hakikat segala sesuatu, sampai menemukan Kebenaran (Nibbana). Kesadaran (mind) itu sendiri “bukan sesuatu” (essentially nothing), hanya merupakan aliran unit kesadaran individual yang begitu cepat: rangkaian kognitif (citta-vithi) dari momen pemikiran.
Seorang Buddhis yang melakukan latihan insight meditation akan menemukan bahwa pada lingkup mental, tidak ada sesuatu pun di balik rentetan formasi pemikiran itu. Tidak ada yang berpikir di balik proses pemikiran tersebut, yang ada hanyalah rangkaian momen pemikiran. Orang akan sampai pada pengenalan bahwa tidak ada esensi substansial di balik fenomena mental individual. Setiap eksistensi selalu bercirikan kesementaraan (anitya), penderitaan (duhkha), dan ketiadaan diri (anatta).
Mengalami penerangan semacam itu, orang mulai dapat mengubah struktur mentalnya dan mulai melihat segala sesuatu yang lain. Ia mengenal kebenaran dan melihat nibbana. Kemampuan seseorang untuk mempertahankan situasi tersebut tergantung pada keutamaan, konsentrasi, dan kebijaksanaannya. Akan tetapi, secara khusus ekstase yang kesembilan merupakan persiapan untuk mempertahankan situasi tersebut. Orang dapat kemudian mengalami “kelahiran mulia” (ariyaya jatiya jato/Noble Birth). Ia menjadi “Putra Buddha” (Budhasa Orasa Putta Bhavam Avahati). Dalam situasi demikian, orang telah meninggalkan aliran samsara dan memasuki Nibbana. Ia bebas dari penderitaan dan mencapai pelepasan!
Catatan Penutup
Dalam ajarannya mengenai realitas, Buddha sungguh menekankan bahwa segala sesuatu yang ada dunia ini adalah sia-sia. Manusia akan terus berada dalam lingkaran samsara. Kehidupannya akan ditentukan oleh karma perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Untuk dapat keluar dari kesia-siaan dan penderitaan dalam dunia itu, Buddha menawarkan jalan keluar melalui ajaran etikanya. Ajaran etika Buddhisme menegaskan bahwa manusia dapat melenyapkan sebab-sebab penderitaan melalui “Jalan Tengah”. Terkait dengan proses keluar dari kesia-siaan dan penderitaan tersebut, ada tiga catatan yang hendak saya tuliskan sebagai penutup.
Pertama, secara mendasar, jalan pelepasan itu sendiri sungguh tidak datang dari luar, tetapi merupakan hasil usaha perseorangan untuk mewujudkannya. Buddhisme tidak menaruh harapan pada pertolongan seorang penebus yang akan menyelamatkan dan membebaskan manusia. Meski demikian, catatan kecil tentu juga masih perlu disematkan dalam pernyataan tersebut. Mengapa? Sebab kita tahu bahwa tidak semua Buddhisme sepenuhnya memahami demikian. Hal tersebut hanya berlaku sepenuhnya bagi aliran Theravada (mereka yang menghayati Buddhisme secara ortodoks). Buddhisme aliran Mahayana masih menekankan keselamatan semua makhluk melalui bantuan Boddhisatva atau mereka yang menunda untuk masuk ke dalam nirvana untuk membantu melayani semua makhluk. Oleh karena itu, Buddha tidak mengajarkan untuk bertobat karena Kerajaan Allah atau Penyelamat sudah dekat, melainkan Buddha akan mengajarkan untuk menemukan sendiri Empat Kebenaran Mulia (Catur Aryasatyani) dan mengusahakan Jalan Pembebasan (Aryasanghika).
Kedua, ajaran Buddhisme bukanlah ajaran yang harus dipikirkan, dipelajari, atau dihafal, melainkan harus dipraktikkan. Secara mendasar, ajaran Buddhisme bersifat praktis. Persis di situlah letak antitesis ajaran Buddhisme terhadap Hinduisme yang dianggap terlalu berbelit-belit. Ajaran tentang dharma merupakan sesuatu yang perlu dipraktikkan. Bagaikan perahu, ia digunakan untuk bergerak menuju nirvana. Apabila manusia telah sampai nirvana, maka ia dapat melepaskan ajaran yang telah mengantarkannya sampai ke nirvana tersebut. Lantas, apakah dharma itu sesuatu yang dapat diterangkan atau tidak?
Dalam hal ini, ada berbagai macam pandangan, antara lain dharma dianggap sebagai komponen dari kenyataan, tetapi juga tidak bisa dirujuk sebagai suatu substansi tersendiri, sebab kenyataan dharma memang berbeda dari hal-hal duniawi dan tidak dapat terkondisikan. Dharma harus dipahami tidak dalam rangka ontologi, melainkan dalam rangka moral. Untuk itu, sekali lagi, dharma bukanlah ajaran yang bertendensi untuk dipahami, melainkan untuk diikuti.
Ketiga, mengenai nirvana sebagai tujuan akhir. Banyak orang keliru memahami nirvana. Nirvana seringkali diinterpretasikan dengan cara pandang Barat yang menggambarkan nirvana sebagai suatu kondisi yang penuh kebahagiaan di mana terdapat banyak bidadari dan malaikat yang senantiasa melantunkan kidung pujian. Nirvana dalam ranah Buddhisme tidak demikian. Nirvana sebagai tujuan akhir tidak bisa dikatakan sebagai suatu eksisten/ada karena nirvana berbeda dengan suatu keadaan yang terkondisikan oleh eksisten yang lain. Nirvana tidak terkena hukum sebab akibat. Nirvana hanya dapat diterangkan secara negatif; tidak ada kesengsaraan, tidak ada kesementaraan, tidak terkondisikan, tidak ada kematian, damai, dan sebagainya. Kita hanya dapat menyebutkan sifat-sifatnya saja, tetapi tidak mampu melukiskan substansinya.
Catatan Akhir
[1] Bagian ini merupakan ringkasan dari pengantar tentang “Dharma” dalam ajaran Buddha, dalam ringkasan A. Sudiarja dari buku Budhism tulisan K. Klostermaier.
[2] Kata duhkha merupakan penggabungan antara du dan kham. Kata du selalu berkonotasi kotor, jahat, dan hina. Kata kham memiliki konotasi kosong atau kekosongan. Secara harafiah, kata duhkha berarti kekosongan yang kotor, jahat, dan hina. Bdk. Suwandi Sandiwan Brata, “Essensi Budhisme,” dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, 53.
[3] Bdk. “The vertical division of Borobudur Temple into base, body, and superstructure perfectly accords with the conception of the Universe in Buddhist cosmology. It is believed that the universe is divided into three superimposing spheres, kamadhatu, rupadhatu, and arupadhatu, representing respectively the sphere of desires where we are bound to our desires, the sphere of forms where we abandon our desires but are still bound to name and form, and the sphere of formlessness where there is no longer either name or form. At Borobudur Temple, the kamadhatu is represented by the base, the rupadhatu by the five square terraces, and the arupadhatu by the three circular platforms as well as the big stupa. The whole structure shows a unique blending of the very central ideas of ancestor worship, related to the idea of a terraced mountain, combined with the Buddhist concept of attaining Nirvana.” (cetak tebal oleh penulis) http://whc.unesco.org/en/list/592, diakses tanggal 2 May 2016, pukul 22.00 WIB.
[4] Bagian ini merupakan rangkuman dari sub judul “Menawarkan Pelepasan” tulisan Suwandi S. Brata. Lih. Suwandi Sandiwan Brata, “Essensi Budhisme,” dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, 50-1.
[5] Mudji Sutrisno, Zen Buddhis: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas (Jakarta: OBOR, 2002), 10.
[6] Bdk. Mudji Sutrisno, Zen Buddhis, 12-3.
[7] Bdk. “Derita atau sengsara berasal dari keinginan atau nafsu gelora yang selalu memberi dorongan baru untuk menjadi dan disertai kepuasan sensual… [K]einginan sumber sengsara itu karena selalu minta dipenuhi dan dipuaskan.” Mudji Sutrisno, Zen Buddhis, 10.
[8] Antonius Sudiarja, Pokok-Pokok Alam Pikiran Budha: Ringkasan dari Buku Budhism karya Klaus K. Klostermaier (Jakarta: STF Driyarkara, 2016), 11.
[9] Ringkasan tentang Empat Kebenaran diambil dari Matius Ali, Filsafat India, 165-6.
[10] Antonius Sudiarja, Pokok-Pokok Alam Pikiran Budha, 12.
[11] Bagian ini merupakan rangkuman dari sub judul “Jalan Menuju Pelepasan” tulisan Suwandi S. Brata. Lih. Suwandi Sandiwan Brata, “Essensi Budhisme,” dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, 57-60.
Daftar Pustaka
Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme. Tangerang: Sanggar Luxor, 2010.
Klostermaier, K. Buddhism. UK: One World Oxford, 2007.
Muhaimin AG (ed). Damai di Dunia Damai untuk Semua: Perspektif Berbagai Agama. Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.
Sandiwan Brata, S. “Esensi Budhisme.” Dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: Gramedia, 1993.
Smart, Ninian. Religions of Asia. New Jersey: Prentice Hall Inc, 1993.
Sudiarja, A. Pokok-Pokok Alam Pikiran Budha: Ringkasan dari Buku Budhism karya Klaus K. Klostermaier (One World Oxford, 2007). Jakarta: STF Driyarkara, 2016.
Sutrisno, Mudji. Zen Buddhis: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas. Jakarta: OBOR, 2002.
To Thi Anh. Nilai Budaya Timur dan Barat (penerjemah: John Yap Pareira). Jakarta: Gramedia, 1985.
Van Gorkom, Nina. Buddha Dhamma dalam Kehidupan Sehari-Hari (Sumedha Widyadharma penerj). Jakarta: Cetiya Vatthu Dhaya, 1992.
Widyadharma, Sumedha. Tanya Jawab tentang Buddha Dhamma. Jakarta: Majelis Pandita Buddha Dhamma, 1991.