“(Hidup) . . . adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh orang idiot, penuh hingar dan amarah, yang tidak berarti apa-apa.”
—William Shakespeare (Macbeth, 1606)
Apakah Kita Sedang Hidup di Alam Semesta Hoax[1]?
Barangkali pertanyaan ini teramat ganjil dan menggelitik. Terutama bagi jiwa-jiwa rigid nan rapuh yang senantiasa bergelut dan bergumul dalam upaya-upaya pelayanan terhadap ‘kebenaran’. Juga wabilkhusus bagi mereka yang hidup khidmat berjuang dalam slogan-slogan ‘mitologis’ serupa Turn Back Hoax. Tapi bagaimana seumpama kata hoax pada pertanyaan itu kita derivasi sebagai dongeng, mitos, legenda, gosip, ilusi, fantasi, simulasi, konspirasi atau segala kata (bernuansa “fiksi” atau “naratif-manipulatif”) yang dapat diperlawankan dengan kata realitas atau fakta (dalam pengertiannya yang “natural”)—bagaimana jika setiap identitas hingga tindak-tanduk kita pada dasarnya dibentuk dan digerakkan oleh cerita-cerita yang, sebenarnya, tidak ada dalam ‘kenyataan’?
Ada satu cerita yang juga ganjil dan menggelikan yang berasal dari tahun-tahun terakhir sebelum tenggelamnya Abad Pertengahan di Eropa. Ditulis oleh satiris Spanyol bernama Miguel de Cervantes, beberapa tahun sebelum Rene Descartes menuliskan ‘Meditasi-Meditasi’-nya dan mendeklarasikan diktum “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada) sebagai penanda terbitnya Era Renaisans. Novel aslinya berjudul: El ingenioso hidalgo Don Quixote de la Mancha atau Bangsawan Jenius Don Quixote dari Mancha.
Dalam novel klasik itu, sayup-sayup tersebut sebuah nama: Alonso Quixano; seorang lelaki hidalgo 50 tahun yang punya banyak uang dan menghabiskan waktu luang dengan membaca begitu banyak buku dongeng tentang pengorbanan para kesatria, saban hari sedari senja hingga fajar dan hari-hari menjelang fajar hingga malam. Akibat kurang tidur dan kebanyakan membaca membuat otaknya mengering hingga mengira dirinya sedang hidup di zaman dahulu kala—zaman ketika para jagoan bertempur memperjuangkan hal-hal yang luhur semisal kebenaran dan keadilan.
Syahdan, sang tokoh protagonis kita ini tiba-tiba memutuskan meninggalkan rumah, berkeliling naik kuda lengkap dengan baju zirah untuk memenuhi panggilan ke-kesatria-annya: meluruskan segala hal yang salah di masyarakat serta membawa keadilan bagi dunia. Petualangan si majnun[2] ini pun menjadi seru sebab ia menganggap segala hal di dunia nyata seturut fantasi dari bacaannya. Ia menamai kudanya Rocinante, lalu merekrut seorang pengawal bernama Sancho Panza yang sebenarnya hanyalah seorang petani sederhana. Ia juga menunjuk sesosok gadis-yang-entah sebagai cinta imajinernya yang ia beri nama Dulcinea del Toboso, yang darinya ia memperoleh nilai-nilai kebenaran dan keindahan. Lalu ada pula kincir angin yang dikiranya raksasa yang harus dikalahkan; sekawanan domba yang dianggapnya pasukan musuh; hingga sosok penyihir ‘virtual’ (enchanters, encantador) yang dijadikan kambing hitam yang selalu mengecoh pikirannya.
Sungguh Alonso Quixano telah hilang-tenggelam dalam cerita dongeng. Dan di dunia fiksinya itu, ia telah mendaulat dirinya sebagai kesatria bernama: Don Quixote de la Mancha . . .
Membaca novel Cervantes itu bisa membuat kita mengernyitkan kening, sambil terpingkal-pingkal, barangkali. Sebab selain kehebatan Cervantes meramu fiksi berlapis fiksi, juga dikarenakan oleh kekonyolan sang tokoh yang, jika didiagnosa dari ilmu psikoanalisis atau psikiatri, memberi gambaran seorang pengidap sakit jiwa yang lucu dengan spektrum kegilaan dari megalomania hingga skizofrenia paranoid. Namun jika kita membacanya lebih jauh, kita juga bisa menemukan hal yang lain bahwa, racikan cerita itu, seperti dakwaan Fyodor Dostoevsky, berisi tentang “kebohongan yang diselamatkan oleh kebohongan”. Don Quixote, dengan demikian, seyogianya tidak sekadar terbaca sebagai cerita tragis nan getir. Tapi kisah itu juga bisa mengilustrasikan persoalan krusial tentang hidup manusia yang disindirnya sekadar berkisar pada cerita-cerita fiksi (dan dusta) belaka.
Lantas, apakah serta-merta Don Quixote adalah kita—apakah kita adalah Homo quixotienses[3]; makhluk naratif yang dibentuk dari cerita, digerakkan oleh cerita, dan hidup untuk cerita?
Sejauh mana kita percaya bahwa cerita-cerita yang mendikte itu bukanlah cerita-cerita fiksi belaka; sejauh mana otak kita bisa membedakan antara yang fiksi dan yang fakta; sejauh apa kita menyadari bahwa, secara teknis, kita hanyalah ‘korban’ fiksi, atau ‘agen’ yang digerakkan oleh dongeng, mitos, legenda, gosip, ilusi, fantasi, simulasi, konspirasi(?)
Barangkali kita akan kesal lalu menyangkal. Dan barangkali spesies manusia-manusia modern yang mendaku punya akal-sehat akan balik mendikte, “Don Quixote itu gila! Wajar saja jika ia hidup dalam fantasinya.” Tapi barangkali Don Quixote akan terdengar akrab ketika suatu pagi kita terbangun dari lelahnya membaca teks kitab suci, semisal Das Kapital, dan berdiskusi tentang Marxisme berhari-hari lalu tiba-tiba kita keluar rumah dan membagi struktur di masyarakat menjadi kelas-kelas kemudian mengusung sebuah perjuangan atas nama kelas; atau sebagian kita ada yang kembali tidur setelah mendengar dongeng tentang Khilafah, padahal belum cuci kaki atau gosok gigi, dan mendaku sebagai orang-orang terpilih yang berkumpul di organisasi alam mimpi untuk menyatukan dunia dalam sebuah pemerintahan tunggal.
Atau barangkali Don Quixote akan terdengar akrab ketika bisikan-bisikan hantu-hantu cerdik di malam hari membuat seorang menteri ingin membubarkan sebuah organisasi keesokan harinya karena menganggapnya melawan dongeng negara. Barangkali Don Quixote akan terdengar akrab ketika kita yang saking seringnya mendengar kisah tentang “seorang anak Tuhan sedang digoda oleh Iblis” lalu membuat kita berkumpul di suatu tempat untuk menangis, membakar sesuatu, mendirikan sesuatu, sambil berteriak-teriak agar si anak Tuhan itu segera dibebaskan atas nama keadilan. Dan masih banyak barangkali-barangkali lainnya yang membuat Don Quixote akan terdengar akrab di setiap diri, yang, andai dibuatkan daftar, barangkali bisa melampaui narasi sel-sel saraf di otak kita yang jumlahnya ratusan juta.
Fenomena-fenomena ke-barangkali-an ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa ketika kita berperilaku, bahkan, ketika kita mengukuhkan sebuah identitas, selalu saja ada ‘jejaring cerita’ dan ‘perintah naratif’ yang beroperasi di balik pikiran kita, yang seolah ‘memaksa’ (menyihir dan menghegemoni) agar kita turut serta mengambil karakter juga pelbagai peran di dalamnya. Terdengar klise? Mungkin saja. Tapi persoalannya kemudian, sejauh mana kita percaya bahwa cerita-cerita yang mendikte itu bukanlah cerita-cerita fiksi belaka; sejauh mana otak kita bisa membedakan antara yang fiksi dan yang fakta; sejauh apa kita menyadari bahwa, secara teknis, kita hanyalah ‘korban’ fiksi, atau ‘agen’ yang digerakkan oleh dongeng, mitos, legenda, gosip, ilusi, fantasi, simulasi, konspirasi(?)
Kutukan Para Pendongeng
Ilustrasi yang lebih konkret mungkin tampak pada sosok Adolf Hitler. Dalam buku pertamanya, Mein Kampf (1925), Hitler pernah menulis tentang masa kecilnya yang begitu sangat mengidolakan Richard Wagner—seorang komposer Jerman anti-Semit yang meninggal 50 tahun sebelum ia berkuasa. Sosok Wagner seolah menjadi tuhan bagi Hitler muda. Dan narasi-narasi anti-Semit yang dikisahkan lewat musik dalam opera-operanya menjadi firman yang menenggelamkan Hitler ke dalam identitas fiksi, lalu hidup di dalamnya. Hitler terpesona oleh daya tarik ekstatis dari tema-tema besar Wagner yang bercerita tentang pengorbanan heroik dan pengkhianatan, penebusan dan kematian, juga mitos-mitos Jerman yang dihidupkannya kembali tentang hasrat titanis dan senja para dewa. “Dalam setiap fase hidup saya,” kata Hitler, “saya selalu kembali kepadanya (Wagner).”
Dan selayak Don Quixote, Hitler pun merasa diangkut oleh musik Wagner ke dalam “mistycal trance”; terjun ke dalam tontonan intim dari tokoh-tokoh heroik seperti Rienzi, Tannhäuser atau Siegfried yang tampaknya menantang kemapanan tatanan borjuis; atau penyelamat asketik seperti ‘Lohengrin dan Parsifal’ yang datang untuk menyelamatkan dunia dari korupsi dan dekadensi. Bahkan, dalam imajinasi Hitler, opera terakhir Wagner, ‘Parsifal’, adalah sebuah drama tentang “kemurnian darah” dan regenerasi rasial. Cerita-cerita fiksi inilah yang menjadi idealisme Hitler yang kemudian dikisahkan kepada para pengikut fanatiknya dan mendasari berdirinya partai NAZI dengan segala ke-Holocaust-annya itu.
Jejaring cerita yang mampu menenggelamkan setiap orang dalam narasinya bisa kita temukan di mana saja; di halaman-halaman buku, di panggung, di layar TV, di layar gadget, hingga pada perangkat-perangkat virtual reality.
Vladimir Lenin, seperti cerita dalam buku The Dilemmas of Lenin: Terrorism, War, Empire, Love, Rebellion (2017) karya Thariq Ali, konon mengalami hal yang sama seperti Hitler. Ketika teks-teks politik hangus terbakar di bawah rezim Tsar, dan ketika para esais perlawanan harus mendekam di rumah sakit jiwa sampai mereka melakukan pertobatan politik memohon untuk dinormalkan, Sang Bapak Uni Soviet ini memilih jatuh cinta pada sastra. Dan pada kecintaannya itu, ia mulai memetakan musuh-musuhnya dari figur-figur atau tokoh dalam karya-karya para sastrawan, semisal Goethe. Siapa yang mengira, ketenggelaman Lenin pada cerita-cerita fiksi telah memantik revolusi Oktober 1917 di Rusia.
Apa yang terjadi pada Hitler dan Lenin serta para pengikutnya menggambarkan aspek-aspek fungsional dari fiksi, meskipun mungkin ada yang rada ‘patologis’. Tapi terlepas dari pertimbangan-pertimbangan moral (karena persoalan ‘baik’ atau ‘buruk’ tergantung dari fiksi apa yang kita yakini atau yang menghegemoni kita), fenomena seperti ini dapat terjadi pada siapa saja, baik pada mereka yang pikirannya mengalir ke bumi, atau yang terbang hingga ke atmosfer, maupun yang pikirannya meledak-ledak bak kembang api di langit tujuh puluh dua bidadari. Demikian pula pada mereka yang berpaham datar-datar saja; normal atau idiot; kanan, moderat atau kidal—selama mereka masih merasa manusia, hidup mereka, sebenarnya, sedang didikte oleh jejaring cerita yang mengitarinya.
Cobalah tengok keseharian kita sekali lagi. Dengan medium cerita yang berkembang pesat—sejak Revolusi Gutenberg I (ditemukannya mesin cetak untuk buku), lahirnya televisi, Revolusi Gutenberg II (ditemukannya internet), hingga Era Zuckerberg (media sosial)—, jejaring cerita yang mampu menenggelamkan setiap orang dalam narasinya bisa kita temukan di mana saja; di halaman-halaman buku, di panggung, di layar TV, di layar gadget, hingga pada perangkat-perangkat virtual reality.
Tidak perlu repot-repot mengingat novel atau film yang pernah menginspirasi atau pernah membuat kita terpesona. Sebab kita juga pasti sering mendengarkan lagu yang liriknya membuat kita terbawa suasana. Atau bermain video game di mana kita ‘harus’ mengikuti alurnya, atau menonton reality show beserta iklannya di televisi yang mengajak kita untuk belanja mata dan belanja harta. Atau, kita juga sering membaca produk jurnalis di situs berita yang ditulis dengan pendekatan naratif fiksi yang penuh nuansa ketegangan dan karakter, hingga membuat kita bisa menyukai seorang tokoh tertentu atau bahkan saling membenci sesama. Itu semua menggambarkan pola-pola yang umumnya disebut “perendaman” (immersion)—yaitu pengalaman kehilangan diri di dunia fiksi yang terjadi ketika orang tidak hanya merasa diberi informasi atau dihibur, tapi benar-benar tergelincir ke dalam realitas fiksi yang diproduksi.
Cerita adalah abstraksi yang dapat menghasilkan simulasi realitas yang nyata, yang “berjalan di benak pembaca seperti simulasi komputer yang berjalan di komputer.” Dan fiksi—dengan detail sensasi, metafora imajinatif dan deskripsi tentang karakter dan tindakan mereka—menawarkan replika yang sangat kaya; fiksi bisa “menumbuhkan simpati dan empati,” serta mampu “mentransmisikan pengetahuan sosial” seperti: hasrat, emosi dan tujuan dalam konflik sebuah cerita ke pembacanya.
J.R.R. Tolkien, pengarang kisah paling mendalam sepanjang masa (trilogi The Lord of the Rings), dalam esainya yang berjudul “On Fairy-Stories” (2008), menggambarkan pengalaman seperti ini sebagai “keadaan tersihir” (enchanted state) atau keadaan di mana kerangka pikiran kita berada dalam sebuah cerita yang memasuki dunia cipta para pengarang. Kekuatan dari pengalaman semacam ini seringkali diabaikan karena ia bertolak-belakang dengan penilaian empiris kita bahwa cerita fiksi tidaklah nyata. Padahal dampaknya begitu besar; ‘hilang dalam fiksi’ berarti kita lupa bahwa kita adalah pembaca atau audiens sama sekali. Di sinilah proses dikte itu berlangsung. Fiksi “membuka pintu di waktu yang lain, dan jika kita lewat, meski hanya sesaat, kita berdiri di luar waktu kita sendiri,” kata Tolkien. Kita bisa menangis, marah, atau merasa ngeri, karena dalam narasi-narasi fiksi “suka cita dan kesedihan setajam pedang.”
Psikolog Kognitif University of Toronto, Keith Oatley dan Raymond Mar, dalam risalah mereka tentang “The Function of Fiction…” (2008) juga mendekati pengalaman ini dengan istilah “penyerapan” (absorption) dan “pengangkutan” (transportation), di mana sebuah cerita menuntut pembacanya untuk “memproyeksikan diri mereka ke dalam cerita” untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam cerita. Menurut Otley yang juga seorang novelis ini, cerita adalah abstraksi yang dapat menghasilkan simulasi realitas yang nyata, yang “berjalan di benak pembaca seperti simulasi komputer yang berjalan di komputer.” Dan fiksi—dengan detail sensasi, metafora imajinatif dan deskripsi tentang karakter dan tindakan mereka—menawarkan replika yang sangat kaya; fiksi bisa “menumbuhkan simpati dan empati,” serta mampu “mentransmisikan pengetahuan sosial” seperti: hasrat, emosi dan tujuan dalam konflik sebuah cerita ke pembacanya.
Riset-riset psikologi dan neurosains kognitif yang mempelajari tentang bagaimana cerita fiksi, terutama terkait narasi-narasi dalam novel, film, teater, dapat mempengaruhi pikiran telah banyak dilakukan. Dan rata-rata hasilnya konsisten menyatakan bahwa ketika kita mendengar atau membaca sebuah cerita, kita secara mental akan “mewujudkan” pelbagai aspek narasi dan dengan jelas mem-visualisasi-kan apa yang sedang terjadi dalam cerita. Kita benar-benar melakukan “acting” cerita di tingkat tertentu di otak kita atau, setidaknya, di daerah otak yang terkait dengan pelbagai aspek seperti memproses tujuan yang diarahkan pada aktivitas manusia, menavigasi lingkungan spasial, dan memanipulasi objek secara manual di dunia nyata.
Menurut Boyd, apa yang mendorong orang ingin menggabungkan identitas mereka ke dalam cerita ialah kodrat manusia yang cenderung selalu ingin memasuki “dunia tempat tinggalnya—yaitu dunia cerita.”
Pengalaman simulatif yang diberikan oleh narasi fiksi ini memang memiliki akar pada teori kognisi, namun ia akhirnya mendapatkan “pijakan-material”-nya dengan ditemukannya “sistem neuron cermin” (mirror neuron system) pada otak manusia. Ungkapan “neuron cermin” ini mengacu pada neuron-neuron di Frontal Cortex yang menyala saat kita melakukan sesuatu dan ketika kita melihat orang lain melakukannya. Sedangkan untuk ihwal emosi, eksperimen menunjukkan bahwa Insula kita menjadi aktif baik ketika kita sedang merasa emosional atau ketika kita menyaksikan ekspresi wajah orang lain yang sedang emosional. Paradoksnya, kita berbagi emosi tapi kita tidak merasakannya sendiri-secara-langsung, melainkan melalui emosi orang lain. Penemuan “neuron cermin” ini dapat menjelaskan mengapa kita menanggapi karakter fiksi sebagai sesuatu yang nyata meskipun kita tahu itu tidak benar. Ini juga menjelaskan tanggapan emosional kita terhadap film, novel, teater dengan rasa marah, sedih atau ngeri meskipun kita tahu itu hanyalah fiksi.
Vittorio Gallese, salah satu anggota tim penemu “neuron cermin”, dalam ulasannya tentang “Motion, Emotion, and Empathy in Esthetic Experience” (2007), mengatakan bahwa “neuron cermin” membuat simulasi tindakan yang kita lihat pada orang lain tampil sebagai representasi viscero-motor dan somatosensory di otak kita sendiri. Dan bukan hanya gerakan. Kita juga memetakan tujuan tindakan orang lain ke sistem motorik kita, dan bahkan niat dan emosi yang menyertai tindakan itu. Dengan kata lain, “neuron cermin” memberi kita “simulasi yang diwujudkan” (embodied simulation) bukan hanya tindakan tapi juga pikiran dan perasaan orang lain atau karakter dalam fiksi, dan kita men-share-nya di tubuh kita. Demikian, jika analisis-analisis ini benar, maka keadaan ‘hilang dalam fiksi’ yang mengaktual di kehidupan nyata merupakan bentuk ekstrem dari proyeksi diri pembaca ke dalam cerita.
Cerita tidaklah berakhir dalam bentuknya sebagai narasi-narasi yang tertuang atau termediasi oleh perangkat-perangkat, melainkan juga memperoleh jelmaannya sebagai narasi yang dimediasi oleh imajinasi-imajinasi kita sendiri. Dan cerita selalu menarik siapapun bagai medan gravitasi yang tak terhindarkan.
Cerita tidaklah berakhir dalam bentuknya sebagai narasi-narasi yang tertuang atau termediasi oleh perangkat-perangkat, melainkan juga memperoleh jelmaannya sebagai narasi yang dimediasi oleh imajinasi-imajinasi kita sendiri. Dan cerita selalu menarik siapapun bagai medan gravitasi yang tak terhindarkan.
Alasan lain yang membuat kita bisa hilang dalam cerita fiksi ialah adanya keinginan bawaan kita untuk melibatkan diri dalam cerita, dan ini bukanlah dorongan yang asal-asalan, melainkan respon adaptif mendasar manusia. Dalam buku On the Origin of Stories: Evolution, Cognition and Fiction (2009), profesor sastra di University of Auckland, Brian Boyd, berpendapat bahwa keinginan manusia untuk tunduk terendam dalam cerita berakar jauh di dalam jiwa manusia; semacam terdapat “bisikan konspiratorial”, kata Boyd, yang selalu mendorong “penyerahan diri” agar kita mau “membenamkan diri dalam cerita berulang kali.” Sebuah cerita hanyalah kunci, tapi seperti kunci, yang ada hanya membuat kita sampai di pintu. Menurut Boyd, apa yang mendorong orang ingin menggabungkan identitas mereka ke dalam cerita ialah kodrat manusia yang cenderung selalu ingin memasuki “dunia tempat tinggalnya—yaitu dunia cerita.”
Seseorang lelaki bisa saja mau meledakkan dirinya dengan bom karena fiksi tentang ‘bidadari surga’, tapi lelaki yang lain bisa saja mampu merokok lima bungkus per hari karena fantasi fiksi dalam iklan rokok menggambarkan mitos tentang ‘pria sejati’. Demikian halnya seseorang bisa saja rela menjaga nyala lilin semalam suntuk di depan kantor polisi hanya karena figur politik yang dikiranya Robin Hood atau anak Tuhan sedang diperlakukan tidak adil, tapi seseorang remaja milenial bisa saja tiba-tiba depresi dan menangis guling-guling hanya karena tidak sempat menjalankan ritual berjamaah menonton sekuel film Star Wars yang terbaru.
Hal senada juga dinarasikan oleh Jonathan Gottschall dalam bukunya, The Storrytelling Animal: How Stories Make Us Human (2012), bahwa manusia adalah spesies yang kecanduan cerita—dan kecanduan itu berjalan lebih dalam dari yang kita duga. “Kita bisa saja meninggalkan buku atau layar gadget kita,” kata Gottschall, “tapi kita tidak bisa lari meninggalkan cerita.” Selalu ada cerita di mana-mana. Cerita tidaklah berakhir dalam bentuknya sebagai narasi-narasi yang tertuang atau termediasi oleh perangkat-perangkat, melainkan juga memperoleh jelmaannya sebagai narasi yang dimediasi oleh imajinasi-imajinasi kita sendiri. Dan cerita selalu menarik siapapun bagai medan gravitasi yang tak terhindarkan.
Ketika kita bermimpi misalnya, kita sebenarnya sedang terjerat dalam sebuah cerita di malam hari, sebuah “halusinasi sensorimotor yang kuat dengan struktur naratif” yang isinya selalu tentang “pertarungan” atau “perlarian”, dan, menurut Gottschall, “kita menjalani mimpi mirip dengan menjalani kisah hidup selama lebih dari enam tahun yang padat dari 70 tahun kehidupan kita.” Saat kita terjaga, kita pun masih terus menjalani cerita. Melamun, kata Gottschall, juga adalah cerita; setiap kali pikiran kita bosan dan tidak sedang disibukkan oleh tuntutan tugas-kerja, kita akan berada pada “waking mind’s default state” yang memungkinkan kita untuk menyaring fragmen-fragmen imaji tentang segala keinginan (atau ketakutan) yang menjadi kenyataan. Dan, konon, “kita menghabiskan sampai delapan jam sehari untuk berfantasi dari sepertiga kehidupan kita di muka bumi.”
Begitu pula dengan fenomena beragama. Jika kita membolak-balik kitab suci dari agama apa pun, kita juga akan menemukan beragam antologi cerita, seperti: Kejatuhan, Air Bah, Malaikat Jibril yang membedah Muhammad, atau Prometheus yang mencuri api Olimpia. Siapapun kita yang beragama, pasti akrab dengan cerita-cerita agamanya masing-masing. Sebab, sedari kecil (dan mungkin sejak dalam kandungan), cerita-cerita seperti itu selalu menemani (untuk tidak mengatakan ‘menghantui’) dan menjadi landasan hidup kita. “Sepanjang sejarah spesies kita, fiksi suci telah mendominasi eksistensi manusia,”kata Gottschall, “dan agama adalah ekspresi tertinggi dari dominasi cerita atas pikiran kita.”
Demikian, apa yang kita sebut sebagai kisah hidup yang di dalamnya berisi identitas hingga tindak-tanduk kita, bagi Gottschall, tidak lain hanyalah kelindan “mitos-mitos pribadi” tentang siapa kita jauh di dalamnya—dari mana kita berasal dan bagaimana kita bisa menjalaninya. Kita hidup selalu berlindung dalam cerita-cerita yang akrab; senang mencari pelarian dalam film, novel, atau dongeng agama; juga suka mendengar cerita-cerita motivasi, tertarik pada zodiak, motto, slogan, quotes, prinsip, ideologi, utopia; dan kadang menyamakan atau menemukan diri kita sebagai pahlawan dalam mitos kuno atau tokoh-tokoh protagonis dalam cerita-cerita yang kita lihat atau dengar. Itu semua bisa terjadi karena karakter pikiran manusia pada hakikatnya adalah “pikiran yang mendongeng” (storrytelling mind).
Derajat keterendaman kita dalam dongeng konvensional mungkin tidak se-radikal Hitler, Lenin, dan tentu saja, Don Quixote. Namun relatif pasti bahwa setiap orang punya sisi radikalnya masing-masing terhadap fiksi yang didiktekan kepadanya. Seseorang lelaki bisa saja mau meledakkan dirinya dengan bom karena fiksi tentang ‘bidadari surga’, tapi lelaki yang lain bisa saja mampu merokok lima bungkus per hari karena fantasi fiksi dalam iklan rokok menggambarkan mitos tentang ‘pria sejati’. Demikian halnya seseorang bisa saja rela menjaga nyala lilin semalam suntuk di depan kantor polisi hanya karena figur politik yang dikiranya Robin Hood atau anak Tuhan sedang diperlakukan tidak adil, tapi seseorang remaja milenial bisa saja tiba-tiba depresi dan menangis guling-guling hanya karena tidak sempat menjalankan ritual berjamaah menonton sekuel film Star Wars yang terbaru.
“Hidup menggonggong kita,” kata Gottschall, “kita bersembunyi darinya di dalam fiksi.” Dus, dalam kita menjalani hidup, kita sebenarnya lebih banyak menghabiskan waktu di dunia fiksi daripada hidup di dunia riil. Dunia fiksi telah menjadi tempat tinggal kita. Dan di habitat istimewa kita itu, kita hidup beradaptasi bersama lumur-lendir simbol, metafor, analogi, perumpamaan, synecdoche, kiasan yang saling bertaut-tindih dengan cerita-cerita fiksi yang pernah kita baca, dengar, dan saksikan dalam kesadaran maupun ketidaksadaran, atau pun fiksi kolektif yang sengaja di-dikte-kan kepada kita.
Penunggang Kuda yang sedang Menunggangi Gajah di Kepalanya
Metafor, simbol, dan sejenisnya—barangkali kita cukup memahaminya. Dalam pengertian yang tradisional, kita dapat mengenali metafor sebagai bahasa figuratif atau ornamen-ornamen yang bertaburan dalam narasi-narasi sastra, film, atau teater. Inti dari segala cerita fiksi adalah metafor. Namun, sebagaimana cerita telah berhamburan di mana-mana, maka metafor pun dapat kita temui di mana saja: dalam teks-teks agama, narasi iklan, narasi politik, narasi propaganda, cerita-cerita provokasi, yel-yel pergerakan, cerita-cerita ‘playing victim’ di media sosial, hingga narasi-narasi dalam khayalan kita sendiri. Metafor telah menjadi “kondisi antropologis” kita—menjadi cara berada kita di dunia. Kita akhirnya berhubungan dengan segala hal ihwal di luar diri kita tidak pernah secara langsung, melainkan via metafor. Identitas kita adalah metaforis. Tindak tanduk kita pada gilirannya tentu saja juga metaforis.
Segala hal ihwal ini menandakan bahwa kita memang telah “manunggaling” di dalam fiksi: kita tidak bisa lagi membedakan antara yang fiksi dan fakta, antara yang metafor dan yang literal, antara ilusi dan kenyataan. Dan sialnya, bukti-bukti dari studi kognitif sekali lagi mengafirmasi hal ini, bahwa, tanpa kita sadari, otak kita juga bekerja secara paradoks nan metaforis, serta dapat mengaburkan fakta ketika kita diperhadapkan pada metafor.
Alonso Quixano mungkin memahami bahwa “kincir angin” bukanlah musuh manusia, tapi Don Quixote tetap ngotot berkuda untuk mengalahkannya karena meganggapnya sebagai “raksasa” yang jahat. Kita memahami bahwa “sepotong kain” berbeda dengan “sebuah negara”, tapi dalam kehidupan metaforis kita, potongan kain yang diberi warna tertentu dapat mewakili hikayat sebuah negara beserta nilainya, dan bahwa membakar atau mencorat-coret bendera semacam itu adalah sebuah tindakan pelecehan. Jika kita berasal dari jenis teologi tertentu, kita akan melihat cerita tentang “roti dan anggur” terjalin dengan “tubuh dan darah”. Begitu pula dengan stereotype dan prejudice yang sering kita sematkan kepada “orang-orang tertentu” dengan kata atau kalimat yang berasal dari teks-teks fiksi yang kita yakini seperti kata “kafir”, “anak PKI”, “anak Tuhan” atau “Robin Hood”. Termasuk menganggap bahwa “menyalakan lilin” sama halnya dengan “menyalakan sebuah keadilan”.
Segala hal ihwal ini menandakan bahwa kita memang telah “manunggaling” di dalam fiksi: kita tidak bisa lagi membedakan antara yang fiksi dan fakta, antara yang metafor dan yang literal, antara ilusi dan kenyataan. Dan sialnya, bukti-bukti dari studi kognitif sekali lagi mengafirmasi hal ini, bahwa, tanpa kita sadari, otak kita juga bekerja secara paradoks nan metaforis, serta dapat mengaburkan fakta ketika kita diperhadapkan pada metafor. Celakanya lagi, metafor-metafor itu dapat beroperasi tidak hanya mendikte atau memanipulasi otak kita, tapi juga mampu mengubah pendapat, penilaian, hingga cara kita bertindak dalam kehidupan—layaknya Don Quixote.
Profesor Biologi dan Neurologi di Stanford University, Robert Sapolsky, dalam sebuah ulasannya di situs “On the Human” (2010) memberi simulasi yang brilian tentang hal ini, di mana otak kita tidak mampu membedakan antara yang metafor dan yang literal dalam narasi-narasi keseharian yang sederhana. Ketika kita melihat seekor binatang (atau manusia) memakan makanan yang busuk, misalnya, maka area saraf gustatory di otak kita yang disebut Insula akan aktif, membuat kita merasa jijik. Demikian halnya ketika kita mencium bau makanan yang menyengat dan tidak mengenakkan, Insula kita akan teraktivasi pula. Dan ini berlaku juga ketika kita sekadar membayangkan makanan yang busuk.
Sekarang, jika kita membaca berita di sebuah koran tentang seorang nenek renta yang rumahnya digusur oleh pemerintah atau perusahaan tertentu tanpa kompensasi yang adil; atau mendengar cerita tentang seorang pasien darurat yang memiliki asuransi kesehatan tapi di tolak oleh rumah sakit, maka kita akan memikirkan hal-hal seperti: orang-orang atau institusi itu adalah para bajingan busuk, mereka sampah, lebih buruk dari cacing, atau orang-orang itu membuat kita ingin muntah. Dan tebak, area otak apa yang teraktivasi? Itu adalah Insula. Atau Pikirkan sesuatu yang memalukan dan busuk yang pernah kita lakukan di masa lalu … hal yang sama, Insula juga teraktivasi.
Di sini, menurut Sapolsky, Insula kita tidak hanya aktif pada stimulus sensoris yang menjijikkan (sensory disgust), tapi juga tentang kejijikan pada aspek moralitas (moral disgust). Keduanya merupakan hal yang berbeda, tapi bagian otak kita meresponnya dengan cara yang sama. Demikian halnya dengan respon kita terhadap “rasa nyeri”, bagian otak yang disebut Anterior Cingulata tidak bisa membedakan antara “nyeri fisik” (seperti, nyeri akibat di tusuk jarum) dan “nyeri psikis” (seperti: ikut merasa nyeri saat melihat pacar yang tertusuk jarum, atau ikut merasakan penderitaan orang lain, atau bahkan, nyeri ketika kita mengalami depresi secara klinis). Sapolsky menyebut fenomena-fenomena ini sebagai “kebingungan neural” (neural confusion) atau “kebingungan otak” (brain confusion).
Seturut dalam uraian Sapolsky, studi yang dilakukan oleh Chen-Bo Zhong dari University of Toronto dan Katie Liljenquist dari Northwestern University mengeksplorasi tentang apa yang mereka sebut “Macbeth effect”—yaitu, ancaman terhadap kemurnian moral seseorang yang mendorong kebutuhan untuk membersihkan diri sendiri—yang merupakan elemen penting dalam ritual-ritual kegamaan selama ribuan tahun. Dalam publikasi yang diberi judul “Washing Away Your Sin…” (2006), studi ini juga menunjukkan bahwa otak kita mengalami kebingungan dalam hal membedakan secara literal dan metaforis antara “kotor” (yang membutuhkan mandi) dan “kotor” (dalam arti bajingan yang punya dosa di masa lalu); atau dalam pengertian kita, seperti membedakan antara kata “cuci” dan “suci”.
Dalam studi ini, relawan diminta untuk mengingat tindakan moral atau amoral di masa lalu mereka. Setelah itu, sebagai tanda penghargaan, peneliti menawarkan kepada relawan sebuah pilihan antara diberi pensil atau diberi tisu antiseptik. Hasilnya, orang-orang yang baru saja berkubang dalam kegagalan etis (atau dosa-dosa masa lalu) mereka cenderung memilih tisu antiseptik. Dalam studi berikutnya, relawan diminta untuk mengingat tindakan tidak bermoral mereka. Setelah itu, relawan diberi lagi kesempatan untuk melakukan atau tidak membersihkan tangan. Mereka yang mampu mencuci tangannya cenderung tidak merespon permintaan bantuan (yang telah disediakan para peneliti) yang datang segera. “Cuci tangan bisa membersihkan najis fisik, tapi juga bisa menyucikan emosi moral,” kata Zhong. Rupanya, Lady Macbeth dan Pontius Pilatus bukan satu-satunya yang secara metaforis membebaskan dosa mereka dengan mencuci tangan.
Contoh lain bagaimana otak menghubungkan literal dan metafor berasal dari sebuah studi yang dilakukan oleh Lawrence Williams dari University of Colorado dan John Bargh dari Yale University. Dalam publikasi berjudul “Experience Physical Warmth Promotes Interpersonal Warmth” (2008), peneliti berhipotesis bahwa pengalaman “hangat” (atau “dingin”) fisik akan meningkatkan perasaan “hangat” (atau “dingin”) interpersonal, tanpa disadari oleh subyek. Penelitian pun didesain di mana peserta diminta bertemu dengan salah satu peneliti di laboratorium untuk memulai eksperimen. Tapi tanpa sepengetahuan peserta, eksperimen telah dimulai ketika peneliti sengaja menghampiri mereka di lift saat hendak menuju laboratorium.
Di dalam lift, peneliti bercakap santai dengan peserta, lalu meminta mereka untuk memegang kopinya sebentar dengan alasan, peneliti ingin mencatat informasi tentang identitas peserta pada clipboard yang ia pegang. Suhu kopi (hangat atau dingin) adalah satu-satunya manipulasi eksperimen terhadap peserta. Dan sesampainya di laboratorium, peserta menerima sebuah paket berisi kuesioner kesan kepribadian, kemudian mereka diminta untuk menilai kepribadian individu target dalam kuesioner. Seperti yang dihipotesiskan, perserta yang sempat memegang cangkir “kopi hangat” ternyata signifikan memberi penilaian bahwa individu target memiliki “kepribadian yang lebih hangat” (ramah, dermawan, peduli).
Bargh (dkk) juga melakukan studi lain yang serupa terkait “sensasi sentuhan” (haptic sensations) yang bisa menghasilkan “pola pikir terkait sentuhan” (haptic mindset)—dalam arti sensasi sentuhan dapat mempengaruhi proses kognitif sosial melalui metafor yang spesifik. Pada makalah “Incidental Haptic Sensations Influences Social Judgments and Decisions” (2010), relawan diminta untuk mengevaluasi resume-resume pelamar kerja yang dilampirkan ke clipboard dengan dua bobot yang berbeda. Hasilnya: relawan yang mengevaluasi resume pelamar sambil memegang clipboard yang “berat” cenderung menilai pelamar memiliki minat yang “lebih serius”. Menurut Bargh, ini bisa terjadi tampaknya berhubungan dengan idiom seperti “memikirkan hal-hal yang berat” disamakan dengan “berpikir serius”. Efek lain yang juga terjadi dalam studi ini, yakni: “benda kasar” membuat “interaksi sosial tampak semakin sulit”, dan “benda keras” meningkatkan “kekakuan dalam negosiasi”.
Pengalaman emosional kita, seringkali mendahului pengalaman kognitif kita. Dan konsekuensi dari hal ini tentu dilematis. Seperti halnya kita menyukai tokoh protagonis dan membenci yang antagonis dalam sebuah cerita fiksi; kita bisa bersimpati atau bahkan berempati kepada orang lain dalam kehidupan keseharian karena adanya kebingungan neural ini, dan yang menjadi alasan kita bisa saling membenci satu sama lain adalah juga efek dari kebingungan neural kita terhadap metafor.
Berangkat dari studi tentang sensasi di atas, Mark Landau dan Daniel Sullivan dari University of Kansas dan Jeff Greenberg dari University of Arizona melakukan studi yang lebih luas berkenaan dengan topik sosial dan politik dalam rangka membentuk atau mengubah keyakinan orang. Mereka pun berhipotesis: apakah, ketika orang memiliki motif tertentu dan terpapar pada framing linguistik dari topik sosial yang secara metaforis mengaitkan motif dengan topik, sikap mereka terhadap topik akan berubah dalam arah pemberian motif? Dalam salah satu desain penelitiannya, sebagian peserta diminta untuk membaca sebuah artikel (fiktif, gosip, hoax) yang seolah-olah diambil dari majalah sains populer, yang menggambarkan adanya ancaman kontaminasi bakteri yang sudah memenuhi udara dan berisiko mengganggu kesehatan. Setelah itu, semua peserta kemudian di minta membaca esai yang menarasikan masalah domestik Amerika Serikat (seperti masalah imigrasi).
Dalam bingkai metaforis, esai tersebut berisi bahasa yang secara halus mengandaikan Amerika Serikat sebagai “sebuah tubuh” (misalnya pada kalimat: “After the Civil War, the United States experienced an unprecedented growth spurt, and is scurrying to create new laws that will give it a chance to digest the millions of innovations”). Isu dan opini domestik yang sama juga didiskusikan dalam bingkai literal dengan menggunakan parafrase harfiah dari metafor (“After the CivilWar, the United States experienced an unprecedented period of innovation, and efforts are now underway to create new laws to control the millions of innovations”). Hasilnya: peserta yang telah membaca informasi tentang bakteri yang menakutkan cenderung menjadi konservatif dan memiliki pandangan negatif terhadap imigrasi serta bersikap lebih keras terhadap imigran yang memasuki Amerika Serikat ketika negara itu dibingkai dalam istilah tubuh-metaforis, bukan harfiah.
Dari studi-studi ini, kita bisa melihat bahwa terdapat potensi untuk memanipulasi perilaku seseorang dengan memanfaatkan kebingungan literal-metaforis otak tentang pelbagai hal. Ini menjelaskan bahwa pengalaman emosional kita, seringkali mendahului pengalaman kognitif kita. Dan konsekuensi dari hal ini tentu dilematis. Seperti halnya kita menyukai tokoh protagonis dan membenci yang antagonis dalam sebuah cerita fiksi; kita bisa bersimpati atau bahkan berempati kepada orang lain dalam kehidupan keseharian karena adanya kebingungan neural ini, dan yang menjadi alasan kita bisa saling membenci satu sama lain adalah juga efek dari kebingungan neural kita terhadap metafor.
Jonathan Haidt, profesor psikologi sosial yang juga filsuf libertarian, dalam buku The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politic and Religion (2012), telah menunjukkan bagaimana viscera (berkaitan dengan organ dalam perut; sensasi jijik) dan emosi seringkali mendorong pengambilan keputusan moral kita, dengan kognisi sadar yang muncul setelahnya, mencoba membuat rasionalisasi untuk “keputusan usus” tersebut. Pada pertengahan tahun 1990-an, terjadi genosida orang Tutsi di Rwanda yang dilakukan oleh saudara mereka dari suku Hutu. Peristiwa ini bisa terjadi karena para propagandis Hutu, ketika menyerukan pemberantasan orang-orang Tutsi, secara spesifik menyebut mereka sebagai “kecoa”. Haidt berkata, “Orang-orang mengikat diri mereka ke dalam tim politik yang berbagi kisah-kisah moral. Dan begitu mereka menerima sebuah narasi tertentu, mereka menjadi buta terhadap dunia moral alternatif.” Hal ini disebabkan oleh “pikiran manusia adalah sebuah prosesor cerita (story processor), bukan prosesor logika (logic processor).”
David Livingstone Smith, yang menulis buku Less Than Human: Why We Demean, Enslave, and Exterminate Others (2011) juga menuturkan bahwa dalam sejarah peradaban-peradaban dunia, manusia seringkali menggambarkan manusia lain yang dianggap musuh sebagai subhuman. Sebab hanya dengan begitu manusia bisa membebaskan agresi dan menyingkirkan target agresi dari komunitas moral. NAZI, sebagaimana Wagner menggambarkan orang Yahudi sebagai “tikus hama, kutu, kanker di dalam tubuh bangsa,” atau penyair dan novelis Rusia-Yahudi, Ilya Ehrenburg, mengeluarkan propaganda anti-Jerman dengan sebutan “bau nafas binatang Jerman” dan “binatang berkaki dua” untuk didistribusikan ke Tentara Merah Stalin. Menurut Smith, metafor-metafor ini akan berlaku sama nyatanya dengan kenyataan. Dan orang-orang yang terpapar metafor itu akan melakukan penipuan-diri (self-deception) yang meyakinkan (false-belief) bahwa mereka benar-benar membunuh kecoa, tikus atau binatang, dan bukan manusia tidak berdosa.
Smith berkata, “Kita semua tahu, terlepas dari apa yang kita lihat di bioskop, sangat sulit, secara psikologis, membunuh manusia lain dari dekat dengan darah dingin, atau untuk bertindak kejam pada mereka.” Sehingga, “untuk mengatasi hambatan alami ini, orang lain harus digambarkan seperti hewan mainan atau hama atau pemangsa yang berbahaya.” Atau meminjam argumen Sapolsky, “Bawa seseorang ke titik di mana Insula-nya diaktifkan, lalu arahkan pada semua orang, maka ia akan senang bisa bergabung dalam pertumpahan darah.”
Cara kerja otak kita yang seperti ini tentu saja menjengkelkan. Karena evolusi ternyata tidak membuat kita menjadi sedemikian rasional. Tapi cara kerja otak ini mungkin terdengar akrab jika kita pernah menyentuh “Blink” Malcolm Gladwell, “Thinking Fast, Thinking Slow” Daniel Kahneman, atau “Predictably Irrational” Dan Arielly, di mana secara garis besar menunjukkan bahwa, intuisi dan emosi selalu datang pertama, penalaran strategis kita datang setelahnya. Gallese juga menyebut pola ini sebagai “Mindreading”, tapi, katanya, ini merupakan “sesuatu yang berjalan lebih cepat, lebih dalam, lebih primitif, sesuatu yang pra-rasional, sesuatu yang tidak dapat kita ekspresikan secara verbal dan kognitif.” Dan pengalaman irasional ini adalah normal.
Haidt juga memiliki metafor yang lebih unik untuk menggambarkan hubungan antara intuisi dan emosi yang tidak disadari terhadap nalar rasional kita. Metafor yang disukai Haidt adalah “Gajah dan Penunggangnya” (the Elephant and the Rider), di mana, “Gajah” adalah kumpulan bias, heuristik, dan emosi yang membentuk sebagian besar kehidupan moral kita sehari-hari; sementara “Penunggang” (nalar) adalah rasionalisasi pos hoc pada posisi yang sudah ditentukan oleh bias kita. Penunggang memang bisa melatih Gajah namun hanya sampai pada batas-batas tertentu. Dan sang Penunggang itu mudah tertipu dengan pemikiran bahwa ia lebih bertanggung jawab daripada hal itu, padahal Gajah lebih mendominasi daripada dirinya. Haidt berpendapat, “Setiap penalaran individu benar-benar hebat dalam satu hal: menemukan bukti untuk mendukung posisi yang telah dipegangnya, biasanya karena alasan intuitif (yang sudah jadi).” Oleh karenanya, “Barangsiapa yang menghargai kebenaran seharusnya berhenti menyembah akal.”
Dengan demikian, adanya ‘saraf yang bingung’ (sang Gajah) di otak kita ini, semakin mempertegas bahwa, setiap orang bisa menyerupai Don Quixote. Orang-orang bisa saja berfantasi menjadi sosok pahlawan yang menunggang kuda, tapi di dalam otaknya, ia sebenarnya hanya sedang menunggangi Gajah—dalam arti bahwa apa yang ia kerjakan semata-mata hanyalah ‘perintah’ fiksi-fiksi yang mereka anut atau yang mendiktenya. Sehingga, dapat dikatakan pula bahwa, untuk menjadi Don Quixote, seseorang tidak harus menjadi gila. Seorang ‘pengarang cerita’ cukup membingkai suatu masalah secara linguistik menggunakan ungkapan metaforis yang terkait, maka itu akan membuat orang lain menjadi ‘korban atau agen yang tergerak oleh kisah-kisah’.
Mengutip kembali Gottschall, “Fiksi adalah teknologi virtual reality yang kuat dan kuno yang mensimulasikan dilema besar kehidupan manusia.” Jika kita menginginkan sebuah pesan masuk ke dalam pikiran manusia, maka kerjakanlah itu menjadi sebuah cerita. Dan dunia ini bisa menjadi buruk atau menjadi lebih baik, itu hanya karena sihir narasi dan hegemoni fiksi. “Kita mungkin menganggap diri kita kritis dan skeptis, tapi ketika kita sudah terserap dalam jejaring cerita, kita menjatuhkan penjaga intelektual kita,” kata Gottschall lagi. Demikian, kita, yang merasa manusia ini, sebenarnya hanya saling memanfaatkan ‘kebingungan neural’ di antara kita untuk menggerakkan sejarah.
“Quo Vadis, Homo Quixotienses?”
“Inilah orang yang bodoh: seorang pria yang selalu menjadi pencerita dongeng, dia hidup dikelilingi oleh ceritanya sendiri dan cerita-cerita orang lain. Dia melihat segala sesuatu yang terjadi padanya melalui cerita-cerita; dan dia mencoba menjalani hidupnya seolah-olah dia menceritakannya kembali. Tapi Anda harus memilih: (sekadar) hidup atau bercerita.”
—Jean-Paul Sartre (Nausea, 1949)
Evolusi, tampaknya menjadi biang keladi keterlemparan kita ke dunia fiksi, di mana keterlemparan ini menandai transendensi (pelampauan) manusia terhadap kodrat yang bisa dicapai oleh para hewan. Sebab, fenomena-fenomena hidup di alam metaforis itu hanya terjadi di dunia manusia. Coba saja tengok dunia perbinatangan, atau silakan dibuktikan sendiri dengan menonton NatGeo channel sepanjang hayat. Tapi kita tidak akan pernah menyaksikan ada satu harimau yang tiba-tiba menjadi rasis terhadap kucing dan mengajak harimau lainnya untuk membantai para kucing di rumah-rumah warga setelah, misalnya, menonton film G30S a la Orde Baru. Tidak ada pula seekor babi ternak yang akan melakukan revolusi terhadap tatanan majikannya meskipun ia telah membaca berkali-kali novel Animal Farm karya George Orwell.
Meskipun seluruh pohon-pohon di hutan belantara kita ganti dengan buku-buku, dan meskipun di sepanjang aliran sungai kita dirikan bioskop atau panggung teater dengan film-film dan lakon-lakon yang menghanyutkan, kita tidak akan pernah menemukan satu hewan pun yang bisa tenggelam dalam narasi atau mengalami efek ‘quasi-relijius’ terhadap cerita-cerita fiksi. “ . . . Hanya binatang yang hidup di sini dan sekarang. Hanya alam yang tidak mengenal sejarah maupun kenangan. Tapi manusia—izinkan saya memberi definisi—adalah hewan yang mendongeng. Ke mana pun ia pergi, ia tak ingin tinggal di tempat yang pikuk, tidak pula di tempat yang hampa, tapi di tempat yang penuh coretan tinta, juga jejak-tanda cerita-cerita,” kata Graham Swift dalam novelnya, Waterland (1983).
Yuval Noah Harari, sejarawan Israel yang menjadi penulis favorit para penguasa dunia nyata maupun maya, menandaskan dalam buku teranyar pertamanya, Sapiens: A Brief History of Humankind (2014), bahwa, dari semua spesies yang hidup di bumi, memang hanya manusia yang mampu mengembangkan cerita dan mencipta fiksi, dan sekaligus mempercayainya, serta hidup di dalamnya. Dan ketertarikan manusia terhadap cerita-cerita fiksi ini adalah anugerah evolusi yang tidak bisa dihindari serta sudah terjadi sejak puluhan ribu tahun yang lalu.
Sejak Zaman Batu, kehidupan awal manusia memang nyaris tak ada bedanya dengan hewan. Manusia hidup berlandas pada kondisi naturalnya dengan kemampuan dasar berburu dan mengumpulkan makanan. Dan seperti halnya hewan, manusia pada saat itu hanya mengenal dua realitas: di satu sisi, mereka mengenal realitas objektif seperti pohon, batu dan sungai di sisi lain, mereka menyadari pengalaman subyektif seperti rasa takut, suka cita dan keinginan.[4] Manusia juga belajar hidup berkelompok, tapi, seperti hewan, ikatan kelompok dibangun berdasarkan kekerabatan atau keintiman dengan jumlah yang minimalis. Namun semuanya berubah ketika terjadi revolusi kognitif sekitar 70.000 tahun yang lalu, yang memungkinkan manusia tidak hanya mengenal pohon, singa, rasa takut, dan keinginan, tapi juga mulai membicarakan hal-hal yang hanya ada dalam imajinasinya.
Syahdan, di masa itu, fiksi-fiksi—seperti legenda, mitos, dewa-dewa dan agama—muncul untuk pertama kalinya yang membuat manusia mampu berhimpun dan membentuk kelompok dalam jumlah yang sangat besar yang tidak bisa dilakukan oleh spesies yang lain. Ketika hewan-hewan non-manusia sekelas simpanse juga mampu mengembangkan bahasa vokal dan menggunakan suara-suara tertentu yang, oleh para ahli zoologi, teridentifikasi sebagai peringatan bagi kelompoknya, semisal: “Awas! Ada singa!”; berkat revolusi kognitif, manusia di kala itu sudah mampu bercerita tentang “Singa adalah Roh penjaga suku kita.” Metafor-metafor imajinatif seperti ini merupakan fitur unik dari bahasa yang berhasil manusia kembangkan.
Apa yang hari ini kita sebut agitasi, propaganda, hoax (dalam arti sempitnya) adalah alat yang sudah ribuan tahun digunakan manusia untuk mengubah atau mempertahankan tatanan sosialnya. Sejarah bisa berubah karena landasan fiksinya berubah. Demikian halnya untuk menjaga sebuah tatanan, maka fiksinya akan dijaga—mitos, legenda dan kisah hantu-hantu yang melandasinya akan dirawat dengan subur.
Adanya fitur unik itu membuat manusia terus menciptakan fiksi dan mengarang cerita tentang apa saja. Mereka menunjuk pohon sebagai tempat keramat yang dihuni oleh arwah para leluhur, mereka mengultuskan sungai, dan menganggap benda-benda di langit sebagai dewa-dewi. Mereka juga merumuskan bagaimana harus berperilaku terhadap segala realitas imajiner itu dengan membangun kuil, mengembangkan ketakutan, menawarkan pengorbanan, dan melakukan pemujaan terhadap makhluk-makhluk khayalan mereka sendiri. Menurut Harari, cerita-cerita semacam inilah yang membentuk identitas manusia, dan terutama, merekatkan jaringan intersubyektif antar manusia untuk memperluas jangkauan keintiman. Dan sejak saat itu, Homo sapiens membangun sistem sosialnya dengan berlandaskan pada fiksi. Inilah awal mula manusia melakukan migrasi besar-besaran dari dunia natural ke alam naratif fiksi. Segala hal-ihwal natural semacam pohon, singa, rasa takut, dan keinginan pun telah bertekuk lutut di bawah kendali fiksi-fiksi yang mereka percayai.
Harari berkata, “Orang-orang yang pergi ke hutan mencari peri dan unicorn akan memiliki kesempatan lebih untuk bertahan hidup daripada orang yang pergi mencari jamur dan rusa.”
Tapi penciptaan fiksi ini tidak akan efektif tanpa keberadaan orang-orang yang meyakininya. Sejak kerja sama manusia berskala besar didasarkan pada mitos, cara orang bekerja sama diubah dengan mengubah mitos, dengan menceritakan kisah-kisah yang berbeda. Ketika fiksi yang lama dianggap tidak relevan lagi, maka fiksi yang baru akan tercipta. Keragaman realitas imajiner ini membuat manusia mampu merevisi perilakunya dengan cepat sesuai dengan perubahan kebutuhan. Revolusi-revolusi sosial terjadi dengan cara seperti itu. Apa yang hari ini kita sebut agitasi, propaganda, hoax (dalam arti sempitnya) adalah alat yang sudah ribuan tahun digunakan manusia untuk mengubah atau mempertahankan tatanan sosialnya. Sejarah bisa berubah karena landasan fiksinya berubah. Demikian halnya untuk menjaga sebuah tatanan, maka fiksinya akan dijaga—mitos, legenda dan kisah hantu-hantu yang melandasinya akan dirawat dengan subur.
Jika kita memeriksa setiap bentuk kerja sama manusia hari ini, menurut Harari, kita akan menemukan bahwa itu didasarkan pada fiksi-fiksi tertentu seperti: agama, ideologi, bangsa, uang, keadilan, hak asasi manusia, dan sebagainya. Hal ini tidak ada bedanya dengan dongeng dan mitos yang diceritakan oleh nenek-nenek moyang manusia zaman dulu. Fiksi-fiksi yang bertransformasi sebagai pembentuk solidaritas sosial atau komunitas moral, seperti halnya mantra ‘hoc est corpus!’ yang kini bertransformasi menjadi ‘corporation’ (atau ‘jalinan kerja sama’ yang juga berakar dari kata ‘corpus’); manusia yang bahkan tidak saling mengenal bisa menjalin ‘kerja sama’ dalam satu ‘tubuh ilusif’ (organisasi, aliansi, negara, lembaga agama, aliran ideologi, perusahaan) dengan berlandaskan pada hal-hal yang tidak objektif yang kita ceritakan dengan kisah-kisah.
Harari memberi ilustrasi, “…jika seorang Imam telah mengenakan jubah sakralnya dengan sungguh-sungguh, dan dengan kata kata yang tepat pada saat yang tepat, roti dan anggur biasa akan berubah menjadi daging dan darah Tuhan. Sang Imam berseru, ‘Hoc est corpus meum!’ (Bahasa Latin untuk ‘ini adalah tubuhku!’)—lalu hocus pocus—dan roti telah berubah menjadi tubuh Kristus. Melihat itu … jutaan umat-yang-taat akan berperilaku seolah Tuhan benar-benar ada dalam roti dan anggur yang dikuduskan.”
Hewan-hewan non-manusia yang bahkan sekelas simpanse sekalipun tidak mampu hidup di dunia fiksi, karena spesies-spesies itu tidak mampu berimajinasi. Simpanse tidak mampu mengarang fiksi tentang Tuhan, negara khilafah, uang, demokrasi, Pancasila, hak asasi atau keadilan, dan, mereka tidak mampu mengembangkan perilaku yang berlandaskan pada khayalan-khayalan itu. Jika kita coba mengumpulkan ribuan simpanse di masjid Istiqlal, lapangan Monas, di depan pengadilan, di Gelora Bung Karno, di gedung DPR/MPR, di pasar saham, atau di Istana Negara, pasti akan terjadi hiruk pikuk. Tapi manusia, dengan memanfaatkan fiksi-fiksi tertentu, dapat berkumpul secara teratur dengan jumlah ribuah bahkan jutaan di tempat-tempat seperti itu.
Harari berkata, “Kita tidak akan pernah bisa meyakinkan seekor monyet untuk memberikan pisangnya kepada kita dengan menjanjikan bahwa, kelak, ketika ia mati, ia akan memperoleh pisang yang berlimpah di surga para monyet.” Demikian halnya tidak ada satu bekicot pun yang akan mengangkat tentakel untuk membela hak asasi seluruh masyarakat bekicot; tidak ada raja singa yang tiba-tiba berpikir demokratis lalu menyelenggarakan pemilihan umum bagi seluruh rakyat singa; tidak ada semut tentara yang bisa kita perintahkan untuk menghasut semut pekerja agar mau melakukan kudeta kepada ratunya—meskipun, di luar sarang, sekotak nasi bungkus telah kita letakkan; dan kita tidak akan pernah menemukan, di pintu masuk sarang lebah, terpampang sebuah slogan yang bertuliskan: “Lebah pekerja di seluruh dunia—bersatulah!” Hanya manusia yang mempercayai hal-hal fiksi seperti itu.
Sampai di sini, jika kita kembali mendudukkan kisah Don Quixote pada narasi ini, maka sejarah Homo sapiens pasca revolusi kognitif adalah sejarah penciptaan fiksi demi fiksi yang, di dalamnya, termasuk penciptaan fiksi dalam fiksi, penghapusan fiksi oleh fiksi, hingga fiksi yang diselamatkan oleh fiksi. Andai Zaman Batu merupakan kehidupan natural manusia yang analog dengan keberadaan Alonso Quixano yang hidup di dunia riil, maka sejak Revolusi Kognitif terjadi, proto-Homo quixotinses telah hadir di muka bumi dan perjalanan sapiens menjadi identik dengan petualangan Don Quixote di dunia berlumur fiksi. Dengan demikian, kita yang hari ini hidup bergerak dalam cerita-cerita fiksi seperti “bela agama”, “saya pancamorgana”, dan sebagainya, tidak lain tidak bukan hanyalah Homo quixotienses alias korban atau agen yang dibentuk dan digerakkan oleh cerita-cerita belaka.
Maka hal terbaik yang harus dilakukan jika kita terjebak pada keberadaan Homo quixotienses ialah membebaskan diri kita dari kutukan para pendongeng, lalu menjadi pendongeng itu sendiri.
Lantas, kemanakah kita akan pergi berlari, jika di manapun kita menghadap, di sana selalu ada wajah fiksi? Adakah hal sederhana yang bisa kita rekonstruksi dari narasi-narasi evolutif ini?
Tentu saja mula-mula adalah menyalakan sebuah kesadaran bahwa sejarah, pada hakikatnya, digerakkan oleh cerita-cerita, dan dunia adalah jejaring cerita fiksi. Tapi sejarah tidak akan bergerak jika seluruh bumi hanya dipenuhi oleh Homo quixotienses. Revolusi Kognitif telah menunjukkan bahwa Homo quixotienses hanyalah efek natural dari munculnya ‘para pendongeng’ awal (proto-Animal Hoaxicum [5])—seperti halnya Hitler hanyalah efek dari Wagner, atau Lenin sebagai efek dari Goethe. Siapakah para pendongeng ini? Mereka adalah sapiens yang alergi terhadap ketidakpastian, keacakan dan kebetulan, karena dunia natural pada dasarnya penuh dengan ketidakteraturan. Mereka ‘mendustai’ kenyataan dengan memberi makna pada dunia karena tidak suka percaya bahwa hidup itu tidak disengaja. Mereka memberi ‘tatanan kausal’ pada fenomena karena ingin percaya bahwa segala sesuatu terjadi dengan sebuah alasan. Meskipun alasan-alasan itu berakhir sebagai hal-hal yang metaforis, tapi sejarah terus bergerak karena lahirnya pengarang cerita dan pencipta fiksi yang baru di setiap masa.
Maka hal terbaik yang harus dilakukan jika kita terjebak pada keberadaan Homo quixotienses ialah membebaskan diri kita dari kutukan para pendongeng, lalu menjadi pendongeng itu sendiri.
Dahulu, ketika para Homo quixotienses awal mengitari api unggun, mereka khusyuk mendengarkan dongeng dari para Shaman. Dan mereka rela melakukan apa saja sebagamana kisah-kisah yang diceritakan oleh tetua mereka. Namun, tatanan komunal itu tidak akan pernah berubah jika tidak ada, minimal, satu Homo quixotienses yang keluar dari lingkaran cerita lalu mengarang cerita berbeda di lain tempat dan keadaan. Don Quixote pun tidak harus membabi buta percaya bahwa semesta fiksi ciptaan Cervantes adalah satu-satunya dunia yang ia huni. Don Quixote harus terus mengayuh kudanya bukan lagi untuk mencari sosok imajiner Dulcinea, melainkan ia bisa menyeberang ke narasi-narasi yang lain, ke novel yang lain, atau melakukan misi ‘perjalanan intertekstual’ untuk menyelamatkan putri licik Scheherazade dari ancaman kematian, misalnya.
Siapa yang belum membaca The Arabian Nights? Siapa yang tidak mengenal putri licik Scheherazade, yang menyelamatkan hidupnya dengan menceritakan kisah-kisah bagus kepada Sultan? Ia harus menceritakan kisah-kisah untuk menghindari kematian. Demikian pula kita harus terus bercerita untuk tetap menjadi diri kita, atau untuk menjaga keberlangsungan kita dari ancaman kepunahan.
(Termasuk mengarang cerita bahwa, kelak, seratus tahun dari sekarang, manusia pun bisa menjadi Tuhan [Homo Deus]).
*)Risalah ini penulis sampaikan dalam diskusi bertema “Literacy for Self-Transformation” yang diselenggarakan oleh Kampoeng Literasi Manado @ Shaad Koffie, 18 Juni 2017.
[1] ‘Retorika-dusta’ para penyihir lampau yang konon mampu menciptakan “ilusi tubuh” lalu berkata di depan orang-orang yang menyaksikannya: “hoc est corpus”—ini adalah tubuh. Kata Latin itu yang kemudian bertransformasi menjadi “hocus pocus”, lalu terciptalah kata “hoax”. Untuk ulasan, lihat Algebra, “Das Hoax An Sich (1): Sang Alkemis”.
[2] Kata ‘majnun’ dalam bahasa Inggris memiliki padanan: ‘quixotic’ yang berarti ‘idealistic; unrealistic and impractical’. Kata ini biasa digunakan sebagai penghinaan dalam perdebatan.
[3] Istilah ‘kodrati’ ini dipinjam dari Stefán Snaevarr, profesor filsafat di Lillehammer University College, Norwegia. Ulasan filosofis lihat Snaevarr, “Don Quixote and the Narrative Self”.
[4] Dalam Sapiens, Harari sebenarnya hanya menyebut “pengalaman obyektif” saja. Lalu dikoreksi pada buku keduanya, Homo Deus (2016), dengan menambahkan “pengalaman subyektif”.
[5] Animal hoaxicum adalah hewan pendusta; atau kodrat mendasar manusia yang gemar berdusta. Menurut Algebra, kodrat ini merupakan dasar paling dasar dari kodrat-kodrat manusia yang lain (Animal rationale, Animal symbolicum, Zoon politicon, Homo economicus, atau Homo religious, [termasuk Homo quixotienses]). Lihat Algebra, “Das Hoax An Sich (2): Pinokio”.
Referensi:
- Ackerman, J.M., Nocera, C.C., Bargh, J. 2010. “Incidental Haptic Sensations Influences Social Judgments and Decisions”. Science, 328 (5986): 1712-1715.
- Algebra, Haz. (Februari 2017). “Das Hoax An Sich (1): Sang Alkemis”. Lingkar Studi Filsafat Cogito UGM: lsfcogito/HoaxAlkemis
- Algebra, Haz. (Maret 2017). “Das Hoax An Sich (2): Pinokio”. Lingkar Studi Filsafat Cogito UGM: lsfcogito/HoaxPinokio
- Ali, Thariq. 2017. The Dilemmas of Lenin: Terrorism, War, Empire, Love, Rebellion. London: Verso Books.
- Boyd, Brian. 2009. On the Origin of Stories: Evolution, Cognition, and Fiction. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.
- Freedberg, D., Gellese, V. 2007. “Motion, Emotion, and Empathy in Esthetic Experience”. Trends in Cognitive Science, 11 (5): 197-203.
- Gottschall, Jonathan. 2012. The Storrytelling Animal: How Stories Make Us Human. Boston, New York: Houghton Mifflin Harcourt.
- Haidt, Jonathan. 2012. The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politic and Religion. New York: Pantheon.
- Harari, Y.N. 2014. Sapiens: A Brief History of Humankind. Toronto: McClelland & Stewart.
- Hitler, Adolf. 1943 (1925). Mein Kampf. Terjemahan Bahasa Inggris oleh Ralph Manheim. Boston, New York: Houghton Mifflin Company.
- Landau, M., Sullivan, D., Greenberg, J. 2009. “Evidence That Self Relevant Motives and Metaphoric Framing Interact to Influence Political and Social Attitudes”. Association of Psychological Science, 20 (11).
- Oatley, K., Mar, R. 2008. “The Function of Fiction is the Abstraction and Simulation of Social Experience”. Association of Psychological Science,3 (3).
- Sapolsky, Robert. (November 2010). “This is Your Brain on Metaphors”. On the Human: human/BrainMetaphor
- Smith, D.L. 2011. Less Than Human: Why We Demean, Enslave, and Exterminate Others. New York: St. Martin’s Press.
- Snaevarr, Stefán. 2007. “Don Quixote and the Narrative Self”. Philosophy Now Magazine, 60: 6-8.
- Vlieger, Verlin., Anderson, Douglas (editor). 2008. Tolkien On Fairy Stories: Expanded Edition, with Commentary and Notes. London: HarperCollins.
- Williams, L., Bargh, J. 2008. “Experience Physical Warmth Promotes Interpersonal Warmth”. Science, 322 (5901): 606-607.
- Zhong, C-B., Liljenquist, K. 2006. “Washing Away Your Sin: Threatened Morality and Physical Cleansing”. Science, 313 (5792): 1451-2.