Kaum agamawan biasanya akan segera berang ketika mendengar istilah fisikalisme, atau yang lebih populer lagi, materialisme. Dua istilah itu dipandang dapat menggugurkan iman. Umat beragama, karenanya, terhadap dua istilah itu dituntut untuk bersikap ingkar—bahkan sejak dalam pikiran.
Sejauh sebagai konsekuensi logis dari keimanan pada Tuhan (teisme), pengingkaran terhadap fisikalisme dan materialisme itu dapat dibenarkan. Keyakinan teistik menganggap Tuhan itu non-fisikal atau immaterial. Sementara fisikalisme, secara sederhana, dapat dipahami sebagai sebuah klaim ontologis yang menyatakan bahwa segala sesuatu bersifat fisikal atau—dalam pengertian kontemporernya—segala sesuatu bertopang pada yang-fisikal.
Oleh karenanya, bagi penganut teisme, menerima klaim fisikalisme sama saja dengan bunuh diri. Bangunan klaim teistiknya akan dirusak langsung dari elemen-eleman fundamentalnya. Berdoa dan segala bentuk ritual lainnya akan sangat sia-sia, jika ternyata Tuhan tidak ada, segala sesuatu di dunia terjadi karena struktur kausal hukum alamiah, dan manusia setelah mati hanya tersisa tulang yang ditimbun dengan tanah.
Tapi benarkah fisikalisme sama sekali tidak memungkinkan adanya teisme? Benarkah fisikalisme sudah berhasil menyingkirkan Tuhan sama sekali dari semesta fisik? Atau jangan-jangan fisikalisme tanpa sadar masih memberi celah bagi Tuhan untuk terkekeh-kekeh di atas sana menentukan segala yang ada di dunia?
Kecurigaan semacam itu sempat diungkapkan, dan terbuktikan, oleh Daniel Lim dalam salah satu bab dari bukunya yang berjudul God and Mental Causation.[1] Tulisan ini pertama-tama akan memberikan eksposisi tentang fisikalisme serta eksesnya yang (tanpa disadari) memberi ruang bagi teisme, untuk kemudian merisikokan diri menjadi bagian dari barisan para fisikalis yang mau tak mau harus membersihkan fisikalisme dari bid’ah teisme demi konsistensi terhadap komitmen ontologisnya.
***
Banyak filsuf menyebut fisikalisme hanya sebagai nama Kontemporer dari materialisme. Artinya, fisikalisme dengan materialisme tidak perlu dibedakan dan penggunaan terminologisnya dapat saling dipertukarkan. Keduanya sama-sama merujuk pada sebuah klaim ontologis yang memberikan posisi istimewa terhadap semesta fisik. Namun nyatanya, fisikalisme dan materialisme memiliki latar belakang historis yang berbeda.
Physicalism is a thesis we have overwhelming reason to believe…; fisikalisme adalah sebuah tesis yang kita punya banyak alasan untuk menerimanya….
Materialisme adalah istilah yang sudah sangat tua. Ia muncul bahkan sejak zaman Yunani antik sebagai bagian dari asumsi ontologis monisme filosofis. Di antara para eksponennya adalah Thales, Anaxagoras, Demokritos, dan (dalam beberapa hal) juga Aristoteles. Sedangkan fisikalisme baru diperkenalkan ke dalam filsafat pada tahun 1930-an oleh dua tokoh penting Lingkaran Wina: Otto Neurath dan Rudolf Carnap.
Mulanya tidak begitu jelas Neurath dan Carnap itu memahami fisikalisme dalam pengertian apa. Hanya saja waktu itu fisikalisme sering diatributkan pada satu tesis linguistik bahwa setiap pernyataan sinonim dengan beberapa pernyataan fisikal. Pada titik itulah perbedaannya: jika materialisme adalah tesis metafisik, fisikalisme dalam penggunaan awalnya adalah tesis linguistik.[2] Namun, dalam tulisan ini, fisikalisme akan digunakan dalam pengertian yang lazim digunakan dalam filsafat Kontemporer, yakni sebagai sebuah tesis metafisik.
Dalam perkembangannya, tesis fisikalisme mengalami peluasan. Sejauh ini setidaknya ia sudah merasuk ke dalam tiga persoalan: ontologi, objektivitas, dan eksplanasi.[3] Dalam ranah ontologi, seperti sudah disebutkan tadi, fisikalisme mengklaim bahwa segala sesuatu yang eksis atau terjadi di dunia ini secara ontologis bergantung pada ranah fisikal. Tidak ada yang bisa eksis atau terjadi tanpa kehadiran objek, sifat, atau peristiwa fisikal. Terkait objektivitas, fisikalisme secara tegas menyatakan bahwa fakta dan kebenaran fisikal mengondisikan semua fakta dan kebenaran objektif. Oleh karena domain fisikal menjadi dasar ontologis segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia (klaim ontologis) serta mengondisikan kebenaran objektifnya (klaim objektivitas), maka keseluruhan struktur dunia dapat dimengerti dengan eksplanasi tunggal pada level fisikal (klaim eksplanasi).
Klaim pada tiga ranah tersebut memberikan kekuatan tersendiri terhadap fisikalisme untuk menjadi cara paling sahih memahami dunia. Oleh karenanya, Daniel Stoljar dalam Physicalism berkali-kali menegaskan bahwa “physicalism is a thesis we have overwhelming reason to believe…; fisikalisme adalah sebuah tesis yang kita punya banyak alasan untuk menerimanya….”[4] Namun, dalam tulisan ini saya perlu membatasi pembahasannya hanya pada ranah ontologi, mengingat oleh ranah ontologilah dua ranah lainnya dideterminasi.
Sebagai sebuah tesis metafisik, fisikalisme bersifat umum, mencakupi segala realitas dari A sampai Z. Namun ia seringkali diasosiasikan dengan problem tubuh-pikiran (mind-body problem). Problem tubuh-pikiran ini menjadi contoh ideal bagi problem filosofis fisikalisme. Ia sangat tepat untuk menggambarkan ketegangan antara ranah fisikal dan ranah mental yang masing-masing diwakili oleh tubuh dan pikiran.
Berdasarkan tiga klaim di atas, fisikalisme ini sejatinya punya watak reduksionis. Klaim eksplanasi semakin mempertegas watak reduksionis fisikalisme tersebut. Penjelasan tentang pikiran sebagai ranah mental dapat direduksi ke dalam penjelasan tentang tubuh yang merupakan ranah fisikal. Varian fisikalisme reduktif ini kemudian muncul dalam beberapa nama, mulai dari epifenomenalisme sampai materialisme eliminatif. Sebagai koreksi terhadap fisikalisme reduktif muncullah fisikalisme non-reduktif. Di antara tesis pokoknya adalah kebertopangan pikiran pada tubuh (mind-body supervenience), ketaktereduksian ranah mental pada ranah fisikal (the physical irreducibility of the mental), dan adanya kekuatan kausal dari ranah mental (the causal efficaciousness of the mental).[5]
Tesis supervenience inilah yang nantinya diam-diam memberi celah bagi teisme. Berikut bunyi tesisnya:
Sifat-sifat mental bertopang (supervene) pada sifat-sifat fisikal. Jika ada satu sistem (s) menginstansiasi sifat-sifat mental (M) pada waktu tertentu (t), maka di dalam s itu pasti ada sifat fisikal (P) yang menginstansiasi P pada waktu t, dan setiap sesuatu yang menginstansiasi P pada waktu tertentu niscaya juga menginstansiasi M di waktu yang sama.[6]
Baik supervenience ataupun teisme ortodoks sama-sama memprioritaskan determinasi vertikal dan membuang jauh-jauh penyebaban horizontal.
Artinya, perubahan pada mental hanya dimungkinkan apabila level fisikal yang menopangnya mengalami perubahan. Semisal, ‘rasa sakit’ yang merupakan sifat mental itu bertopang pada struktur neurofisiologis yang berada di level fisikal. Oleh karena itu, ‘rasa sakit’ itu akan muncul jika dan hanya jika ada rangsangan fiber-C pada struktur syaraf otak.
Antara fiber-C dengan rasa sakit itu terjadi relasi determinasi yang bersifat vertikal. Ia dibedakan dengan relasi kausal yang bersifat horizontal. Fiber-C yang berada di level dasar, level fisikal, mendeterminasi level yang berada di atasnya, yakni level mental, untuk memunculkan ‘rasa sakit’. Sedangkan relasi kausal itu terjadi di level yang sama: fisikal-fisikal atau mental-mental. Oleh karenanya, relasi kausal ini mengandaikan temporalitas: masa lalu mengakibatkan masa kini dan masa kini mengakibatkan masa depan. Itu semua terjadi di level yang sama.
Oleh karena itu, tesis supervenience yang beroperasi dengan relasi determinasi fisikal-mental dimungkinkan oleh apa yang dikenal sebagai “Diktum Edwards”. Diktum itu berbunyi: “There is a tension between “vertical” determination and “horizontal” causation. In fact, vertical determination excludes horizontal causation. Ada tegangan antara determinasi “vertikal” dan penyebaban “horizontal”. Namun, determinasi vertikal menyingkirkan penyebaban horizontal,”[7] (lihat gambar 1).
Munculnya M2, berdasarakan gambar di atas, bisa disebabkan oleh M1 yang muncul sebelumnya (relasi kausal horizontal) atau karena dideterminasi oleh P2 yang menopangnya (relasi determinasi vertikal). Tapi tidak mungkin ada satu peristiwa yang disebabkan oleh dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, di antara M1 (relasi kausal horizontal) dan P2 (relasi determinasi vertikal) harus ada yang disingkirkan salah satunya. Berdasarkan diktum Edwards, M1 lah yang harus disingkirkan, sehingga hanya P2 yang diakui sebagai faktor yang menentukan munculnya M2.
Sekali determinasi vertikal itu bekerja, maka penyababan dari mental ke mental yang bersifat horizontal akan sia-sia. Ketika, semisal, seseorang mengalami rangsangan fiber-C pada syaraf otaknya karena terkena benturan, maka tak peduli sebelumnya ia telah membaca beribu-ribu mantra atau doa untuk menyugesti mentalnya agar tidak mengalami rasa sakit, orang itu pasti akan menjerit “Awww…!” sebagai ‘ekspresi sakit’. Apa pun yang terjadi sebelum munculnya M2 di waktu t1 sama sekali tidak relevan dengan munculnya M2 pada waktu t2, sebab munculnya M2 di waktu t2 dideterminasi oleh P2 pada waktu yang sama.
Pada titik itulah teisme justru bisa diam-diam masuk menempati ruang penalaran fisikalisme. Diktum Edwards—yang secara formal kompatibel dengan tesis supervenience—itu sejatinya dirumuskan oleh seorang teolog abad XVIII yang bernama Jonathan Edwards (1703-1758). Ia memprioritaskan determinasi vertikal daripada penyebaban horizontal sebagaimana tesis supervenience justru untuk meneguhkan kuasa Tuhan atas segala apa yang terjadi di dunia. Antara supervenience dan diktum Edwards itu hanya berbeda konten argumentasinya, tetapi strukturnya persis sama.
Jika supervenience menyebut dasar kebertopangan sifat mental adalah sifat fisikal, dan tidak mungkin ada penyebaban horizontal dari mental di t1 terhadap mental di t2, maka penganut teisme ortodoks—berdasarkan diktum Edwards—menyebut bahwa dasar kebertopangan segala hal yang ada dan terjadi di dunia ini, baik mental atau fisikal, adalah Tuhan, dan tidak mungkin ada penyebaban horizontal dari yang-selain-Tuhan (makhluk) di t1 terhadap yang-selain-Tuhan (makhluk lain) di t2. Baik supervenience ataupun teisme ortodoks sama-sama memprioritaskan determinasi vertikal dan membuang jauh-jauh penyebaban horizontal.
Dengan determinasi vertikal itulah, mukjizat, karamah, mistik, dan sisi-sisi irasionalitas lainnya dari agama dimungkinkan untuk ada. Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud, namun ia sama sekali tidak merasakan rasa panas. Hal itu terjadi, menurut narasi agama, karena Tuhan yang menjadi dasar kebertopangan segala kejadian di dunia tidak menghendaki Nabi Ibrahim kepanasan, sehingga bodo amat sekalipun Raja Namrud telah membakarnya dengan api yang berkobar-kobar. Segala usaha Namrud untuk menyebabkan Ibrahim terbakar hanya akan berakhir sia-sia, karena determinasi Tuhan terhadap dunia sangatlah sempurna.
Segala usaha yang dilakukan oleh seorang manusia di masa lalu itu tidak relevan untuk dijadikan alasan keberadaannya di masa kini. Apa yang ia lakukan di masa kini juga tidak menjamin seperti apa ia di masa depan. Semua kejadian di dunia, apa pun itu, dideterminasi oleh kehendak Tuhan, tak peduli pada apa pun yang terjadi sebelumnya. Itulah doktrin pokok occasionalism: pandangan filosofis dari teisme ortodoks bahwa hanya Tuhan satu-satunya yang menjadi penyebab segala yang ada dan terjadi di dunia.[8]
***
Sejauh ini, satu hal telah diungkap, bahwa model fisikalisme supervenience dan teisme menempati struktur penalaran yang sama, hanya kontennya saja yang berbeda nama. Supervenience menamai dasar kebertopangan segala sesuatu sebagai “ranah fisikal”, sedangkan teisme menamai dasar kebertopangan segala sesuatu sebagai “Tuhan”. Tapi masihkah keduanya bisa dianggap sama ketika asumsi ontologisnya berbeda (supervenience mengasumsikan sifat fisikal, saat teisme mengasumsikan Tuhan)? Jawabannya: iya dan tidak. Iya, jika dilihat dari sudut pandang epistemologis; tidak, jika dilihat dari sudut pandang ontologis.
Secara ontologis, supervenience dan teisme memang mengasumsikan dua hal yang berbeda, tetapi implikasi epistemologisnya tetap sama. Ketika supervenience memprioritaskan determinasi vertikal daripada penyebaban horizontal sejatinya ia juga membuka celah bagi Tuhan. Diandaikan bahwa segala sifat dan peristiwa mental dideterminasi oleh sifat atau peristiwa yang ada pada ranah fisikal. Lalu, sifat dan peristiwa fisikal itu dideterminasi oleh apa? Adakah ranah yang lebih elementer dari ranah fisikal?
Oleh karena tidak ada lagi ranah di bawah ranah fisikal, maka mau tidak mau kita harus menerima penyebaban horizontal pada ranah fisikal. P2 yang mendeterminasi M2 dalam gambar di atas itu tidak dideterminasi oleh ranah yang ada di bawahnya lagi, tetapi disebabkan oleh P1 yang terjadi sebelumnya.[9] Menerima P1 sebagai sebab dari P2, maka akal sehat kita akan kembali bertanya: yang menyebabkan P1 mungkin ada itu apa? Konsekuensi logisnya adalah regresi tak berujung sampai entah.
Kita tak perlu mencari alasan atau sebab bagi adanya perubahan pada objek fisikal, bukan karena kita tidak tahu alasan atau sebabnya, melainkan karena kita tahu bahwa objek fisikal itu niscaya ada, namun bisa berubah kapan saja tanpa harus ada alasan atau sebab sebelumnya.
Di titik entah itulah, akal yang mencari sebab tak berujung akan merasa lelah, lalu untuk mengakhiri regresi akan segera bersandar pada satu substansi yang keberadaannya tidak lagi disebabkan oleh yang lain[10]. Segala rentetan peristiwa, baik di level fisikal maupun mental, hanyalah efek kausal dari satu substansi tersebut. Di situlah dogmatisme mengibarkan benderanya. Kita sejatinya tidak bisa berbuat apa-apa, tidak punya kehendak bebas untuk melakukan ini atau itu di dunia, sebab semuanya akan terjadi begitu saja berdasarkan hukum kausalitas pada semesta fisik yang penyebab primordialnya telah dipancang sejak semula. Sebuah pencarian rasional yang sia-sia, bukan?! Dari awal menolak Tuhan, tetapi pada akhirnya harus bersandar kepada sebentuk keyakinan dogmatis.
***
Setelah menunjukkan ekses negatif dari fisikalisme yang pada akhirnya memberi celah bagi teisme dan dogmatisme, inilah tantangan tulisan ini berikutnya: bagaimana agar fisikalisme itu bebas dari bias bid’ah keyakinan teistik yang dogmatis?
Jika fisikalisme supervenience untuk mempertahankan tesis ontologisnya sebagai fisikalis menggunakan prinsip eksklusi dan prinsip ketertutupan kausal, maka untuk memurnikan fisikalisme dari tendensi teistik dan dogmatis kita perlu satu prinsip lain yang barangkali justru akan menggugurkan dua prinsip tersebut. Prinsip yang, saya kira, dapat menyelamatkan fisikalisme dari tendensi teistik itu adalah Prinsip Tanpa-Alasan (principle of unreason) yang dirumuskan oleh Quentin Meillassoux. Tapi penggunaan prinsip tanpa-alasan ini tentu dengan sedikit modifikasi.
Prinsip itu berbunyi: “There is no reason for anything to be or to remain the way it is; everything must, without reason, be able not to be and/or be able to be other than it is. Tidak ada alasan bagi segala sesuatu untuk ada atau tetap ada sebagaimana ia ada; segala sesuatu harus, dengan tanpa alasan, bisa tidak ada dan/atau bisa ada dengan cara yang lain daripada adanya sekarang.”[11]
Kita tahu bahwa Meillassoux menolak entitas niscaya, sementara fisikalisme, dengan tesis ontologisnya, tegas mengklaim objek fisikal itu niscaya ada. Oleh karenanya, penggunaan prinsip tanpa-alasan untuk menyelamatkan fisikalisme ini tidak membawa-sertakan klaim ontologis Meillassoux. Objek fisikal tetap niscaya ada, hanya saja adanya bisa berubah sama sekali dari yang saat ini tanpa alasan apa pun, tanpa ada sebab apa pun. Kita tak perlu mencari alasan atau sebab bagi adanya perubahan pada objek fisikal, bukan karena kita tidak tahu alasan atau sebabnya, melainkan karena kita tahu bahwa objek fisikal itu niscaya ada, namun bisa berubah kapan saja tanpa harus ada alasan atau sebab sebelumnya.
Bagaimana dengan sifat-sifat mental? Di sini tesis supervenience tetap dipertahankan (tentu dengan sedikit modifikasi) bahwa sifat-sifat mental bertopang pada ranah fisikal, tetapi bukan dengan menggunakan diktum Edwards, melainkan dengan asumsi fisikalis sendiri bahwa sifat-sifat mental tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada ranah fisikal yang menopangnya. Posisi sifat mental dan ranah fisikal itu sama dengan posisi predikat dan subjek. Predikat tidak mungkin ada tanpa ada subjek yang menopangnya. Ketika subjek mengalami perubahan, maka predikat yang ditopangnya juga akan berubah—bukan karena determinasi vertikal dari subjek ke predikat, melainkan semata karena subjek dan predikatnya telah menyatu.
Solusi ini memang tampak reduksionis. Namun “prinsip tanpa-alasan” itulah yang membedakannya dari fisikalisme reduktif biasa. Tesis utama fisikalisme bahwa ranah fisikal niscaya ada tetap dijaga, hanya saja dengan “prinsip tanpa-alasan”, ranah fisikal itu dapat berubah kapan saja tanpa harus ada alasan atau sebab sebelumnya. Hanya dengan solusi semacam itulah, saya kira, betapa pun reduktifnya, fisikalisme dapat dijauhkan dari tendensi teistik.
***
Fisikalisme mesti cukup hati-hati membangun argumentasinya dalam menjaga komitmen ontologisnya. Sebab teisme dapat muncul dalam banyak kesempatan, dengan rupa yang beragam. Tidak mesti berteriak “Allahu akbar!” Saat menyisakan ruang di luar rasionalitas, saat itulah kita tanpa sadar memberi celah bagi Tuhan. Di situ Tuhan hadir sebagai yang-tak-terpikirkan, yang kadang menuntut kita bela dengan cara-cara irasional. Celah bagi Tuhan itu juga bisa muncul dalam cara berpikir teistik, sekalipun dengan asumsi fisikalis.
Tulisan ini bukan dalam posisi ingin membela fisikalisme mati-matian. Hanya saja akan jadi sebuah momen teoretik yang sungguh tragis, jika semisal fisikalisme pada akhirnya, dengan beragam cara, memiliki kompatibilitas dengan teisme—baik secara formal maupun substansial. Oleh karenanya, tendensi dan anasir-anasir teistik harus benar-benar dibersihkan dari fisikalisme, sebagaimana pemikiran idealis yang borjuis harus ditendang dari Marxisme.
Jika tidak demikian, fisikalisme niscaya gagal sejak dalam pikiran, dan teisme akan selalu menghantui setiap pengandaian bahwa di mana-mana ada Tuhan. Ini sungguh menakutkan, setidaknya bagi iman fisikalis![]
Jakal KM. 4,5, 16 Januari 2017
[1] Daniel Lim, God and Mental Causation, Heidelberg: Springer, 2015, hal. 21-45.
[2] Lih. Daniel Stoljar, Physicalism, Oxford: Routledge, 2010, hal. 10.
[3] Lih. Jeffrey Poland, Physicalism: The Philosophical Foundations, Oxford: Oxford University Press, I994, hlm. 14.
[4] Lih. Daniel Stoljar, Op.Cit., hal. 13.
[5] Lih. Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough, Princeton: Princeton Unversity Press, 2005, hal. 33.
[6] Lih. Ibid. Tesis supervenience ini mengandaikan adanya hierarki realitas. Pada bagian elementer terdapat ranah fisikal dan di atasnya bertopang ranah mental.
[7] Lih. Ibid., hal. 36.
[8] Lih. Daniel Lim, Op.Cit., hal. 21-22.
[9] Argumen ini dikokohkan oleh dua prinsip sekaligus, yaitu prinsip ekslusi dan prinsep ketertutupan kausal. Prinsip eksklusi menyatakan bahwa tidak ada satu peristiwa yang disebabkan oleh lebih dari satu penyebab yang terjadi pada waktu sama. Prinsip ketertutupan kausal menegaskan bahwa jika sebuah peristiwa fisikal memiliki sebuah sebab yang terjadi pada waktu tertentu, maka sebab itu pastilah sebab fisikal (physical cause). Lih. Jaegwon Kim, Op.Cit., hal. 42-43.
[10] Dalam term Aristotelian substansi itu disebut “Unmoved mover”, penggerak yang tidak digerakkan, yang seringkali diidentifikasi sebagai Tuhan.
[11] Lih. Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, terj. Ray Brassier, London: Continuum, 2008, hal. 102 (versi e-book).