Dalam surat kabar The Times yang terbit tanggal 9 Mei 1992 terdapat surat terbuka yang ditandatangani oleh puluhan filsuf Amerika yang bertujuan untuk menolak pengangkatan Derrida sebagai doktor honoris causa di Universitas Cambridge. Bagi saya hal ini cukup mengagetkan, sebab tak biasanya problematika filsafat diangkat ke dalam sebuah media massa. Dalam surat terbuka tersebut mereka berpendapat bahwa karya-karya Derrida sukar untuk dipahami dan dianggap tidak memenuhi standar yang diterima.
“In the eyes of philosophers, and certainly among those working in leading departments of philosophy throughout the world, M. Derrida’s work does not meet accepted standards of clarity and rigour.” [1]
Namun, Derrida seakan tidak mempedulikan surat terbuka tersebut dan menerima gelar tersebut dengan sangat santun dan tampak berusaha untuk tidak menyinggung siapapun. Lalu apakah benar Derrida tidak mempedulikan surat terbuka tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat dulu bagaimana Derrida ketika mempermainkan teks atau sering disebutnya sebagai Dissemination. Tanda menjadikan teks layaknya sebuah terowongan yang berisi lorong-lorong yang tidak memiliki ujung.
“A text is not a text unless it hides from the first comer, from the first glance, the law of its composition and the rules of its game. A text remains, moreover, forever impercrptible”.[2]
Lantas wajar saja jika Derrida tidak mempedulikan surat terbuka dari para profesor filsafat tersebut. Karena persoalan ini telah dijawabnya dalam bukunya yang berjudul Dissemination yang tebit 20 tahun sebelum surat terbuka itu dibuat. Derrida tidak akan mengikuti standar-standar yang telah dibuat itu karena dengan adanya standarisasi secara tidak langsung akan mengandung sebuah keterpusatan yang jelas ditolak oleh Derrida.
Jika benar Derrida ingin dianggap sebagai sebuah permasalahan maka secara otomatis Derrida sudah siap untuk menerima pembacaan secara dekonstruktif terhadap setiap karyanya.
Mungkin inilah mengapa dalam wawancaranya bersama Kristine McKenna di majalah LA Weekly Derrida menyampaikan pertanyaan kepada Kristene: “Haruskah seorang fillsuf untuk menulis biografi?”.[3] Derrida menganggap sejak Aristoteles para filsuf mencoba untuk memperlihatkan kehidupan mereka terhadap para pembaca dan seakan-akan mereka (para Filsuf) dapat hadir di dalam teks tersebut secara utuh ketika para pembaca sedang membaca karya biografi mereka. Padahal Derrida sendiri telah beberapa kali memberikan pendapatnya bahwa pengarang telah mati. Karena ketika sebuah tulisan sudah diberikan ke publik maka secara otomatis otoritas dari sang pengarang menjadi hilang. Karena sang pengarang tidak bisa menghadapi metode-metode pembacaan yang dilakukan oleh para pembaca.
Lalu bagaimana cara kita mengenal sosok Derrida lebih dekat, sedangkan dia memberikan pertanyaan tersebut dengan nada yang menurut saya cukup sinis? Dalam film dokumenter karya Kirby Dick dan Amy Ziering Kofman yang diberi judul Derrida, Derrida tampak seperti enggan untuk berbicara mengenai dirinya. Dalam wawancara tersebut ia berusaha untuk tampak rendah hati dan berusaha terbuka. Dalam wawancaranya mengenai film ini Derrida sebenarnya merasa tidak nyaman ketika melakukan proses produksi filmnya tersebut.
Dengan demikian barangkali Derrida akan lebih suka melihat nama “Derrida” sebagai sebuah permasalahan. Dalam karya-karya fenomenalnya seperti Of Grammatology, Speech and Phenomena dan Writing and Differences terlihat bagaimana Derrida menganggap para filsuf yang dikomentarinya sebagai permasalahan. Di sisi lain buku ini merupakan sebuah perlawanan Derrida terhadap Logosentrisme dalam tradisi metafisika Barat.
Perlawanan ini dimulai ketika Derrida memaparkan pembacaan kritisnya terhadap karya para filsuf Barat seperti Ferdinand de Saussure, Husserl, Levinas, Heidegger, Hegel, Descartes dan masih banyak lagi. Ketika dia menganggap bahwa para filsuf itu sebagai sebuah permasalahan maka dia akan berusaha untuk memecahkannya. Mungkin dalam hemat saya ini adalah penghormatan yang diberikan oleh Derrida terhadap filsuf-filsuf sebelumnya. Setidaknya dengan kita membaca secara kritis tentang pemikiran filsuf, kita menjadi sering mengingat filsuf tersebut ketimbang kita hanya membaca sebuah buku biografi.
Jika benar Derrida ingin dianggap sebagai sebuah permasalahan maka secara otomatis Derrida sudah siap untuk menerima pembacaan secara dekonstruktif terhadap setiap karyanya. Lalu konsekuensinya adalah finalitas kehadiran Derrida dalam karya-karyanya menjadi sulit untuk terwujudkan. Dengan demikian kehadiran Derrida secara menyeluruh tidak akan pernah ada karena efek dari para pembaca yang mempunyai cara baca masing-masing terhadap karya-karyanya. Padahal yang tersisa dalam teks adalah bekas jejak-jejak kehadiran dari sang pengarang saja.
Dengan ditemukannya bekas jejak kehadiran Derrida dalam karya-karyanya, seakan kita berjalan melewati sebuah labirin yang tidak memiliki ujung bersama jejak sang pengarang untuk mencari sebuah jalan keluar yang mungkin tidak akan ada. Namun, dengan kita menemukan jejak-jejak dari sang pengarang setidaknya membuat kita tenang sejenak karena seakan-akan memberitahu bahwa permainan ini akan segera usai.
Walaupun sudah 12 tahun Derrida meninggalkan dunia, dengan kita menganggap Derrida sebagai sebuah permasalahan, dia akan tetap hadir di dalam karyanya seakan menunggu kita di sebuah jalan keluar dari permainan labirin yang kita ciptakan melalui pembacaan dekonstruktif yang kita buat. Jika suatu saat nanti saya sudah mencapai jalan keluar dari permainan ini, saya ingin mengatakan sebuah kata yang diucapkannya ketika Levinas meninggal dunia: “Adieu à-Dieu”[].
[1]. Barry Smith, http://ontology.buffalo.edu/smith/varia/Derrida_Letter.htm, pada tanggal 2 Oktober 2016
[2] Derrida, Dissemination, terj. Barbara Johnson (Chicago: The University of Chicago Press, 1981), hlm. 63
[3] Kristine Mckenna , http://kunci.or.id/articles/tiga-usia-derrida/. pada tanggal 2 oktober 2016