Bagaimana “aku” dan alam semesta diciptakan? Bagaimana segala sesuatu ini berada? Apakah segala sesuatu ini hadir begitu saja ataukah ada yang menjadikannya ada? Demikianlah pertanyaan-pertanyaan ontologis yang sejak mula sudah muncul dalam pemikiran anak cucu Adam yang bernama manusia. Manusia dalam kebudayaan besar terdahulu berupaya menjawab pertanyaan tersebut melalui mitos. Mitos (bahasa Yunani mythos) merupakan cerita prosa rakyat yang perankan oleh para dewa atau makhluk setengah dewa, dan peristiwanya terjadi di dunia lain atau di dunia yang berbeda dari yang kita kenal sekarang, serta terjadi pada masa lampau (Kirk, 1984: 57). Pada umumnya mitos menceritakan terjadinya alam semesta, dunia, dan para makhluk penghuninya, kisah para supranatural, dan sebagainya.
Bagi homo religiosus dunia ini tidak hanya terdiri dari satu tingkat, tetapi tiga. Homo religiosus mengenal dunia bukan hanya dunia yang dia huni, tetapi dunia bawah, yaitu dunia yang tidak dikenal, dunia tempat orang mati; dan dunia atas, yaitu dunia para dewa, nenek moyang, dan para pahlawan purba. Ketiga dunia ini memiliki relasi satu sama lain oleh poros dunia
Namun yang tidak kalah menarik adalah adanya upaya manusia memahami keberadaannya dan realitas di luar dirinya lewat apa yang mereka percayai dari ajaran-ajaran keagamaan berdasarkan kitab-kitab suci. Menurut banyak tradisi dan kalangan, hal tersebut dikarenakan adanya hasrat kodrati di dalam diri manusia untuk menyadari sesuatu Yang Absolut di luar dirinya, yang mengatasi segalanya—yang menjadikan manusia disebut homo religiosus.
Apa itu Homo Religiosus?
Istilah homo religiosus ini pertama kali dipopulerkan oleh Mircea Eliade. Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai keagamaan dan dapat menikmati kesucian yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, tumbuhan, hewan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya ikut menentukan corak serta cara hidupnya.
Oleh Eliade, homo religiosus ini dipertentangkan dengan homo non-religiosus, yaitu manusia tidak beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, tanpa sakralitas yang dirasa atau dialami. Bagi manusia non-religiosus semacam itu kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profan saja.
Ada argumen yang kuat untuk berpendapat bahwa homo sapiens juga merupakan homo religiosus. Manusia mulai menyembah dewa-dewa segera setelah mereka menyadari diri sebagai manusia; mereka menciptakan agama-agama pada saat yang sama ketika mereka menciptakan karya-karya seni. Ini bukan karena mereka ingin menaklukkan kekuatan alam; keimanan awal ini mengekspresikan ketakjuban dan misteri yang senantiasa merupakan unsur penting pengalaman manusia tentang dunia yang menggetarkan namun indah ini. Sebagaimana seni, agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasatnya (Amstrong, 2012: 20).
Pada mulanya manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepada-Nya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai. Perlahan-lahan dia memudar dari kesadaran umatnya. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga mereka memutuskan bahwa mereka tidak lagi menginginkannya. Pada akhirnya, dia dikatakan telah menghilang.
Demikianlah kira-kira yang dipaparkan Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God (1912). Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Begitu pula, menurut Schmidt selanjutnya, di zaman kuno, Tuhan Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan kuil pagan yang lebih menarik. Manusia sebagai homo religiosus selalu memiliki kepekaan tentang yang “spiritual” atau “suci” yang merupakan bagian esensial pengalaman manusia tentang dunia. Hal tersebut terjadi karena secara alamiah manusia ingin bersentuhan dengan realitas ini dan memanfaatkannya, tetapi mereka juga ingin sekadar mengaguminya. Ketika manusia mulai mempersonalisasi kekuatan gaib dan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan, mengasosiasikannya dengan angin, matahari, laut, dan bintang-bintang tetapi memiliki karakteristik manusia, mereka sebenarnya sedang mengekspresikan rasa kedekatan dengan yang gaib itu dan dengan dunia di sekeliling mereka.
Rudolf Otto, ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman dalam bukunya The Idea of the Holy (1917) percaya bahwa rasa tentang yang gaib ini (numinous) adalah dasar dari agama. Perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika. Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia dalam cara yang berbeda-beda—terkadang ia menginspirasi kegirangan liar dan memabukkan; terkadang ketenteraman mendalam, terkadang manusia merasa kecut, kagum, dan hina di hadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan. Ketika manusia mulai membentuk mitos dan menyembah dewa-dewa, mereka tidak sedang mencari penafsiran harfiah atas fenomena alam. Kisah-kisah simbolik, lukisan, dan ukiran di gua adalah usaha untuk mengungkapkan kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas ini dengan kehidupan mereka sendiri; bahkan sebenarnya para sastrawan, seniman, dan pemusik pada masa sekarang juga sering dipengaruhi oleh perasaan yang sama.
Mitos-mitos itu tidak dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis untuk menggambarkan sebuah realitas yang terlalu kompleks untuk bisa diekspresikan dengan cara lain. Kisah-kisah dramatis dan membangkitkan emosi tentang dewa-dewi ini membantu manusia untuk menyuarakan perasaan mereka tentang kekuatan dahsyat, namun tak terlihat yang mengelilingi mereka.
Di dunia kuno memang tampaknya manusia percaya bahwa hanya melalui keterlibatan dalam kehidupan yang suci ini mereka bisa menjadi manusia yang sesungguhnya. Kehidupan duniawi amat rentan dan dihantui bayang-bayang kematian, tetapi jika manusia meneladani tindakan dewa-dewa, maka mereka akan memiliki dalam kadar tertentu kekuatan dan keefektifan dewa-dewa itu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dewa-dewa itu telah memperlihatkan kepada manusia bagaimana cara membangun kota-kota dan kuil-kuil mereka, yang merupakan salinan dari tempat mereka bersemayam di langit. Dunia suci para dewa—seperti yang sering diceritakan di dalam mitos—bukanlah sekadar sebuah hal yang ideal yang harus dituju manusia, melainkan merupakan prototipe eksistensi manusia; itulah pola atau arketipe orisinal yang menjadi model kehidupan kita di sini. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada di bumi dipandang sebagai replika dari semua yang ada di dunia ilahiah. Inilah persepsi yang membentuk mitologi, organisasi ritual dan sosial kebanyakan kebudayaan antik dan terus mempengaruhi lebih dari masyarakat tradisional pada era kita sekarang ini (Amstrong, 2012: 30-31).
Mircea Eliade
Mircea Eliade merupakan salah seorang ahli ilmu agama terkemuka pada masa kini. Dia adalah sarjana berkebangsaan Rumania dan dilahirkan di Bucharest pada tanggal 7 Maret 1907. Pada umur 18 tahun, Eliade masuk Universitas Bucharest dan dengan disertasinya yang berjudul “Filsafat Italia dari Ficino sampai Giordino Bruno”, dia berhasil mendapatkan gelar MA-nya pada tahun 1928. Selama empat tahun berikutnya, Eliade bermukim di India untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan ilmu filsafat di Universitas Calcuta (Sastrapratedja, 1982: 33).
Sebagai seorang ahli agama, selama bertahun-tahun Eliade mempelajari struktur dan arti berbagai macam fakta, data, fenomena, ungkapan-ungkapan, dan lambang-lambang religius di kalangan bangsa-bangsa yang disebutnya arkais, primitif, tradisional, etnografis atau pra-modern, yaitu bangsa-bangsa dari kebudayaan nomadis dan agraris. Karya-karya Eliade sudah diterbitkan dalam pelbagai bentuk karangan pendek, novel, otobiografi, dan buku. Penyelidikan Eliade terutama berkisar pada mitos-mitos dan lambang religius (Macquarrie, 1971: 220-223). Namun selain itu, dalam karyanya The Quest misalnya, Eliade berbicara mengenai maksud, metode, dan kegunaan ilmu agama yang dianutnya. Dalam bukunya Patterns in Comparative Religion, ia menggarap berbagai macam fakta religius beserta pengertiannya; pelaksanaan serta arti upacara inisiasi dalam Rites and Symbols of Initiation. Penyelidikannya terhadap manusia, mistik, dan kedudukannya dalam masyarakat menghasilkan buku Shamanism. Lebih lanjut Eliade menyelidiki praktik dan nilai-nilai religius lain, seperti pengalaman sinar ajaib, misteri kesempurnaan dalam The Two and the One. Pandangannya mengenai dunia, waktu, dan sejarah dapat dibaca dalam karyanya Cosmos and History. Sedangkan sifat-sifat khusus homo religiosus dirumuskannya dalam The Sacred and the Profane. Dalam From Primitive to Zen, Eliade berusaha menyajikan bahan bacaan bagi mahasiswanya tentang antologi teks religius dari bangsa-bangsa yang diselidikinya (Sastrapratedja, 1982: 34).
Pada akhir pengalamannya di India, dia menyatakan bahwa India telah memberi kesan yang sangat mendalam bagi hidupnya. Terutama karena dia telah menemukan tiga hal: pertama, bahwa jalan hidup bisa berubah dikarenakan sebuah pengalaman sacra mental; kedua, simbol merupakan kunci membuka dunia spiritual; ketiga, semua itu dapat ditemukan dan digali di anak benua India.
Ilmu Sejarah Agama
Sejarah Agama sebagaimana dianut oleh Eliade menggarap fakta, data, fenomena, ungkapan-ungkapan, dan lambang-lambang religius sebagai bahan penyelidikannya. Sejarah Agama bertujuan menggarap fakta-fakta religius dari segi religiusitasnya untuk menangkap arti dan makna religius yang mendasari fakta itu. Untuk mencapai tujuan itu, fakta religius didekati dan dipelajari sebagaimana adanya, dalam dirinya sendiri sebagai bersifat religius. Untuk lebih menjelaskan keistimewaan sudut pandang ilmu Sejarah Agama, Eliade membandingkannya dengan sudut pandang ilmu-ilmu agama lain. Bila sejarah agama yang biasa puas dengan mencatat fakta historis: bagaimana suatu fakta telah dihayati dalam tahap-tahap kebudayaan dan masa-masa tertentu, dan bagaimana telah berubah, entah diperkaya atau dipermiskin, maka Sejarah Agama masih harus menemukan arti religius dari fakta itu. Dalam mempelajari lambang dan mitos, psikologi agama hanya berusaha menangkap dinamisme bawah sadar yang ada di belakang lambang dan mitos itu, sedangkan Sejarah Agama harus menafsirkan lambang dan mitos itu sebagai ungkapan religius (Sastrapratedja, 1982: 35-36).
Meskipun demikian untuk mencapai tujuannya, Sejarah Agama membutuhkan bantuan ilmu-ilmu agama yang lain. Beberapa ilmu-ilmu agama lain yang cukup membantu pencapaian tujuan Sejarah Agama ini adalah sosiologi agama dan psikologi agama. Metode yang digunakan dalam Sejarah agama antara lain metode komparatif, historis, fenomenologis, dan hermeneutik. Dengan metode-metode tersebut nantinya sudut pandang yang masih parsial dan belum menyeluruh tersebut akan dikumpulkan dan digarap secara khusus. Data-data yang didapatkan melalui metode-metode tersebut dianalisa untuk menjadi suatu sintesis yang utuh dengan metode hermeneutik.
Jadi, Sejarah Agama yang dianut Eliade adalah suatu cabang ilmu agama yang secara sistematis mengkaji berbagai macam fakta religius: mitos, lambang, ritus, lembaga religius, dan lain-lain. Sejarah Agama tidak membandingkan satu agama dengan agama yang lain sebagaimana kajian Comparative Religion, akan tetapi mengambil salah satu fakta/unsur yang sama dari berbagai agama, atau bisa disebut juga sisi esoterik dari berbagai tradisi keagamaan.
Yang Sakral dan Yang Profan
Sekali lagi, konsep Eliade tentang yang sakral dan profan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat India. Eliade, dalam bukunya The Sacred and the Profane (1957) menyatakan bahwa sejarawan harus keluar dari peradaban modern dan mencoba untuk memahami kehidupan Archaic (Kuno) yang sangat berbeda dengan kehidupan masa kini. Begitu pula untuk memahami arti yang sakral dan profan hanya dengan memasuki dunia Archaic-lah kita dapat mendapatkan pengetahuan yang luas dan memahami kedua konsep tersebut.
Singkatnya, dalam karyanya tersebut Eliade menjelaskan bahwasanya yang profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara acak atau teratur dan sebenarnya tidak terlalu penting. Itu artinya yang profan adalah sesuatu yang biasa dan tidak istimewa, serta dalam kehidupan manusia sangat banyak sekali hal yang biasa. Sedangkan yang sakral adalah tataran yang supranatural, sesuatu yang ekstraordinari, tidak mudah dilupakan, dan teramat penting.
Kajian tentang yang sakral inilah yang menjadi fokus kajian Eliade. Eliade menjelaskan fenomena yang sakral ini berdasarkan kebudayaan India yang terdapat dalam ajaran agama Hindu dengan rujukan primer yakni kitab suci Weda (Catur Veda). Weda dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Bahkan masyarakat Hindu kuno percaya bahwa tidak sembarang orang bisa membaca atau mendengar kitab Weda, melainkan hanya dari kasta Brahmana dari kalangan Arya sajalah yang diperbolehkan untuk membaca, mendengar, dan mengkajinya.
Kesakralan Weda berlanjut kepada kesakralan mereka yang dianggap orang suci sebagai pemegang Weda. Mereka pun berhak melakukan perbuatan kasar kepada kasta di bawahnya, yaitu kasta Sudra. Apabila orang-orang Sudra berani membaca Weda, seseorang berhak memotong lidahnya. Bahkan ketika orang Sudra hanya mendengarkan petikan Weda pun maka seorang Brahmana berhak mencucurkan timah panas ke telinganya. Kasus ini pernah dikisahkan di dalam kisah hidup Karna putra dewa Surya. Adik dari Karna dikisahkan pernah mempelajari Weda secara diam-diam akan tetapi akhirnya ketahuan sehingga ia harus menerima hukuman telinganya dicucurkan timah panas hingga ia meninggal. Hukum tersebut, konon, terdapat di dalam kitab Weda.
Konsep Eliade tentang yang sakral sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rudolf Otto. Eliade mengatakan bahwa dalam perjumpaan dengan yang sakral, seseorang merasa disentuh oleh sesuatu yang nir-duniawi. Tanda-tanda orang yang mengalami perjumpaan ini adalah di antaranya, mereka sedang menyentuh suatu realitas yang belum pernah mereka kenal, sebuah dimensi dari eksistensi Yang Maha Kuat, sangat berbeda dan merupakan realitas abadi yang tiada bandingannya.
Simbol dan Mitos
Mircea Eliade mengemukakan konsep simbol yang terdapat pada masyarakat kuno dalam mendeskripsikan yang sakral dalam pengalaman normal secara tidak langsung yang dapat ditemukan dalam simbol-simbol dan mitos-mitos. Simbol-simbol itu didasarkan pada prinsip kemiripan dan analogi bentuk dan karakter-karakter sesuatu. Mitos-mitos juga merupakan simbol-simbol yang berupa narasi. Mitos dalam hal ini bukan hanya sekadar sebuah imajinasi atau penanda-penanda, melainkan kisah dewa-dewa, para kesatria, atau dunia supranatural lain yang memiliki nilai keluhuran yang sangat tinggi.
Mitos dalam kepercayaan Hindu muncul dalam Itihasa berbentuk epos, seperti Ramayana dan Mahabharata. Mitologi Yunani pun memunculkan kisah-kisah tentang dewa-dewa dengan kisah yang paling populer yakni dewa Zeus. Dalam tradisi Kristen pun terdapat tanda salib yang oleh sebagian orang dapat mengantarkan kepada tuhan Yesus yang mati di tiang salib dalam rangka menebus dosa manusia. Selain itu juga terdapat simbol-simbol yang tingkatannya lebih rendah, seperti pada pohon, batu, bunga, keris, air sungai, dan lain-lain.
Sejarah dan Waktu Sakral
Dalam bukunya The Myths of the Eternal Return: Or, cosmos and history, Eliade menjelaskan bahwa masyarakat kuno mengakhiri sejarah dan ingin kembali pada satu titik nir-waktu ketika sesi dunia mulai diciptakan. Masyarakat kuno sangat dipengaruhi oleh misteri kematian dan meyakini kehidupan ini tidak memiliki tujuan dan arti sehingga menginginkan sesuatu yang penuh arti, kekal indah, dan sempurna.
Begitu pula dengan doktrin-doktrin India kuno yang mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini hanya merupakan proses samsara, hingga pada akhirnya semua itu lenyap dan segalanya dimulai kembali melalui reinkarnasi.
Homo Religiosus Mircea Eliade
Dalam pikiran homo religiosus, dunia tidak dimengerti sebagaimana orang modern mengerti, yaitu alam semesta, melainkan terbatas pada daerah yang dikenal dan didiami. Dunia adalah daerah sekitar dengan gunung-gunung yang didaki, dengan bentangan tanah yang dia garap, dengan hutan-hutan yang dia jelajahi, dengan sungai-sungai yang dia kenali dan laut-laut yang dia layari, dan tempat-tempat suci yang dia kunjungi. Dunia adalah daerah sekitar yang teratur sehingga disebut kosmos. Sedangkan daerah di luar, daerah yang tidak dikenal adalah daerah yang tak teratur, kacau sehingga disebut khaos (Sastrapratedja, 1982: 38). Dunia ini ada karena diciptakan oleh dewa dengan beragam kisah-kisah yang mewarnainya, yang tersimpan dalam mitos kosmogonis.
Bagi homo religiosus dunia ini tidak hanya terdiri dari satu tingkat, tetapi tiga. Homo religiosus mengenal dunia bukan hanya dunia yang dia huni, tetapi dunia bawah, yaitu dunia yang tidak dikenal, dunia tempat orang mati; dan dunia atas, yaitu dunia para dewa, nenek moyang, dan para pahlawan purba. Ketiga dunia ini memiliki relasi satu sama lain oleh poros dunia (axis mundi) (Sastrapratedja, 1982: 39). Menurut Eliade, dunia yang paling asli dan hakiki adalah dunia atas. Homo religiosus rindu akan dunia itu dan selalu berusaha untuk dapat masuk dan menikmati keadaan dunia itu dengan berbagai upacara. Sekilas, pemikiran Eliade tersebut seakan-akan memang cukup dipengaruhi oleh perpaduan unsur-unsur pemikiran kefilsafatan di India dan unsur-unsur Platonis.
Homo religiosus memandang dunia seperti sekarang ini bukan lagi dunia yang murni dan hakiki, melainkan sudah rusak, hancur. Dalam pandangan homo religiosus, dunia ini harus selalu diperbaharui dan diciptakan kembali melalui upacara-upacara yang pada hakikatnya merupakan pengulangan kembali mitos kosmogonis. Salah satu patokan homo religiosus dalam menilai dunia telah rusak adalah, misal, bila terjadi gagal panen dalam bidang pertanian mereka. Gagal panen telah memberikan petunjuk bahwa kosmos telah kehilangan keseimbangan dan kekuatan untuk memberi hidup kepada manusia.
Bagi homo religiosus, sebagaimana telah dijelaskan dalam yang sakral dan yang profan, menganggap segala sesuatunya adalah sakral, bernilai religius, dan suci. Hal itu disebabkan mereka percaya bahwa segala sesuatu diciptakan oleh dewa. Homo religiosus, menurut Eliade juga memiliki konsep eskatologi. Homo religiosus percaya bahwa dunia ini pasti berakhir dalam suatu malapetaka yang menghancurkan, entah pengulangan malapetaka atau berupa malapetaka yang hanya terjadi satu kali pada akhir dunia itu. Setelah itu mereka percaya akan ada dunia baru, yakni dunia yang didambakan.
Eliade juga membahas mitos-mitos antropogonis yang sebagian besar membahas kisah asal-usul manusia. Menurut anggapan homo religiosus, manusia merupakan alam kecil (mikro kosmos), dan merupakan bagian dari dunia besar (makro kosmos). Maka di kalangan homo religiosus, manusia kerap disamakan dengan dunia. Mata disamakan dengan matahari. Dahi disamakan dengan bulan penuh. Nafas disamakan dengan angin, dan begitu seterusnya. Karena memiliki kesamaan dengan dunia ini, lewat tindakan-tindakannya manusia secara aktif dapat mengalami kesucian dunia. Makan misalnya, merupakan suatu tindak suci, tindak religius, bukan hanya sekadar tindakan mengisi perut (Sastrapratedja, 1982: 40).
Hidup manusia merupakan perkembangan pra-hidup – hidup – kematian. Perpindahan dari tahap hidup satu ke tahap hidup yang lain merupakan bagian dari keseluruhan sistem perpindahan yang kompleks. Tahap-tahap tersebut akan disimbolisasi melalui upacara-upacara sebagai ungkapan suatu gagasan mengenai situasi hidup manusia di dunia.
Sewaktu dilahirkan di dunia, manusia belum sempurna adanya. Untuk menjadi sempurna, manusia harus mengalami berbagai upacara perpindahan, upacara inisiasi, atau rite de passage. Dengan upacara itu manusia dipindahkan dari suatu tingkat hidup yang satu ke tingkat hidup yang lain. Dengan perkataan lain, menurut pemikiran homo religiosus, manusia sempurna itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus dibuat. Upacara inisiasi itu terdiri dari dari suatu deretan ritus dan ajaran-ajaran lisan yang bertujuan mengubah status religius dan sosial seseorang, yang, dengan menjalaninya manusia akan mengalami perubahan eksistensial. Ia dilahirkan kembali menjadi manusia baru, manusia lain daripada sebelumnya. Dengan menjalani upacara itu, manusia beralih dari status natural ke status religius dan kultural. Dan semua upacara itu pada dasarnya memiliki suatu pola umum, yaitu disiksa, mati, dan mengalami kebangkitan menjadi manusia baru (Sastrapratedja, 1982: 41).
Homo religiosus juga mempercayai hukum karma sebagaimana diimani di dalam agama Hindu dan Buddha. Homo religiosus percaya bahwa ia menjadi seperti adanya sekarang ini diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu, seperti dikisahkan dalam mitos-mitos. Selain itu, bagi homo religiosus mitos merupakan arketipe, paradigmatis, yang wajib diteladani karena di dalamnya terkandung norma-norma yang baik bagi kehidupannya.
Di kalangan homo religiosus ada anggapan bahwa tubuh yang sakit diserang penyakit tidak dapat disembuhkan, melainkan harus diciptakan kembali melalui penciptaan terbesar, yaitu kosmogoni. Dalam rangka penyembuhan ini, mitos kosmogonis sering dipadukan dengan mitos asal-usul penyakit dan obatnya. Homo religiosus juga memiliki pemikiran tentang penderitaan. Mereka berpendapat bahwa berbagai penderitaan itu ada sebab-musababnya. Baik disebabkan karena pelanggaran norma hidup, atau pun karena kemarahan dewa. Tidak ada kebetulan di dunia ini.
Kematian juga bukan merupakan hal baru bagi homo religiosus. Sebab dengan menjalani berbagai macam upacara inisiasi, dia sudah mengalami kematian itu. Maka dalam pemikiran homo religiosus, kematian tidak berarti kehancuran total dan final, melainkan kematian adalah upacara inisiasi yang paling besar. Dengan demikian hidup ini berakhir tetapi dimulai hidup lain yang lebih tinggi kualitasnya, lebih spiritual, lebih hakiki (Sastrapratedja, 1982: 43). Oleh karena itu pula homo religiosus memandang hidup ini secara optimis, bahkan kematian pun mendatangkan kebaikan.
Eliade kemudian membahas tentang Yang Suci. Menurut Eliade, pada dasarnya agama adalah pertemuan manusia dengan Yang Suci, Yang Ada, Yang Nyata, Yang Berarti. Homo religiosus yakin akan adanya Yang Suci bermula dari mitos-mitos. Homo religiosus menjadi semakin yakin akan adanya Yang Suci melalui peristiwa hierofani. Hierofani adalah peristiwa penampakan Yang Suci kepada manusia, kapan saja, lewat apa saja, dan di mana saja. Dalam peristiwa hierofani ini sesuatu yang bukan bagian dunia bukan berasal dari dunia dan berasal dari dunia. Dalam peristiwa ini manusia bertemu dengan Yang Sama Sekali Lain. Dengan menampakkan diri itu Yang Suci menjadi tidak absolut lagi, melainkan terbatas pada benda atau makhluk yang menjadi alat di-erofani itu. Peristiwa-peristiwa hierofani diperingati setiap kali agar supaya penampakan suci itu dialami lagi dan manusia dapat ikut mengambil bagian dalam Yang Suci yang sudi menampakkan diri itu.
Yang Suci menampakkan diri sebagai kekuatan, kratos. Sejauh menampakkan diri sebagai kekuatan, hierofani disebut kratofani. Benda, tempat makhluk yang menjadi wadah kratofani menimbulkan rasa menakutkan, tremendum. Maka tidak boleh didekati, dihubungi, karena berbahaya. Benda, tempat makhluk yang menjadi ajang kratofani itu, menurut para ahli etnologi disebut tabu. Jadi, benda-benda dan makhluk-makhluk yang aneh kerap diperlakukan sebagai sesuatu yang keramat. Dalam pemikirannya, Eliade juga menyinggung tentang gagasan Dewa Tertinggi. Kebanyakan suku-suku tradisional mengakui adanya Dewa Surgawi Yang Tertinggi. Dewa itu dikenal sebagai Pencipta, yang, begitu selesai menciptakan dunia, Dewa itu bersembunyi di balik awan, meninggalkan ciptaannya dan tidak memperhatikannya lagi. Dewa itu menyerahkan urusannya kepada dewi-dewi atau makhluk-makhluk lain. Karena jauh dari ciptaan, jauh dari kehidupan dan tidak ikut campur tangan lagi dalam hidup manusia di dunia, lama-kelamaan Dewa itu dilupakan, Dewa yang menganggur, Deus Otiosus. Kedudukannya lama-kelamaan diganti oleh dewa-dewi yang lebih aktif, dinamis, dan dekat dengan manusia. Meskipun demikian Dewa Tertinggi yang dilupakan dalam kultus dan kehidupan religius itu, akan diingat kembali bila terjadi malapetaka besar di atas bumi setelah dewa-dewi yang biasa mereka puja tidak sanggup menolongnya (Sastrapratedja, 1982: 45).
Penutup
Dalam pemikiran Eliade tersebut, sekurang-kurangnya terdapat tafsiran terhadap tata kelakuan homo religiosus itu yang rasanya terlalu hati-hati juga. Kalaupun pantas didukung sikapnya menghormati keyakinan homo religiosus, paling sedikit dapat dipertanyakan apakah perbuatan yang melulu meneladan, taat, tunduk, tanpa mempersoalkan baik buruknya perbuatan yang diteladan, dapat disebut perbuatan manusiawi dalam arti penuh?
Karena seringkali terjadi, dalam mitos-mitos para dewa, gagasan teladan bagi homo religiosus tidak selalu ada secara mutlak. Dalam kisah-kisah para dewa, misal, dalam agama Hindu, sosok dewa tidak melalu bertindak sesuai dharma bahkan tidak jarang melakukan penyelewengan. Dewa Indra merupakan salah satu dewa yang karena kekuasaannya di langit, dia seringkali berlaku semena-mena dan sombong serta membuat kekacauan baik di dunia atas maupun dunia yang ditinggali manusia. Begitu pula dengan mitos-mitos dalam berbagai tradisi kepercayaan, tidak selalu dewa-dewa sang penghuni dunia atas merupakan representasi dari segala bentuk kebajikan serta sumber teladan bagi homo religiosus. []
Bahan Bacaan:
Amstrong, Karen, 2012. Sejarah Tuhan. Bandung: PT. Mizan Pustaka
Eliade, Mircea, 1961. The Sacred and the Profane. Terj. Williard R. Trask. New York: Harper & Row
Kirk, G. S, 1984. “On Defining Myths”, di dalam Alan Dundes, Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth. Berkeley: University of California Press
Macquarrie, J., 1971. Twentieth Century Religious Thought. London: SCM Press
Sastrapratedja, M., 1982. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia