Penelitian ilmiah tentu memberikan efek yang besar dalam kehidupan modern saat ini. Hasil tersebut hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan kita. Namun, apa yang perlu disadari adalah ilmuwan juga termasuk bagian dari masyarakat, dan ini memungkinkan adanya faktor eksternal, yang mana mengartikan ia dapat beradaptasi dengan segala topik penelitian dan methods, menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan yang ada.[1] Umumnya kebutuhan ini diarahkan oleh pemerintah, badan amal, atau profit companies. Pun, kita pahami, para ilmuwan dalam setiap penelitiannya tidak dapat berperan sendiri. Mereka membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit. Tentu bila harus melakukan crowdfunding, akan sangat sulit dan belum tentu mencukupi, sehingga ilmuwan akan berusaha mencari lembaga tertentu yang mampu menyokong penelitiannya.
Akan tetapi, dalam praktiknya, agen-agen penyokong dana penelitian tersebut memiliki goals dan kriteria tertentu dalam melakukan kegiatannya. Tidak sembarang penelitian yang mereka sokong oleh sebab itu, ilmuwan mau tidak mau harus menyesuaikan dengan kriteria dan mengarah pada goals yang ditawarkan oleh agen-agen tersebut. Jika ilmuwan ingin dapat meneliti tanpa ada intervensi dari pihak lain tentu ini mustahil, sekalipun ia melakukan crowdfunding. Sebab dalam crowdfunding, ilmuwan dituntut untuk memberikan feedback pada para pendonor. Entah berupa early accsess terhadap temuan yang diperoleh, atau memperbolehkan pendonor berpartisipasi langsung dalam penelitian.
Oleh karenanya, apa yang menjadi pembahasan pokok di sini adalah tentang bagaimana kemungkinan interest individual mampu memengaruhi ranah penelitian ilmiah dan bagaimana seharusnya sikap peneliti terhadap tawaran lembaga terkait dalam jalannya penelitian ilmiah.
Lembaga Penyokong
Terdapat banyak agen lembaga yang mampu berperan sebagai penyokong dana penelitian ilmuwan dan masing-masing memiliki goalsnya sendiri, seperti profit companies. Umumnya, mereka mencari tahu how people think serta menggunakannya sebagai sarana untuk memeroleh keuntungan; lalu badan amal yang umumnya mencari cara bagaimana para pendonor mau menyumbangkan uangnya untuk funds raising mereka; dan pemerintah yang umumnya memiliki goals publik atau yang bersifat kenegaraan.[2] Goals publik seperti bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi angka kemiskinan, menekan peningkatan polusi udara, mencari terobosan baru dalam dunia medis, dan lainnya. Namun pertanyaannya, sejauh apakah peneliti mampu dan boleh menerima goals dan kriteria yang ditentukan oleh agen-agen tersebut. Hal tersebut lah yang akan coba diselami dalam pembahasan ini.
Kemungkinan Interest Individual Mempengaruhi Ranah Penelitian Ilmiah
Tentu kita harus memahami terlebih dahulu perbedaan antara paksaan (coerce) dan pengaruh (influence). Agen-agen seperti yang dipaparkan pada sub-bab di atas termasuk dalam pengaruh, yang mana dalam proses penelitian, ilmuwan ditawarkan pada goals dan kriterianya, dan dalam penelitian seharusnya tidak ada hasil yang bersifat memaksa ilmuwan. Sebab, hasil dari penelitian haruslah sesuai dengan apa yang didapatkan,sehingga tindak paksaan dalam penelitian tentu tidak dibenarkan. Bentuk dari paksaan ini misalnya saat kita kerja sebagai karyawan perusahaan, lalu atasan datang memberikan tugas untuk mengumpulkan berkas tertentu, jika gagal untuk mengumpulkan maka karyawan tersebut dipecat. John Stuart Mill, dalam bukunya On Liberty mengungkapkan bahwa bentuk paksaan tidak dibenarkan, kecuali untuk mencegah perbuatan merugikan pada orang lain.[3]
Lain halnya dengan pengaruh, misalkan sewaktu kita berjalan dan melihat seorang pengemis duduk terlantar di pinggir jalan dan meminta sedikit uang, kita bebas untuk memberi atau menolak; bentuk lain, ketika pemerintah melakukan kampanye atau mungkin propaganda, kita sebagai masyarakat bebas untuk menerima itu atau mengabaikannya. Oleh karena itu, dalam penelitian, ilmuwan memiliki kebebasan untuk menentukan jalannya penelitian, sedangkan agen-agen penyokong dana hanya bertindak sebagai pemberi tawaran saja.
Adapun yang dapat dimaksudkan agen tersebut memungkinkan untuk memberikan pengaruh dapat dijawab oleh Robert Cialdini, dalam bukunya Influence menyatakan ada enam prinsip dasar pengaruh itu memiliki peran. Pertama adalah balas budi, di mana manusia pada umumnya akan memberikan balasan positif jika ia diberikan stimulan positif. Kedua bukti laku sosial, di mana manusia cenderung untuk berpikir atau mengikuti sesuatu jika itu telah banyak dilakukan oleh manusia lain, semacam hasil testimoni. Ketiga kelangkaan, di mana manusia cenderung untuk mencari hal yang aktraktif, sulit didapatkan, dan keberadaannya terbatas. Keempat komitmen dan konsistensi, pada umumnya manusia sangat tidak suka ketika perjanjiannya dibatalkan, mereka cenderung memiliki keinginan untuk melakukan sesuai dengan apa yang disepakati sebelumnya. Kelima preferensi, manusia cenderung untuk mengikuti apa yang disukainya. Keenam kekuasaan, umumnya manusia mengikuti seseorang yang dirasa ahli di bidangnya, sebab ketika manusia kewalahan dan berada dalam posisi yang tidak tentu, ia cenderung untuk melihat sesuatu yang lain untuk menggiringnya pada pengambilan keputusan.[4]
Dengan keenam prinsip ini secara sadar dapat terlihat bagaimana kemungkinan interest individual mampu memengaruhi ranah penelitian ilmiah. Sebab, ketika agen tersebut memberikan sokongan dana pada ilmuwan, maka ilmuwan secara tidak langsung memiliki tanggung jawab moril untuk menjalankan penelitiannya, dan jika agen yang memberikan sokongan itu memiliki rekam jejak yang baik ini tentu menjadi penilaian tersendiri bagi peneliti. Karena dari sana lah ia mampu berpijak dengan tenang dalam melakukan penelitiannya.
Pada agen pemerintah, umumnya pada goals publik yang mereka miliki adalah untuk merancang kebijakan tertentu, semisal welfare, medis, dan sebagainya. Meski pada akhirnya kebijakan ini akan berbentuk paksaan. Useem dalam jurnalnya memperkuat klaim ini, bahwa sokongan dana pemerintah mempunyai pengaruh lebih besar pada rancangan penelitian, khususnya bagi para peneliti, sehingga peneliti yang secara finansial bergantung pada pemerintah, umumnya akan mudah berganti dan menyesuaikan lagi bila prioritas pemerintah berganti.[5] Oleh karenanya, penyebab ketergantungan, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, hal semacam itu secara tidak sadar menjadi bentuk investasi pemerintah dalam ranah penelitian ilmiah dan hal ini memungkinkan adanya bentuk yang kita pahami sebagai titipan penelitian.
Bila dengan klaim demikian, dua arah, antara publik dan juga komunitas ilmiah, maka tanpa disadari kita telah termanipulasi dengan suatu bentuk konstruksi. Sebab, dalam ilmu behavioral dijelaskan bahwa senyatanya manusia dapat dipengaruhi, dan batas antara pengaruh dan manipulasi kita akui selalu berada di ranah abu-abu.
Contoh penelitian yang dilakukan oleh Food and Drug Administration Amerika Serikat pada tahun 2014 mengenai penggunaan produk tembakau dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kecanduan dan kerusakan organ pernafasan.[6] Sehingga perlu adanya pemberian informasi secara penuh mengenai dampak dari penggunaan tembakau dan regulasi yang dirasa tepat untuk jangka panjang. Kemudian hasilnya, Amerika Serikat membentuk The Consumer Financial Protection Bureau dengan jargonnya know before you owe dan menerapkan kebijakan tertentu yang membatasi penggunaan produk tembakau pada usia tertentu dan menaruh harga yang lebih tinggi agar penggunaannya dapat terkurangi.
Dari sana kita dapat melihat bahwa penelitian tersebut secara sadar memainkan peran penting dalam ranah pembentukan kebijakan, atau policy domains. Hal yang patut kita pahami adalah dalam ranah penelitian juga terjadi gesekan di antara para penyokong dana. Bila sebelumnya dijelaskan bahwa profit companies umumnya mereka mencari tahu how people think dan menggunakannya semata-mata sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan dan tidak peduli dengan permasalahan apakah jadinya nanti atau bahkan setelah menjadi produk tersebut tidak memiliki benefit yang signifikan, atau mungkin useless di masyarakat. Maka pemerintah berusaha membalikkan peranan tersebut dengan memaparkan referensi atau pemberian informasi secara penuh mengenai dampak dari penggunaan tembakau dan berupaya membentuk regulasi yang dirasa tepat untuk jangka panjang.
Sikap Seharusnya Peneliti Terhadap Tawaran Lembaga Terkait Dalam Jalannya Penelitian Ilmiah
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, khususnya mengenai ketergantungan peneliti terhadap sokongan dana agen lembaga tertentu, bila berbicara hal yang seharusnya maka peneliti harusnya dapat mengedepankan hajat orang banyak, atau public affair. Namun, dari apa yang telah disampaikan, tidak juga menutup adanya kemungkinan faktor eksternal seperti lembaga dapat serta memberikan tekanan dalam bentuk yang luas (bukan bentuk keterpaksaan sebagaimana yang sebelumnya dijelaskan mengenai perbedaan influence dan coerce). Tekanan dalam bentuk yang luas ini dimisalkan seperti atas nama mengedepankan hajat orang banyak. Namun, lagi-lagi ini menjadi pertanyaan, apakah benar orang banyak ataukah hanya untuk kepentingan kecil saja. Dan tidak dapat dipungkiri juga bila untuk dapat diterima kesahihan penelitiannya, tentu seorang ilmuwan harus terlebih dulu mendapatkan restu dari komunitas ilmiah yang menaunginya.[7]
Kemudian kita harus sadari, peneliti pun mempunyai dilema tersendiri, terkadang mereka meyakini bahwa tugas mereka adalah untuk menyelidiki dan menjelaskan value dari suatu sistem dan motifnya secara ilmiah, dan juga menawarkan temuan empiris tentang bagaimana laku manusia ke depan seharusnya, serta bebas nilai; tapi kenyataannya tidak demikian, mereka terikat pada persoalan kebijakan seperti decision-making, policy politics, dan the engineering of consent.[8]
Bila dengan klaim demikian, dua arah, antara publik dan juga komunitas ilmiah, maka tanpa disadari kita telah termanipulasi dengan suatu bentuk konstruksi. Sebab, dalam ilmu behavioral dijelaskan bahwa senyatanya manusia dapat dipengaruhi, dan batas antara pengaruh dan manipulasi kita akui selalu berada di ranah abu-abu. Sebagai peneliti tentu kita harus berhati-hati terhadap karakteristik lembaga yang bermain, seperti pemerintah yang kerap memainkan ideologisnya terhadap ranah ilmu untuk membentuk kebijakan yang mengatur hajat orang banyak.
Kemudian kita harus sadari, peneliti pun mempunyai dilema tersendiri, terkadang mereka meyakini bahwa tugas mereka adalah untuk menyelidiki dan menjelaskan value dari suatu sistem dan motifnya secara ilmiah, dan juga menawarkan temuan empiris tentang bagaimana laku manusia ke depan seharusnya, serta bebas nilai; tapi kenyataannya tidak demikian, mereka terikat pada persoalan kebijakan seperti decision-making, policy politics, dan the engineering of consent.[8]
Pada akhirnya kita memahami dan harus mengakui bahwa politik lembaga memiliki hubungan eksternal terhadap penelitian dan ilmu yang diturunkan melaluinya, pun adanya konteks sosial—meski ini masih memicu perdebatan, sebab yang terjadi adalah peneliti dituntut harus mementingkan hajat hidup orang banyak dan bisa jadi ini yang dapat dikatakan sebagai tekanan dalam bentuk luas, the public and it’s problem—turut memberikan legitimasi kuat terhadap lembaga dalam memainkan serangan pengaruhnya dalam langkah evaluasi dan proses kontrol terhadap penelitian yang dilakukan ilmuwan.
Semisal hal tersebut dikatakan sebagai upaya politis lembaga sebagaimana yang sebelumnya dikatakan dalam bentuk investasi dapat terbukti dengan merambah pesatnya penelitian-penelitian yang ketergantungan finansial terhadap sokongan dana lembaga, dan ini tentu memungkinkan adanya langkah intervensi politis lembaga tersebut terhadap jalannya penelitian. Pun dengan itu, dapat kembali mengguncang keprofesionalitasan seorang ilmuwan ataupun suatu komunitas ilmiah. Sisi baiknya, keberadaan upaya politis lembaga ini justru kembali memperkuat hubungan peneliti antardisiplin dalam suatu komunitas ilmiah. Sehingga bagai dua sisi koin, upaya politis dan langkah intervensi tidak dipungkiri turut memajukan perkembangan science dan lembaga itu sendiri yang berkerja sebagai suara kolektif demi kemaslahatan bersama.
[1] Lih. Michael Useem, Government Influence on the Social Science Paradigm dalam The Sociological Quarterly, Vol. 17, No. 2, Spring 1976, hal. 148.
[2] Lih. Cass R. Sustein, 2016, The Ethics of Influence: Government in the Age of Behavioral Science, Cambridge: Cambridge University Press, hal. 1.
[3] Lih.Ibid. hal. 2.
[4] Lih.Ibid. hal. 3.
[5] Lih. Michael Useem, Government Influence on the Social Science Paradigm dalam The Sociological Quarterly, Vol. 17, No. 2, Spring 1976, hal. 148-149.
[6] Lih. Cass R. Sustein, 2016, The Ethics of Influence: Government in the Age of Behavioral Science, Cambridge: Cambridge University Press, hal. 7.
[7] Lih. Yaron Ezrahi, Reviewed Work(s): Toward a Political Sociology of Science dalam Jurnal Theory and Society, Vol. 2, Nomor 4, Winter 1975, hal. 593
[8] Lih.Richard McKeon, The Ethics of International Influence dalam Jurnal Ethics, Vol. 70, Nomor 3, April1960, hal. 188
Daftar Pustaka
Ezrahi, Yaron, Reviewed Work(s): Toward a Political Sociology of Science by Stuart S. Blume, Dalam Theory and Society, Vol. 2, No. 4, Winter 1975, hal 591-595, Diambil Dari http://www.jstor.org/stable/pdf/2777497.pdf, Diakses Tanggal 11 April 2017
McKeon, Richard, The Ethics of International Influence, Dalam Ethics, Vol. 70, No. 3, April 1960, hal 187-203, Diambil Dari http://www.jstor.org/stable/pdf/2379774.pdf, Diakses Tanggal 11 April 2017
Sustein, Cass R., The Ethics of Influence: Government in the Age of Behavioral Science, Cambridge: Cambridge University Press, 2016, Diambil Dari http://down.ebook777.com/042/1107140706.pdf, Diakses Tanggal 12 April 2017
Useem, Michael, Government Influence on the Social Science Paradigm, Dalam The Sociological Quarterly, Vol. 17, No. 2, Spring 1976, hal 146-161, Diambil Dari http://www.jstor.org/stable/pdf/10.2307/4105601.pdf, Diakses Tanggal 11 April 2017