Sebagai sebuah institusi pendidikan, universitas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan peradaban manusia. Ini tentunya mempertimbangkan proyeksi awal berdirnya universitas sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam ungkapan yang lebih terperinci, universitas adalah tempat dimana ilmu pengetahuan diperdebatkan, diafirmasi dan diuji keabsahannya secara kontinu. Peran tersebutlah yang kelak akan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan sebagai prasyarat mendasar kemajuan suatu peradaban.
Signifikansi universitas sebagai pusat ilmu pengetahuan mengharuskan adanya batas-batas otonomi tertentu. Otonomi yang dimaksud berfungsi menjaga universitas dari intervensi domain kekuasaan (hukum, negara atau modal), yang dapat mendistorsi tanggung jawab dan proyeksi awal universitas, otonomi akan menjamin kebebasan akademik, sehingga akan memungkinkan universitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai upaya memperoleh kebenaran dan kemajuan peradaban.
Akan tetapi proyeksi tersebut kiranya perlu untuk dibahas ulang. Pasalnya kehadiran universitas hari ini tidaklah memanifestasikan proyeksi mendasarnya. Sebaliknya, universitas justru tampak kehilangan otonominya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Ini seiring dengan semakin intensnya intervensi domain politik, korporasi dan organisasi kapitalis. Universitas telah disulap menjadi institusi, yang memproduksi ilmu pengetahuan dan tenaga kerja yang sangat dibutuhkan pasar. Fenomena ini terilustrasi dari perubahan signifikan dalam aspek struktural dan mekanisme universitas.
Spesifikasi ilmu pengetahuan dalam universitas kian terfragmentasi satu sama lain, semakin terspesialisasi. Hal tersebut tidaklah hadir tanpa alasan, melainkan dipengaruhi oleh kebijakan internasional ataupun domain ekonomi-politik dan industri. Oleh karena itu, fragmentasi ilmu pengetahuan ini juga terjadi seiring dengan semakin terbukanya universitas dengan pasar bebas.
Fenomena lain yang dapat diperhatikan adalah semakin terikatnya universitas dengan sistem kontrol mutu. Pada aspek ini, ilmu pengetahuan dan kualitas peserta didik harus dinilai kelayakannya dengan nilai pasar. Inspeksi seperti jumlah lulusan yang sukses dalam karier, maupun keterbukaan terhadap investasi dan usaha adalah contoh penilaian yang lumrah di universitas hari ini. Upaya inspeksi kontrol mutu ini tak lain tak bukan dipergunakan sebagai ukuran bagi prospek karier lulusan berikutnya. Universitas kini justru hadir hanya sebagai pencetak tenaga kerja.
Beberapa fenomena tersebut setidaknya dapat menunjukan secara permukaan pergeseran orientasi universitas. Universitas yang semula memiliki proyeksi filosofis, mengalami reduksi, menjadi sebatas institusi dengan peran instrumental yang melegitimasi pasar bebas. Universitas mengalami transformasi radikal menjadi sebatas korporasi akademis.
Fenomena inilah yang menstimulasi penulis untuk kembali memunculkan narasi universitas, yang sayangnya, sangat jarang mendapat sorotan. Perebatan perihal universitas hari ini telah terlampau lena dengan aspek ekonomi-politik dan institusionalnya semata. Sementara itu, perdebatan tentang universitas dari segi filosofisnya acap kali tidak mendapat tempat yang cukup. Padahal, keperluan untuk menghadirkan narasi-narasi filosofis seputar universitas akan memunculkan banyak sumbangsih dalam meninjau orientasi unversitas hari ini. Lebih jauh lagi, narasi tersebut akan membantu dalam rangka memformulasikan ulang gagasan soal pembaharuan orientasi universitas. Dari urgensi itulah tulisan ini bergerak.
Penulis berusaha untuk melakukan re-interprentasi dan kontekstualisasi narasi universitas dalam faktualitasnya hari ini. Ini akan berguna dalam merumuskan satu tesis kontekstual bagaimana mewujudkan kebebasan akademik. Tulisan tersusun dalam beberapa bagian. (1). Sejarah Singkat Universitas (2). Universitas Kantian, (3). Derrida dan Dekonstruksi terhadap Kant, (4). Krisis Universitas dan Proyeksi Pelampauannya, (S). Simpulan dan Penuup.
Sejarah Singkat Universitas
Diskursus universitas tidaklah terpisahkan dari sejarah perkembangannya. Genealogi universitas modern dapat dilacak semenjak abad pertengahan, yakni studia generalia. Studia generalia adalah institusi pendidikan pada abad pertengahan yang berfokus untuk mendidik murid-muridnya menjadi para ahli agama ataupun juru tulis. Pengajar di studia generalia berasal dari banyak belahan benua Eropa, mengingat karakter inklusif dari institusi tersebut.
Institusi yang dapat digolongkan sebagai universitas pertama kali muncul di Salermo, Italia, pada abad ke-9 Masehi. Akan tetapi institusi tersebut masih berupa sekolah pengobatan semata, belum mencakup ragam dimensi ilmu pengetahuan. Universitas pertama baru muncul pada akhir abad ke-11 Masehi di Bologna. Universitas tersebut dikenal luas di bidang ilmu hukum kanon dan sipil. Di bagian utara Eropa, Universitas Paris pun ditemukan pada 1150 dan 1170, dan dikenal dalam bidang pengajaran teologi.
Universitas pada zaman tersebut dikarakterisasi sebagai pusat dari kekuasaan dan prestise. Universitas memiliki otonomi sendiri. Hal tersebut terbukti, bahwa dalam setiap fakultas (elemen partikular dari universitas) berhak untuk memilih jajaran pengurusnya secara mandiri. Tak hanya itu, guru dan murid pun diberikan keleluasaan wewenang untuk memilih rektor nya sendiri. Akan tetapi, konsekuensi logis dari otonomi tersebut adalah universitas harus mencari pendanaan untuk dirinya sendiri. Imbasnya, para pengajar harus merogoh kocek untuk mendanai universitas.
Meski memiliki otonomi, universitas pada masa tersebut belum mengenal kebebasan akademis. Kuatnya pengaruh doktrin Kristiani dan institusi gereja adalah penyebab utamanya. Dengan kata lain, setiap upaya pengembangan ilmu pengetahuan di universitas tidak boleh mempertanyakan, ataupun bertentangan dengan ajaran Kristiani.
Pada abad ke-16 Masehi pergolakkan sengit antar dua agama besar memiliki pengaruh signifikan pada sejarah perkembangan universitas. Peristiwa tersebut adalah benturan antara gerakan reformasi Protestan dengan ajaran Katolik Roma sebagai doktrin resmi kala itu. Di Jerman, universitas berhaluan protestan mulai bermunculan, sementara sekolah-sekolah lama diokupasi oleh para Protestan. Pada abad ke-17, universitas dengan haluan keagamaan Katolik dan Protestan terlibat dalam kontestasi untuk saling membuktikan keabsahan doktrin masing-masing.
Universitas modern pertama di Eropa baru muncul pada abad ke-18. Universitas itu adalah Halle yang didirikan oleh para Lutheran. Halle merupakan salah satu universitas yang mengikis ortodoksi doktrin Kristen dengan mengusung kebaruan pengajaran ilmu pengetahuan yang rasional dan objektif. Di Halle, bahasa yang dipakai secara akademis adalah bahasa Jerman, menggeser bahasa Latin yang sebelumnya lumrah digunakan. Inovasi yang dipelopori Halle ini pun turut diadopsi oleh Universitas Gottingen, hingga generas-generasi universitas ssetelahnya.
Pada abad 18 dan 19 universitas di Eropa memang secara perlahan mengalami proses sekularisasi. Dengan kata lain, narasi ortodoksi Kristen di universitas secara perlahan mengalami pengikisan, digantikan kedudukannya oleh ilmu pengetahuan. Siring dengan itu, pembaruan pada aspek administrasi dan kurikulum turut mewarnai transisi sejarah universitas. Seperti halnya yang dapat diperhatikan dari Universitas Berlin (1809), dimana metode pembelajaran yang sebelumnya bersifat teologis dan filosofis, digantikan oleh standar objektivitas, dan mengedepankan strandar kebebasan akademis.
Universitas model Jerman diimitasi oleh Amerika pada abad ke 19. Universitas di Amerika mulai mengadopsi ideal kebebasan akademis dari universitas model Jerman. Kemunculan universitas model tersebut di Amerika dipicu oleh peristiwa Land-Grant College Act atau Morril Act pada 1862, yakni kebijakan menghibahkan tanah kepada negara untuk pembangunan universitas agrikultur dan mekanika. Beberapa universitas seperti Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cornell University, dan universitas negeri layaknya Illinois, Wisconsin, dan Minnesota adalah contohnya.
Universitas model Eropa atau Amarika mengalami proses ekspansi ke benua Asia Tenggara dan Afrika pada abad ke-19 dan 20. Proses ekspansi tersebut melibatkan organisasi finansial internasional seperti Bank Dunia, baik secara teknis maupun ekonomis. Tekanan modernisasi melalui ekspansi itu telah memicu berdirinya universitas seperti Bananas Hindu University (1916) dan Rabindranath Tagore’s Visva Bharati (1921) di India, Tokyo (1877) dan Kyoto (1897) di Jepang, hingga Peking University (1898) di Cina.
Universitas Kantian
Immanuel Kant merupakan salah satu filsuf berpengaruh yang menaruh perhatian khusus pada diskursus universitas. Gagasan Kant tentang universitas dapat ditemui dalam karyanya, Conflict of The Faculties (1798). Karya tersebut dikenal sebagai opus terakhir Kant sebelum wafat pada 12 Februari 1804.
Kant, dalam Conflict of The Faculties, menempatkan universitas dalam semangat aufklärung. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ini tentunya tidak terlepas dari latar sosiologis abad ke-18, yang dimana ilmu pengetahuan objektif dan kultur kebebasan akademis tengah tumbuh di masyarakat. Semangat aufklärung dalam gagasan universitas Kantian tercermin pada peran pentingnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan, mencari kebenaran, dan mendidik cendekiawan.
Peran tersebut dapat dilacak pada aspek representasional universitas. Kant menjelaskan bahwa universitas harus bertanggung jawab pada dua hal, pemerintah (publik) dan kebenaran. Hal tersebut terilustrasi pada gagasan Kant terkait pmebagian dua domain fakultas, fakultas tinggi (higher faculties) dan fakultas rendah (lower faculties).
Higher faculties merupakan fakultas yang berperan dan bertanggung jawab terhadap pemerintah atau publik. Fakultas ini berada langsung di bawah pengawasan pemerintah, sehingga pemerintah memiliki wewenang untuk memberikan sanksi terhadapnya. Higher faculties mengemban tugas untuk mewujudkan tiga hal, yakni kesejahteraan abadi (eternal well-being), kesejahteraan sipil (civil well-being) dan kesejahteraan jasmaniah (physical well-being). Kant sendiri menuliskan konsep higher faculties dalam opusnya tersebut:
“According to reason (that is, objectively), the following
order exists among the incentives that the government can use
to achieve its end (of influencing the people): first comes the
eternal well-being of each, then his civil well-being as a member
of society, and finally his physical well-being (a long life and
health). By public teachings about the first of these, the
government can exercise very great influence to uncover the
inmost thoughts and guide the most secret intentions of its
subjects. By teachings regarding the second, it helps to keep their external conduct under the reins of public laws, and by its
teachings regarding the third, to make sure that it will have a
strong and numerous people to serve its purposes. “
Dari kutipan trrsebut, higher faculties adalah tempat dimana norma, agama, pengetahuan dan hukum masyarakat diajarkan. Pendidikan tersebut tentunya berfungsi untuk menularkan pengaruh pemerintah dan menjaga stabilitas masyarakat dari beragam bentuk penyimpangan. Kant kemudian membagi higher faculties menjadi tiga departemen, yaitu teologi, hukum dan kedokteran. Sumber ilmu pengetahuan dari masing-masing departemen berasal dari standar pemerintahan, yakni teologi bersumber dari injil, hukum dari tata hukum negara dan kedokteran dari prosedur kedokteran negara.
Pada ulasan selanjutnya, Kant menjabarkan perlu ada fakultas lain yang dapat menyeimbangkan peran higher faculties sebagai tempat edukasi pengetahuan resmi negara. Hal itu lah yang mendasari Kant untuk merumuskan lower faculties. Berbeda dari higher faculties yang terhubung langsung dengan pemerintahan, lower faculties mensyarakat otonomi dari intervensi pemerintah. Ini karena lower faculties berperan untuk menggali satu kebenaran. Lower faculties adalah tempat dimana ilmu pengetahuan dikembangkan dan diperdebatkan. Fakultas ini tidak daitur berdasarkan kekuasaan pemerintah, melainkan berdasarkan akal budi. Hal ini dijelaskan Kant dalam opus The Conflict of the Faculties:
“The lower faculty is the rank in the university that occupies itself with teachings which are not adopted as directives by order ofasuperior, or far as they are not adopted. Now we may practical teaching out of obedience, but we can never accept it as true simply because we are ordered to (de par le ROl). ” and “Now the power to judge autonomously-that is, freely (according to principles of thought in general) -is called reason. So the philosophy of faculty, because it must answer to the truth of the teachings it is to adopt or even allow, must be understood as free and subject only to laws given by reason, not by the government.”
Dari kutipannya tersebut, Kant menuturkan bahwa lower faculties ini adalah fakultas filsafat. Fakultas filsafat diplih karena karaketeristiknya yang universal dan merupakan akar dari segala ilmu pengetahuan. Selain itu, pilihan Kant pada fakultas filsafat sebagai lower faculties juga berdasarkan pertimbangan bahwa filsafat merupakan ilmu yang fokus menelusuri kebenaran. Oleh karena itu, otonomi dari intervensi pemerintah yang disinggung pada paragraf sebelumnya ditujukan agar penelusuran kebenaran tidak diintervensi oleh kepentingan politik ataupun ekonomi.
Relasi fakultas filsafat sebagai lower faculties dengan higher faculties (teologi, hukum, kedokteran) adalah untuk mengontrol dan menawarkan pembaruan-pembaruan. Dengan kata lain¸ lower faculties akan menguji keabashan ilmu pengetahuan berdasarkan kebenaran, yang kelak dapat diadopsi oleh higher faculties untuk dapat diajarkan dan diimplementasikan untuk kemaslahatan negara. Singkat kata, lower faculties adalah tempat dimana ilmu pengetahuan diuji demi ilmu pengetahuan itu sendiri.
Derrida dan Dekontruksi terhadap Kant
Perkembangan selanjutnya terkait diskursus universitas menyematkan nama Jacques Derrida. Derrida melakukan suatu upauya dekonstruksi terhadap gagasan Kant tentang universitas. Upaya tersebut dituliskan Derrida dalam “Mochlos ;or the Conflict of the Faculties” (1980), yang merupakan sebuah catatan kritis untuk gagasan Kant.
Secara keseluruhan, Derrida mempersoalkan gagasan Kant perihal otonomi universitas dari politik ataupun kekuasaan. Derrida menjabarkan bahwa ambisi Kant untuk memformulasikan universitas sebagai institusi yang otonom dari kekuasaan adalah mustahil megingat Kant masih memerlukan pengakuan negara atas universitas. Lebih rincinya, Derrida menyoroti ketika universitas menjadi tempat mermproduksi titel kompetensi publik atau legitimasi ilmu pengetahuan atau bahkan memperoleh otonominya dari pemberian suatu otoritas (termasuk negara), maka sebenarnya universitas tidaklah otonom. Sebaliknya, keberadaan universitas terikat dengan otoritas ataupun relasi sosial tertentu yang mengondisikannya. Para pengajar mungkin memiliki kewenangan tertentu untuk memberikan penilaian saintifik, tetapi standar maupun orientasinya tidaklah terpisah dari relasi sosialnya. Derrida menjabarkan dalam Mochlos:
“When, however, the issue is one creating of public titles, or of legitimating knowledge, or of producing the public effects of this ideal autonomy, then, at that point, the university is no longer authorized by itself. It is authorized (berechtigt) by a-non university agency—here, by the state — and according to criteria no longer necessarily or finally those of scientifc competence, but of a certain performativity. The autonomy of scientific evaluation maybe absolute and uncoditioned, but the political effect of its legitimation, even supposing that one couuld in all rigor distinguish them, are nonetheless controlled, measure, and and overseen by a power outside the university.”
Argumentasi Derrida akan tidak realistitsnya ambisi Kant juga bertolak dari pemahaman bahwa universitas tidaklah sekedar institusi pendidikan. Lebih dari itu, universitas terbangun dari bangunan ilmu pngetahuan suatu masyarakat tertentu. Maka dapat diinterpretasikan bahwa ilmu pengetahuan diproduksi dan diajarkan universitas bergerak dari satu representasi kebenaran tertentu. Derrida menganalogikan tidak realisitsnya otonomi absolut universitas dengan Mochlos, yakni sejenis cyclops bermata satu dari mitologi Yunani Kuno. Mochlos yang bermata satu adalah ilustrasi bagaimana semangat abad Pencerahan yang memandang kebenaran secara statis, netral dan mekanis. Semangat itu dikarakterisasikan dengan memandang dunia berdasarkan satu sudut pandang, dan menutup beragam kemungkinan kebenaran lainnya.
Alih-alih membatasi intervensi kekuasaan, konsep otonomi yang disodorkan Kant justru memposisikan universitas dalam kedudukan yang amat rentan. Ini disebabkan universitas tidaklah memiliki fondasi otonomi sama sekali pada dirinya sendiri. Sebaliknya, universitas memperoleh fondasi wewenang otonominya dari suatu otoritas. Ini berarti ketika universitas diandaikan otonom (tak terkondisikan) oleh otortitas tertentu, universitas pun akan kehilangan fondasi otoritas pertahanannya. Dengan kata lain, universitas diposisikan “tidak memiliki kekuasaan” dan “tidak memiliki pertahanan diri”. Argumentasi tersebut disampaikan Derrida dalam The Future of the Profession or the Unconditional University (Thanks tot he “Humanities,”What Could Take Place Tomorrow):
“By reason of this abstract and hyperbolic invincibility, by reason of its very impossibility, this unconditionality exposes as well the weakness or the vulnerability of the university. It exhibits the fragility of its defences against all the powers that besiege it, and attempt to appropriate it. Because it is a stranger to power, because it is heterogeneous to the principle of power, the university is also without any power of its own.That is why I speak of the university without condition. I say “the university” because I am distinguishing here, stricto sensu, the university from all research institutions that are in the service of economic goals and interests of all sorts, without being granted in principle the independence of the university; I also say “unconditional” or “without condition” to let one hear the connotation of “without power” and “without defence.” Because it is absolutely independent, the university is also an exposed, tendered citadel, to be taken, often destined to capitulate without condition, to surrender unconditionally. It gives itself up, it sometimes puts itself up for sale, it risks being simply something to occupy, take over, even buy; it risks becoming a branch office of conglomerates and corporations.”
Apabila dilacak konteksnya, dekonstruksi Derrida merujuk pada kenyataan semakin terbukanya universitas pada pasar dan ragam kepentingan politik. Ini tidak terlepas dari semakin masifnya ekspansi universitas model Amerika di banyak penjuru dunia. Universitas model Amerika diketahui mempelopori keterbukaan universitas terhadap investasi, harga pendidikan yang mahal, spesifikasi ilmu pengetahuan, adopsi mekanisme kontrol kualitas, dan orientasi pengmbangani ilmu pengetahuan dan riset berdaasarkan kebutuhan pasar. Model ini menggeser keberadaan universitas model Kantian-Humboldtian sejak 1970, terlebih pasca keruntuhan Uni Soviet.
Muncul dan merebaknya universitas model Amerika menandakan suatu transisi signifikan. Universitas yang sebelumnya berperan mendidik dan memproduksi ilmu pengetahuan, kini diapropriasi oleh nilai pasar (market-value). Universitas disulap menjadi layaknya korporasi akademi, yang mana proses edukasi tak lebih dari reproduksi tenaga kerja, dan pengembangan riset ilmiah diarahkan untuk menopang pertumbuhan industri. Hal senada turut diutarakan Derrida dalam The Future of Porfession:
“This is today in the United States and throughout the World, a major political stake; to what extent Koes the Organisation of reasearch and teaching have to be supported, that is directly or indirectly controlled let us say euphemistically “sponsored,” by Commercial and industrial interests? By this logic, as we know, the Humanities are often held hostage to departments of pure or applied science in which are concerntrated to suposedly profitable Investment of capitl foreign to academic world. “
Determinasi nilai pasar pada universitas berakibat pada karakteristik ilmu pengetahuan yang diproduksinya.Secara aksiologis, kebermanfaatan ilmu pengetahuan yang diajarkan di universitas diukur sejauh aplikasinya untuk memperoleh pekerjaan, atau mendorong proses industrialisasi. Konsekuensi yang muncul ialah ilmu pengetahuan telah direduksi menjadi sebatas kumpulan penjelasan, formulasi dan prosedur teknis. Ini tentu tidak terlepas dari fakta bahwa ilmu pengetahuan di universitas semakin terspesifikasi. Singkatnya, determinasi nilai pasar pada universitas telah berakibat pada corak ilmu pengetahuan yang diproduksinya menjadi terlampau instrumental.
Kondisi ini lantas menyisakan sebuah pertanyaan besar, antitesis apakah yang mampu menjadi alternatif atas krisis universitas hari ini?
Krisis Universitas dan Proyeksi Pelampauannya
Urgensi untuk menemukan proyeksi atas pelampauan krisis universitas hari ini menjadi kebutuhan mendesak. Kebutuhan ini tentunya beranjak dari fenomena universitas yang semakin terkondisikan oleh kekuasaan modal. Kondisi ini semakin menenggelamkan universitas dalam ilusi keterberian, hingga tak dapat mempertanyakan fundamen dari kondisi yang eksis. Pada titik ini, komitmen universitas pada ilmu pengetahuan mengalami depolitisasi, tidak kritis pada kekuasaan, bahkan eksistensinya sendiri.
Menjawab pertanyaan sebelumnya terkait proyeksi pelampauan krisis universitas, Derrida menghadirkan kemungkinan pelampauan melalui dekonstruksi. Universitas harus kembali terlibat dengan mendekonstruksi segala anggapan kebenaran. Dekonstruksi yang dimaksud Derrida adalah dengan mengajukan kembali upaya memprobelmatisasi Kemanusiaan. Dekonstruksi atas Kemanusiaan ini meliputi seluruh bangunan rasionalitas, sejarah, literatur, ilmu pengetahuan, fondasi fundamental universitas, bahkan kemanusiaan itu sendiri. Derrida menuturkan dalam The Future of Profession:
“When i say “more than critical.” I have in mind “deconstructive” (so why not just say it directly and without wasting time?). I am referring to the right to deconstrcution as an unconditional right to ask critical question not only to the history of the concept of man, but to the history of even the notion of critique, to the form and the aouthority of the question, to the interrogative form of thought”
Pada titik ini posisi Derrida tampak paradoksal di permukaan, mengingat terlebih dahulu ia mengkritisi gagasan universitas Kant sebagai tidak realistis dan mustahil. Ungkapan paradoksal tersebut tidak dapat diinterogasi berdasarkan paradigma oposisi biner, melainkan dalam potensialitasnya. Dengan kata lain, kemustahilan universitas.untuk kembali merebut daya kritisnya harus diletakan pada potensinya untuk menjadi mungkin, dengan mengeksplorasi setiap keterbukaan kemungkinan, tanpa terlebih dahulu menyekatnya.
Membuka kembali universitas pada pertanyaan atas Kemanusiaan adalah langkah untuk menghadirkan kemungkinan dari ketidakmungkinan tersebut. Dengan mendekonstruksi Kamanusiaan, upaya universitas untuk mempertanyakan dan mengeksplorasi kembali setiap diskursus ilmu pengetahuan yang telah mapan menjadi mungkin. Keterbukaan kembali setiap narasi ilmu pengetahuan untuk diperdebatkan, atau dipertanyakan akan kembali membuka peluang universitas untuk mendefinsikan ulang eksistensi dan rasionalitas yang mendasari eksistesinya.
Lantas, bagaimana hal itu dapat dimungkinkan? Dalam hal ini, Derrida tidak menghadirkan satu konklusi final. Dalam penutupnya dalam The Future of the Profession or the Unconditional University (Thanks to the “Humanities,”What Could Take Place Tomorrow) Derrida hanya menuliskan konklusi menggantung, seakan menyerahkan potensialitas untuk merealisasikan ide tersebut kepada pembacanya.
“I especially do not know the status, genre, or legitimacy of the discourse that i have just addressed to you. Is it academic? I itt discourse of knowledge in the Humanities or on the subject of the Humanities? Is it knowledge only? Only a performative profession of faith? Does it belong to the insiden of the university? Isi t philosophy, or literatur, or theater? Isi t work, une oeuvre, or a course, or kind of seminar?”
Simpulan dan Penutup
Universitas memegang peran signifikan dalam perkembangan peradaban global. Muncul berdasarkan proyeksinya sebagai lembaga pendidikan agama di era kerajaan, pusat pengembangan ilmu pengetahuan di masa Pencerahan, hingga pencipta tenaga kerja di era neoliberalisme, universitas telah berulang kali mengalami transisi narasi dan sistem sepanjang sejarah. Keberlanjutan kesejarahan inilah yang seharusnya kembali didorong realisasinya guna merumuskan antitesis menindaklanjuti krisis “universitas korporasi” hari ini.
Sumbangsih Kant dan Derrida terkait universitas merupakan kontribusi signifikan bagi setiap kalangan untuk kembali diperdebatkan secara publik dan akademis. Ini guna kembali memperbincangkan topik yang telah sekian lama tenggelam dalam narasi ilmu pengetahuan hari ini, yakni tentang hakikat mendasar dari universitas, berikut upaya kontekstualisasinya. Dengan begitu, upaya untuk merumuskan pelampauan menjadi memungkinkan.
Proyek besar untuk mempertanykan dan mendefinisikan ulang Kemanusiaan yang diajukan Derrida perlu beriringan dengan suatu perombakan secara sistemis. Proyek dapat dimungkinkan melalui sebuah transformasi radikal dari sistem pendidikan hari ini. Dengan kata lain, perdebatan mengenai narasi universitas haruslah menunjang dan beriringan dengan upaya transformasi sistem yang melibatkan perombakan di ranah filsafat, hukum, politik, administrasi, pemerintahan, luteratur, hingga hubungan internasional.
Catatan Akhir:
Bilgrami, Akeel & R. Cole, Jonathan. 2015. Who’s Afraid of Academic Freedom?. New York: Columbia University Press
Britannica, Encyclopedia. -. University di https://www.britannica.com/topic/university (diakses 28 Februari 2019)
Derrida, J. (1992). Mochlos; or, the conflict of the faculties (pp. 3-34). na.
Derrida, J. (2001). The Future of the Profession or the University without Condition (thanks to the ‘Humanities. what could take place tomorrow).’Jacques Derrida and the Humanities: A Critical Reader. Ed. Tom Cohen. Cambridge: Cambridge UP, 24-57.
Giroux, Henry A. 2009. Democracy’s Nemesis The Rise of the Corporate University. SAGE Publication. 10 (10,), –
Kant, Immanuel. 1979. The Conflict of the Faculties. New York: Abaris Books
Karavanta, Asimina. 2012. The Right to The University: the Quetion of Democracy in the Polis at a Time of Crisis. Springer Science, -, –
Listk, Yonathan. 2015. Derrida’s Performance di https://philosophynow.org/issues/107/Derridas_Performance (diakses 28 Februari 2019)