

“ Nge-game lah masa belajar terus”
Ketika ujaran itu terlontar pas di depan muka, saya terdiam sebentar. Tiba-tiba seolah saya tokoh pangeran kecil, berusaha bercakap dengan seekor rubah, dalam cerita masyhur Le petit Prince (1943), karya penulis Prancis Antoine de Saint Exupery. Saya tidak sedang bercakap dengan seekor rubah. Di depan saya seorang teman baru. Rentang umur kami cukup jauh: dia 18 tahun, saya 23 tahun. Dia mahasiswa semester satu, saya semester tujuh.
Teman baru itu sibuk dengan laptop, satu aplikasi terbuka. Saya duduk di sampingnya. Tangganya memencet tombol keyboard, menggeser kursor ke bagian menu. Saya tidak tahu itu aplikasi apa. Sejak beberapa menit yang lalu saya masuk perpustakaan. Di luar langit mendung dan hujan sepertinya akan segera turun.
Perpustakaan sore itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa bangku terisi, ada yang sedang membaca, mencatat, ada juga yang kasak-kusuk entah berbincang apa. Di Indonesia perpustakaan bukan saja ruang baca, tapi juga ruang berbincang yang asik. Jangan kaget, jika kasak-kusuk mengalahkan pesona deret kata dalam buku di rak-rak panjang. Saya ke perpustakaan juga tak ingin membaca apa-apa, hanya menunggu gerimis yang seolah turun ragu-ragu reda.
“Ngapain kamu?” tanya saya.
“Nge-game lah masa belajar terus,” jawabnya.
Saya mengenal teman baru ini, ketika dia mulai aktif terlibat kelompok diskusi yang saya rancang setiap akhir pekan. Otomatis dia junior saya, tapi sungguh, saya takut dan (berusaha) tidak pernah merasa menjadi senior. Menjadi senior berarti menjadi tua; menjadi tua tidak selamanya asyik; tua identik lebih dewasa; lebih dewasa kerapkali satu garis lurus dengan konotasi kolot, feodal, semena-mena, otoriter, sok serius dan gila hormat. Sungguh menjijikkan.
Masih ingat Suharto yang terlalu lama jadi presiden, yang sok tua sebagai bapak pembangunan, apa yang dia lakukan? Apa yang lebih menakutkan dari tiba-tiba kita dihormati berlebihan dan kita sibuk berpatut-tindak di depan semua orang? Bagaimana jika apa yang saya lakukan adalah dorongan penilain orang lain? Orang lain berkata saya adalah A, maka saya harus bertindak sebagai A.
***
Seorang bocah menghampiri pilot tua, pesawat pilot itu kehabisan bahan bakar dan mendarat di tengah hamparan gurun pasir. Pilot tua itu kehabisan akal, ia bingung: adakah bantuan bahan bakar di tengah gurun pasir luas amat panas ini. Berjam-jam dia memeras otak, mencari solusi menyelamatkan diri dari terik dan keterasingan yang menyebalkan. Jelas, harapan mendapatkan bahan bakar untuk pesawatnya hanya ilusi belaka. Tidak ada apa-apa di tenggah gurun pasir, seluas jangkauan pandangannya yang terlihat hanya fatamorgana. Sementara kini ia mulai merasakan rasa haus tak tertahankan. Ia butuh air untuk bertahan hidup di tengah terik gurun pasir.
Tiba-tiba seorang bocah, entah dari mana asalnya datang menghampiri. Sialnya, bocah itu tak membawa air minum, apalagi bahan bakar. Bocah itu datang malah minta tolong. “Tolonglah….gambarkan aku seekor domba!”
Barangkali ada rasa sebal yang teramat besar. Tapi, apa yang bisa dilakukan seorang dewasa di depan bocah?
Lelaki tua (pilot) itu berpikir. Ia mengeluarkan sebuah gambar yang pernah dia buat dahulu. Sebuah sketsa ular sanca tertutup, mirip sebuah topi besar tertelungkup, polos, tidak ada yang tahu pasti itu gambar apa. Bocah itu mengelak, “Bukan, bukan! aku tidak mau seekor gajah dalam perut ular sanca.”
Pilot itu tercengang. Orang dewasa selalu mengira gambar ular sanca yang menelan seekor gajah hingga yang terlihat hanya perut ular yang mengembang, membesar tertelungkup, secara kasat mata itu adalah gambar sebuah topi. Sementara, dalam penglihatan seorang bocah yang dijuluki pilot tua sebagai pangeran cilik, gambarnya adalah sebuah gajah dalam perut ular sanca.
Begitulah, salah satu bagian pembuka cerita Pangeran Kecil karya Exupery. Pengarang kelahiran Prancis 29 Juni 1900, juga seorang pilot pada masa perang dunia kedua.
***
Begitu menakjubkan dan tak terduga imajinasi seorang bocah. Kemampuan menebak gambar memang hanya metafor, sebuah tilikan yang menyentak. Di antara deret angka di kalender penunjuk umur yang bertambah ada sesuatu yang hilang: imajinasi. Betapa jauhnya kehidupan orang dewasa dari kegiatan imajinatif, sejauh mata orang dewasa memandang ke depan, dibayangkannya sesuatu yang amat jelas, pasti, atau sesuatu yang sengaja dibuat pasti.
“Orang dewasa terlalu sibuk dengan angka-angka,” begitu kata pangeran kecil, dan tepat di situlah Le Petit Prince menjadi bacaan ringan sekaligus satire. Di depan sebuah gambar yang tidak begitu jelas, orang dewasa tidak tertarik berbicara soal ular sanca, atau gajah yang menelan ular sanca. Orang dewasa jengah dengan segala yang tidak pasti dan tak kasat mata. Tidak ada ruang bagi imajinasi liar dalam hidup yang dipandu kitab suci The 7 Habits of Highly Effective People.
Le Petit Prince ditulis menjelang akhir kehidupan dan karir Exupery sebagai pilot. Dalam masa pengasingan setelah pecahnya perang dunia kedua sampai menyerahnya Prancis pada musim panas 1940. Antara 1940-1943 Exupery menulis Le Petit Prince dan beberapa karya lain, serta pengalaman semasa perang dituliskan dalam karya Pilote de Guerre, yang pada 1942 menjadi buku yang sangat laris di Amerika Serikat, namun buku tersebut dilarang beredar di negara asal Exupery: Prancis.
Peristiwa pelarangan karyanya dan kehidupan perkawinannya yang kacau membuat Saint-Exupery depresi. Ia kembali ke Prancis untuk membujuk komandan tentara sekutu di Mediterania agar memberikan izin penerbangan padanya. Tiga belas Juli 1944, Exupery berhasil menerbangkan pesawat lagi. Penerbangannya kali ini menuju daerah Borgo di Corsica. Kali ini adalah penerbangan pertama dan terakhirnya, setelah lama ia tidak diperbolehkan menerbangankan pesawat sebab dinilai terlalu ceroboh. Dari penerbangan inilah dia menghilang dan tak pernah kembali, kemungkinan besar pesawatnya ditembak oleh tentara Jerman dan jatuh ke tengah lautan.
Le Petit Prince adalah sebuah cerita yang membawa intuisi keceriaan masa kecil yang telah hilang digulung kabut bernama: waktu, umur, tua, kedewasaan. Ditulis seorang laki-laki dewasa di masa ia dipaksa non-aktif dari hobi menerbangkan pesawat, juga saat krisis ekonomi di negara asalnya, ditambah kegagalan kehidupan rumah tangga serta pelarangan karyanya. Singkatnya, Pangeran Kecil lahir dari benak seorang dewasa dalam berbagai macam tekanan psikis. Exupery mengakui bahwa Pangeran Cilik adalah sepotong autobiografi. Upaya menangkis depresi masa kini, menyembuhkan atau menguranginya lewat menulis, agar bisa terus mengenang dunia kanak-kanak.
***
Saya membaca Pengeran Cilik kira-kira saat kelas tiga SMP. Waktu itu seorang teman memperkenalkan buku itu pada saya. Seperti anak SMP pada umumnya, saya tertarik membaca Pangeran Cilik sebab dipenuhi banyak sketsa bagus dalam setiap halamannya. Saat itu belum terbersit segala pra-anggapan tentang makna sebuah cerita.
Membaca cerita sebagai kisah menarik, tanpa terbersit sedikit pun menjadi seorang pembaca sebagai pencari hikmah. Hanya menemu keasyikan (ber)sendiri untuk mengisi waktu luang. Selain itu, sebagai buku cerita Pangeran Cilik amat tipis, minim paragraf panjang, lebih sering penuh dialog pendek. Dan tentu itu cukup sebagai bacaan menyenangkan di akhir pekan, setelah berhari-hari mual berhadapan dengan buku diktat pelajaran yang tebal, dengan kertas buram, dan gambar minim.
Pangeran Cilik saya nikmati sebagai cerita lucu, sedikit konyol. Buku itu menemani saya berhari-hari di sela-sela berbagai macam umpatan “aneh”, sebab saya yang tidak suka, tidak bisa dan selalu menghindar saat jadwal olahraga sepakbola. Berhari-hari saya suka membayangkan pangeran kecil itu adalah diri saya sendiri. Sekali lagi, saya belum berpikir buku tipis ini amat reflektif.
Saya menyukai kutipan yang ditulis beberapa kali, “Orang dewasa terlalu sibuk dengan angka-angka”; “Orang dewasa amat ganjil”. Bukan sebab apa-apa jika saya menyukai beberapa kutipan dalam Pangeran Cilik, waktu itu saya juga berpikir biasa ala anak SMP. Hanya saja, saya suka menggerutu dan berkata kecil pada guru matematika: “Orang dewasa terlalu sibuk dengan angka-angka,” ketika nilai matematika saya amat jelek dan guru itu memarahi atau mempermalukan saya di depan kelas.
Entah kenapa saya memang amat bodoh dalam soal ilmu hitung. Lewat Pangeran Cilik saya seolah mendapatkan teman yang sama dengan saya. Saya membayangkan di antara 35 siswa dalam kelas hanya ada dua orang yang tidak peduli dengan pelajaran matematika, yaitu saya dan pangeran cilik. Walaupun tidak ada adegan permainan sepakbola dalam cerita Pangeran Cilik, ngawur dan narsis saja saya menggerutu: “Tenang saja, pangeran cilik juga tidak suka sepakbola”.
***
Saya membaca kembali Pangeran Cilik ketika awal masa kuliah, dan belakangan ini, saat saya mulai menginjak masa akhir studi. Entah sudah berapa kali saya mengulangi membaca Pangeran Cilik. Satu hal yang paling jelas umur saya bertambah, saya mau tidak mau menjadi dewasa juga. Seperti layaknya orang dewasa, saya pun sepertinya sudah mulai sibuk dengan angka-angka. Saya mulai tahu kegagahan tidak harus didapat dengan bermain sepakbola, berfasih-fasih merapal teori-teori ilmu pengetahuan lebih membuat seseorang sangat gagah. Teori-teori seolah kumpulan janji yang bakal menjadi kenyaataan di masa depan. Semakin tahu banyak teori semakin kamu bisa meramal masa depan.
Orang-orang di sekitar saya melekati berbagai macam label teoretik untuk merujuk pada diri sendiri maupun orang lain. “Dia seorang Marxis”; “Mas A seorang yang liberal”; “Mas B memang Spiritualis”. Di tengah diskusi sengit soal fisika kuantum, saya tidak bisa membayangkan reaksi orang-orang di sekitar saya, jika saya tiba–tiba mengacungkan jari dan bertanya pada pembicara: “Menurut Anda ini gambar ular sanca atau sebuah topi raksasa?”
Saya mulai bisa berpikir dunia ini amat rumit. Kerumitannya justru muncul dan bertambah ruwet saat orang-orang melihat sebuah pembangunan hotel dan mulai beradu mulut soal manipulasi anggaran, kesejahteran dan keadilan sosial-ekonomi, sementara orang yang lain tak mau kalah berteriak soal pasar bebas, kuasa pemilik modal, tantangan globalisasi. Orang-orang dan dunia sudah amat serius, semua seolah terbaca penuh kepastian dengan satu kali pandangan mata.
Dunia orang dewasa, dunia sekitar saya, juga dunia saya, amat penuh kepastian kasat mata yang terlampau serius. Teori-teori penuh janji tidak memberikan tempat untuk sesuatu yang di luar keseriusan: permainan, imajinasi. Dalam segala kerumitan itu betapa tidak berharganya sebuah cerita anak-anak macam Pangeran Cilik, atau dongeng-dongeng Hans Cristian Anderson
Saat melihat jam di dinding kamar, saya tahu 23 tahun adalah angka lucu sekaligus mengandung kecemasan, diikuti angka 07.30 jam kuliah pagi, 4,00 IPK tertinggi, 3 jam waktu terbuang untuk membahas teori-teori bersama seorang teman, 5 jam terbuang sia-sia untuk bergurau di kantin universitas. Lima belas menit pertemuan singkat dengan seorang kawan baru, mahasiswa semester satu, seorang yang terlihat masih bocah, yang berkata pada saya: “Nge-game lah masa belajar terus”, dan saya tidak bisa menjawab apa-apa, hanya diam. Saya tidak ingin menjadi seorang pilot tua dalam cerita Exupery. Tapi sial, di hadapan teman seorang bocah 18 tahun, seketika itu pula saya berubah seorang lelaki tua, walau bukan seorang pilot. Saya lelaki tua.
Tidak ada yang berubah dari Pangeran Cilik, ia tetap sebagai teks. Sebuah cerita yang ditulis-persembahkan kepada orang dewasa diikuti permintaan maaf penulisnya kepada anak-anak. Mengapa orang dewasa? Saint Exupery memiliki beberapa alasan: orang dewasa adalah teman terbaik di dunia, orang dewasa dapat memahami segalanya termasuk buku untuk anak-anak, orang dewasa perlu dihibur. Yang paling purna dari alasan Exupery: semua orang dewasa pernah menjadi anak-anak, sekalipun hanya sedikit yang ingat.
Teks Pangeran Cilik tidak berubah, dia melampaui umur sebagai deret angka penanda usia. Hanya setiap pembacanya tidak bisa bebas dari deret angka. Umur pembaca bertambah dan justru saat itu buku dari masa kecil ketika dibaca ulang ada kesan baru, sebab teks kita perlakukan berbeda. Ada makna yang dulu tidak didapat seorang bocah SMP yang membaca Pangeran Cilik. Makna itu bisa berbentuk apa saja, termasuk sebuah tanda bahaya, seorang (mulai) dewasa dan tidak bisa lagi membaca cerita sebagai cerita.
Keasyikan membaca kisah luluh sebab seorang dewasa itu telah seolah menjadi raja tua, pengais kebijaksanaan. Pemburu makna dengan bedil di tangan, dia mulai tidak suka sesuatu yang sia-sia, yang tak dapat dikalkulasikan, bedil dia todongkan untuk meringkus apa saja. Pada saat itulah dia tidak sadar, ada sesuatu yang hilang: daya imajinasi, keasyikan permainan, hal-hal remeh dalam dialog.
“Tahu banyak tidak membuat orang mengerti,” demikian kata Heraklitos. Dan lihatlah penulis esai ini telah mahir memilih petuah, mengubah cerita menjadi khotbah. Sebuah tanda dia mulai dewasa, mulai sibuk dengan angka-angka, menjadi pengkhotbah dengan bedil di tangan. “Dia mulai tua dan menjijikkan,” kata seorang bocah. “Iya, benar,” jawab penulis esai ini.[]