spot_img
More

    Memaknai Musik ala Schopenhauer

    Featured in:

    Apa itu musik? Mungkin setiap orang akan menjawab pertanyaan mendasar tersebut dengan beraneka-ragam, bergantung pada pemaknaan mereka terhadapnya. Kendati demikian, hampir semua orang setuju bahwasanya musik ialah suatu bentuk karya seni. Dalam tulisan ini, saya akan sedikit memaparkan perihal musik—khususnya dalam kacamata Arthur Schopenhauer. Sebab, ia dianggap sebagai filsuf pertama yang fokus terhadap musik bahkan ia sampai menempatkan musik sebagai bentuk karya seni tertinggi. Tidak heran bila ia begitu disukai oleh para komposer abad ke-19 salah satunya komposer kondang asal Jerman, Richard Wagner.

    Berangkat dari perenungan metafisisnya, Schopenhauer menemukan apa yang selama ini manusia rasakan, yakni penderitaan. Lewat kehendak yang ia punya, manusia selalu menginginkan ini dan itu. Pemikiran ala Buddhisme begitu kental di dalam pandangan Schopenhauer atas realitas. Namun, bukan Buddha saja yang banyak memengaruhi pemikirannya. Ada tokoh lain yang juga sedikit-banyak memengaruhi pandangan metafisisnya yakni filsuf terkemuka Immanuel Kant. Jika Kant berpandangan bahwa realitas terdiri dari dua sisi, noumena dan fenomena, di mana yang satu berada pada tataran inderawi sedangkan yang lainnya pada tataran transenden, Schopenhauer mengadopsi pola ini sebagai pijakan metafisisnya. Kendati ia tidak sepenuhnya menyaring mentah-mentah apa yang diusung Kant, terutama dalam hal dualitas yang kerap kali ia kritik—salah satu contoh kritiknya terhadap dualitas yakni dualitas ala Cartesian antara jiwa dan tubuh, tetapi ia nampak masih terperangkap dalam konteks dualitas.

    Schopenhauer yang sarat akan pesimisme atau lebih parahnya kalut, ia tetap memiliki sedikit optimisme terutama terkait pandangannya terhadap seni terlebih musik. Bahkan ia sampai mengemukakan bahwa lewat musiklah manusia bisa terbebas atas belenggu kehendaknya walaupun itu bersifat temporal.

    Perbedaan antara pandangan metafisis Kant dan Schopenhauer terletak pada (konteks) noumena atau the thing-itself. Schopenhauer mengemukakan bahwa the thing-itself itu ialah kehendak (The Will). Sebagaimana yang ia kemukakan bahwa kehendak inilah sebagai inner nature yang selama ini menghantarkan manusia pada penderitaan yang tak berujung. Namun, di dalam pemikiran Schopenhauer yang sarat akan pesimisme atau lebih parahnya kalut, ia tetap memiliki sedikit optimisme terutama terkait pandangannya terhadap seni terlebih musik. Bahkan ia sampai mengemukakan bahwa lewat musiklah manusia bisa terbebas atas belenggu kehendaknya walaupun itu bersifat temporal.

    Lebih lanjut, sebagaimana yang dikutip Janaway (2003) dalam bukunya, Schopenhauer mengemukakan:

    The nature of man consists in the fact that His will strives, is satisfied, strives anew, and so on and so on; in fact his happiness and well-being consist only in the transition from desire to satisfaction, and from this to a fresh desire… Thus, corresponding to this, the nature of melody is constant and deviation from the keynote in a thousand ways… (M)elody expresseses the many different forms of the will’s effort, but also its satisfaction by ultimately finding again a harmonius interval, and still more the keynote.

    Dari kutipan di atas, Schopenhauer menandaskan bahwasanya musik itu bukan suatu salinan ide seperti halnya arsitektur, hortikultur, lukisan, maupun puisi, melainkan musik ialah suatu bentuk kopian dari kehendak itu sendiri. Seperti halnya yang sudah dikemukakan di muka bahwa kehendak terletak pada tataran noumena, namun musik itu sendiri menurut Schopenhauer suatu jelmaan kehendak di tataran inderawi atau fenomena. Itulah mengapa ia menempatkan musik sebagai bentuk tertinggi dari seni. Lewat lengkingan-lengkingan melodi kita bisa mengetahui berbagai macam keinginan-keinginan kehendak yang tak pernah merasa puas—sebagaimana kutipan di atas. Lalu musik seperti apa yang Schopenhauer maksudkan? Musik yang ia maksudkan ialah musik yang tanpa teks atau musik klasik/romantik sebagaimana musik yang ngetren di zamannya. Ada yang mengemukakan bahwa gagasan Schopenhauer perihal ini termaktub dalam komposisi Wagner yang berjudul Tristan and Isolde.

    Sejauh musik dipahami sebagaimana kita memahami sebagai bentuk ekspresi si penembang, Schopenhauer tidak memandang demikian. Melainkan baginya musik itu mempunyai kejanggalan mengekspresikan apa yang disebut sebagai emosi yang impersonal. Lebih jelasnya ia mengatakan:

    Music does not express this or that particular and definite pleasure, this or that affliction, pain, sorrow, horror, gaiety, merriment, or peace of mind, but joy, pain, sorrow, horror, gaiety, merriment, peace of mind themselves, to a certain extent in the absract, their essential nature, without any acessories, and so also without motives for them.

    Jadi, emosi bukanlah apa yang terkuak di dalam musik. Bila seseorang merasakan bahagia atau derita menurut Schopenhauer itu berasal dari motif. Motif inilah yang menggerakkan kehendak dan cenderung menjadi sesuatu. Yang jelas di dalam musik Schopenhauer menawarkan bahwa kita bisa mencerap secara langsung bentuk esensial yang berupa non-konseptual tanpa representasi emosi apapun. Tetapi pendengar musik bisa melihat pasang-surut kehendak mereka sendiri dalam menginginkan sesuatu. Dan sikap yang seharusnya dilakukan di hadapan musik ialah (meminjam istilah Janaway) disinterested attitude. Artinya, ketika mendengarkan alunan musik, tiadakanlah segala luapan-luapan emosi yang kita rasakan. Itulah mengapa Schopenhauer mengatakan bahwa musik ialah suatu bentuk karya seni tertinggi dan penawar penderitaan manusia meskipun bersifat sementara karena musik itu kopian dari kehendak. Pada dasarnya suatu sikap yang ditawarkan oleh Schopenhauer dalam menjalani kehidupan (ini tidak hanya dalam konteks musik) ialah penegasian akan kehidupan itu sendiri.


    Bahan Bacaan:

    Janaway, Chrishtopher. 2002. Schopenhauer: A Very Short Introduction. New York. Oxford University Press.

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...