Benarkah “kematian” adalah hal yang nyata? Pernahkah berusaha untuk memahami bahwa kematian hanya sebagai bentuk kontruksi manusia belaka? Kata kematian selama ini, yang manusia kenali, selalu dipahami dalam konteks yang supernatural[1], sebagaimana berbagai keyakinan mengklaim bahwa kematian merupakan proses berakhirnya sebuah kehidupan dunia dan menuju kehidupan lain di alam sana[2]. Seolah menyetujui pemahaman dogmatis tersebut, peneliti menganggap bahwa manusia secara umum sejak dahulu masih terjebak dalam ranah sosial, yakni dengan meyakini bahwa setiap fenomena merupakan hasil yang terbatas pada tindak[3] dan bentuk simbolis sosial. Tindak dan bentuk simbolis sosial yang dimaksud adalah sebagai sebuah proses kehidupan: hidup lalu mati. Pada bentuk simbolis tersebut, kehidupan organik yang mengalami kematian dianggap tidak lagi ada pada dunia ini, dan jasad dari kehidupan organik tersebut tentu mendapatkan perlakuan yang berbeda dari yang masih dianggap hidup[4]. Interpretasi tersebut tentu manusia pahami dan tarik dari observasi dan pemahaman langsung yang mereka rasakan sebagai bagian dari masyarakat atau komunitas[5].
Penalaran lebih jauh dari interpretasi tersebut adalah bahwa kematian yang konon dianggap biologis dan alamiah merupakan suatu fase yang tidak terelakkan. Pemahaman tersebut tentu disetujui dengan sangat baik oleh para penganut keyakinan, yang memastikan bahwa kematian biologis adalah suatu bentuk dari ketetapan Omnipresence atau Higher-being[6] atau yang dikenal dengan konsep Tuhan atau Dewa-dewi. Hasil penalaran tersebut tentu diakibatkan oleh pemahaman manusia yang terlalu mengagungkan ranah sosial dan meyakini bahwa bentuk biologis dan supernatural[7] selalu berakibat pada suatu tindakan[8]. Tidak sepenuhnya salah memang, oleh sebab ketidakmungkinan manusia untuk memahami sesuatu yang akan terjadi pada dirinya bila belum dialami secara langsung, sehingga penalaran terbaik adalah untuk memahami yang terjadi pada diri orang lain[9]. Akan tetapi yang perlu dipahami dalam kerangka nalar tersebut hanyalah sebatas pada simbolisasi yang manusia bentuk untuk dapat memahami, bukan sebagai kenyataan mutlak atau absolut atas suatu fenomena. Oleh sebab, untuk dapat memahami manusia selalu memerlukan simbolisasi, sehingga menciptakan simbol merupakan hal yang umum[10].
Penalaran simbolisasi kematian sebagai akhir dari kehidupan dalam posisi ini, peneliti anggap sebagai kekeliruan. Carl Gustav Jung, menyatakan bahwa kehidupan hanya dapat dimaknai melalui kematian. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Walter Bromberg dan Paul Schilder dengan menyatakan bahwa semua yang hidup pasti memiliki libido, dan setiap yang memiliki libido akhir dalam kematian, sehingga kematian merupakan simbolisasi paling tepat atas kehidupan[11]. Penalaran tersebut dapat ditarik lebih jauh bahwa, terpenuhinya suatu kehidupan tentu memerlukan kematian, setidaknya untuk dapat diklaim sebagai bentuk kehidupan. Peneliti meyakini bahwa kekeliruan atas pemahaman kematian ini harus kembali diluruskan. Kematian biologis bukan merupakan akhir kehidupan, karena kehidupan merupakan sesuatu hal berkelanjutan di alam. Sebagaimana permisalan ketika manusia mengalami kematian, manusia dalam beberapa pekan akan terlebur dalam senyawa organik, yang secara alamiah akan kembali dan terserap dalam kehidupan organik lain. Oleh sebab itu, kematian semestinya dipahami bukan sebagai suatu akhir dari kehidupan, karena kehidupan pada hakikatnya tidak akan pernah berakhir, ia akan terus menjadi, atau mungkin lebih jauh dapat dipahami sebagaimana halnya hukum termodinamika. Kekeliruan penalaran kematian sebagai akhir dari kehidupan[12], tidak lain merupakan hasil dari pemahaman manusia yang terjebak pada simbolisasi dan abai terhadap kenyataan dalam ranah ilmiah[13].
Mengutip Jorges Luis Borges dalam “Labyrinths : Selected Stones and Other Writings” (1970)[14], Borges menyetujui kematian sebagai momok tentang berakhirnya kehidupan menjadikan manusia lemah, oleh sebab kematian selalu membayangi dalam segala tindak perilaku manusia. Segala tindak perilaku, bagi manusia merupakan hal yang berlaku sekali dan tidak mungkin untuk ditebus dan diulangi kembali, dan segala tindak perilaku tersebut selalu mengundang acaman. Kehidupan yang dilandasi oleh penalaran tersebut membuat manusia selalu merasa khawatir dan takut. Padahal jika manusia mampu menolak landasan penalaran tersebut, maka manusia akan memahami bahwa tidak ada dalam kehidupan ini yang patut dipeluk erat[15]. Layaknya alam semesta, yang tidak pernah peduli dengan terang-pudarnya bintang, maupun berada-tidaknya manusia, hewan, dan tumbuhan. Di hadapan alam semesta, segalanya tidak ada yang patut dipeluk erat.
Semestinya, kematian merupakan satu fase dari sekian banyak fase dalam proses kehidupan. Kematian bagi kehidupan organik harus dipahami sebagai gagal berfungsinya organ vital pada kehidupan organik atau kehidupan organik yang telah aus[16] dan tidak berfungsi. Melalui penalaran tersebut, bayang kesedihan, baik yang dirasakan oleh diri sendiri maupun orang lain[17], yang terbentuk akibat kematian kehidupan organik dapat tertolak. Oleh sebab, kematian tidak memiliki arti khusus bagi setiap makhluk[18].
Sebuah penalaran bahwa keberadaan diri sebagai individu yang terjaga dalam diri orang lain, dan terlepasnya kontrol atas nilai ke-diri-an[19] pada orang lain, sesungguhnya bila disadari, membuat kehidupan yang telah dilalui[20] menjadi sebuah penjara bagi bayang ke-diri-an dalam ingatan yang lain[21]. Oleh sebab, bayang ke-diri-an tersebut berubah menjadi mangsa yang siap untuk diburu dan dimiliki oleh orang lain. Penalaran-penaralan tersebut peneliti anggap perlu untuk diluruskan, manusia tidak perlu khawatir dan takut pada kematian, sebab bila dipahami, manusia atau dalam konteks luas yakni seluruh kehidupan organik bukanlah makhluk yang lemah dan terbatas, melainkan sama halnya dengan semesta yakni abadi dan tidak terbatas. Penalaran seluruh kehidupan organik adalah abadi dan tidak terbatas merupakan simpulan atas pola kehidupan yang tidak pernah berakhir dan terus menjadi.
Kekhawatiran dan ketakutan akan kematian merupakan ilusi belaka, yang mungkin sengaja diciptakan dengan tujuan tertentu. Ketika suatu makhluk terlahir dan hidup, pada perandaian ini anggaplah manusia, kematian organik belumlah terjadi, namun ketika kematian organik terjadi, kehidupan manusia tersebut telah tiada sebagai manusia. Ke-diri-an yang dipahami dan lalui sebagai manusia telah mustahil dirasakan maupun diingat kembali, sehingga kekhawatiran dan ketakutan tersebut tidaklah berdasar. Bila pun untuk diandaikan, sewaktu menjalani hidup[22], manusia tersebut pernah membayangkan setelah kematian organik, tubuhnya disajikan kepada burung-burung langit[23], entah dengan perasaan bahagia ataupun kasihan, manusia tersebut terlupa. Pada kematian organik sebenarnya, tidak ada ke-diri-an lagi yang mampu merasakan atau menangisi keadaan jasad manusia tersebut[24].
Melalui penalaran tersebut, kematian organik adalah berakhirnya kehidupan suatu makhluk sebagai makhluk tertentu, dan berproses menjadi bagian yang lain dari alam semesta dan menjalani kehidupan kembali sebagai makhluk yang lain. Sederhananya, kehidupan tetap berjalan dan berproses[25], sebagaimana keutuhan alam semesta dan waktu yang tetap berjalan dan berproses tanpa terganggu oleh keadaan apapun, atau dalam ungkapan lain dapat dipahami sebagai abadi dan tidak terbatas[26]. Pengamatan manusia, terhadap kematian organik, baik terhadap sesama maupun makhluk lain, bukan merupakan hal yang istimewa[27] dan perlu untuk dirayakan dengan berbagai perasaan, melainkan sebuah pesan alam semesta untuk segera menyadarkan diri manusia. Pesan tersebut adalah, fase kehidupan sebagai manusia, bukan hal yang perlu untuk dipeluk erat, sebab ke-diri-an yang dirasakan adalah sementara dan sebagian kecil dari perjalanan panjang kehidupan lain, dan jasad yang dapat dilihat dan dirasakan sekarang tidak lebih dari sekadar barang-pakai[28].
Peristiwa kematian organik adalah hal yang paling personal bagi setiap makhluk, tidak ada makhluk yang lain yang mampu merebut dan menggambarkan peristiwa tersebut selain makhluk itu sendiri[29]. Linnell Secomb dalam “Philosophical Deaths and Feminine Finitude” (1999) mengungkapkan bahwa tidak mungkin untuk merasakan kematian (organik) pada kematian (organik) orang yang lain, sebagaimana ketidakmungkinan untuk merasakan pengalaman pada pengalaman orang lain[30]. Melalui kematian organik satu makhluk hidup, makhluk hidup lain dapat hadir dan berkembang. Pada kematian organik manusia, jasad yang melewati proses peleburan atau dekomposisi turut serta dalam menyumbang bakteri penting[31] pada tanah sebagai sumber utama untuk perkembangan tumbuhan. Meski semua makhluk hidup, khususnya manusia, mengalami kematian organik sebagai fase yang tidak terelakkan, nyatanya sel dan jaringan makhluk hidup adalah abadi[32]. Sel dan jaringan memainkan peran penting dalam kehidupan makhluk hidup lain yang terbentuk setelah proses dekomposisi[33].
Kematian organik adalah ketidaktahuan yang sangat luar biasa dalam ketidaktahuan, namun manusia tidak mungkin untuk berdiam diri dan tidak membicarakannya, meski manusia tidak pernah benar-benar mengetahui apa yang ia bicarakan[34], kecuali sesuatu yang telah melewati fase kematian organik tersebut mampu menuliskannya kembali sebagai manusia. Akan tetapi, bila perandaian itu dimungkinkan, bukankah meragukan? Benarkah manusia tersebut telah melewati fase kematian yang sesungguhnya?
Catatan Akhir:
[1] Penggunaan istilah “supernatural” digunakan peneliti untuk merujuk pada istilah yang digunakan sebagai upaya pemahaman dan penjelasan di luar ranah ilmiah, semisal biologi, kimia, dan fisika.
[2] Penggunaan istilah “sana” digunakan peneliti untuk merujuk pada istilah yang digunakan berbagai keyakinan dalam menjelaskan adanya dunia setelah kematian, semisal keyakinan Abrahamik (Yahudi, Kristiani, dan Musim) yang mengenal akhirat, atau keyakinan Nordik yang mengenal valhalla.
[3] Terj. yang dianggap paling mendekati dari ungkapan “behavior”.
[4] Lih. John P. Lizza, dkk, 1999, “Death: Merely Biological?”, Jurnal The Hastings Center Report, Vol. 29 No. 1 (Jan.-Feb.), hal. 4.
[5] Lih. Glenn M. Vernon dan William D. Payne, 1973, “Myth-Conceptions About Death”, Jurnal Religion and Health, Vol. 12 No. 1 (Jan.), hal. 64.
[6] Penggunaan istilah “Omnipresence” atau “Higher-being” digunakan peneliti menjelaskan konsep Tuhan atau Dewa-dewi.
[7] Meski peneliti meyakini bentuk pemahaman supernatural adalah absurd.
[8] Lih. Glenn M. Vernon dan William D. Payne, 1973, “Myth-Conceptions About Death”, Jurnal Religion and Health, Vol. 12 No. 1 (Jan.), hal. 65.
[9] Lih. Ibid, hal. 66.
[10] Lih. Ibid, hal. 66.
[11] Lih, Glenn M. Vernon dan William D. Payne, 1973, “Myth-Conceptions About Death”, Jurnal Religion and Health, Vol. 12 No. 1 (Jan.), hal. 66.
[12] Lih. John P. Lizza, dkk, 1999, “Death: Merely Biological?”, Jurnal The Hastings Center Report, Vol. 29 No. 1 (Jan.-Feb.), hal. 5.
[13] Lih, Glenn M. Vernon dan William D. Payne, 1973, “Myth-Conceptions About Death”, Jurnal Religion and Health, Vol. 12 No. 1 (Jan.), hal. 67.
[14] Lih. Bob Plant, 2009, “The Banality of Death”, Jurnal Philosophy, Vol. 84 No. 330 (Oct.), hal. 571.
[15] Penalaran lebih jauh dari konsep “fear of death”. Lih. Ibid, hal. 539.
[16] Terj. yang dianggap paling mendekati dari ungkapan “ceases to function” dalam penjelasan kematian secara klinis.
[17] Penggunaan istilah “orang lain” pada kalimat tersebut, peneliti sederhanakan dari ungkapan yang ditujukan pada selain diri sendiri, meliputi: keluarga, sanak-saudara, kawan, kenalan, serta kekasih.
[18] Lih. Bob Plant, 2009, “The Banality of Death”, Jurnal Philosophy, Vol. 84 No. 330 (Oct.), hal. 573.
[19] Terj. yang dianggap paling mendekati dari ungkapan “personal existence”.
[20] Penggunaan istilah “dilalui” pada kalimat tersebut, peneliti ungkapkan sebagai keadaan atau fase setelah mengalami kematian organik.
[21] Lih. Bob Plant, 2009, “The Banality of Death”, Jurnal Philosophy, Vol. 84 No. 330 (Oct.), hal. 574.
[22] Penggunaan istilah “menjalani hidup” pada kalimat tersebut, peneliti andaikan, kematian organik belum terjadi pada manusia tersebut.
[23] Perandaian yang didasarkan pada tradisi pemakaman keyakinan Majusi.
[24] Lih. Bob Plant, 2009, “The Banality of Death”, Jurnal Philosophy, Vol. 84 No. 330 (Oct.), hal. 577.
[25] Bahwa kematian organik (natural death) adalah proses alam untuk menjaga proses evolusi, tanpa kematian organik, kehidupan menjadi stasis dan makhluk hidup baru tidak dimungkikan hadir. Lih. William S. Warren, 1940, “The Biology of Death”, Jurnal Bios, Vol. 11 No. 2 (May.), hal. 101.
[26] Lih. Bob Plant, 2009, “The Banality of Death”, Jurnal Philosophy, Vol. 84 No. 330 (Oct.), hal. 578.
[27] Tidak istimewa oleh sebab semua makhluk hidup pasti melewati kematian organik dan terleburnya jasad menjadi serpihan kecil. Lih. William S. Warren, 1940, “The Biology of Death”, Jurnal Bios, Vol. 11 No. 2 (May.), hal. 101–103.
[28] Lih. Bob Plant, 2009, “The Banality of Death”, Jurnal Philosophy, Vol. 84 No. 330 (Oct.), hal. 579.
[29] Penggunaan istilah “makhluk itu sendiri” pada kalimat tersebut, digunakan peneliti untuk merujuk pada ungkapan makhluk yang mengalami fase kematian organik tersebut.
[30] Lih. Bob Plant, 2009, “The Banality of Death”, Jurnal Philosophy, Vol. 84 No. 330 (Oct.), hal. 587.
[31] Terj. yang dianggap paling mendekati dari ungkapan “soil bacteria” pada proses peleburan.
[32] Lih. William S. Warren, 1940, “The Biology of Death”, Jurnal Bios, Vol. 11 No. 2 (May.), hal. 105.
[33] Lih. Ibid, hal. 105–106.
[34] Lih. Bob Plant, 2009, “The Banality of Death”, Jurnal Philosophy, Vol. 84 No. 330 (Oct.), hal. 584.
Daftar Pustaka:
Lizza, John P.; Truog, Robert D.; Robertson, John A.; Bernat, James L., 1999, “Death: Merely Biological?” dalam Jurnal The Hastings Center Report, Vol. 29 No. 1 (Jan.-Feb.).
Plant, Bob, 2009, “The Banality of Death” dalam Jurnal Philosophy, Vol. 84 No. 330 (Oct.).
Vernon, Glenn M. dan Payne, William D., 1973, “Myth-Conceptions About Death” dalam Jurnal Religion and Health, Vol. 12 No. 1 (Jan.).
Warren, William S., 1940, “The Biology of Death” dalam Jurnal Bios, Vol. 11 No. 2 (May.).