Bersamaan dengan adanya sebuah kesadaran mengenai pembayangan terhadap kehadiran bangsa negara sejak awal abad ke-20. Kemunculan sebuah simbol-simbol yang mencerminkan sebuah identitas bangsa dan negara pun turut hadir dalam semangat dekolonialisasi sebuah negara eks-koloni. Berbagai atribut seperti bendera, lagu kebangsaan pun turut bermunculan sebagai sebuah identitas sebuah bangsa dan negara eks-koloni. Selain atribut yang bersifat resmi tersebut ada hal yang tak kalah penting yang muncul sebagai sebuah identitas bangsa dan sekaligus berkaitan dengan kebutuhan biologis dan ketahanan pangan sebuah negara bangsa yaitu adalah makanan nasional.
Artikel ini mencoba membahas mengenai persebaran dan dinamika buku resep makanan yang berangkat pada masa koloni Belanda sampai pasca-kemerdekaan Indonesia. Penulis mempunyai hipotesis bahwa dengan persebaran buku resep pada zaman koloni sampai pasca-kemerdekaan Indonesia dapat memunculkan embrio semangat nasionalisme dengan membentuk sebuah jaringan imajinasi geografis antara anggota komunitas pembaca buku resep makanan. Para saling berdialog satu sama lain soal resep makanan daerahnya masing-masing. Orang sunda dapat membuat coto makassar dan sebaliknya orang Makassar dapet juga membuat makanan khas sunda yang berbahan dasar oncom.
Kuliner Cita Rasa Kolonial Sampai Nasional
Awal kemerdekaan Indonesia diwarnai dengan sebuah euforia dalam menyikapi runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda. Indonesia sebagai bangsa yang baru lepas dari ikatan koloni melahirkan sebuah semangat proyek “dekolonialisasi” terhadap segala hal yang bersifat “kebelanda-belandaan”. Pemerintahan pada saat itu berusaha untuk menghapus sebuah memori kolektif para warganya soal Bahasa, nama jalan sampai nama-nama bangunan peninggalan koloni Belanda. Bahkan pemerintah pun tidak segan untuk menghancurkan bangunan peninggalan koloni Belanda bila memang diperlukan. Tidak hanya dengan cara menghapuskan peninggalan belanda, proyek dekolonialisasi juga melakukan nasionalisasi terhadap warisan-warisan yang ditinggalkan oleh Belanda.[1]
Proyek ini pun juga terjadi dalam penciptaan sebuah citarasa makanan nasional di Indonesia. Kuliner Indonesia sejak awal terbentuk dari persilangan antara citarasa daerah yang kemudian dipersilangkan dengan citarasa luar ( Tionghoa, Arab, India dan Eropa). Lalu bagaimana mulanya persilangan tersebut terjadi dan kemudian dinasionalisasi sebagai makanan nasional Indonesia?
Melalui kuliner Hindia beberapa buku resep membuat sebuah kategorisasi berdasarkan kelas sosial tanah Koloninya yaitu masakan belanda dan makanan bumiputra. pengelompokan ini seakan bertujuan untuk memurnikan kuliner Eropa yang dianggap tinggi dari kuliner bumiputra.
Meski kesadaran untuk membangun sebuah proyek makanan nasional baru terlihat pada masa pasca-kemerdekaan. Namun, bahan-bahan dasar pembentukan kuliner nasional sebenarnya telah bermulai pada abad ke-19. Para perempuan Belanda dan bumiputra yang selera masaknya sangat dipengaruhi oleh gastronomi Prancis karena pada saat itu sedang melakukan improvisasi di tanah koloni Belanda termasuk Indonesia. Beberapa dari perempuan tersebut bahkan menuliskan resep-resep kreasinya lalu diterbitkan. Buku-buku resep inilah yang menjadi kitab bagi para perempuan Belanda dan bumiputra untuk bertualang di dapurnya masing-masing. Mulai dari Oost-Indisch kookboek (1870) karya penulis anonim diikuti terjemahan Melayunya Boekoe Masak Masakan Roepa-Roepa (1879), Indisch kookboek (1872) karya Gerardina Gallas Haak- Bastiaanse, Boekoe Masakan Baroe karya Johanna (1896), hingga buku-buku masak Groot nieuw volledig Indisch kookboek karya gastronom terkemuka awal abad ke-20, Catenius- van der Meijden.[2]
Dari publikasi buku-buku masak sejak abad ke 19 sampai 20 itu. Berkembanglah sebuah konsep kuliner yang berbasis Kawasan yang oleh para ahli tata boga yang lalu diberi nama kuliner Hindia. Melalui kuliner Hindia beberapa buku resep membuat sebuah kategorisasi berdasarkan kelas sosial tanah Koloninya yaitu masakan belanda dan makanan bumiputra. pengelompokan ini seakan bertujuan untuk memurnikan kuliner Eropa yang dianggap tinggi dari kuliner bumiputra. Meski dalam kenyataannya ada beberapa kuliner non-eropa seperti Arab, Tionghoa, India dan bumiputra yang kemudian dimodifikasi agar masuk ke lidah pihak koloni dan lalu dimasukan di dalam kategori Eropa. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya para ahli tataboga kuliner Hindia sering menjalin dialog dan transfer resep antarbangsa. Misalnya saja penulis buku-buku masak mengenalkan resep-resep bumiputra seperti aneka olahan nasi, sate, kari, soto, rawon, dan sambal kepada para pembaca Eropa; sebaliknya para pembaca dari kalangan Jawa dan Melayu diperkenalkan resep-resep membuat soep, huzarensla, frikadel, beefstuk, poffertjes, roti, nastaart, kaastengels, dan klapertaart.
Dengan kata lain peredaran buku-buku masak tersebut sangat berkaitan dengan komunitas pembacanya. Dan diantaranya termasuk segelintir dari perempuan elit bumiputra yang mempunyai kemampuan literasi untuk membaca buku-buku resep. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas kita bisa melihat sosok Kartini dan saudari-saudarinya. Mereka adalah contoh yang menarik untuk disinggung bagaimana pengaruh kuliner Hindia dalam pembentukan selera kuliner mereka. Bahkan Kardinah setelah menikah dengan Bupati Tegal membuat sebuah sekolah Wismo Pranowo dan memberikan pelajaran memasak terhadap anak-anak perempuan. Tidak sampai disana saja Kadinah pun juga membuat buku pengetahuan memasak untuk memajukan perempuan bumiputra pada masa itu. Bersamaan dengan kisah Kadinah tersebut juga bermunculan berbagai macam buku resep makanan daerah dengan menggunakan Bahasa ibu masing-masing daerah seperti Sunda dan Jawa. Berkat kepopuleran para ahli tataboga tersebut resep-resep makanan pun mulai bermunculan di dalam surat kabar dan majalah bahkan dijadikan kursus bagi perempuan-perempuan Bumiputra.
Namun, setelah tahun 1940 pamor masakan Hindia mulai meredup karena peran Jepang melalui sebuah Lembaga yang bernama Hodoka yang menjadi badan pengawasan penerbitan media. Lembaga ini bertujuan untuk menyensor apapun yang berbau eropa termasuk buku-buku resep masakan Hindia.
Boekoe Masak-Masakan yang terbit perdana pada 1940 dan diterbitkan ulang tahun 1948, tersirat mengenai rasa nasionalisme yang lebih ditekankan daripada “rasa kolonial” Indische keuken.
Kondisi itu turut menentukan pembentukan baru citra kuliner di Indonesia. Selain diwarnai kesibukan para ahli pertanian, ahli gizi, dan tokoh nasional dalam memikirkan strategi dalam mengatasi masalah pangan, ketika itu mulai muncul hasrat menampilkan identitas kebangsaan melalui kuliner. Seorang tokoh pergerakan perempuan dari Sumatra Barat, Rangkajo Chailan Sjamsu Datuk Toemenggoeng (singkatnya Chailan Sjamsu), adalah sosok yang patut diketengahkan terkait perannya dalam merumuskan konsep “makanan Indonesia”. Dalam karyanya Boekoe Masak-Masakan yang terbit perdana pada 1940 dan diterbitkan ulang tahun 1948, tersirat mengenai rasa nasionalisme yang lebih ditekankan daripada “rasa kolonial” Indische keuken. Chailan Sjamsu mendorong pembacanya dari kalangan rakyat Indonesia agar memberdayakan bahan-bahan lokal untuk membuat olahan aneka makanan kue dan masakan.[3]
Buku masak Chailan Sjamsu juga lebih banyak memasukkan variasi makanan dan kue- kue Indonesia. Hal ini jelas mewakili rasa nasionalisme Chailan Sjamsu. Selain terobsesi ingin mewujudkan kuliner nasional, ia juga menampilkan kelompok resep bercitarasa daerah yang mencakup Sumatra, Jawa dan Madura, Sunda, serta Borneo (sic.) dan Sulawesi Selatan.
Pasca-kemerdekaan mulai banyak buku-buku resep yang sejenis dengan Chailan Sjamsu. Kebanyakan dari resep tersebut berusaha untuk mengangkat potensi bahan baku yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Dalam kategorisasi buku resep pasca-kemerdekaan sering sekali terlihat bagaimana semua resep daerah yang ada di Indonesia dimasukan dalam kategorisasi Masakan Indonesia bahkan ada yang menulisnya sebagai masakan kita.
Mulai pada masa inilah makanan-makanan luar Indonesia (Belanda dan Tionghoa) mulai dinasionalisasikan menjadi masakan lokal karena dianggap telah ‘berbaju’ kuliner Indonesia. seperti mie yang awalnya dibawa oleh buruh Cina di Belitung yang lalu melalui alkulturasi budaya yang cukup lama menjadikan mie sebagai makanan lokal orang-orang Belitung. Mie yang awalnya berasal dari Cina diolah bersamaan dengan bahan-bahan pangan asli Belitung membuat Mie Belitung menjadi sebuah identitas baru bagi kuliner rakyat Belitung.
Pasca merebaknya kategorisasi-kategorisasi yang berbau keindonesiaan tersebut. Mulai banyak pembaca yang mengirimkan surat ke kantor-kantor redaksi surat kabar dan majalah untuk mengenal lebih dekat tentang ‘makanan-makanan Indonesia dari daerah-daerah lain. Salah satunya adalah “Nyonya Rumah” sebuah nama pena dari Julie, perempuan Tionghoa Peranakan dari Lasem yang memegang rubrik “Rahasia Dapur” dari majalah Star Weekly. Dalam setiap ulasan resepnya, Nyonya Rumah tidak memiliki kategorisasi yang tengah berkembang pada masa itu malah cenderung acak-acakan. Kecenderungan acak dan campur itu bukan atas kehendaknya, melainkan permintaan resep dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Setiap pekan banyak surat dari pembaca Rahasia Dapur dikirim ke redaksi Star Weekly meminta dibuatkan dan dimuatkan resep permintaannya. Praktis, Nyonya Rumah disibukkan memverifikasi surat dan memenuhi permintaan resep mana yang harus didahulukan dimuat pada setiap edisinya. Permintaan pembaca setianya dari suatu daerah terhadap resep makanan dari daerah lainnya hampir ada setiap pekannya, misalnya pembaca dari Jakarta yang meminta resep ”Soto Bandung” atau pembaca dari Surabaya meminta resep ”Dodol Garut”. Nyonya Rumah mungkin tidak menyadari ia telah berhasil membentuk komunitas pembaca nasional yang merasakan saling-silang rasa dari berbagai unsur citarasa antardaerah di Indonesia.[4]
Peredaran Buku Resep Sebagai Perekat Komunitas Terbayang
Lalu bagaimana peran dari buku resep sebagai perekat ikatan imajinatif yang sifatnya sangat emosional bagi kesadaran untuk menjadi Indonesia? hal ini tentunya sangat bersinggungan dengan sebuah mode kapitalisme yang menjadi primadona pada masa-masa tersebut yaitu kapitalisme percetakan.
Secara tidak langsung kapitalisme percetakan membuat sebuah “ritual” baru. Produk kapitalisme cetak (buku dan koran) menjadi sebuah wahana fiktif bagi para kelompok pembacanya untuk berimajinasi seakan dunia yang terbayang terakar secara kasat mata pada realitas keseharian.
Menurut Anderson, salah satu produk kapitalisme-percetakan, buku, merupakan komoditas industrial tipe-modern pertama yang diproduksi secara massal. Buku memiliki sifat yang berbeda dengan produk-produk industrial awal lainnya, seperti tekstil, batu bata, atau gula: produk-produk lain tersebut terkuantifikasi berdasarkan jumlah matematis (sekian pound gula, dan sebagainya), dan tak merupakan objek secara inheren. Sebaliknya, buku merupakan objek paripurna dan unik, yang direproduksi secara identik dalam skala besar. Terakhir dan terpenting, buku mengandung kapasitas dahsyat untuk mendiseminasi pemikiran, emosi dan imajinasi, yang produk-produk lain tak punya, dan yang—mengikuti berkembangnya proyek-proyek pencerahan bangsa Eropa—turut mempengaruhi pembentukan kesadaran nasional seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang mampu membaca.
Secara tidak langsung kapitalisme percetakan membuat sebuah “ritual” baru. Produk kapitalisme cetak (buku dan koran) menjadi sebuah wahana fiktif bagi para kelompok pembacanya untuk berimajinasi seakan dunia yang terbayang terakar secara kasat mata pada realitas keseharian. Kemampuan ini didorong oleh penggunaan bahasa-rakyat yang membuat ikatan emosional yang terbangun menjadi semakin kuat.[5]
Buku-buku resep yang ada pada zaman kolonial sampai pasca-kemerdekaan memberikan sebuah medium untuk melakukan sebuah perjalanan fiktif bagi para pembacanya untuk saling mengenal dan bertukar informasi mengenai potensi bahan dasar pangan sampai resep makanan daerahnya masing-masing. Secara tidak langsung juga kategorisasi yang dibuat oleh pihak Koloni Belanda membuat komunitas-komunitas pembaca menjadi sadar atas pembayangan batas-batas geografis daerah-daerah koloni Belanda di bumiputra pada masa itu. Orang Sunda di Jawa Barat membayangkan bagaimana cara orang Makassar membuat Coto makassar dan sebaliknya orang Makassar membayangkan bagaimana orang Sunda memasak gado-gado.
***
Para pembaca dibawa oleh yang disebut oleh Benedict Anderson sebagai “waktu yang homogen dan hampa”. Anderson menganggap penerapan konsepsi tersebut menjadi penting dalam pembentukan komunitas-komunitas terbayang karena konsepsi tersebut dapat membawa para pembacanya pada keserempakan yang melewati batas waktu dan geografis. Pembayangan ini pun diperkuat oleh penerbit-penerbit swasta yang kebanyakan dimiliki oleh Tionghoa Peranakan dan Indo-eropa yang kebanyakan buku-bukunya menggunakan bahasa daerah dan melayu rendah. Secara tidak langsung pengunaan bahasa-bahasa tersebut menguatkan ikatan emosional komunitas pembacanya. Namun, uniknya walaupun mengunakan bahasa daerah tertentu buku-buku resep ini tetap memasukan resep makanan dari daerah lain juga. Misalnya ada Nyai Djamäh yang menulis buku masak berbahasa Sunda Boekoe Batjaan Roepa Kaolahan Aoseun Maroerangkalih Istri (1916); R. A. Soewarsi menulis buku masak berbahasa Jawa Boekoe Olah-Olah: Isi Pitedah Pangolahipen; Lelawoehan lan Dedaharan Kawewahan (1937) dan Boekoe Olah-Olah: Olah-Olahan Daharan Tjara Walandi (1938); serta dalam bahasa Melayu ada S. Noer Zainoe’ddin- Moro menulis Lingkoengan Dapoer: Boekoe Masak bagi Meisjes-Vervolgscholen jang Berbahasa Melajoe (1941). Beragam bahasa dipakai untuk menuliskan resep masakan. Meski beragam, namun esensi seleranya menyajikan konstruksi Kuliner Hindia. Hal ini berhasil menjalin perspektif selera para penulis buku masak Bumiputera dalam menghimpun keberagaman budaya kuliner di Hindia sebagaimana dikonsepsikan para penulis buku masak pada abad ke-19. Kategorisasi-kategorisasi inilah yang memungkinkan para komunitas pembaca dapat masuk ke dalam waktu yang homogen dan hampa untuk melakukan lalu melakukan sebuah perjalanan fiktif yang memungkinkan terbentuknya sebuah komunitas terbayang bernama Indonesia.
Catatan Akhir:
[1] Rahman Fadly. 2018 Kuliner sebagai Identitas Keindonesiaan. Jakarta: Jurnal Sejarah 44
[2]Rahman Fadly. 2018 Kuliner sebagai Identitas Keindonesiaan. Jakarta: Jurnal Sejarah hal 45
[3] Rahman Fadly. 2018 Kuliner sebagai Identitas Keindonesiaan. Jakarta: Jurnal Sejarah hal.47
[4] Rahman Fadly. 2018 Kuliner sebagai Identitas Keindonesiaan. Jakarta: Jurnal Sejarah 52
[5] Anderson, Benedict. 2008 Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta, Insist Press. Hal. 52