Puasa adalah ibadah yang ada sejak awal, bahkan sebelum Islam datang. Di dalam al-Qur’an, ketika Allah menurunkan perintah puasa kepada umat Muhammad, disebutkan bahwa puasa sudah diwajibkan pada umat sebelum mereka (QS. 2: 183). Kita juga sudah mengenal puasa Daud: puasa yang dilakukan tiap selang satu hari oleh Nabi Daud.
Hal itu menunjukkan bahwa puasa bukan hanya ibadah umat Islam. Ada beberapa agama lain yang hingga ini juga memiliki ritual yang mirip dengan puasa. Namun, puasa bagi umat Islam demikian penting. Selain diwajibkan dalam waktu satu bulan penuh selama bulan Ramadhan, puasa juga memiliki beberapa keistimewaan.
Keistimewaan puasa yang tak dimiliki oleh ibadah lainnya adalah bahwa puasa merupakan ibadah personal di satu sisi, dan ibadah sosial di sisi yang lain. Ibadah seperti salat masih dianjurkan untuk dilaksanakan dengan berjemaah. Zakat juga masih melibatkan keberadaan orang lain sebagai mustahik.
Ibadah puasa sama sekali tidak melibatkan peran orang lain. Kata ‘shaum’ yang berarti puasa, juga bisa dimaknai dengan kata ‘junnah’ (tutup). Artinya, puasa adalah ibadah yang sangat tidak terbuka, yang—seharusnya—hanya diketahui oleh Allah.
Ibn ‘Arabî, sebagaimana ditulis oleh Karam Amin Abu Karam dalam Haqîqat al-‘Ibâdah ‘inda Ibn ‘Arabî, menyebut puasa sebagai ‘momen negatif’. Artinya, puasa adalah negasi atas perbuatan dan perkataan yang bisa membatalkan ibadah puasa. Maka, berpuasa berarti ‘menahan’ (imsâk) diri untuk tidak melakukan perbuatan tertentu; ‘meninggalkan’ (tark) perbuatan tertentu; dan akhirnya ‘diam’ (shumt) dalam kepasifan yang syahdu.
Intinya, puasa adalah penyangkalan atas perbuatan—yang bisa jadi itu juga merupakan sebuah perbuatan. Namun, perbuatan yang menegasikan perbuatan lebih sublim daripada perbuatan itu sendiri. Karena ibadah puasa adalah laku negasi, maka ia berarti ibadah yang paling sunyi. Ibadah yang hanya melibatkan seorang hamba dan Yang Ilahi.
Dalam sunyi itulah, seorang hamba yang berpuasa bisa bermunasabah dengan Tuhannya. Ibn ‘Arabî menyebutkan bahwa Tuhan menjelmakan sifat-sifat Dzat-Nya dalam diri hamba-Nya yang berpuasa. Dengan begitu, puasa bisa menjadi momen eksistensial yang bersifat sangat personal. Dan karenanya, ibadah puasa bukan ranah publik yang mesti diumbar, apalagi minta perhargaan dan penghormatan. Puasa adalah diam, larut dalam kesunyian.
Ketika ibadah puasa sudah penuh dengan euforia dan rupa-rupa huru-hara, maka di situlah Tuhan gagal hadir dalam puasa seorang hamba. Sebab puasa adalah ibadah esoteris, tak punya bentuk dan rupa. Bila ibadah puasa mau diberi bentuk dan rupa, maka itu sebenarnya adalah negasi atas keduanya.
Namun, dalam hilangnya bentuk dan rupa itu sebenarnya di kedalaman jiwa seorang hamba yang berpuasa ada sebuah pertarungan. Pertarungan antara pancaran cahaya Ilahi melawan kegelapan nafsu dan berahi. Bila pancaran cahaya Ilahi yang menang, maka puasa seorang hamba akan semakin kehilangan bentuk. Ibadahnya akan sangat tersembunyi, bersifat privasi, dan hanya diketahui Yang Ilahi.
Bila sebaliknya, sekalipun seorang hamba itu berpuasa namun nafsu dan syahwatnya masih tetap berkuasa, maka puasa seorang hamba itu akan berusaha mencari ‘bentuk’; mencari pengakuan, penghargaan, dan penghormatan. Maka, puasa yang sejati itu justru menemukan bentuknya dalam negasi atas bentuk; dalam diam; dalam kesunyian.
Mengapa ibadah puasa justru menekankan negasi atas perbuatan; menganjurkan diam serta larut dalam kesunyian? Hal ini terkait dengan puasa sebagai ibadah sosial. Dengan puasa, seseorang bisa melatih apa yang oleh Emmanuel Levinas (1961) disebut sensibilitas atas ‘yang-lain’: sebuah rasa sepenanggungan atas nasib ‘yang-lain’; tanggung jawab atas ‘yang-lain’.
Dengan berpuasa, kita berarti berusaha untuk bersimpati atas penderitaan orang lain; atas kelaparan yang dialami oleh orang lain. Bersimpati atas sebuah penderitaan, maka mengharuskan kita untuk ‘diam’, hanyut dalam perasaan derita yang orang lain rasakan. Namun, dalam puasa Ramadhan, rasa simpati atas penderitaan orang lain itu tidak cukup berhenti hanya pada tingkatan ‘diam’.
Rasa simpati atas sebuah penderitaan, selain mengharuskan sikap pengheningan cipta dalam diam, juga harus dilanjutkan dengan sikap kepedulian. Karenanya, dalam puasa Ramadhan, seorang muslim diwajibkan memberikan zakat fitrah kepada orang-orang yang berkesusahan. Zakat fitrah adalah semacam tuntutan moral bagi orang yang berpuasa—yang selama satu bulan penuh telah mengasah jiwanya untuk bersimpati kepada jutaan orang yang hidupnya susah.
Oleh karena itu, puasa selain sebagai ibadah yang sangat personal, juga merupakan autokritik atas umat Islam untuk bersimpati atas penderitaan banyak orang, dan berjuang melawan ketertindasan. Maka, di dalam praktiknya, orang yang berpuasa tidak cukup hanya berjuang melawan rasa lapar, dorongan nafsu dan berahi seksual, tetapi juga harus menundukkan egoisme dalam relasi sosial.
Dengan hal itu, puasa menjadi ibadah yang merangkum dua hal sekaligus: momen eksistensial bersama Tuhan dan jalan pengabdian untuk kemanusiaan. Semoga saja puasa kita tahun ini bernilai di sisi Tuhan, dan bermanfaat untuk martabat kemanusiaan.[]