Judul Buku: History of Philosophy
Penulis: Julian Marias
Apa artinya filsafat bagi kita, khususnya ketika ia dikabarkan ‘sekarat’? Memang, di zaman yang semakin merebaknya pragmatisme ini, filsafat nampak tak berarti apa-apa, sebab ia tak menghasilkan nilai-tukar, tak membuahkan popularitas yang membutakan mata kaum kelas menengah yang angkuh. Filsafat bukanlah sehimpun kata-kata mutiara yang menyembur dari mulut seorang motivator, bukan pula siraman rohani yang tercurah dari seorang ustadz populer, yang terkadang mampu membuat jiwa kita yang gersang menjadi tenang kembali—meski hanya sesaat. Ia tak menjanjikan apapun selain ‘kecemasan’ yang panjang, yang cenderung sia-sia ketimbang menyaksikan konser K-Pop atau menyeruput secangkir kopi di kafe tersohor. Karena filsafat, menyitir perkataan Bambang Sugiharto, adalah aktivitas berpikir yang lumrah, tapi juga tak mudah.
Seseorang yang menekuni filsafat harus rela terjun di jalanan berlumpur dan berliku, mendaki tebing-tebing curam dan berkabut: menelusuri kepingan-kepingan sejarah, mengarungi lautan gagasan—mungkin dengan penuh kecemasan—untuk menggapai ujung cakrawala kebenaran. Filsafat adalah suatu gerak pikiran yang pada titik tertentu tak dapat dibendung. Filsafat, juga ilmu pengetahuan, bermula dari aktivitas berpikir. Karena itu, Francis Bacon sang cahaya Renaisans, mengatakan bahwa ada tiga macam akal manusia: ingatan, imajinasi, dan pikiran. Daya ingatan mencipta sejarah, daya imajinasi melahirkan puisi, dan daya berpikir menghasilkan filsafat. Inti filsafat adalah berpikir, meski tak semua aktivitas berpikir dapat disebut berfilsafat.
Berpikir dalam filsafat mempunyai ciri-ciri khusus: sistematis, universal, dan radikal. Berfilsafat tak akan menjadikan kita ‘teroris’ yang meledakan diri di sebuah mesjid atau gereja karena ciri-cirinya itu. Berfilsafat adalah aktivitas berpikir yang bertujuan, bukan secara ‘ugal-ugalan’ demi meraih suatu kesan narsistik: intelektual karbitan. Tujuannya adalah memperoleh pengetahuan yang menyangkut kebenaran. Dengan berfilsafat, mungkin kita bisa sampai pada kebenaran yang selama ini didambakan.
Konon, istilah “filsafat”—yang merupakan padanan kata falsafah dari bahasa Arab dan philosophy dari bahasa Inggris—berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang bermakna mencintai kebijaksanaan. Konon, istilah philosophia ini pun, menurut tradisi filsafat Yunani Kuno, pertama kali digunakan oleh si rendah hati Pythagoras, sekitar abad ke-6 SM. Ketika diajukan pertanyaan kepadanya; “Apakah Anda termasuk orang yang bijaksana?”. Dengan seutas senyum di wajahnya yang konyol, Pythagoras kemudian memberi jawab; “Saya hanya seorang philosophos, ‘pecinta kebijaksanaan’ (lover of wisdom)”, atau dalam sumber lain, Pythagoras menjawab, “Saya hanya orang yang menyukai pengetahuan.”[1] Sampai di sini, kita bisa kembali mengajukan pertanyaan (yang bisa jadi tak penting): Lalu apakah makna kebijaksanaan itu? Apa artinya ketika kita berbicara tentang orang yang bijaksana?
Seorang filsuf adalah manusia yang mencintai kebijaksanaan, dan mungkin telah mengunyah secercah makna kebijaksanaan. Kebijaksanaan tak hanya dimiliki seorang ilmuwan yang berkepala plontos, yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu. Begitu pula, orang yang telah mengerti banyak hal—dan terkadang sok tahu—yang telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan, belum tentu menjadi seorang yang arif bijaksana. Kebijaksanaan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan. Menurut beberapa ahli dalam hal kebijaksanaan, seseorang baru disebut bijaksana apabila ia mempunyai pengertian yang mendalam mengenai arti dan nilai sesungguhnya daripada komoditas, mengenai arti dan nilai hidup, arti dan nilai manusia. Karena itu, di saat menjamurnya ekstrimisme agama yang berujung pada kekerasan, penyakit konsumerisme yang ‘akut’, penghancuran sumber-sumber daya alam demi akumulasi modal, filsafat mendapatkan ‘gaung’-nya kembali sebagai cara untuk meraih kebijaksanaan. Filsafat masih berarti, sekurang-kurangnya, bagi saya, meski harus terseok-seok.
Maka, kita pun tak dapat mengabaikan sejarah awal munculnya khazanah pemikiran filsafat untuk memahami lebih jauh perihal makhluk yang bernama filsafat ini, yang konon, bermula dari peradaban Yunani Kuno, lalu abad pertengahan, modern, sampai abad kontemporer. Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Betrand Russel dengan susah payah, dalam bukunya History of Western Philosophy, yang membagi tiga tahap penting sejarah filsafat Barat: tahap Filsafat Yunani Kuno, Filsafat Katolik, dan Filsafat Modern. Tapi, dalam perjalanan yang panjang dan melelahkan itu, kita hanya akan memulainya dari filsafat modern. Dalam kesempatan ini, saya akan merujuk pada Juliàn Marias yang mungkin masih asing bagi sebagian kalangan dalam penulisan sejarah filsafat. Marias dengan cukup baik menjelaskan latar belakang historis dari awal mula filsafat modern.
Periode Kelahiran Kembali (Renaissance)
Di akhir abad pertengahan, teologi mengalami krisis berlarat-larat, yang berujung pada mistisisme. Hal ini disusul dengan runtuhnya otoritas gereja dan kekaisaran yang brutal, hingga negara-negara mulai terbentuk. Kertetarikan pada negara pun dimulai: selama fajar Renaisans menyingsing, muncul para pemikir politik yang tangguh, seperti Machiavelli, Bacon, dan Hobbes. Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan kembali: filsafat menggali inspirasinya dari sana.
Juliàn Marias, dalam bukunya History of Philosophy, memaparkan dengan sangat baik bahwa pada masa ini lahir kecenderungan baru yang bertumpu pada rasionalisme setelah Tuhan dipaksa undur diri dari pusat kebenaran. Tapi, rasionalisme ini bersifat anti-sejarah: sepanjang zaman modern, anti-historisisme yang secara fundamental ini telah menjadi wakil dari filsafat negara dan masyarakat, yang merupakan realitas sejarah. Segala upaya pun dibuat secara skematis untuk memecahkan permasalahan tersebut, misalnya, Utopia karya Thomas More dan Leviathan-nya Hobbes.[2]
Di Spanyol—sama halnya dengan di dataran Eropa lainnya—cenderung disibukan dengan estetika, memiliki minat yang kukuh dalam sastra dan bahasa, terutama bahasa klasik. Tetapi, sehubungan dengan pemikiran filosofis, tendensi skeptis mulai nampak kepermukaan, diwakili oleh Portugis Fransisco Sanchez, penulis buku Quod nihil scitur.
Menurut Marias, karakteristik filosofi Renaisans ini kurang memiliki ketelitian dan disiplin intelektual. Jika dibandingkan dengan momen-momen terbaik dalam Skolastisisme, inferioritasnya nampak nyata. Gagasan-gagasannya dari Platonisme—yang pada dasarnya Neoplatonik—dan Aristoteles tidak memiliki posisi filosofis dan historis yang kuat. Mereka belum sepenuhnya memikirkan situasi ontologis yang telah dibangun Abad Pertengahan: dunia yang dihuni oleh manusia rasional dan terasing dari Tuhan. Mereka pun belum secara serius mempertanyakan posisi intelektualnya yang baru. Pertanyaan ini, merupakan lanjutan dari tradisi metafisika yang nampaknya terputus, kemudian dimulai pada dekade pertama abad ke-17, dalam karya Descartes. Dalam Cartesianisme, zaman modern dipikirkan secara metafisik melalui pengandaiannya tersebut. [3]
Terlepas dari itu, Renaisans pun menyebar luas ke seluruh dataran Eropa hingga melahirkan suatu bentuk pemikiran humanis. Pada abad ke-15, mulai muncul akademi Platonis dan pusat kegiatan besar yang condong pada filsafat dan sastra. Ada juga kelompok ‘Aristotelian’ yang tumbuh subur di Italia, mereka memperjuangkan gagasan Aristoteles yang buruk rupa, di antaranya Ermolao Barbaro dan Pietro Pomponazzi. Sedangkan, para teoritikus politik dan negara membentuk kelompok terpisah, meski masih berhubungan erat dengan para humanis. Salah satunya, Nicollo Machiavelli, dalam bukunya The Prince, menguraikan teori negara di atas segalanya, yang tidak tunduk pada otoritas tertinggi, baik agama atau moralitas.[4]
Renaisans di Prancis memiliki tendensi skeptisme yang menonjol. Salah satunya, Michel de Montaigne, penulis buku Essais, yang cukup mahir dalam sastra ketimbang kedalaman filosofisnya. Ada juga Pierre Charron, yang merupakan tokoh skpetis par excellence. Pada masa ini, muncul gerakan anti-Aristotelian dan bertentangan dengan kelompok Skolastisisme. Tokoh utamanya adalah Pierre de la Ramée, yang dengan kasar menyerang si buruk rupa Aristoteles dan akhirnya memeluk Calvinisme. Humanisme juga dengan cekatan menjalin hubungan dengan Reformasi, termasuk Hellenis Henri Estienne yang agung.
Menurut Marias, budaya Spanyol yang dipengaruhi arus Renaisans, senantiasa dipertanyakan. Sebab, di Spanyol—sama halnya dengan di dataran Eropa lainnya—cenderung disibukan dengan estetika, memiliki minat yang kukuh dalam sastra dan bahasa, terutama bahasa klasik. Tetapi, sehubungan dengan pemikiran filosofis, tendensi skeptis mulai nampak kepermukaan, diwakili oleh Portugis Fransisco Sanchez, penulis buku Quod nihil scitur. Di samping itu, muncul kelompok humanisme Katolik anti-Skolastik, yang loyal pada unsur-unsur utama dari dunia Abad Pertengahan, yang secara bersamaan memiliki semangat zaman. Salah satu tokoh besarnya dari kelompok ini adalah Luis Vives yang prolifik, menulis perihal etika dan pendidikan, dan buku terkenalnya, De anima et vata, adalah salah satu buku terbaik yang dihasilkan oleh kelompok humanis waktu itu.[5]
Tak kalah ketinggalan dengan Inggris dan Jerman. Thomas More adalah figur paling menarik dalam humanisme Inggris. Ia menulis Utopia, yang cenderung bersifat komunistik dan sarat dengan suara Platonis. Sementara di Jerman, alih-alih menampilkan wajah yang sangat humanistik melalui kecenderungan sastra, pemikiran di Jerman akhir abad ke-15 dan pada abad ke-16 berkait erat dengan mistisisme spekulatif. Heinrich Suso, Johannes Tauler, Angelus Silesius, mengambil inspirasi dari mistisisme spekulatif Meister Eckhart; begitupun dengan mistik Protestan yang berkait kelindan dengan tradisi ini. Renainsans di Jerman memanfaatkan kesamaan alkimia, astrologi, dan bahkan sihir. Dengan cara ini spekulasi mistik menjadi terkait dengan pembangunan ilmu-ilmu alam. [6]
Awal Mula Filsafat Modern
Para filsuf di zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan bukan bersumber dari ajaran agama, dari otoritas tertinggi gereja dan penguasa, dan beranggapan bahwa sumber pengetahuan yang sebenarnya adalah rasio (akal). Maka, tak heran nama Descartes selalu dilekatkan pada zaman modern, karena metode kesangsiannya yang selalu percaya pada akal hingga digadang-gadang sebagai “Bapak Filsafat Modern”. Tapi, kali ini kita tak akan membicarakan si peragu Descartes lebih jauh, atau terburu-buru menggumuli para pemikir modern, seperti Spinoza hingga John Locke, dengan bekal ‘iman’ filsafat yang tipis.
Kita akan memulainya dari momen-momen paling penting pada abad-15 dan ke-16 sebagai gerbang menuju filsafat modern. Suatu garis pemikiran yang tersembunyi dan terputus yang berupaya menjaga persoalan ontentik filosofis atau membangun suatu pijakan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan krusial metafisika Eropa baru dengan cara yang khas. Sosok Nicholas Cusa dan Giordano Bruno, yang mungkin cukup asing di telinga kita, adalah sosok yang akan dibahas secara sepintas dalam diskusi ini sebagai wakil filsafat Renainsans, hingga Skolastik Spanyol abad ke-16.
Nicholas Cusa
Nicholas Cryfftz (Krebs) lahir pada tahun 1401 di Cusa dekat sungai Moselle antara Koblenz dan Trier. Ia sering disebut Nicolaus Cusanus atau Nicholas dari Cusa (Nicholas Cusa). Ia merupakan salah satu dari empat anak yang dibesarkan dalam keluarga borjuis. Ayahnya, Johan Cryfftz, adalah saudagar kaya yang menjadi salah satu bangsawan di Trier. Nicholas Cusa pertama kali mengenyam pendidikan seni liberal di Universitas Heidelburg (1416-1417), kemudian pindah ke Universitas Padua dengan bidang studi hukum, dan memperoleh gelar dokter hukum kanonik pada tahun 1423. Di Padua, ia bertemu dengan matematikawan sekaligus dokter bernama Paolo Toscanelli, serta para humanis Guarino de Verona dan Vittorino de Feltre.
Pada tahun 1425 ia memasuki dinas uskup agung Trier dan, sebagai sekretarisnya, meraup penghasilan dari beberapa orang yang diuntungkan. Pada tahun 1426, ia mengajar hukum kanonik, serta mulai mempelajari filsafat dan teologi di Cologne. Di sana, pada tahun yang sama, ia bertemu Heimerich dari Campo, yang memperkenalkannya dengan naskah Ramon Llull, dan komentarnya tentang Dionysius, serta komentar Proclus tetang Plato. Nicholas Cusa meninggal di Todi dalam perjalanan dari Roma ke Anconia pada tahun 1464.
Menurut Marias, titik keberangkatan pemikiran Nicholas Cusa adalah mistisisme, khususnya mistisisme spekulatif yang dipetik dari Eckhart. Suatu kombinasi yang tak lazim yang membuat filsafat modern tercapai.
Nicholas Cusa adalah salah satu filsuf paling menarik perhatian pada masanya. Karya filosofisnya yang paling penting antara lain De docta ignorantia, Apologia doctae ignorantia, dan De conjecturis. Selain itu, ada dua karyanya yang menjangkau agama-agama lain, terutama Islam, De Pace Fidei (1453) dan Cribatio Alchorani (1461).[7] Ia merupakan satu hal dari garis perkembangan Skolatisisme, tetapi pada saat yang sama, ia menyentuh tema-tema filsafat yang menandai peralihan ke filsafat modern.
Menurut Marias, titik keberangkatan pemikiran Nicholas Cusa adalah mistisisme, khususnya mistisisme spekulatif yang dipetik dari Eckhart. Suatu kombinasi yang tak lazim yang membuat filsafat modern tercapai. Garis besar sistem pemikiran Cusa: (1) Tuhan, sebagai yang tak terhingga (infinite); (2) Alam dan manusia, sebagai yang terhingga (finite); dan (3) Tuhan Sang Penebus atau Yesus Kristus (God the Redeemer), yang merupakan persatuan antara yang tak terhingga (infinite) dan terhingga (finite). Tema penyatuan dari keduanya adalah titik sentral dari filsafatnya.[8]
Nicolas Cusa membagi beberapa jenis pengetahuan: Pertama, pengetahuan yang diperoleh melalui indera (sensus); pengetahuan semacam ini tidak memberikan kebenaran yang cukup, tetapi hanya kesan-kesan atau gambaran-gambaran saja. Kedua, ada rasio (dalam istilah idealis Jerman Verstand, atau pemahaman); rasio, dengan cara yang abstrak dan fragmentaris, memahami gambar-gambar sensorik dalam keberagamannya. Ketiga, ada intelektus (intellectus atau Vernunft dalam bahasa Jerman, yang berarti alasan); intelektus, dengan bantuan yang bersifat supernatural, menuntun pada kebenaran Tuhan. Tetapi, kebenaran ini membuat kita memahami bahwa yang tak terhingga itu tak dapat dipahami, dan kita belajar dari ketidaktahuan kita. Hal ini terkait dengan ide teologi negatif dan kondisi pada zaman tersebut.[9] Sebagaimana yang sering terjadi dalam teologi negatif, kita tak hanya diberitahu apa yang bukan Tuhan tetapi diarahkan untuk merefleksikan secara langsung tentang apa itu Tuhan, bahkan jika kita tak memiliki kejelasan konseptual tentang apa yang kita nyatakan.
Salah satu konsep yang terkenal dalam pemikiran Nicholas Cusa, yang kelak mempengaruhi Hegel cukup dalam, yaitu koinsidensi oposisi (coincidentia oppositorum). Ia menggunakan ide-ide matematika untuk membuat hal tersebut dapat dipahami. Lebih jauh lagi, Nicholas Cusa membandingkan pikiran Tuhan dan pikiran manusia, dan pada saat yang sama, ia menarik perbedaan yang tajam di antara keduanya. Cusa pun beranggapan bahwa sesungguhnya pengetahuan didasarkan pada kemiripan (likenesses). [10] Dalam hal ini, ia telah melakukan suatu interpretasi yang berbeda dari tradisi Skolastik dan para penerusnya pasca-Renainsans, perihal kebenaran dan pengetahuan. Meski Nicholas Cusa tak begitu berhasil memisahkan ontologi dari epistemologi, seperti ia memisahkan iman dan akal.
Ada beberapa poin penting yang dari konsep ‘kemiripan’ antara pikiran Tuhan dan manusia dari Nicholas Cusa. Pertama, isi konseptual dari pengetahuan manusia terikat pada hal-hal yang diciptakan Tuhan untuk suatu kemiripan epistemiknya. Dalam hal ini, Nicholas Cusa berada dalam tradisi realisme Kristen. Kedua, keterhubungan antara pikiran Tuhan dan pikiran manusia sangat dimodifikasi oleh fakta bahwa “konsep’ Tuhan, “eksemplar” benda, benar-benar tak ada yang lain dalam Tuhan, tetapi keesaan Tuhan tidak terdiferensiasi. Keesaan adalah yang utama dalam pengetahuan Tuhan, “keberagaman” dan yang lainnya mencirikan domain konseptual manusia.
Pemikiran Nicholas Cusa ini akan mempengaruhi para filsuf setelahnya. Gagasan dunia Cusa diadopsi oleh Leibniz dalam optimisme metafisikanya. Nicholas Cusa memperluas ketakterhinggaan (infinite) ke dunia dalam arti fisik dan matematik. Posisi mengenai ketakterhinggaan ini berlaku di seluruh metafisika modern, dari Giordano Bruno hingga idealisme Jerman. Selain itu pengaruh Nicholas Cusa pun nampak kuat pada Spinoza. Menurut Marias, pada awal abad ke-15, dalam tradisi para filsuf misitisme spekulatif dan nominalis, bermunculan tema-tema utama metafisika modern. Semua filsafat yang berkembang di Eropa, dari mulai Giordano Bruno sampai puncaknya pada Hegel, tersirat dalam karya Nicholas Cusa. Meski, filsafat ini memiliki realitas sejati hanya pada abad ke-17, dalam pemikiran Descartes.
Giordano Bruno
Giordano Bruno lahir di Nola pada tahun 1548, sebuah kota kecil di sebelah timur Naples. Ayahnya adalah seorang tentara bayaran dalam dinas mahkota Spanyol, yang telah memerintah Napoli sejak awal abad ini. Menurut Rowland, Bruno merupakan bocah lelaki yang kesepian dan terkadang suka memerintah. Di usianya ke-14, ia dikirim ke Naples untuk mencecap pendidikan—yang kelak meninggalkan kesan mendalam bagi Bruno. Tak ada yang tahu di mana Bruno tinggal selama tahun-tahun pertamanya, tetapi Rowland, membayangkan ia tinggal dalam lingkungan yang padat, “seorang remaja soliter yang tiba-tiba terjun dalam kekacauan perkotaan”.[11]
Bruno memasuki Ordo Dominikan Maggiore di Naples, dan pada tahun 1572, ia mulai belajar teologi secara formal, hingga memperoleh gelar doktornya pada bulan Juli 1575. Pada tahun itu pula, ia diselidiki oleh Gereja karena pandangannya mengenai Trinitas, sebuah topik yang rumit di era Reformasi Eropa. Bruno pun melarikan diri dari biara, menggelandang ke berbagai negara: Prancis, Swiss, Inggris, dan Jerman. Kemudian, pada tahun 1591, ia kembali ke Venesia, Italia. Selama bertahun-tahun yang tidak jelas itulah, Bruno membuahkan karya-karya pentingnya yang bertahan hingga saat ini.
Bagi Bruno, Tuhan adalah, di samping itu, jiwa dunia (causa immanens). Hal inilah yang ditafsirkan sebagai panteisme, karena menyamakan dunia dengan Tuhan, dan kemudian membuat konsep yang mangacu pada alam kreatif (natura naturans), jiwa ilahi sebagai kontras dengan dunia benda-benda yang diproduksi (natura naturata).
Bruno dianggap sebagai filsuf penting dari Italia di zaman Renaisans. Ia dikenal sebagai pemikir yang gigih dan hobi sekali mencemooh “orang-orang bodoh” berkedok intelektual. Dalam The Ash Wednesday Supper, yang pertama dan paling dikenal dari enam dialog filosofis dalam bahasa Italia, yang ia terbitkan ketika di London, Bruno mencela kedangkalan dan keangkuhan para lelaki Inggris terpelajar dan gemar menyebarkan kebohongan terhadap rakyat jelata London. Ia pun mengolok-olok kelompok Aristotelian. Melalui teori heliosentris Copernicus yang ia jadikan titik keberangkatan tentang apa yang ia sebut sebagai “filsafat baru” (new philosophy), Bruno membantah aksioma filsafat alam Aristoteles.
Sebagai pemikir yang ambisius, Bruno berupaya untuk mencoba mengintegrasikan metafisika, fisika, psikologi, dan etika ke dalam filsafat, yang dibangun secara tidak sitematis, yang dicita-citakan untuk melampaui reorganisasi Platonisme, Aristotelianisme, atau skeptisisme dalam konteks Kristen. Hasilnya adalah alternatif radikal untuk interpretasi Abad Pertengahan dan Renaisans tentang sifat manusia, kosmos, dan Tuhan. Tesis besarnya adalah imanensi Tuhan di dunia. Karena itu ia dianggap sebagai seorang panteis tulen.[12]
Menurut Marias, seperti halnya dalam karya Nicholas Cusa, Tuhan adalah yang menyatukan segala hal (complicatio omnium), koinsidensi oposisi (coincidentia oppositorum); tetapi Bruno melangkah lebih jauh dari pendahulunya itu. Bagi Bruno, Tuhan adalah, di samping itu, jiwa dunia (causa immanens). Hal inilah yang ditafsirkan sebagai panteisme, karena menyamakan dunia dengan Tuhan, dan kemudian membuat konsep yang mangacu pada alam kreatif (natura naturans), jiwa ilahi sebagai kontras dengan dunia benda-benda yang diproduksi (natura naturata). Tentu saja, hal ini tak cukup berhasil untuk menjelaskan persoalan yang menentukan dari transendensi Tuhan. Bagi Bruno, Tuhan yang transenden hanya sebuah objek dari ritual doa atau pernyembahan, tetapi Tuhan filosofis adalah penyebab imanen dan harmoni alam semesta.[13] Di sini nampak bahwa Bruno cenderung menghidupkan kembali doktrin Ibn Rusyd tentang kebenaran ganda (the double of truth).
Bruno juga mengadopsi teori monad dari Nicholas Cusa. Menurutnya, masing-masing unit kehidupan tak dapat dipisahkan dan dihancurkan, dan kombinasi tak terbatasnya menghasilkan keselarasan universal. Jiwa dunia adalah monad dasar (monas monadum). Substansi semuanya satu, dan hal-hal individual tidak lebih dari partikularisasi (circonsyanzie) substansi Ilahi. Bruno pun mati dibakar hidup-hidup oleh Gereja Katolik pada 1600, karena menolak untuk menarik kembali doktrin heterodoksnya. Ia dituduh penyebar kesesatan dan kekacauan. Kematiannya yang tragis dan kejeniusannya yang mengagumkan itu, terlepas dari tidak konsistenan dan eklektisisme, mempengaruhi pemikir setelahnya seperti Leibniz dan terutama si Spinoza serta Schelling.
Para Pendiri Fisika Modern
“Semua yang terjadi secara objektif dapat dijelaskan dalam sains; di satu sisi urutan peristiwa temporal digambarkan dalam fisika….” ujar Rudolf Carnap dalam otobiografi intelektualnya.[14] Perkataan Carnap itu memberi gambaran umum pada kita—serta akan kita temukan pada konsep pemikiran Galileo dan lainnya—bahwa fisika merupakan ilmu perihal variasi peristiwa yang berupaya untuk menjelaskannya secara objektif. Pada abad ke-16 dan ke-17, melalui metafisika nominalis sebagai titik keberangkatan, ilmu alam tumbuh dengan dua poin yang menentukan: Pertama, ide tentang alam, dan kedua, metode fisika. Para ilmuwan dari Copernicus hingga Newton mencetuskan fisika baru ini (new physics), sampai mengalami transformasi radikal di tangan Einstein, yang merumuskan teori relativitasnya; Planck yang mendirikan mekanika kuantum; sampai teori gelombang Heisenberg; dan fisika nuklir Oppenheimer.
Nicholas Copernicus (1473-1543) lah yang menjadi biang keladi dari semua kemunculan sains modern. Ia merupakan seorang ahli dalam matematika, astronomi, dan kedokteran. Karyanya yang monumental adalah De revolutionibus orbium caestium, yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat dari sistem tata surya kita, dan bumi berserta planet-planet lain berputar mengelilinginya. Gagasannya ini dikenal sebagai teori heliosentrisme, yang diterima dengan penuh permusuhan, tapi kemudian diyakini hingga hari ini. Ide heliosentrisme Copernican ini diadopsi oleh Johann Kepler (1571-1630), seorang astronom dari Jerman, dan pada tahun 1690 menerbitkan Physica caelestis.
fisika Aristoteles dan Abad Pertengahan adalah ilmu alam, ilmu yang berkaitan dengan menemukan prinsip atau penyebab (causes) gerak. Dimulai dengan Galileo, gerak dianggap sebagai variasi fenomena: sesuatu yang kuantitatif, dapat diukur dan dinyatakan secara matematis.
Lalu ada Galileo Galilei (1564-1642), yang lahir di Pisa, Italia, sebagai tokoh sentral dari revolusi ilmiah abad ke-17. Ia yang memainkan peran kunci dalam sejarah sains, dan seringkali digadang-gadang sebagai pendiri fisika sejati. Karyanya dalam fisika atau filsafat alam, astronomi dan metodelogi sains, masih menimbulkan perdebatan lebih dari 400 tahun setelahnya. Perannya dalam mempromosikan teori Copernicus sangat sentral, hingga ia diadili oleh inkuisisi Roma.[15] Setelah itu, bermunculan serangkaian fisikawan yang membangun pemikirannya di atas teori Galileo: Torriceli, salah satu muridnya, yang menemukan barometer; si cerdas Gassendi, yang merombak teori atom; Robert Boyle, yang memberi karakter ilmu kimia secara ilmiah; Hillander Huygens, yang menemukan hukum dari mekanika yang berasal dari teori cahaya; Descartes, yang menciptakan geometri analitis; Leibniz, yang menemukan kalkulus terkecil; dan terutama, Newton, yang membuat formulasi umum dari prinsip-prinsip fisika modern.
Menurut Marias, Aristoteles memahami alam sebagai prinsip gerak (principle of motion): suatu entitas adalah wajar jika ia mengandung prinsip geraknya sendiri, dan dengan demikian, kemungkinan ontologisnya sendiri. Konsep alam Aristoteles si buruk rupa ini erat kaitannya dengan gagasannya tentang substansi. Karena itu, fisika Aristoteles dan Abad Pertengahan adalah ilmu alam, ilmu yang berkaitan dengan menemukan prinsip atau penyebab (causes) gerak. Dimulai dengan Galileo, gerak dianggap sebagai variasi fenomena: sesuatu yang kuantitatif, dapat diukur dan dinyatakan secara matematis. Fisika bukan ilmu tentang suatu hal, tetapi ilmu variasi fenomena. Berbeda dengan fisika Aristoteles dan Abad Pertengahan, fisika modern adalah apa yang disebut analisis alam. Titik keberangkatannya adalah hipotesis, suatu tipe matematis dari konstruksi a priori, eksperimen itu hanya merupakan konfirmasi a posteriori dari pengetahuan a priori. Karena itu, fisika modern meninggalkan prinsip-prinsip Aristoteles dan Abad Pertengahan, dan hanya mencari hukum fenomena deterministik matematis.[16]
Skolastisisme Spanyol
Skolastisisme Spanyol mekar dengan cepat dan subur pada abad ke-16 serta memuncak pada Konsili Trente. Para teolognya yang termasyur berkonfrontasi dengan permasalahan yang dibuat Reformasi. Di samping itu, meskipun dihadapkan dengan krisis Renaisans, mereka menegaskan kembali keyakinannya dalam tradisi Skolastik, dan kembali berpaling pada Thomisme dan karya-karya besar sistematis Abad Pertengahan untuk mengomentari dan mengklarifikasinya. Skolastik Spanyol pun menginvestigasi serangkaian problem sosial-politik yang dipersoalkan oleh Renaisans.
Aspek-aspek yang paling bermanfaat dari Skolastik yang diwariskan ke dalam filsafat modern melalui Suarez, dan dengan cari ini Skolastisisme dimasukan ke dalam metafisika baru.
Saat dominasi teologi atas filsafat, menghambat Skolastik Spanyol untuk membangun kontak dengan filsafat dan ilmu alam Eropa modern, menjelang pertengahan abad ke-16, muncul para teolog Yesuit di Spanyol. Salah satu tokohnya yang terpenting adalah Franscisco Suarez, merupakan seoralng filsuf cum teolog ternama. Suarez lahir di tahun yang sama dengan Giordano Bruno, pada tahun 1528, dan mati satu tahun lebih lambat dari Cervantes. Ia bergabung dengan Serikat Yesus (Society of Jesus) pada 1564, setelah sebelumnya ditolak karena dinilai tak cukup cemerlang. Ia merupakan seorang profesor di Segovia, Avila, Salamanca, hingga akhirnya, di Universitas Coimbra dari tahun 1597. Ia bekerja di berbagai bidang, termasuk metafisika, teologi natural, filsafat pikiran, filsafat tindakan, etika, politik, dan hukum. Penyelidikan filosofis dan teologisnya, dilakukan dalam tradisi yang dibentuk Thomas Aquinas, Duns Scotus, dan ahli Skolastik Abad Pertengahan lainnya. Suarez sangat dihormati dan dipuji karena eksposisinya yang komprehensif, mendalam, dan sitematis, khususnya dalam metafisika. Ia satu-satunya filsuf besar setelah Occam, yang menemukan tradisi teologis dan filosofis yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Karya-karyanya yang lengkap, yang terdiri dari dua puluh enam volume folio, termasuk risalah De deo uni et trino, dan karya hukumnya yang besar De legibus as Deo legislotore.[17]
Suarez pun memisahkan metafisika dari teologi untuk pertama kalinya dalam sejarah Skolastisisme, dan membuat konstruksi sitematis dalam filsafat, berdasarkan Aristoteles, tetapi tak bergantung padanya. Dengan demikian, dalam persilisihan metafisika, ia mempelajari masalahnya dengan kejelasan dan ketepatan, menceraikannya dari pertanyaan-pertanyaan teologis; tapi, ia pun tak melupakan fakta bahwa metafisikanya berorientasi pada teologi, yang berfungsi sebagai landasan sebelumnya. Menurut Marias, Suarez adalah seorang filsuf yang nyata dan efektif yang harus dimasukan dalam sejarah filsafat modern: ia telah mempengaruhi pemikiran modern lebih dari yang diyakini secara umum. Descartes, Leibniz, Grotius, dan idealis Jerman, mengetahui dan memanfaatkan karyanya, Disputations. Abad Eropa belajar metafisika dari Suarez, meskipun metafisika sendiri digunakan untuk menciptakan metafisika yang berbeda, daripada mengikuti garis insipirasi aslinya. Aspek-aspek yang paling bermanfaat dari Skolastik yang diwariskan ke dalam filsafat modern melalui Suarez, dan dengan cari ini Skolastisisme dimasukan ke dalam metafisika baru yang dibentuk dari sudut pandang baru dan dengan metode yang berbeda.
Penutup
Melalui penjelasan Marias di atas, kita telah menyaksikan perkembangan masa-masa keemasan di akhir Abad Pertengahan. Suatu pergulatan pemikiran yang gigih pada setiap zamannya untuk mencapai suatu kebenaran yang final, untuk meraih suatu kebijaksanaan total, di saat agama nampak seperti monster yang mengekang kebebasan manusia, di saat Tuhan hanya sekedar alat para tiran untuk melegitimasi setiap tindakan sewenang-wenang dari otoritas gereja dan kekaisaran. Dimulai dari Nicholas Cusa dengan mistisisme spekulatifnya, melalui konsep koinsidensi oposisi (coincidentia oppositorum) dan kemiripan-nya yang terkenal, hingga Bruno sang panteis tulen yang menjadi korban keangkuhan Gereja karena pemikirannya yang dianggap berbahaya, hingga ia dibakar hidup-hidup, dan berlanjut sampai para pencetus fisika modern, serta Suarez yang cerdas di zaman Skolatisisme Spanyol, mereka semua tampil ke permukaan sejarah dengan keberanian maksimal untuk menyatakan gagasan-gagasannya, meski tidak terlepas dari problematikanya masing-masing. Sebagian besar dari mereka merupakan gerbang dari filsafat modern yang mencapai puncaknya pada Descartes, menjadi simbol zamannya sebagai antitesis, perlawanan, pemberontakan, dan penolakan terhadap setiap tradisi kolot yang menindas.
Dengan demikian, kita dapat memetik suatu pelajaran penting, bahwa filsafat, sebagai suatu aktivitas berpikir yang alamiah dan tak mudah, mampu menjadi kendaraan untuk meraih suatu kebijaksanaan. Filsafat, bukan hanya ‘ruang sublimasi’ dari kesunyian-kesunyian dan kekurangan kita yang panjang, tetapi juga sebagai antitesis, sebagai senjata yang mungkin cukup ampuh dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin hari semakin barbar, yang hampir mirip dengan zaman kegelapan di Eropa sebelum kemunculan modernisme. Dengan berfilsafat kita mampu berpikir dengan jernih dan memiliki ketajaman intuisi. Dengan berfilsafat kita dapat memahami lebih dalam, memeriksa lebih jauh setiap persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini.
Catatan Akhir:
[1] Wibisono, K, dkk. 1989. Dasar-Dasar Filsafat. Universitas Terbuka; Jakarta, hlm. 13
[2] Juliàn Marias. 1967. History of Philosophy. Dover Publication, Inc: New York, hlm. 189.
[3] Lih. Ibid., hal. 192.
[4] Lih. Ibid., hal. 193.
[5] Lih. Ibid., hal. 193.
[6] Lih. Ibid., hal. 195.
[7] Stanford Encyclopedia of Philosophy: Cusanus, Nicolaus (Nicholas of Cusa). Diakses pada tanggal 15 Desember 2018 pukul 19. 00 WIB. https://plato.standford.edu/entries/cusanus/
[8] Lih. Ibid., hal. 197.
[9] Lih. Ibid., hal. 198.
[10] Nicholas Cusa mengatakan; “If all things are presenst as precise and proper truths in the mind of God… the are all present in our mind as images or liknesses of proper truth; that is, notionaly. Indeed, knowledge is gained through likenesses..”. 1967. History of Philosophy… hlm. 198.
[11] Dalam artikel Joan Acocella, The Forbidden World, di The New Yorker. Diakses pada tanggal 16 Desember 2018 pukul 18.00 https://www.newyorker.com/magazine/2008/08/25/the-forbidden-world/amp
[12] Stanford Encyclopedia of Philosophy: Giordano Bruno. Diakses pada tanggal 17 Desember 2018 pukul 15. 00 WIB. https://plato.standford.edu/entries/bruno/
[13] Lih. Ibid., hal. 201.
[14] Rudolf Carnap mengatakan; “I remarked that all that occurs objectively can be described ini science: on on the one hand…..”. 1963. “Carnap’s Intellectual Biography’ in The Philosophy of Rudolf Carnap…hlm. 37-38.
[15] Stanford Encyclopedia of Philosophy: Galieo Galilei. Diakses pada tanggal 17 Desember 2018 pukul 15. 00 WIB. https://plato.standford.edu/entries/galileo/
[16] Lih. Ibid., hal. 203-5.
[17] Stanford Encyclopedia of Philosophy: Francisco Surez. Diakses pada tanggal 17 Desember 2018 pukul 20.00 WIB. https://plato.standford.edu/entries/suarez/