Judul: | Textual Poachers: Television Fans and Participatory Culture |
Penulis: | Henry Jenkins |
Tahun Terbit: | 1992 (Cet 1), 2012 |
Penerbit: | Routledge |
Kota Penerbit: | New York |
…Lizzie Bordan… describes political alchemy as “the process of turning shit into gold”; if this claim is true, there may be no better alchemist on the planet than fans.
(Henry Jenkins, hlm. 290)
Pada hari Jumat itu, langit Bulaksumur sangat cerah. Pijar matahari menerangi Universitas Gadjah Mada. Sebelum waktu Jumatan tiba, beberapa orang berkumpul melingkar di Taman Firdaus, halaman Fakultas Filsafat UGM. Meski banyak nyamuk mengganggu, obrolan (diskusi) mereka tetap berjalan dengan khusyu’ dan lancar. Ada banyak hal yang mereka obrolkan, antara lain Perang Dunia, teori fisika, biologi, psikologi, dan teori konspirasi. Mendengar serunya obrolan lingkaran itu, seseorang menjadi penasaran. Orang itu masuk ke dalam lingkaran, mencoba mendengarkan, memahami tema obrolan yang sedang berlangsung. Tapi, sayang, sepertinya ia gagal paham, kemudian pergi lagi. Sambil berjalan ke arah kelompok lain, dia bergumam, “Dasar Wanpiser!”
Selamat Datang di Dunia Kami!
Cerita di atas merupakan sekelumit fenomena yang ada dalam dunia kita, fenomena fans fiksi. Mereka adalah orang-orang yang dalam pandangan umum berperan sebagai fanaticus atas suatu karya fiksi. Orang-orang yang kerap dicap brainless consumer, yang tidak dapat membedakan antara fantasi dan kenyataan.
Jika Anda setuju, untuk membuka pandangan Anda tentang fans fiksi, maka saya sarankan Anda untuk membaca buku Henry Jenkins yang berjudul Textual Poacher. Buku yang ditulis oleh Jenkins, seorang analis budaya asal Amerika Serikat yang sekarang menjadi peneliti budaya di MIT, tersebut pertama kali dicetak pada tahun 1992. Karena memiliki pengaruh besar di ranah kajian budaya, terutama tentang budaya penggemar, maka pada tahun 2012, Routledge menerbitkan ulang dengan tambahan wawancara dengan penulisnya, dan penutup berupa pertanyaan-pertanyaan diskusi tentang karya ini.
Tulisan yang sedang di hadapan Anda ini akan mencoba memberikan pandangan umum tentang buku tersebut. Walaupun buku ini sudah tidak sama sekali baru, namun tetap dapat memberikan insight yang bagus untuk mengasah empati kita, sehingga cukup relevan untuk pembaca lsfcogito.org. Tapi insight empati apa? Empati bahwa:
Fans fiksi bukanlah sekadar kumpulan orang-orang gila. Mungkin mereka memang gila, namun kegilaan mereka juga tidak lebih besar dari kegilaan kita. Mereka bukan sekadar penikmat atau konsumen budaya pop yang pasif teralienasi atau senang tersubordinasi. Mereka adalah kumpulan pemburu gelap (poacher) yang memangsa teks-teks budaya, mengambil alihnya, mereproduksinya sendiri, dan dengan hasil diskursif pemburu yang intensif dalam sindikat-sindikat konvensi sosial, dapat menghasilkan artefak budaya yang tidak kalah dari orang di luar fans yang—konon—lebih waras dari para fans.
Jenkins ingin menunjukan hal tersebut. Dan saya, sekarang, mencoba untuk menunjukkan Jenkins.
Fans Fiksi, Mengapa bagi Jenkins Menarik?
Textual Poacher (1992), bagi Jenkins, adalah sebuah misi untuk meredefinisi makna fandom dalam dunia keseharian. Pe-redefinisi-an itu perlu dilakukan karena selama ini orang selalu mensubordinatkan fans dan fandom dengan berbagai pemaknaan yang negatif. Sebelum era kontemporer, kata fans merupakan sebutan bagi orang-orang yang tergila-gila pada pemujaan agama atau setan. Dan, sekarang fans memiliki arti sebagai sebutan bagi orang-orang yang terobsesi pada seseorang atau bintang idola. Karena itu, wajar jika sebutan-sebutan seperti ‘konsumen tak berotak’, ‘pemilik pengetahuan yang tak berharga’, ‘individu yang canggung’, dan ‘anak-anak pemimpi’, merupakan implikasi langsung dari inherenitas kata fans (hlm. 10).
Untuk meredefinisi konsepsi fans, Jenkins men-setting sebuah penelitian yang sistematis dan unik (pada waktu itu, kalau sekarang sih sudah biasa). Paling tidak ada dua hal yang membedakan penelitian Jenkins itu dengan penelitian lain yang memiliki objek kajian yang sama. Pertama, Jenkins bukanlah seorang akademisi murni, namun ia juga seorang fans. Alih-alih menghindar dengan kemungkinan jawaban yang subjektif dari penelitiannya, Jenkins justru percaya bahwa dalam posisinya, ia dapat berdialog dengan lebih intensif dan menemukan jawaban yang lebih dalam. Sebagai fans, ia dapat merasakan perasaan subtil yang hanya dimiliki oleh fans, dan, secara bersamaan, ia juga mengetahui teori-teori kritis tentang media (hlm. 5-6).
Kedua, Jenkins melandaskan teorinya pada landasan ontologis bahwa pembaca adalah seorang Poacher, seorang pemburu gelap yang tidak dapat diatur, dan bertindak semaunya dalam menginterpretasikan berbagai sumber material yang ada di dunia populer. Dengan asumsi tersebut, Jenkins melihat fans sebagai orang yang aktif, yang bebas melakukan berbagai perlawanan dan modus interpretasi. Tidak hanya untuk kepuasan diri, namun juga representasi atas kehidupan kompleks yang ada dalam dunia fandom (hlm. 27-28).
Model asumsi tersebut membuat Jenkins memisahkan diri dari kajian budaya pada umumnya yang secara jelas memisahkan antara pembaca/penonton (fans) dan penulis (produser, artis) dalam korelasi situasi dan kondisi yang stabil. Dengan asumsi bahwa setiap fans hidup dalam fandom yang penuh dengan interaksi antar fans, Jenkins justru mendasarkan analisisnya pada situasi diskursif yang terjadi dalam fandom, yang selalu bergejolak, dinamis, dan penuh dengan proses sosial historico-ideologis dalam menghadapi setiap perubahan fenomena yang menyangkut relasi fans dengan teks-nya.
Sebagai usaha untuk mewujudkan redefinisinya, Jenkins memulai kajiannya dengan memilih fans fiksi sebagai objek. Alasannya sederhana, fans fiksi mendapatkan tekanan sosial yang cenderung lebih berat daripada fans lain. Hal tersebut terjadi karena gambaran orang terhadap fans fiksi selalu mengarah pada ketidakmampuan membedakan kenyataan dan fantasi (hlm. 10 & 58-60).
Fans fiksi menghadapi dunia unik yang berbeda dengan fans lain (olahraga atau musik). Dunia yang dihadapi fans fiksi sebagai text, berbeda dengan fans lain, tidak pernah ada dalam kehidupan nyata. Tidak pernah ada situasi Star Trek dengan berbagai pesawatnya, atau karet yang bisa memanjang seperti dalam serial One Piece di dunia ini. Sebutan-sebutan untuk fans yang disebutkan di awal tulisan sebenarnya lebih mengarah pada fans fiksi daripada fans lain. Keunikan tersebut membuat fans fiksi memiliki posisi yang khas jika berbicara tentang pola interpretasi dalam budaya populer, karena interpretasi mereka berasal dari penanda yang petandanya tidak dapat ditemukan di dunia nyata.
Keunikan fans fiksi inilah yang akhirnya dikerangkakan oleh Jenkins dalam tiga karya fans fiksi dalam melakukan interpretasi ulang dunia ‘mereka’, yaitu dengan tulisan (bab 6), video (bab 7), dan lagu (bab 8). Namun, sebelum mengarah pada pendefinisian kerangka tersebut, kita harus memahami dahulu landasan ontologis Jenkins dalam memulai analisanya tentang fans, yaitu Textual Poacher (pemburu teks). Karena dari sanalah analisis Jenkins dapat dilihat kesesuaiannya.
Textual Poacher?
Fans fiksi dalam pemahaman Jenkins merupakan sub-kultur yang unik. Mereka, dalam menjalani dunia dengan sesamanya, harus dipisahkan dari penonton biasa, dan dalam hubungannya terhadap interpretasi makna, juga harus dipisahkan dari interpretator akademis. Eksplanasi terhadap dua keunikan tersebut akan lebih mudah dipahami jika masuk pada maksud Jenkins tentang Poacher.
Poacher adalah kata yang dipinjam oleh Jenkins dari seorang analis budaya Prancis bernama Michael de Certeau, seseorang yang dapat disebut sebagai salah satu pion posmodern dalam analisis budaya, dalam karyanya yang berjudul The Practice of Everyday Life (1984). Kata poacher berarti pemburu. Pemburu bagi Certeau adalah pembaca. Mereka bagaikan pemburu karena mereka tidak memiliki hidup yang tetap, nomaden. Mereka selalu bermusuhan dengan pemilik tanah (landonwer) karena mengambil apa saja yang mereka mau (sapi, kelinci, hasil sawah, dll), tanpa izin, untuk diolah lagi sesuai kemampuan dan keinginan mereka. Mereka adalah orang yang bebas menentukan hidup, tanpa ada batasan, kecuali alam, untuk berbuat apa. Lantas, apa maksud analogi tersebut jika diterjemahkan dalam posisi pembaca?
Maksud yang tidak dapat dihindarkan adalah, pertama, pembaca bebas melakukan interpretasi. Tidak ada aturan yang mengikat mereka, kecuali kepasrahan mereka sendiri. Pembaca bebas memaknai apapun yang dia baca karena tidak ada aturan umum dalam interpretasi. Pembaca bisa mengartikulasikan makna dari text realitas sesuka yang ia mau jika ia menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Implikasi dari model ini adalah kritik terhadap dunia akademis (pemiliki tanah) yang seakan memiliki hak untuk menghakimi benar salahnya penafsiran. Dengan kata lain, dalam pemahaman Certeau tidak ada yang disebut salah pembacaan (misreading), yang ada hanyalah pengambilan atau peng-aku-an (appropriation) materi budaya populer untuk kepentingan pembaca (pemburu), atau reproduksi makna (hlm. 33).
Kedua, pembaca memiliki paket diskursif yang kompleks dalam formasi sosial dan proses pemaknaan yang mengalir dalam kebudayaan. Setiap interpretasi dapat berubah sesuai dengan kesadaran yang lahir dalam kebudayaan dan sosialitas. Implikasi dari ini, secara langsung mengkritisi format pembacaan audiensi Stuart Hall (1980) yang membagi pembaca dalam posisi dominan, negosiasi, dan oposisional. Pengandaian Hall tersebut hanya bisa terjadi jika pembaca mempunyai posisi stabil saat melihat text. Namun seperti yang sudah dianalogikan sebelumnya, pembaca adalah pemburu yang dinamis yang hidup dalam lingkungan dengan pemburu lain. Sehingga tidak ada makna yang selesai terklasifikasi secara pasti, semuanya berlangsung dalam sosialitas yang mengalir (hlm. 34).
Jenkins kemudian mengambil sebagian posisi Certeau dan memodifikasi sisanya. Letak perbedaan Jenkins dengan Certeau adalah pada pemaknaan pembaca dengan penulis. Certeau berpandangan bahwa pembaca terpisah dengan penulis dan tertutup secara relasional dengan pembaca lain. Walaupun Certeau memasukan term-term sosial, makna pemburu adalah tetap untuk kepentingan sendiri, yang berarti posisi individu sangat kuat dalam reduksi interpretasi (Certeau, 1984: 31 & 117).
Berbeda dengan Certeau, Jenkins menolak pemisahan tersebut. Setidaknya ada dua alasan yang diutarakannya. Pertama, pembacaan fans adalah proses sosial yang hanya terbentuk dengan diskusi berlanjut dengan pembaca lain dalam fandom. Kedua, tidak ada pemisah yang kuat antara penulis dan pembaca. Dalam konteks fans, terutama fiksi, batas penulis dan pembaca sangatlah kabur. Pembaca menghadapi text yang diolah dari penulis sebelumnya (artis, produser) untuk dikonsumsi, namun di waktu yang sama, ia juga menjadi penulis (produsen) dengan memproduksi ulang text yang disediakan media untuk dijadikan berita, cerita, video, dan lagu yang dapat dinikmati fans lain dalam fandom. Artinya, sekali lagi, fans tidak hanya pasif menerima text tetapi juga memproduksinya. Dua keberatan tersebutlah yang akhirnya memisahkan Jenkins dengan Certeau dan membuat Jenkins mengatakan bahwa:
Fandom di sini menjadi sebuah budaya partisipatoris yang mentransformasikan pengalaman konsumsi terhadap media menuju produksi teks yang baru, bahkan menjadi sebuah budaya dan komunitas yang baru. (hlm. 46) [1]
Jankins menyebut fans fiksi dengan nama Textual Poacher. Pembaca yang senang mengambil alih materi yang disediakan budaya populer untuk direproduksi menjadi produk materi baru yang merepresentasikan kesenangannya, namun, tetap ingat, hal itu harus dipahami dalam posisi sosialitas diskursif fandom. Untuk memahami produktivitas ini lebih jauh, sebelum mengarah pada kerangka Jenkins tentang reproduksi dunia yang dilakukan fans dalam fandom, penulis akan mencoba mengurai pembahasan Jenkins tentang hubungan posisi kritik dan fandom.
Fandom, Kritik, dan Tulisan
Menurut Jankins, fans bukanlah penonton yang hanya menonton televisi, melainkan orang yang mempunyai intensitas dan rasa kepemilikan yang tinggi terhadap text yang mereka konsumsi (Hal. 59). Jadi, jika Anda hanya suka menonton suatu serial dalam televisi, maaf, walaupun Anda ngotot bilang Anda adalah fans, bagi Jenkins Anda belum memenuhi syarat.
Kecintaan fans terhadap text konsumsinya tidak berakhir pada pasivitas, melainkan aktivitas untuk mereproduksi ulang text yang sudah disediakan. Hal yang menghubungkan posisi pasivitas dan aktivitas pada fans ini disebut dengan ‘kritik fans’.
Dalam kritik fans ini selalu ada kesenjangan (gap) antara apa yang diinginkan oleh fans dan apa yang ditampilkan oleh produser. Produser tidak selalu memberikan apa yang diinginkan oleh fans, bahkan, sering sekali produser menampilkan cerita yang oleh fans dianggap tidak logis, runtut, dan baik. Untuk menjelaskan posisi fans dalam kritik ini, Jenkins memperkenalkan istilah yang disebut dengan meta-text.
Dalam narasi yang dibangun oleh Jenkins, meta-text ini ibarat idealitas yang dipegang oleh setiap fans dalam memahami text mereka (hlm. 101). Seperti namanya, idealitas, maka meta-text ini penuh dengan hal-hal ideal yang diimpikan oleh para fans, dan idealitas ini, penuh dengan logika cerita yang ketat dan keruntutan yang sistematis. Jenkins menunjuk logika ini dengan “jalan yang benar” yang hanya dapat dimiliki fans sebagai bagian dari fandom (hlm. 90-91). Sekali lagi, fans dalam fandom.
Bagaimana bisa? Karena fans fiksi hidup dalam fandom yang mempunyai diskusi yang intensif, dan adu komentar yang berjubel. Sehingga, tanpa mengutip satu kata pun dari Habermas, Jenkins dapat memperlihatkan bahwa dari kekuatan fandom (diskursif) inilah fans dapat, pertama, mengembangkan kritik mereka, dan kedua, jika produser film kelewatan dalam menjalankan jalan ceritanya, sebagai contoh, sudah tidak sesuai dengan jalan cerita awal, atau ada lompatan-lompatan cerita, fans dapat menggerakkan diri mereka secara komunal untuk melakukan protes (hlm. 153-154).
Bab 4 Textual Poacher, membahas hal tersebut habis-habisan. Bagaimana fans melakukan kritik, bergerak secara komunal, dan kemudian saat melihat adanya ketidakcocokan alur cerita yang dilakukan oleh produser, fans bergerak dengan masif untuk menentangnya. Untuk detail ceritanya, silahkan menikmati alur yang disajikan oleh Jenkins, namun di sini saya ingin menegaskan satu hal, bahwa saat fans merasa dikecewakan, mereka akan mongkoordinasi diri mereka sendiri untuk bersatu agar meta-text mereka tetap dapat terwujud. Mereka akan memanfaatkan fandom semasif-masifnya, menyebarkan propaganda yang apik dengan fanzines (majalah fans), dan memberikan analisa-analisa dan rencana-rencana yang memungkinkan perjuangan mereka berhasil.
Namun, tidak berarti jika meta-text mereka tidak dapat ditampilkan dalam TV, mereka kemudian menyerah. Inilah poin Jenkins. Fans adalah poacher, mereka tidak hanya memprotes tetapi juga mengembangkan protes mereka. Jika produser tidak dapat memuaskan mereka dengan text yang runtut-logis dan sesuai dengan ideologi, mengapa mereka tidak membuat text mereka sendiri? Itulah yang ditunjukan Jenkins di Bab 5. Dalam bab tersebut Jenkins memperlihatkan bagaimana fans melakukan penulisan ulang terhadap text yang mereka dapatkan dari media, lalu mereka rekonstruksi ulang, menjadi suatu text sendiri, yang hebatnya runtut dan koheren dengan induk ceritanya dan penuh dengan ideologi tertentu. Kegiatan menulis ini menjadi tempat para fans untuk menulis ulang cerita yang menurutnya tidak sesuai harapan, mengisi bagian yang hilang yang tidak ditampilkan oleh produser, melanjutkan narasi yang harus tamat terlalu cepat, mengartikulasikan tokoh-tokoh sekunder, dan bahkan menulis ulang situasi dalam cerita menjadi sama dengan situasi yang dialami pengalamannya (hlm. 165-180).
Kegiatan menulis ulang ini mendapatkan poin tersendiri dalam uraian Jenkins. Karena dalam kegiatan penulisan, batas antara pembaca dan penulis menjadi kabur. Fans bukan lagi pembaca, namun juga pencipta. Pencipta suatu teks realitas baru. Dan karena mereka hidup dalam fandom, dalam sosialitas, mereka sekaligus juga membaca karya fans lainnya, mengkritisinya dan kemudian mendapatkan tanggapan darinya. Artinya, mereka adalah pembaca dan penulis dalam situasi yang bersamaan, yaitu dalam fandom. Atau jika boleh dibilang, fandom adalah tempat yang memungkinkan reproduksi makna atas interpretasi fans terhadap teks menjadi mungkin.
Tulisan di fandom juga sangat kental aroma tulisannya dengan emosi pribadi dan keputusan gender, yang oleh Jenkins disebut dengan Emotional Realism dan Gendered Reader. Saat membicarakan text yang sama, para kritikus fans lelaki akan cenderung mendasarkan kritik dan peramalannya lewat struktur, dan detail cerita, serta pembandingan koherensi karya penulis yang mereka tonton. Sedangkan para fans wanita akan lebih mengkritisi dan meramalkan cerita lewat perspektif perasaan yang mengalir dalam fiksi. Perbedaan tafsir gender ini kemudian menjadi salah satu senjata Jenkins untuk memperlihatkan ragam orientasi yang terjadi dalam reproduksi makna fandom (hlm. 109-121).
Namun, reproduksi fans tidak hanya sekedar reproduksi. Mereka membawa semangat mempertanyakan kembali kebudayaan yang ada dengan menampilkan sisi-sisi luar yang subtil, yang jarang disentuh dan dianggap jijik oleh orang kebanyakan. Slash, video dan filk , memperlihatkan usaha mempertanyakan dan melawan hal tersebut. Slash menunjukan pertanyaan gender, video fans menunjukan perlawanan makna dalam dunia tontonan, dan filk tentang keanehan dan ketidaksetaraan. Dengan kata lain, fans tidak hanya berbicara fiksi dalam tataran intertekstual, keterhubungan antara teks, namun juga ekstratekstual, yaitu hubungan antara posisi fans dan kekuatan di luarnya, yang membuat teks fiksi juga dapat menjadi alat perlawanan dalam dunia nonfiksi. Mari bahas ketiga karya tesebut dengan singkat:
Pertama, adalah slash. Slash adalah cerita yang dibuat oleh fans dengan basis material film fiksi yang mereka sukai untuk dikembangkan dalam cerita homoseksual. Penulis slash ini kebanyakan adalah perempuan dan ‘penetrasi’ bukanlah tema utamanya. Bagi Jenkins, slash ini menggambarkan suatu keadaan kompleks yang terjadi dalam sub-kultur fans (hlm. 197-198).
Kompleksitas tersebut adalah adanya kritik untuk membawa hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Alih-alih bercerita ‘tabu’, slash bagi Jenkins membawa semangat keintiman, kedekatan, komitmen, pertemanan, kompetensi, dan otoritas. Slash membawa suara menentang kekokohan orientasi seksual normal, yang mengkokohkan dirinya sebagai normal, dan tidak normal pada ‘yang-lain’. Dan jika ditelusuri lebih jauh, sesuai dengan banyaknya penulis fans perempuan, slash justru adalah sebuah orientasi kritik gender feminis, sehingga memperlihatkan bahwa dalam tulisan fans, text juga mengandung kepentingan yang didapatkan dari individu yang hidup dalam masyarakat. Namun, tulisan ini tidak akan mengorek lebih jauh lagi, karena eksplanasi atas eksistensi kepentingan itu sudah cukup untuk kelanjutan review ini.
Kedua, beralih dari tulisan, fans juga mereproduksi makna dengan video, yang biasa disebut video fans. Berbeda dengan tulisan di fanzines atau novel-novel fans lainnya, video fans, walaupun sama-sama sebagai reproduksi makna lewat text, dapat menampilkan hal yang tidak tertuang dalam film dengan rasa yang lebih berbeda. Lewat video, fans mematikan suara yang ada dalam film asli, memotongnya sebagai kesatuan, menambahinya dengan berbagai musik populer yang ada dalam media, dan menghasilkan cerita baru (hlm. 232-235).
Fans video ini, ternyata menyimpan banyak makna untuk dipecahkan. Fans video selalu membawa teka-teki untuk dikuak oleh penontonnya, namun akan kesulitan jika tidak pernah melihat narasi aslinya. Dengan kata lain, bagi Jenkins, fans video merupakan bentuk yang berbeda dengan media tontonan populer umum dan terkenal yang disebut dengan MTV.
Secara singkat perbedaan tersebut dapat dilihat dengan membedakan bahwa MTV akan berusaha membawa penontonnya untuk melupakan makna dalam narasi video mereka dan lebih menekankan gaya dan sensasi dari arti, afeksi dari kognisi, dan performa dan tontonan dari narasi. Sebaliknya fans video hidup dengan quotasi yang disatukan dalam narasi, agar penonton dapat sedikitnya memutar otak untuk mendapatkan makna yang terpendam dalam text. Sekali lagi, Jenkins memperlihatkan kekaburan penulis dan pembaca. Saat banyak orang berkata bahwa era posmo adalah saat orang berhenti memberi makna, fans video justru melakukan hal yang sebaliknya (hlm. 243-244).
Tidak ada pengaruh yang begitu mengikatkan fans kepada fandom, selain filk. Filk adalah lagu yang diciptakan oleh fans yang berisi cerita dari text yang mereka konsumsi atau tentang kehidupan mereka (fans) sendiri (hlm. 258). Berbeda dari dua karya lainnya yang terbatas jangkauannya dan ada dominasi gender tertentu, dalam filk hal tersebut tidak ada. Filk mempunyai jangkauan yang luas dan tidak begitu terlihat bias gender. Hal yang paling penting dari filk adalah kekuatannya untuk memisahkan fans dengan orang di luar fans (mundane) (hlm. 265).
Hal tersebut dapat dijelaskan dengan menunjuk posisi acara mereka yang disebut dengan convention. Dapat dibayangkan bahwa konvensi adalah tempat berkumpulnya para fans fiksi, kebanyakan dari genre yang sama. Dalam konvensi tersebut ada berbagai acara yang disediakan, seperti debat tentang suatu episode, menceritakan reproduksi tulisan, dan saling berkomentar tentang produser. Namun hal yang paling puncak, saat batas-batas antara fans tersebut mulai pudar, adalah saat acara menyanyikan lagu-lagu fans (filk). Dengan lagu tersebut, mereka bernyanyi bersama, membuat lingkaran-lingkaran penyanyi, dan merasakan ikatan yang kuat. Dalam lagu tersebut mereka menghina-hina mundane yang telah sibuk dengan dunianya sehingga melupakan kebahagiaan masa kecil mereka. Filk dan lirik lagunya memperlihatkan refleksi komitmen yang mendalam dari fans (hlm. 272).
Filk yang aslinya adalah slang dari folk, semakin memperkuat hal tersebut. Lagu filk pada umumnya menggunakan nada folk, yang ceria, dan mudah ditiru. Hal tersebut membuat dalam lingkaran-lingkaran penyanyi, batas antara artis dan penonton menjadi kabur, karena artisnya adalah semuanya. Microphone berputar dan dinyanyikan oleh semua fans. Namun di balik itu, musik folk dalam sejarahnya juga adalah lagu perlawanan, lagu kritik yang membuat identitas suatu kelompok terjaga. Sehingga dalam filk fans membuat batas dengan ‘yang-lain’. Jika melihat hal tersebut lebih dalam, hal ini tidak ditemukan dalam karya-karya fans sebelumnya. Batas ini kemudian seakan membalik pandangan orang. Dalam filk dan lagu-lagunya yang provokatif, fans justru yang memandang orang di luar fans sebagai yang hina dan subordinat.
Elaborasi tentang karya fans ini, slash dan perlawanan terhadap ideologi gender, video fans dan perlawanan terhadap makna, dan filk yang menunjukan keniscayaan eklusifitas, akhirnya membuat Jenkins harus berkata dalam kesimpulan bukunya bahwa:
Apa yang mengagetkan, khususnya dalam 50 tahun wajah teori kritis yang akan mengindikasikan kebalikannya, adalah bahwa fans menemukan kemampuan untuk mempertanyakan dan merekayasa ideologi yang mendominasi budaya massa—yang kemudian—mereka klaim sebagai milik mereka. Seorang karakter dalam (karya) Lizzi Bordan Born in Flames menggambarkan politik alkemi sebagai proses mengubah kotoran menjadi emas; jika klaim itu benar, (maka) tidak akan ada alkemi yang lebih baik di planet ini selain fans. (hlm. 290) [2]
Secara garis besar itulah penangkapan saya terhadap keseluruhan Textual Poacher. Jenkins mencoba mengembalikan makna kompleksitas dan keragaman kehidupan fans dan fandom fans fiksi sebagai sebuah budaya partisipatoris yang aktif mereproduksi teks dan melakukan perlawanan ideologis secara intertekstual maupun ekstratekstual. Dengan ini, Jenkins melakukan redefinisi seperti yang dikatakan di awal.
Beberapa dari kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana dengan Indonesia? Tepat sekali, gerakan yang dituliskan Jenkins, fans fiksi, masih belum banyak bermunculan di negeri ini. Konvensi, tindakan protes massal, dan filk, masih belum terlihat taringnya, walaupun beberapa dari kita sudah sering melihat slash dan fans video.
Mayoritas, saat kita berbicara fans, proyeksi yang didengungkan biasanya adalah fans bola atau fans musik. Apakah ini menandakan bahwa penonton fiksi di Indonesia tidak kritis dan se-poachis fans fiksi Amerika? Saya rasa jawabannya hanya terjawab jika teman-teman ada yang mencoba melakukan penelitian model tersebut di Indonesia. Karena seperti yang dikatakan Jenkins, uraiannya ini tidak bersifat universal, hanyalah partikular, walaupun partikular yang besar (hlm. 293). Dia hanya menunjukkan hal yang ada di dunia Barat yang menonton film-film Barat. Ini merupakan kesempatan bagi para analis budaya untuk menggali geliat fans fiksi di Indonesia secara lebih dalam. Siapa tahu, Anda yang melakukan hal tersebut, dan berhasil, dapat terkenal dan menjadi akademisi-fans seperti Jenkins di kemudian hari. Saya rasa ini waktunya untuk menemukan fans dalam definsi kita sendiri: Indonesia, atau mungkin Asia.
Fans dan Produksi, Lalu Kita?
Beberapa teman saya terlihat sedikit kebingungan ketika kepada mereka saya bahas buku ini. Bagi mereka, apa yang saya ceritakan terlalu berlebihan.
“Melakukan perlawanan? Reproduksi? Mereka hanya orang gila, Bung!”
Teman saya benar. Mereka mungkin hanya orang gila, yang kurang kerjaan dan akhirnya membicarakan hal yang tidak pernah ada, yang tidak dapat dilihat dalam dunia ini. Namun, ternyata, berbicara tentang yang tidak ada, ‘kita’ juga tidak lebih gila dari mereka.
Saya tidak perlu me-list berapa hal yang tidak ada yang tetap kita bicarakan, tetap kita ‘perjuangkan’, dan tetap kita usahkan ‘keruntutan logisnya’. Artinya, dalam taraf tertentu kita adalah fans fiksi dalam terminus yang lain.
Jenkins dengan sangat detail dan cermat menjelaskan hal tersebut bahwa fans, tidaklah sesederhana yang orang bicarakan. Inilah yang dia maksud dengan redefinisi. Memikirkan kembali fandom sebagai bagian dari subkultur dalam kehidupan budaya populer. Saat fans One Piece, The Lord of The Ring, atau mungkin Upin & Ipin merasakan keintiman dan komitmen dengan teks budaya tersebut, dan akhirnya melakukan interaksi dengan sesamanya, dan melakukan reproduksi makna, juga dapat kritis, kreatif, dan produktif, bahkan ideologis.
Fans fiksi, dengan demikian, tidak berbeda dengan seorang sarjana sastra yang menyukai karya Shakespare, dan kemudian membuat tinjauan kritis terhadapnya atau pembaca Heidegger, yang kemudian menuliskannya ulang dalam Jurnal Ilmiah. Apa yang berbeda kecuali teksnya? Selerakah yang membuat interpretasi fans terhadap tokoh One Piece menjadi lebih rendah dan lebih tidak terlegitimasi? Pertempuran selera dengan kekuasaan?
Itulah yang ingin ditunjukkan Jenkins, menurut saya, dengan metode aca-fans-ya (metode yang digunakan dalam textual poacher). Menjadi fans dan menjadi akademisi untuk melihat suatu fenomena dengan lebih dalam dapat menunjukan bahwa sesuatu yang awalnya dipandang berbeda, ternyata pada satu titik juga memiliki kesamaan-kesamaan dengan kita yang melihat dan men-judge mereka.
Mungkin beberapa teman akan berkata, “Tentu saya tidak bisa disamakan dengan fans, Bung”. Saya hanya berkata, jika benar, maka buktikan. Itulah yang ingin saya tunjukan dengan review ini. Kritik terhadap para akademisi yang nge-teks¬ banget, dan akhirnya lupa dengan dunia realitas, yang melulu melihat formalitas tanpa melihat materialitas. Buku ini, seperti yang saya katakan di awal, dapat menumbuhkan empati, namun secara langsung juga sebagai penyindir.
Pertama, mungkin kita boleh menjadi fans suatu tokoh, tergila-gila dengan pemikirannya, dan membuat suatu tinjauan terhadap fenomena dengan perspektifnya, namun jika akademisi berhenti dalam tahap fans seperti itu tanpa memikirkan secara kritis kebenarannya lebih lanjut, seperti fans Marx, fans Sartre, atau fans Lacan, sebaiknya buat saja fandom tentang mereka daripada sok mengatakan lingkar studi filsuf X, dan sebaiknya mengaku dirilah menjadi fansnya daripada sok menjadi pemikir tentangnya. Toh fandom dalam pengertiannya juga membuat konvensi, melakukan debat, membuat kritik, dan mengevaluasi secara gender sekaligus meluaskannya dengan memperhatikan inter dan ekstra-teks yang logis, runtut, dan koheren. Dan jika keduanya tidak dikoreksi dahulu secara logis dan tetap berangkat dari teks dan kemudian terus cocok-logi dengan teks, saya rasa tetap sah, jika nantinya ada judul: “Perspektif Luffy terhadap Kekerasan dan Relevansinya untuk Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.”
Kedua, janganlah anggap fans sebagai orang gila jika ternyata kita juga tidak lebih gila dari mereka. Posisi mengatakan ‘ada’ juga sepertinya harus dikoreksi ulang oleh kita yang masih terjebak dalam pembedaan ontologis yang tidak jelas bahwa yang ada adalah yang terindera dan yang tidak adalah yang tidak dapat terindera. Lupa atas kekuatan rasionalitas, imajinasi, dan pemikiran sebagai utopia yang tidak ada justru dapat menihilkan berbagai bentuk proyeksi yang beragam (para pendukung Pancasila juga sebaiknya dianggap gila karena Pancasila sepertinya tidak pernah ada selain sebagai teks di dalam kelas).
Oleh karena itu, saya ingin memberi saran pada teman-teman semua agar ada esai yang berjudul “Mengapa Kita Bukan Fans”, yang berisi uraian cukup jelas mengapa akhirnya kita sebagai akademisi, yang menggeluti filsafat seorang tokoh atau ideologi, pastinya, berbeda dengan fans fiksi. Tulisan tersebut berisi praksis-praksis apa, dan landasan-landasan apa, yang akhirnya membedakan kita, akademisi, dengan fans yang tidak mau diganggu jika melihat serialnya secara langsung (baca: buku). Saya menunggu karya itu, tapi jika telalu lama, maka akan saya buat sendiri.[]
Catatan akhir:
[1] Fandom here becomes a participatory culture which transforms the experience of media consumption into the production of new texts, indeed of a new culture and a new community.
[2] What is surprising, particularly in the face of some fifty years of critical theories that would indicate otherwise, is that fans find the ability to question and rework the ideologies that dominate the mass culture they claim as their own. A character in Lizzie Bordan’s Born in Flames describes political alchemy as “the process of turning shit into gold”; if this claim is true, there may be no better alchemist on the planets that fans.