Penelitian tentang Kosmologi di Indonesia tidaklah semeriah penelitian ekonomi, politik, bahkan sastra. Kosmologi seakan-akan ilmu yang berada di luar jangkauan manusia. Hal tersebut berbeda dari ekonomi misalnya. Orang dapat bicara banyak mengenai ekonomi, mulai dari krisis ekonomi berkepanjangan, kemiskinan struktural, hingga demonstrasi buruh besar-besaran, itu semua dapat dilihat dengan kacamata ekonomi. Maka, tulisan ini akan membahas secara analitis kritis, bahwa kosmologi, layaknya filsafat, bukanlah ilmu yang omong kosong. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan pembahasan ke dalam beberapa bagian, agar pembacaan dan diskusi sampai pada tahap yang komprehensif. Penulis juga berupaya menarik relevansi yang filosofis, bagaimana sebenarnya peran kosmologi dan perdebatannya dalam lingkup hidup sehari-hari. Secara khusus, apakah dengan adanya ilmu kosmologi memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan pemikiran lainnya yang lebih praktis, atau sebenarnya kosmologi memang sungguh ilmu yang mengawang-awang layaknya filsafat yang hanya berisikan ajaran abstraksi metafisis saja?
Tentang Kosmologi: Aspek Historis
Ditinjau dari sejarahnya, usia kosmologi sudah setua kehadiran manusia di bumi. Kosmologi[1] merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang landasannya berangkat dari refleksi (filosofis) berkenaan dengan upaya manusia untuk menalar kosmos[2], sebuah uraian tentang sejarah semesta alam dan kehadiran manusia di dalamnya.
Kosmologi juga tak luput ikut menelaah ruang dan waktu, menyelidiki asal-usul alam semesta beserta isinya, dan mempelajari peristiwa di ruang angkasa, termasuk asal mula kehidupan. Kosmologi sendiri harus dibedakan dengan kosmogoni. Walaupun antara kosmologi dan kosmogoni nampak hubungan yang saling kait kelindan. Kosmogoni sendiri berarti cerita mengenai asal usul alam semesta. Dalam kosmogoni, tidak dijelaskan bagaimana hubungan keterkaitan antara logika, historisitas, ataupun penjelasan filosofis mengenai asal usul alam semesta itu sendiri. Cerita mengenai alam semesta dalam kosmogoni ada begitu saja. Hubungan antara kosmogoni dan kosmologi itu sendiri tak lain ada pada peran mereka yakni, sama-sama menelaah gambaran dunia kita, serta model-model alam semesta yang berubah dari waktu ke waktu.
Kosmos pada abad pertengahan juga dimengerti sebagai sesuatu yang terbatas dan bersifat geosentris. Pada masa ini diterima ide tentang tujuh planet dan bintang-bintang yang mengelilingi bumi. Objek superlunar bergerak melingkar dalam kecepatan yang stabil.
Perkembangan kosmologi tak bisa lepas dari pemikiran para filsuf Yunani Kuno[3], sebab merekalah yang membuat batu pijakan pertama bagi kosmologi. Kekuatan utama dari kosmologi Yunani adalah gerak. Dalam konteks ini, gerak tidak hanya dipahami sebagai perpindahan suatu objek, tetapi lebih dilihat sebagai pemenuhan potensi menjadi aktus[4]. Setidaknya, ada dua karakter prinsip gerak yang melandasi pemikiran kosmologi Yunani, yakni gerak sebagai perubahan potensi menjadi aktus dan gerak sebagai perpindahan objek lantaran ada penggeraknya. Dalam kosmologi Yunani, terdapat dua bentuk gerak, yakni gerak melingkar dan gerak lurus. Gerak melingkar didaku sebagai gerak yang lebih sempurna daripada gerak lurus[5]. Dan alam semesta bergerak melingkar dan bersifat tidak tak terbatas. Prinsip utama pemikiran kosmologi Yunani adalah gagasannya terbentuk sebagai sistem yang sempurna, dimana setiap bagiannya mengikuti bagian lainnya secara logis[6]. Kosmologi Yunani juga menolak kekosongan, artinya tidak mungkin segala yang ada berasal dari ketiadaan/kekosongan. Bagi kosmologi Yunani, khususnya pada pemikiran Aristoteles, diyakini ada sebuah penggerak yang tak dapat digerakkan oleh suatu apapun, penggerak ini berada di lapisan paling luar dari alam semesta dan merupakan sumber gerak langit yang disebut, primum mobile. Penggerak yang tak dapat digerakkan inilah yang menggerakkan jagat raya dan terletak di lapisan terluar[7]. Ada dua pembagian kawasan, yakni kawasan sublunar dan kawasan superlunar. Pembagian kawasan ini dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles tentang dua dunia. Kawasan sublunar terdiri dari bumi hingga bulan, sedangkan kawasan superlunar adalah kawasan langit bulan keatas. Kawasan sublunar terdiri dari empat unsur yakni, tanah, udara, api, serta air. Pembagian empat unsur ini pertama kali dikemukakan oleh Empedokles. Sementara kawasan superlunar terdiri dari unsur yang berbeda dari kawasan sublunar, yakni aether/ether.
Pada kosmologi abad pertengahan, pemikiran kosmologi Yunani ditarik ke ranah teologi. Sebagai contoh, dalam The Divine Comedy, Dante. Ia bertitik tolak dari kosmologi Yunani. Dalam karyanya, ia menunjukkan tujuh lapisan planet yang bergerak dari barat ke timur, serta adanya primum mobile[8]. Selain itu, Dante menambahkan adanya kosmos spiritual diatas kosmos fisis, tempat kedudukan para malaikat.
Kosmos pada abad pertengahan juga dimengerti sebagai sesuatu yang terbatas dan bersifat geosentris. Pada masa ini diterima ide tentang tujuh planet dan bintang-bintang yang mengelilingi bumi. Objek superlunar bergerak melingkar dalam kecepatan yang stabil[9]. Wilayah sublunar bersifat dapat rusak dan terdiri dari empat elemen. Wilayah superlunar tidak dapat berubah dengan unsur aether-nya. Kosmologi abad pertengahan juga menerima konsep tidak adanya kekosongan[10]. Seiring berjalannya waktu, kosmologi mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan tanpa meninggalkan jejak dari kosmologi sebelumnya. Kosmologi masa kini, atau lebih dikenal dengan sebutan kosmologi modern, yang dalam tulisan ini akan dibahas kemudian sesungguhnya lahir karena Einstein meninggalkan positivisme. Padahal positivisme model Mach seperti yang diurai Karlina Supelli[11] membantu Einstein menghancurkan konsep sistem koordinat mutlak dan merumuskan teori relativitas khusus pada tahun 1905[12].
Menggagas Teori (tentang) Alam Semesta
Perdebatan dalam kosmologi sangatlah terserak dan pelik, hal itu terbukti dari pihak-pihak yang secara sengaja melakukan kerja ilmiah guna mengukuhkan teorinya masing-masing. Dalam konteks tulisan ini, terdapat dua pihak yang bahkan hingga saat ini terlibat perdebatan tersebut. Pihak pertama adalah kaum realis dan pihak kedua adalah kaum antirealis[13]. Dalam kosmologi, salah satu perdebatan antara realisme dan antirealisme yang banyak menyita perhatian adalah perdebatan antara Galileo dan Kardinal Bellarmino. Di sisi realisme, berdiri Galileo yang memandang sistem Copernicus sebagai deskripsi ontologis alam, dan sisi antirealis berdiri Kardinal Bellarmino dengan pendapatnya bahwa seluruh sistem itu hanyalah instrumen matematika demi prediksi astronomis[14].
Jika mengacu kepada tesis ralisme, maka ada dua komponen yang tak boleh luput dari pembahasan. Pertama, adalah mengenai sifat eksistensial dan yang kedua bersifat epistemik, sifat yang kedua mengandaikan keberlakuan sifat yang pertama. Sifat yang pertama memberikan pengertian alam semesta yang mempunyai pengacuan ontik. Acuan itu adalah wujud alam semesta yang hadir secara independen mendahului semua penyelidikan keilmuan. Sedangkan komponen kedua memberikan keyakinan bahwa wujud ini merupakan suatu fakta objektif yang mempunyai sifat-sifat serta struktur melekat yang dapat dipahami melalui teori.
Menurut Eddington, alam semesta sekarang ini berkembang secara bertahap melalui ekspansi dari massa dan ukuran alam semesta sebelumnya yang sama dengan keseimbangan alam semesta menurut Einstein.
Interpretasi kaum realis atas alam semesta akan melihat keterpahaman sebagai sifat alam semesta yang independen. Sifat ini dipostulatkan, dengan kata lain keterpahaman adalah sebuah “penungguan” akan penemuan. Pada saat manusia berdaya guna mencapai pemahaman rasionalnya, dan pemahaman itu diujikan secara tepat, maka hasilnya adalah penyingkapan kebenaran. Pandangan ini berbeda dari kaum antirealis yang menafsirkan alam semesta sebagai konsep yang dikonstruksikan guna penyelidikan kosmologi. Alam semesta tidak diacukan ke sebuah wujud manapun dan bukanlah sebuah struktur yang lepas dari konsepsi model matematisnya.
Dengan kedua pandangan tersebut lantas kita dapat mendefinisikan dua bentuk alam semesta, yakni alam semesta (dengan huruf kecil) dan Alam Semesta (dengan huruf besar). Alam Semesta dengan huruf besar harus dipahami sebagai suatu eksistensi sedangkan alam semesta dengan huruf kecil harus dipahami sebagai alam semesta sejauh diketahui, atau dapat diartikan pula sebagai ruang waktu beserta seluruh objek-objeknya sampai batas terjauh yang terjangkau oleh pengamatan astronomis dan atau melalui konsep-konsep perhitungan fisika-matematika. Alam semesta sebagaimana teramati (dengan huruf kecil) hanya hadir bersama model yang membangunnya. Keterpahaman menjadi mungkin karena alam semesta menjadi kesatuan yang terpikirkan secara demikian menurut hukum saling berhubungan yang dibangun oleh manusia.
Berbicara mengenai alam semesta yang sejatinya tidak bisa dijangkau seluruhnya oleh manusia, sering kali pertanyaan-pertanyaan eksistensial dimunculkan oleh para kosmolog dan astronom untuk menggali berbagai macam informasi tentang alam semesta itu sendiri. Untuk melihat alam semesta yang begitu luas ini, sampailah pada pertanyaan “bagaimana alam semesta terbentuk?”[15] Dalam sejarah kosmologi, beberapa teori dimunculkan oleh para kosmolog dan astronom untuk menjelaskan terbentuknya alam semesta. Salah satunya adalah teori Big Bang.
Istilah “Big Bang” pertama kali diperkenalkan oleh Fred Hoyle pada tahun 1950.[16] Akan tetapi ia justru berada dipihak Steady-State Theory yang merupakan lawan dari Big Bang Theory. Kedua teori ini sangatlah berlawanan dalam memandang keadaan alam semesta ini. Pencetus teori Steady-State, yaitu Fred Hoyle, Herman Bondi, dan Thomas Gold, berasumsi bahwa alam semesta tidak berubah tetapi dinamis.[17] Sedangkan teori Big Bang berasumsi bahwa alam semesta diawali dengan ledakan besar yang kemudian berkembang sampai membentuk sistem alam semesta saat ini dengan sistem galasi-galaksinya dan alam semesta ini akan terus berkembang. Meskipun Big Bang berada dalam posisi teori Expanding Universe, tetapi ia bukanlah teori Expanding Universe itu sendiri.
Dalam kosmologi, salah satu perdebatan antara realisme dan antirealisme yang banyak menyita perhatian adalah perdebatan antara Galileo dan Kardinal Bellarmino. Di sisi realisme, berdiri Galileo yang memandang sistem Copernicus sebagai deskripsi ontologis alam, dan sisi antirealis berdiri Kardinal Bellarmino dengan pendapatnya bahwa seluruh sistem itu hanyalah instrumen matematika demi prediksi astronomis.
Teori Big Bang sangat terkait dengan teori Expanding Universe, akan tetapi tidak satu per satu cocok di antara kedua teori tersebut. Model Expanding Universe mendahului kosmologi Big Bang dan teori lawannya, seperti Steady-State juga menerima bahwa alam semesta dalam pemuaian, sebuah konsep yang tidak berarti sebuah permulaan kosmik. Di sisi lain, kosmologi Big Bang adalah subkelas dari kosmologi Expanding Universe.[18]
Dalam proses pembentukan alam semesta menurut Big Bang, pada awalnya terjadi ledakan yang begitu dahsyat dan kemudian mengalami perluasan. Teori ini dihitung secara matematis oleh Alexander Friedmann yang menurunkan dari teori relativitas umum Einstein dan didukung oleh George Lemaitre pada tahun 1927.[19] Teorinya tentang Expanding Universe dikembangkan lagi oleh Arthur Stanley Eddington pada tahun 1930. Menurut Eddington alam semesta sekarang ini berkembang secara bertahap melalui ekspansi dari massa dan ukuran alam semesta sebelumnya yang sama dengan keseimbangan alam semesta menurut Einstein.[20]
Karena alam semesta dijabarkan dengan model perhitungan matematis Friedmann, alam semesta mengalami pengembangan dan zat atau radiasi apapun di dalamnya akan mendingin. Pada suhu yang sangat tinggi partikel akan bergerak sangat cepat sehingga bisa lepas dari gaya tarik menarik akibat gaya nuklir atau elektromagnetik, akan tetapi pada saat mendingin partikel-partikel tersebut akan saling terik menarik dan mulai berkumpul. Selain itu pada suhu yang tinggi pula, partikel-partikel itu mempunyai banyak energi sehingga ketika bertabrakan, banyak pasangan partikel-partikel yang dihasilkan.
Pada Big Bang, alam semesta dianggap berukuran nol dan luar biasa panas. Akan tetapi pada saat alam semesta mengembang, suhu radiasinya berkurang. Satu detik sesudah Big Bang, suhu alam semesta turun menjadi sepuluh miliar derajat.[21] Sewaktu suhu mulai menurun dan alam semesta mulai mengembang, laju produksi pasangan elektron/antielektron dalam tabrakan sepertinya sudah menurun dibawah laju pemusnahan. Sekitar seratus detik sesudah Big Bang, suhu alam semesta turun sampai satu miliar derajat, suhu di dalam bintang-bintang terpanas.[22] Pada suhu setinggi itu terjadi reaksi kimia yang menghasilkan inti helium, sejumlah kecil hidrogen berat.[23] Kemudian sesudah beberapa jam terjadi Big Bang, produksi helium dan unsur-unsur lainnya berhenti dan alam semesta terus mengembang. Proses pengembangan alam semesta akan mengalami perlambatan karena adanya tarikan-tarikan gravitasi lebih besar. Hal ini akan membuat penyusutan pada daerah-daerah tertentu dan menjadi penyebab mengapa daerah-daerah tersebut mulai berotasi. Semakin kecil daerah yang berotasi semakin cepatlah putaran rotasi tersebut sehingga mampu mengimbangi gaya tarik gravitasi yang lebih besar. Akhirnya proses inilah yang akan membentuk galaksi-galaksi yang berbentuk cakram.[24]
Proses pembentukan alam semesta terus berlanjut dan terus mengalami pengembangan. Gas hidrogen dan helium di galaksi-galaksi pecah dan menjadi awan-awan lebih kecil yang kemudian runtuh karena gravitasinya sendiri. Di sisi lain, atom-atom di dalam awan itu saling bertabrakan dan menghasilkan suhu yang cukup tinggi untuk proses fusi nuklir, yaitu perubahan atom hidrogen ke atom helium, sehingga mencegah awan mengalami penyusutan. Awan gas akan tetap stabil dalam keadaan demikian untuk waktu yang cukup lama membakar hidrogen menjadi helium dan memancarkan radiasi yang dihasilkan sebagai panas dan cahaya.[25] Bagian luar bintang kadang ada yang terlempar dalam ledakan mahabesar yang disebut supernova, yang lebih terang daripada semua bintang lain dalam galaksi.
Dalam penjelasan proses terjadinya Big Bang sampai terbentuknya galaksi-galaksi, salah satu ukuran yang dipakai adalah waktu. Beberapa kali disebutkan ukuran waktu, seperti: satu detik, seratus detik, berjam-jam kemudian, dsb sebagai bantuan untuk melihat berapa lama proses terjadinya alam semesta dan pengembangannya. Apabila dihitung mundur, Big Bang terjadi pada saat kurang lebih 13,7 miliar tahun lalu.
Peran Einstein terhadap Kosmologi
Perkembangan kosmologi dari waktu ke waktu seakan ingin menghardik kita bahwa dunia kehidupan bukan hanya terdiri dari manusia semata. Manusia hanyalah butiran debu yang terserak di titik (ter)kecil jagat raya dalam rengkuhan galaksi bima sakti, di planet yang (kebetulan) bernama bumi. Menjadi menarik disini, manakala manusia termasuk dalam bagian kecil dari alam semesta namun toh manusia mampu untuk menalar kosmos lewat metodologi penelitian yang dibangun sedemikian ilmiah. Walau pada kenyataannya, sejarah kosmologi berbicara bahwa pertentangan antara ide(ologi) prinsipiil yang satu kerap bertentangan dengan prinsip yang lain.
Tulisan pendek ini setidaknya ingin menunjukkan “fenomena kaotik” yang terjadi dalam ranah kosmologi, tentunya selain perdebatan antara realisme dan anti realisme adalah perdebatan antara pendukung alam semesta mengembang dan alam semesta statis lewat Lemaitre dan Eddington. Dari posisi para pendukung alam semesta mengembang, mereka mengklaim bahwa alam semesta tidak mungkin statis dengan perhitungan – perhitungan berdasarkan teori relativitas[26] (yang mengantisipasi kesimpulan Friedman dan Lemaitre). Terkejut oleh temuannya, Einstein menambahkan “konstanta kosmologis” pada persamaannya agar muncul “jawaban yang benar”, karena para ahli astronomi meyakinkan dia bahwa alam semesta itu statis dan tidak ada cara lain untuk membuat persamaannya sesuai dengan model seperti itu. Beberapa tahun kemudian, Einstein mengakui bahwa konstanta kosmologis ini adalah kesalahan terbesar dalam karirnya. Pada saatnya nanti, konstanta kosmologis Einstein akan disempurnakan penggunaannya oleh Lemaitre.
Dari posisi para pendukung alam semesta mengembang, mereka mengklaim bahwa alam semesta tidak mungkin statis dengan perhitungan – perhitungan berdasarkan teori relativitas.
Secara teoritis, Einstein menemukan model alam semesta yang statis pada tahun 1917. Ketika ia merumuskan teori kerelativan umum, ia melihat kemungkinan energi gravitasi tersimpan di dalam kurvatur ruang waktu hampa. Kurvatur ini disebut konstanta kosmologis dan oleh Einstein ditambahkannya ke dalam persamaan medan untuk mengatasi instabilitas modelnya, karena pada saat itu para ilmuwan percaya bahwa alam semesta statis, dan kepercayaan baru tentang alam semesta mengembang nantinya akan diuraikan oleh Lemaitre. Dari sudut pandang astronomi, langkah Einstein sangat masuk akal. Pada masa itu, alam semesta hanya diduga seluas Bima Sakti. Pada skala Bima Sakti, tidak teramati pola gerak bintang yang cukup bermakna untuk menyimpulkan apakah alam semesta memuai atau tidak. Einstein mencabut konstantanya sesudah penemuan Hubble tahun 1929.[27]
Ketika Lemaitre[28] menyusun disertasi doktoralnya yang berjudul “The gravitational field in a fluid sphere of uniform invariant density according to the theory of relativity”, ia mencoba mengamati kembali teori relativitas Einstein. Sebagaimana perhitungan Einstein sepuluh tahun sebelumnya, perhitungan Lemaitre menunjukan bahwa alam semesta haruslah bersifat atau mengembang atau mengecil. Namun berbeda dengan Einstein yang membayangkan adanya suatu daya kosmos yang bersifat tetap – yang menjaga agar alam semesta tetap stabil, Lemaitre berkeyakinan bahwa alam semesta bersifat mengembang. Kesimpulannya ini didapat setelah mengamati sinar kemerah-merahan, yang dikenal dengan sebutan pergeseran merah atau the red shift[29], yang meliputi obyek-obyek yang berada di luar galaksi Bima Sakti. Jika sinar atau cahaya itu dipahami sebagai suatu efek Doppler[30], maka fenomena red shift berarti bahwa galaksi-galaksi lain sedang menjauh dari galaksi kita.
Pergeseran merah juga bisa disebabkan oleh tiga sebab. Pertama, gerak-gerik sumber. Jika sumber cahaya menjauh dari pengamat, maka pergeseran merah terjadi; jika sumber mendekati pengamat, maka pergeseran biru terjadi. Hal ini berlaku untuk semua gelombang dan diterangkan oleh efek Doppler. Jika sumber bergerak menjauh dari pengamat dengan kecepatan v dan kecepatan ini jauh lebih kecil daripada kecepatan cahaya c, maka pergeseran merah dapat diperkirakan dengan z ≈ v/c.
Kedua, perluasan ruang. Model yang sekarang dipakai oleh kosmologi yakni menganggap benar perluasan ruang. Cahaya akan mengalami pergeseran merah jika ruang meluas. Dalam arti, memperluas angkasa dan perpindahan sumber adalah perspektif berbeda atas gejala itu juga: daripada sebuah sumber bergerak, seseorang dapat secara alternatif dan sepadan mengambil sebuah sumber diam dan ruang di antara sumber dan pengamat yang memuai.
Dan ketiga, efek gravitasi. Teori relativitas umum memuat bahwa perpindahan cahaya itu lewat bidang gravitasi yang kuat akan mengalami pergeseran merah atau biru. ‘ Ini diketahui sebagai Pergeseran Einstein. Efek ini sangat kecil tetapi dapat diukur di Bumi menggunakan efek Mossbauer. Namun efek ini cukup berarti di dekat lubang hitam dan sewaktu benda mendekat ke cakrawala, perubahan merah menjadi tak terhingga. Pergeseran Merah Gravitasi ditawarkan sebagai keterangan pergeseran merah dari quasars di 1960-an, walaupun ini secara luas tidak disetujui sekarang. [31]
Perdebatan Kosmologis
Lemaitre mempublikasikan perhitungan dan argumennya dalam jurnal Belgia Annales de la Societe scientifique de Bruxelles pada tahun 1927. Tidak banyak orang yang menaruh perhatian karena publikasinya tidak dibaca secara luas oleh para astronom di luar Belgia. Pada tahun 1929, observasi sistematis Edwin Hubble terhadap galaksi-galaksi lain mengkonfimasikan the red shift. The Royal Astronomical Society di Inggris menyadari adanya kontradiksi antara observasi visual dengan teori Relativitas. Sir Arthur Eddington menawarkan diri untuk mencari solusinya. Ketika Lemaitre mendengar adanya usaha Eddington tersebut, ia kemudian mengirimkan salinan tulisannya yang diterbitkan pada tahun 1927. Eddington kemudian sadar bahwa Lemaitre telah menjembatani jurang antara hasil observasi dengan teori. Atas usul Eddington sendiri, the Royal Astronomical Society kemudian menerbitkan tulisan Lemaitre dalam terjemahan bahasa Inggris dalam jurnal bulanannya di bulan Maret 1931. Banyak ilmuwan yang membaca tulisan Lemaitre kemudian mengakui bahwa alam semesta bersifat mengembang. Namun pada saat itu, sulit bagi para ilmuwan tersebut menerima kenyataan bahwa alam semesta sebenarnya memiliki permulaan sebagaimana teori Lemaitre. Eddington sendiri menulis dalam jurnal berbahasa Inggris “Nature” bahwa ide tentang asal mula alam semesta tersebut merupakan sesuatu hal yang sulit diterima (menjijikkan)[32].
Lemaitre menanggapi Eddington melalui sebuah surat yang juga dimuat di “Nature” pada edisi 9 Mei 1931. Lemaitre menyatakan bahwa alam semesta memiliki titik permulaan, di mana seluruh materi dan energinya terkonsentrasi pada apa yang ia istilahkan sebagai atom purba “primeval atom”.
Leimatre, in short reply in nature published only seven weeks after eddington’s article excerpted in the previous chapter, raises an issue that continues to stimulate interest today: the relationship between cosmogony and quantum physics. He does not take on Eddington’s whole argument; rather he uses edington’s distaste vis a vis a beginning (and his subsequent wrestling with classical physics’ blend of change and determinism) as an occasion for pointing towards a model which, as his metaphors indicate, Lemaitre considers more plausible and more exciting, as well he might.[33]
Jika alam semesta dimulai dengan suatu kuantum tunggal, ide tentang ruang dan waktu secara bersamaan tidak akan memiliki arti apa-apa pada awal mulanya[34]. Ruang dan waktu hanya akan berarti apabila kuantum awal terbagi ke dalam beberapa quanta yang cukup. Jika pendapat ini benar, maka awal mula alam semesta terjadi beberapa saat sebelum terbentuk ruang dan waktu.
Perhitungan Lemaitre menunjukan bahwa alam semesta haruslah bersifat atau mengembang atau mengecil. Namun berbeda dengan Einstein yang membayangkan adanya suatu daya kosmos yang bersifat tetap – yang menjaga agar alam semesta tetap stabil, Lemaitre berkeyakinan bahwa alam semesta bersifat mengembang.
Para pendukung teori alam semesta statis pada dasarnya senantiasa berpedoman pada dua prinsip. (1) Prinsip kosmologis sempurna yang menyatakan bahwa pada skala besar, alam semesta adalah homogeni dan isotrop dalam rentang ruang dan waktu. (2) mekanisme penciptaan materi secara terus menerus dalam modus creation ex nihilo dengan konsekuensi bahwa rata-rata kepadatan materi dalam alam semesta tidak berubah. Poin dua inilah yang menimbulkan pelbagai kontroversi sebab bertentangan dengan salah satu hukum termodinamika pertama. Teori alam semesta yang statis ini pun, telah menuai banyak kritik, salah satunya dari Milton K. Munitz. Ia mengungkapkan bahwa teori alam semesta statis memiliki kelemahan antara lain kelemahan observasional, kelemahan semantik, dan kelemahan epistemik. [36]
Kepesatan Kosmologi!
Lewat sejarah, kita mengetahui bahwa kosmologi mengalami perkembangan yang pesat justru karena mau “mengakui perbedaan”. Lewat metode ilmiah, para kosmolog, ilmuwan, dan para filsuf sekalipun mencari yang benar di antara kebenaran yang terserak di jagad raya pemikiran. Salah satu filsuf yang senantiasa menggemakan penemuan makna kebenaran adalah Karl Popper. Sebagai contoh, mengapa ia lebih memilih dan mengedepankan teori Einstein ketimbang teori Newton, antara lain karena (1) teori Einstein memuat hal-hal yang lebih akurat dibanding Newton, (2) teori Einstein menjelaskan lebih banyak fakta daripada teori Newton, (3) teori Einstein telah lulus ujian-ujian yang gagal dihadapi oleh teori Newton, dan (4) teori Einstein juga dapat menyatukan dan menghubungkan berbagai macam masalah yang sebelumnya tidak saling berhubungan[37]. Dalam hal ini, Popper menunjukkan bahwa antara isi teori dan kebenaran hubungannya diukur dengan tingkat korespondensi di antara keduanya. Secara lebih rinci, Popper mengajukan tesisnya yang diberi nama verisimilitude.
Verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, sebab pada verisimilitude kebenaran digabungkan dengan isi yang mendekati kebenaran tetapi dalam probabilitas kebenaran digabungkan dengan kekurangan isi. Dengan gagasan tersebut, seseorang tidak pernah dapat membenarkan suatu teori tetapi sebatas memilih satu teori yang bertahan setelah dikritik dan disangkal. Dengan kata lain, teori yang dibangun Lemaitre walaupun pada awalnya ditertawakan oleh ilmuwan pada saat itu, pada akhirnya menjadi sebuah teori yang kokoh, bahkan mendapat pujian dari banyak kalangan. Sebab teorinya sudah (terbukti) lulus tes dan dengan demikian menjadi terkoroborasi dengan sendirinya.
Demikianlah sebenarnya kosmologi menampakkan kegemilangannya dan bereksistensi secara penuh lewat sebuah jalan terjal berliku, lewat perdebatan dan kritik. Namun persis disitulah letak kekuatannya. Kosmologi sebagai sains semakin kokoh berdiri dengan jati dirinya yang sejati dikejauhan diantara padang rumput ilmu-ilmu lain lantaran ia mampu hidup dalam “kedalaman”.
Catatan Akhir:
[1] Dengan kalimat ini sebenarnya saya sepakat dengan pihak-pihak yang mengatakan bahwa kosmologi adalah sains. Walau secara teoritis tidak sedikit pihak yang menentangnya. Salah satunya adalah Dingle. Ia menyimpulkan bahwa kosmologi bukan sains, sebab baginya, prinsip kosmologi melahirkan kosmitologi atau yang biasa kita kenal dengan sebutan sains semu. Ia berasumsi bahwa untuk menjadi sains, setiap penelaahan terhadap alam semesta harus berangkat dari observasi sehingga setiap prinsip-prinsip umum adalah hasil generalisasi empiris. Lih. Mark Aloysius, ‘Apakah Kosmologi itu Sains?: Implikasi Metodologis, Epistemik dan Ontik Teori Big Bang dan Teori Steady State’, Jurnal Driyarkara Th. XXXIII no.1 (2012), hlm. 78-79.
[2] Istilah kosmologi berasal dari bahasa Yunani, kosmos. Dipakai oleh Pythagoras (580-500 SM) untuk melukiskan keteraturan pergerakan benda-benda langit.
[3] Kosmologi lahir bersamaan dengan kehadiran filsuf-filsuf alam Yunani yang meyakini adanya sistem dunia yang teratur dan patuh pada hukum universal.
[4] Noriss S Hetheringtton, Cosmology: Historical, Literary, Philosophical, Religious, and Scientific Perspective, (New York&London: Garland Reference Library of Humanities, 1993) hlm. 98.
[5] Ibid., hlm. 100.
[6] Ibid., hlm. 98.
[7] Helge Kragh, Conception of Cosmos from Myth to the Accelerating Universe: A History of Cosmology, (New York: Oxford University Press, 2007) , hlm. 23.
[8] Hetheringtton,1993, ibid., hlm. 203
[9] Hetheringtton,1993, ibid., hlm. 71.
[10] Kragh, 2007, ibid., hlm. 32.
[11] Karlina Supelli, ‘Menelusuri Jejak Kosmos’, Jurnal Driyarkara Th. XXXIII no.1 (2012), hlm. 5.
[12] Dalam proses kerja ilmiahnya, Einstein pada tahun 1916 berhasil merumuskan teori relativitas umum, ia menyimpulkan bahwa sains punya tujuan konstruktif-spekulatif dan intuitif. Saat itu ia berasumsi bahwa kepercayaan terhadap positivisme tidak akan melahirkan sesuatu yang bermakna.
[13] Dalam filsafat, perdebatan mengenai kemampuan “menalar” alam semesta tercermin dalam perdebatan antara realisme yang menempatkan ketakbermaknaan kesadaran manusia dalam kebertalaan alam semesta dan antirealisme yang cenderung “antroposentris” dengan menempatkan pikiran sebagai pencipta “dunia”.
[14] Lihat Karl Popper, Conjectures and Refutations (London: Routledge, 1989).
[15] Dalam kajian ini para kosmolog dan astronom tentu saja meninggalkan aspek teologis (Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta) untuk menjelaskan terbentuknya alam semesta.
[16] Hetteringthon, 1993, ibid., hlm. 371.
[17] Dikisahkan bahwa Bondi, Gold, dan Hoyle bersama-sama menonton film tentang cerita setan. Film tersebut diakhiri dengan cara yang sama pada saat film itu dimulai. Dari sinilah Gold terinspirasi dan beranggapan bahwa alam semesta tidak berubah tetapi dinamis. Lih. Hetteringthon, Ibid., hlm. 393.
[18] Hetteringthon, 1993, ibid., hlm. 371.
[19] Ibid., hlm. 372-373.
[20] Teori ini kemudian dikenal sebagai teori Lemaitre-Eddington. Ibid., hlm.. 372-373.
[21] Stephen Hawking, A Brief History of Time, terj. Zia Anshor, (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm. 115.
[22] Ibid., hlm. 117.
[23] Ibid., hlm. 117.
[24] Lih. Stephen Hawking, ibid., hlm. 115.
[25] Bdk. Cynthia Stokes Browm, Big History: from the Big Bang to the Present, (New York: London, 2007), hlm. 3.
[26] Relativitas klasik mencakup transformasi sederhana dinatara benda yang bergerak dan seorang pengamat pada kerangka acuan lain yang diam. Jika A berjalan di dalam sebuah kereta yang bergerak, dan B diam diatas tanah di luar kereta memperhatikan A, maka kecepatan A relatif terhadap B adalah total dari kecepatan A bergerak relatif terhadap kereta dengan kecepatan kereta relatif terhadap B.
[27] Lih. Mark Aloysius, hlm. 73.
[28] Dalam perdebatan panjang mengenai alam semesta yang mempunyai awal atau tidak, berawal atau tidak berawalnya alam semesta,Lemiatre mengajukan gagasan bahwa alam semesta mempunyai awal, dan awal itu adalah suatu keadaan sangat padat mirip inti radioaktif. Atom awal ini meledak, pecahan-pecahannya membentuk cikal bakal galaksi. Alam semesta ini mempunyai cirri alam semesta yang berevolusi, mempunyai awal, tumbuh, dan akan berakhir pada suatu saat nanti.
[29] Pergeseran Merah / redshift adalah gejala bahwa frekuensi cahaya kalau diamati, di bawah situasi tertentu, bisa lebih rendah daripada frekuensi cahaya ketika terpancar di sumber. Ini biasanya terjadi kalau sumber menjauh dari pengamat, seperti pada efek Doppler. Secara khusus, istilah pergeseran merah dipakai untuk menjelaskan pengamatan bahwa spektrum cahaya yang terpancar oleh galaksi jauh bergeser ke frekuensi yang lebih rendah (terhadap akhir merah spektrum, dan begitu pula namanya) kalau dibandingkan dengan spektrum bintang yang lebih dekat. Ini diambil sebagai bukti bahwa galaksi menjauh dari satu sama lain.
[30] Efek Dopler mengatakan bahwa jika kita berada semakin dekat dengan sumber bunyi (frekuensi) maka akan semakin jelas mendengar bunyi tersebut, sedangkan jika kita berada semakin jauh dari sumber bunyi (frekuensi) maka akan semakin tipis mendengar bunyi tersebut.
[31] Diadaptasi dari http://www.astronomi.us/2012/02/teori-penyebab-alam-semesta-mengembang.html tanggal 10 Desember 2014 pk. 12.00)
[32] Sir Arthur Eddingthon states that, philosophically, the notion of a beginning of the present order of nature is repugnant to him . Lih. Georges Eduard Lemaitre, “Did the Expansion Start from the Beginning”, The Book of The Cosmos: Imagining the Universe from Heraclitus to Hawking, (Cambridge: Perseus Publishing, 2000), hlm. 66.
[33] Ibid., hlm. 407.
[34] If the world has begun with a single quantum, the notions of space and time would altogether fail to have any meaning at the beginning. Lih. Lemaitre, ibid., hlm. 408.
[35] Perlu ditambahkan disini bila Eddington sudah mengetahui bahwa alam semesta Einstein mengandung ketakstabilan, bagaimana mungkin ia dapat membangun konsep alam semesta statis selama waktu yang tak terhingga?
[36] Lih. Mark Aloysius, hlm. 78-79.
[37] Bandingkan. In Nugroho Budisantoso, “Prinsip Falsifikasi Karl Popper” Majalah Filsafat Driyarkara Tahun XXV, No 1, hlm. 35.
Daftar Pustaka:
Browm, Cynthia Stokes. 2007. Big History: from the Big Bang to the Present. New York: London.
Danielson, Dennis Richard. 2000. The Book of The Cosmos: Imagining the Universe from
Heraclitus to Hawking. Cambridge, Perseus Publishing.
Hawking, Stephen. 2013. A Brief History of Time. Zia Anshor (terj.) Jakarta: Gramedia.
Hetheringtton, Noriss.1993. Cosmology: Historical, Literary, Philosophical, Religious, and
Scientific Perspective. New York & London: Garland Reference Library of Humanities.
Jurnal Driyarkara Th. XXXIII no.1 (2012).
Kragh, Helge. 2007. Conception of Cosmos from Myth to the Accelerating Universe: A
History of Cosmology. New York: Oxford University Press.
___________. 1993. “Big Bang Cosmology”. Cosmology: Historical, Literary, Philosophical, Religious, and Scientific Perspectives. Norriss S. Hetherington (ed.). New York and London: Garland Publishing, Inc.
Lemaitre, Georges Eduard. 2000. “Did the Expansion Start from the Beginning?” dalam The
Book of the Cosmos: Imagining the Universe from Heraclitus to Hawking. Cambridge: Perseus Publishing.
Longino, Hellen. 1990. Science as Social Knowledge. Princeton: Princeton University Press.
Majalah Filsafat Driyarkara Tahun XXv, No 1(2000).
Popper, K. 1968. Conjectures and Refutations. New York: Harper and Row.
Siswanto, Joko. 1996. Kosmologi Einstein. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sumber Internet:
http://www.astronomi.us/2012/02/teori-penyebab-alam-semesta-mengembang.html
http://www.marxists.org/archive/politzer/works.htm
http://www.catholiceducation.org/articles/science/sc0022.html
http://askaphilosopher.wordpress.com/2012/10/10/was-there-a-time-before-the-universe-existed/.
http://www.fisikanet.lipi.go.id/data/1014224403/data/1105703988.pdf