spot_img
More

    Tuhan dan Kejahatan dalam Filsafat Proses

    Featured in:

    gambar

    God is the great companion-the fellow sufferer who understands[1]

    /1/

    Kejahatan merupakan sebuah fakta yang tak dapat dielakkan. Sebut saja pencopetan, pembunuhan, pemerkosaan hingga sebuah paku yang menusuk kaki seseorang. Di manakah Tuhan yang diyakini sebagai Yang Mahakuasa (Omnipotent) dan Yang Mahabaik (Benevolent)? Jika Tuhan Mahakuasa dan Mahabaik, seharusnya kejahatan di dunia ini tidak ada. Namun, bukti adanya kejahatan membuat atribut kemahakuasaan dan kemahabaikan-Nya seringkali dipertanyakan oleh para pengkrtitik teisme.

    Selain kontradiksi antara konsep Tuhan yang Omnipotent dan Benevolent dengan fakta kejahatan, kontradiksi itu juga muncul antara konsep yang mahabaik dan konsep yang mahakuasa. Jika Tuhan itu Mahakuasa, maka semua yang ada di alam ini, termasuk kejahatan, berada di bawah kekuasannya. Jika kejahatan berasal dari Tuhan, berarti Tuhan Mahajahat. Kemahajahatan Tuhan dianggap tidak konsekuen dengan prinsip Kemahabaikan-Nya.

    Ketidaksinambungan konsep dan fakta serta antarkonsep sendiri menjadi celah kritik bagi ateisme untuk menegasikan keberadaan Tuhan. Namun, Alfred North Whitehead (1861-1947)—matematikawan yang hidup di lingkungan Kristen—lebih memilih untuk tetap memberikan sebuah penjelasan filosofis yang logis mengenai kejahatan dan Tuhan. Whitehead lebih memilih untuk menjernihkan konsep Omnipotent dan Benevolent dari Tuhan serta pendefinisian kejahatan daripada harus meninggalkan keyakinannya akan Tuhan.

    /2/

    Dalam filsafat proses, makna kejahatan lebih diradikalisasi menjadi sebuah bentuk keretakan substansial. Kejahatan tidaklah bersifat aksidental seperti yang dinyatakan dalam teodise Augustinian. Karena relasi merupakan sebuah hal yang esensial, maka kejahatan juga merupakan hal yang esensial dalam pemikiran proses. Dalam hal ini, suatu kejahatan dalam proses kemenjadian satuan aktual memang benar-benar aktual, keberadaannya tidak dapat dinegasikan.

    Setiap penjelasan mengenai realitas dibahas dalam skema filosofis Whiteheadian yang sering disebut sebagai “filsafat proses”. Whitehead mengajukan sebuah prinsip dasariah untuk menjelaskan realita yang berubah dan mengalir. Untuk itu Whitehead mengajukan  prinsip kreativitas sebagai kategori paling dasar. Prinsip kreativitas merupakan sebuah gerakan yang berasal dari kaos menuju kosmos. Dari semesta yang terpisah-pisah (kaos) menuju kesatuan yang padu dan logis (kosmos)[2]. Prinsip kreativitas juga disebut sebagai energi yang menjiwai dunia aktual untuk bergerak menuju kebaharuan (novelty)[3].

    Prinsip kreativitas bukanlah pengada dan bukanlah Tuhan, dengan kata lain tidak aktual. Prinsip kreativitas diresapi oleh satuan-satuan aktual. Hubungan antara prinsip kreativitas dan satuan aktual seperti substansi dan aksidensi yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Dalam filsafat proses, terdapat prinsip ontologis bahwa setiap penjelasan dan argumentasi berasal dari satuan-satuan aktual. “Tak ada satuan aktual, maka tak ada alasan”.[4] Whitehead memberikan contoh bahwa setiap benda (elektron hingga Tuhan) adalah satuan aktual.

    Satuan aktual harus dibedakan dengan monade Leibnizian. Monade Leibnizian bersifat tertutup tanpa adanya relasi dengan monade lain. Tidak demikian dengan satuan aktual. Relasi antarsatuan aktual merupakan hal yang paling esensial. Hakikat dari satuan aktual tersebut tergantung pada relasi pada satuan aktual lain. Satuan aktual berelasi satu sama lain hingga membentuk sebuah kumpulan yang disebut nexus. Aktivitas perekat antarsatuan aktual tersebut adalah prehensi. Prehensi atau pencerapan merupakan sebuah proses pemasukan unsur-unsur lingkungan ke dalam satuan aktual sebagai bahan untuk menjadi dirinya sendiri atau konkresi (concrescence)[5].

    Dalam prehensi terdapat tiga faktor utama, yaitu Subjek Prehensi, datum yang diprehensi, serta Forma Subjektif. Subjek Prehensi merupakan suatu satuan aktual yang sedang membentuk dirinya sendiri dengan mengambil unsur lingkungan sekitar. Bahan yang dipakai untuk membentuk dirinya sendiri adalah satuan aktual lain yang disebut sebagai datum. Sedangkan cara subjek menanggapi datum dinamakan dengan Forma Subjektif. Forma Subjektif berbentuk penolakan ataupun berbentuk penerimaan unsur lingkungan dalam proses pembentukan dirinya. Whitehead menekankan perlunya Forma Subjektif karena sangat memperlihatkan perbedaan satuan aktual juga didasarkan atas Forma Subjektifnya. Whitehead mencontohkan proposisi dengan Forma Subjektif lelucon dengan Forma Subjektif kengerian jelas sekali perbedaannya[6].

    Terdapat dua macam prehensi berdasarkan jenis datumnya. Prehensi fisik berdatakan satuan aktual lain, sedangkan prehensi atas objek abadi[7] disebut prehensi konseptual.[8] Prehensi konseptual bercirikan kebaharuan, sedangkan prehensi fisik bersifat repetisi atau pengulangan. Prehensi yang berasal dari masa lalu berasal dari prehensi fisik sedangkan prehensi untuk masa depan disebut sebagai prehensi konseptual. Satuan aktual merupakan sintetis dari dua macam prehensi tersebut. Setelah satuan aktual tersebut mengalami pemenuhan (satisfaction), satuan aktual tersebut menjadi data bagi satuan aktual lain untuk pembentukannya.

    Dalam filsafat proses, Tuhan bukan merupakan pencipta satuan aktual. Satuan aktual bebas untuk mengambil atau menolak datum yang tepat bagi pembentukan subjek atau dirinya sendiri. Jika Tuhan bukan sebagai pencipta satuan aktual maka yang menjadi pencipta adalah satuan aktual di bawahnya. Setiap satuan aktual menciptakan dirinya sendiri di tengah-tengah kebersamaan dengan satuan yang lain. Tuhan pada hakikatnya merupakan perwujudan non-temporal yang perdana dari kreativitas[9].

    Tuhan dalam konsep Whiteheadian bukan sebagai Tuhan pencipta seperti dalam konsep monoteisme, melainkan sebagai prinsip konkresi. Dengan kata lain, satuan aktual yang sedang menciptakan dirinya sendiri ditawari oleh Tuhan untuk berkembang ke arah kreativitas demi bobot hidup yang lebih tinggi[10].

    Tuhan yang menawarkan kepada dunia untuk berkembang ke arah kebaharuan dan kemajuan yang kreatif merupakan Tuhan dalam aspek primordial. Penawaran ini didefinsikan sebagai penyediaan datum oleh Tuhan kepada satuan aktual yang sedang membentuk dirinya untuk diprehensi secara konseptual. Dianggap sebagai prehensi konseptual dikarenakan hakikat dari aspek primordial-Nya adalah objek abadi yang memikat dunia menuju kesempurnaan[11].

    Tuhan dalam aspek primordial-Nya menawarkan cita-cita awali (initial aim) kepada satuan aktual yang sedang dalam proses kemenjadiannya (concrescence). Dalam aspek ini juga Tuhan membatasi dunia yang mungkin aktual dan tidak mungkin aktual. Dengan kata lain, tidak ada kemungkinan yang tidak dipikirkan oleh Tuhan dalam aspek awali-Nya. Di luar itu adalah ketiadaan; satuan aktual tidak berasal dari ketiadaan.

    Tuhan dalam aspek primordialnya tidak memiliki aktualitas, sedangkan Tuhan yang aktual adalah Tuhan dalam aspek akhiri-Nya. Tuhan dalam aspek akhiri-Nya merupakan superject[12] atau merupakan hasil dari prehensi fisik atas satuan-satuan aktual lain. Dengan mengutip dari Process and Reality: An Essay in Cosmology, Bria menyatakan bahwa dalam aspek akhiri Tuhan menjamin dunia pengalaman tidak lenyap begitu saja, tetapi mencapai kekekalan (everlastingness)[13]. Tuhan dalam aspek akhiri-Nya senantiasa berkembang seiring dengan berkembangnya dunia.

    Dalam pemikiran proses, proses yang baik adalah proses yang berkembang menuju ke arah kemajuan (progressivity) serta menuju ke arah kebaharuan (novelty). Tuhan dalam aspek yang primordial menawari satuan aktual untuk berkembang kepada kebaharuan, kepada-Nya. Tuhan dalam aspek-Nya yang primordial memikat manusia untuk tidak terpasung dalam kemajuan yang repetitif. Namun, kemajuan yang baru ini adalah kemajuan yang tidak boleh melupakan masa lalunya. Dengan kata lain, pengalaman masa lalu tidak serta merta ditinggalkan, melainkan sebagai sebuah hal yang wajib untuk dilampaui. Tuhan dalam aspek akhiri-Nya menyelamatkan setiap pengalaman manusia yang telah terjadi dengan menjadikan pengalaman tersebut abadi, meskipun sudah binasa (perishing).[14]

    /3/

    Kejahatan didefinisikan sebagai perilaku yang menyebabkan penderitaan orang lain dan dilakukan secara sengaja dan disadari oleh pelaku disebut sebagai evil by commission. Kejahatan lain adalah sebuah status quo dari pelaku yang tidak berbuat apa-apa terhadap kejahatan (evil by omission). Selain dua kejahatan di atas terdapat kejahatan alamiah. Gempa bumi, paku yang menancap di kaki merupakan kejahatan meski tanpa campur tangan manusia.

    Terdapat dua macam kejahatan dalam pemikiran Whitehead. Pertama, kejahatan adalah sebuah gerak mundur dari entitas aktual ke tataran nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya dalam proses penentuan diri[15]. Gerakan mundur ini disebabkan oleh kemenjadian satuan aktual yang menolak suatu visi abadi yang telah ditawarkan oleh Tuhan. Kemajuan yang kreatif adalah sebuah kemajuan yang bercirikan kebaharuan dan tidak repetitif. Kejahatan bukanlah sebagai kemajuan yang kreatif. Kejahatan merupakan penolakan atas visi abadi[16].

    Kejahatan Kedua adalah kejahatan yang bersifat sosial. Kejahatan ada setelah adanya relasi dengan satuan aktual lain. Dalam hal ini, kejahatan terjadi saat suatu satuan menjadi batu penghalang bagi satuan lain dalam proses konkresi. Saat sebuah paku yang menancap kaki seseorang, paku tersebut telah menjadi satuan aktual yang menghalangi realisasi bagi penderita. Kejahatan kedua disebabkan oleh satuan aktual yang muncul tidak tepat dalam suatu masyarakat dan menjadi batu sandungan (inhibition) bagi satuan aktual lain[17].

    Dalam konsep kejahatan kedua, gerak ke arah kemunduran tidak hanya ada pada diri satuan aktual melainkan juga satuan aktual lain yang dihalangi proses konkresinya. Halangan ini menjadikan satuan aktual yang dihalangi menjadi turun nilainya atau tidak bergerak selaras dengan kemajuan yang kreatif.

    Dalam filsafat proses, makna kejahatan lebih diradikalisasi menjadi sebuah bentuk keretakan substansial[18]. Kejahatan tidaklah bersifat aksidental seperti yang dinyatakan dalam teodise Augustinian. Karena relasi merupakan sebuah hal yang esensial, maka kejahatan juga merupakan hal yang esensial dalam pemikiran proses. Dalam hal ini, suatu kejahatan dalam proses kemenjadian satuan aktual memang benar-benar aktual, keberadaannya tidak dapat dinegasikan.

    Whitehead memiliki cara pandang yang berbeda dalam menghadapi sebuah kejahatan. Whitehead mengafirmasi kejahatan untuk kemudian melampauinya[19]. Melampaui kejahatan berarti menerima cita-cita awali Tuhan sebagai data bagi diri satuan aktual hingga akhirnya kejahatan ditransformasi menuju ke taraf hidup yang lebih tinggi. Suatu kejahatan yang dialami oleh suatu satuan aktual dan diselamatkan pengalamannya akan kejahatan oleh Tuhan dalam aspek Akhiri-Nya. Kemudian, Tuhan membimbing dunia untuk move on dengan visi kebenaran, keindahan dan kebaikan[20].

    /4/

       Saat terdapat sebuah kontradiksi antara fakta kejahatan dengan konsep kemahabaikan dan kemahakuasaan Tuhan, Whitehead tidak memilih untuk mengumandangkan “Tuhan Telah Mati!”. Dia lebih memilih untuk setia pada keyakinannya. Kontradiktifnya konsep Ketuhanan membuat Whitehead mengupayakan untuk membuat konsep ketuhanan yang sistematik dan tahan uji terhadap kritik atas teisme. Skema filosofis Whitehead bukan untuk membuktikan eksistensi Tuhan.

    Whitehead memandang bahwa kejahatan bukanlah akibat dari tidak berdayanya Tuhan maupun ketidakbaikan Tuhan. Kejahatan ini diakibatkan oleh otonomi kekuasaan setiap entitas aktual dalam menciptakan diri mereka masing-masing.[21] Tuhan hanya memberikan pembatasan kepada satuan aktual dalam aspek primordial-Nya. Namun, saat satuan aktual dalam proses konkresi—proses penciptaan dirinya sendiri—Tuhan tidak dapat mengintervensi.

    Tuhan hanya memberikan sebuah tawaran melalui cita-cita awali (initial aim) kepada dunia untuk berkembang ke arah kreativitas. Tuhan membatasi dirinya untuk tidak ikut campur dalam proses konkresi. Pembatasan diri Tuhan merupakan wujud dari kemahabaikan Tuhan (benevolent)[22]. Namun, kehendak bebas tersebut bukannya tidak memiliki konsekuensi. Satuan aktual bebas menentukan dirinya untuk menerima visi abadi Tuhan atau pun menolaknya. Satuan aktual juga bisa menghalangi satuan aktual lain untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan kata lain, kehendak bebas yang diberikan oleh Tuhan berpotensi untuk mengaktualisasikan kejahatan.

    Tuhan dalam aspek primordial-Nya tidak dapat ikut campur dan menghilangkan seluruh kejahatan. Dalam aspeknya yang primordial, Tuhan tak aktual dan hanya menjadi prinsip konkresi oleh satuan aktual lain. Kejahatan hanya akan menjadi tanggung jawab satuan aktual di bawahnya. Hanya satuan aktual yang sadar mentransformasi kejahatan menjadi sebuah pembelajaran bagi dirinya di masa depan. Tuhan dalam aspek primordial-Nya akan tetap setia memikat satuan aktual untuk memprehensi-Nya agar terlepas dari kelamnya masa lalu dan mengusahakan kemajuan yang kreatif[23].

    Tuhan menampung setiap aktualitas yang baik maupun yang buruk ke dalam dirinya dalam aspek akhiri-Nya. Dalam aspek ini juga Tuhan tidak berhak untuk mengubah dunia menjadi nir-kejahatan. Setiap satuan aktual masa lampau diprehensi oleh Tuhan ke dalam dirinya. Dengan memprehensi setiap aktualitas, hal itu membuat masa lampau menjadi abadi. Masa lampau menjadi data bagi dunia untuk terus belajar dari jeratan masa lalunya yang buruk[24]. Dengan ini, semua kesalahan, luka dan kepahitan ditransformasi menjadi hidup yang lebih indah. Masa lampau bukan untuk dilupakan, karena melupakan masa lalu bagi Whitehead berarti mengabadikan sebuah kejahatan[25].

    Kritikus Whiteheadian menyatakan keberatan dengan konsep Tuhan Whiteheadian yang dianggap tidak Mahakuasa. Ketidakmahakuasaan Tuhan Whiteheadian ditunjukkan dengan pembatasan yang dilakukan oleh diri-Nya demi satuan aktual di bawahnya. Namun, bagi Whitehead, konsep Kemahakuasaan atau Omnipotensi Tuhan tidak digambarkan seperti halnya seorang fasis yang memiliki kekuatan koersif untuk hamba-Nya. Kemahakuasaan bukanlah pada aksinya yang koersif, melainkan mungkin atau tidaknya Ia menyatakan kekuasaan-Nya. Dengan mengutip Ahern, Bria menyebutkan bahwa:

                “Yang mungkin ditemukan ketika kontradiksi yang ada tidak salah secara niscaya, contohnya bahwa seseorang itu harus duduk adalah mungkin, karena bahwa ia tidak duduk tidak salah secara niscaya”[26].

    Bukannya Tuhan tidak Mahakuasa dengan tidak menunjukkan kekuasaannya. Tuhan bisa menunjukkan kekuasaan-Nya, namun Dia tidak menginginkannya. Dia membatasi diri-Nya untuk tidak mengumbar kekuasaan-Nya secara eksesif[27]. Justru kekuasaan yang diumbar secara eksesif layak untuk ditanyakan kekuasaannya.

    Bukan maharaja yang ada dalam citra Whitehead tentang Tuhan. Dengan kasih sayang-Nya, Tuhan menemani dunia dan berproses bersama dunia. Tuhan senantiasa mengajari manusia untuk tidak terjebak dalam kejahatan atau kekacauan yang ditimbulkan oleh kebebasan satuan aktual. Tuhan lebih tepat dianggap sebagai teman senasib dan sependeritaan yang ikut menanggung beban dunia.

    Whitehead tidak menggambarkan suatu dunia yang penuh dengan kebaikan. Tuhan tidak pernah menjanjikan kebaikan akan menang[28]. Dia hanya mampu menawarkan secara persuasif. Tiada keniscayaan bahwa dunia akan benar-benar penuh dengan kedamaian. Meski tidak niscaya, hal itu tidak menutup kemungkinan akan ada dunia sebagai kosmos yang benar-benar selaras. Dunia tanpa adanya kejahatan akan terwujud jika manusia memiliki kehendak untuk merealisasikan kebaikan dari Tuhan. Masa depan tetaplah penuh kemungkinan untuk munculnya kejahatan. Namun, hanya orang yang beriman yang berani untuk tetap hidup dengan penuh harapan akan kebaikan total yang ditawarkan oleh Tuhan.[]


    Catatan Akhir

    [1] Lih. Emanuel Bria, Jika Ada Tuhan Mengapa Ada Kejahatan?: Percikan Filsafat Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 89.

    [2] Lih. Alfred North Whitehead, Filsafat Proses: Proses dan Realitas dalam Kajian Kosmologis, terjemahan Saut Pasaribu (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), hal. 35.

    [3] Lih. Emanuel Bria, Op. Cit., hal. 31.

    [4] Lih. Alfred North Whitehead, Op. Cit., hal. 31.

    [5] Konkresi atau concrescence adalah proses suatu satuan aktual untuk menjadi dirinya sendiri dengan mem-prehensi unsur unsur lingkungan sekitar. Proses ini disebut juga sebagai proses subjektivikasi. Lih. J. Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal. 42.

    [6] Lih. Alfred North Whitehead, Op.Cit., hal. 41.

    [7] Objek abadi adalah kemungkinan atau potensialitas murni yang akan menjadi prinsip pembentuk atau pemberi wujud tertentu bagi satuan aktual. Analogi yang paling tepat perihal objek abadi adalah dunia Ide Plato. Lih. J. Sudarminta, Op. Cit., hal. 40.

    [8] Lih. Alfred North Whitehead, Op.Cit., hal. 38.

    [9] Lih., J. Sudarminta, Op. Cit., hal. 40.

    [10] Lih. Emanuel Bria, Op. Cit., hal. 32.

    [11] Lih. Ibid., hal. 33.

    [12] Subjek dalam Filsafat proses memiliki peran ganda. Selain sebagai subjek pembentuk diri, dia juga sebagai superject. Whitehead sering menggunakan subject-superject sekaligus. Superject merupakan subjek yang telah mencapai pengalaman yang definitive. Lih. Ibid., hal. 25. Setelah menjadi superject, Satuan aktual tersebut mengalami proses transisi atau objektivikasi. Dalam proses transisi satuan aktual menjadi data bagi satuan aktual lain yang sedang membentuk dirinya sendiri.

    [13] Lih. Ibid., hal. 35.

    [14] Kebinasaan atau ketiadaan dalam filsafat proses berarti sebuah ketiadaan dari ada menjadi tidak ada. Meski binasa, secara objektif satuan tersebut kekal (immortal). Proses kebinasaan ini merupakan proses yang pasti dilewati oleh satuan aktual. Setelah binasa, satuan aktual tersebut menjadi data bagi satuan lain. Lih. Alfred North Whitehead, Op.Cit., hal. 48.

    [15] Lih. Emanuel Bria, Op. Cit., hal. 61.

    [16] Lih. Ibid., hal. 69.

    [17] Lih. Ibid., hal. 60.

    [18] Lih. Ibid., hal. 57.

    [19] Lih. Ibid., hal. 77.

    [20] Lih. Ibid., hal. 68.

    [21] Lih. Ibid., hal. 69.

    [22] Lih. Ibid., hal. 74.

    [23] Lih. Ibid., hal. 70

    [24] Lih. Ibid., hal. 70.

    [25] Lih. Ibid., hal. 70.

    [26] Lih. Ibid., hal. 73.

    [27] Lih. Ibid., hal. 74.

    [28] Lih. Ibid., hal. 75.

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...