spot_img
More

    Erich Fromm dan Konsep tentang Mencintai

    Featured in:

    Mencintai bukanlah persoalan yang mudah

    Sebelum kita membahas secara mendalam tentang konsep mencintai, ada pertanyaan penting ketika dihadapkan pada subjek dari cinta: Mengapa manusia dalam menghadapi proses untuk mencinta selalu menetapkan standar-standar tertentu? Semisal jika dia seorang laki-laki, maka akan mencari perempuan bertubuh sintal dengan payudara bulat mengangkat, rambut panjang terurai layaknya putri mahkota. Tapi pernahkah kita berpikir mengapa demikian? Apakah upaya mencintai semata-mata tentang objektifikasi, atau justru sebuah kemampuan?

    Perdebatan kedua hal tersebut menjadi titik perdebatan menarik dalam buku Erich Fromm yang bertajuk The Art of Loving, atau yang dialihbahasakan menjadi sebuah gaya-seni mencintai. Tentu alih bahasa tersebut adalah bentuk pengalihbahasaan semena-mena. Perihal pembaca merasa alih bahasa tersebut sesuai atau tidaknya merupakan persoalan lain. Penulis tidak ingin mendebat perihal itu, semua kembali pada pendapat masing-masing.

    Kembali dalam dua perdebatan sebelumnya, dalam bukunya, Fromm menduga perihal ini tidak terlepas dari pengaruh abad Victoria, bahwa jatuh cinta dan upaya mencintai bukan merupakan bentuk yang spontan atau terjadi secara tiba-tiba. Pada zaman tersebut, perkawinan diatur oleh berbagai macam aturan serta pertimbangan-pertimbangan tertentu[1]. Akan tetapi penulis menduga bahwa bentuk seperti itu telah terjadi jauh sebelum abad tersebut. Status sosial umumnya menjadi penentu seseorang dapat mencintai atau tidaknya. Mudahnya, keadaan seolah-olah menuntut manusia untuk jatuh cinta dan mencintai seseorang sesuai dengan pertimbangan yang ada dan berpengaruh di masa tersebut. Semisal seorang pangeran kerajaan hanya pantas jatuh cinta dan mencintai seorang putri kerajaan, maupun sebaliknya.

    Perasaan jatuh cinta biasanya akan timbul dan berkembang ketika tersedianya komoditas-komoditas yang ditawarkan. Sedangkan bentuk cinta, hanya akan terjadi ketika kedua belah pihak telah menemukan objek terbaik mereka pada pasangannya.

    Hal tersebut berlanjut hingga sampai saat ini dan sukar untuk dikenali. Meski batas status tidak lagi menjadi sesuatu hal yang dipersoalkan, namun pertimbangan-pertimbangan tersebut masih ada dan beralih menjadi sesuatu yang nampak dalam diri atau materi. Sesuatu yang nampak dalam diri atau materi ini, Fromm mengungkapkannya sebagai bentuk objek. Objek tersebut tentu tidak dapat disamaratakan, sebab ini termasuk sebagai kebutuhan (selera) individu. Sebagai individu, manusia menginginkan sesuatu yang menarik[2]. Fromm menjelaskan arti menarik terbatas pada pengertian model yang dicari dalam pasar-pasar kepribadian[3]. Pasar-pasar kepribadian tersebut tentu dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang di masanya. Semisal di Amerika pada tahun 1920-an, perempuan peminum atau merokok umumnya dianggap menarik, namun di pertengahan tahun 1960-an, perempuan pemalu yang kerap berada di rumah umumnya akan dianggap lebih menarik.

    Melalui pengertian di atas, sehingga jelas, bagi laki-laki saat ini secara umum, perempuan dianggap menarik bila memiliki model yang diinginkan oleh laki-laki tersebut. Barulah di sana, seorang laki-laki dapat memberikan tanggapan bahwa ia layak untuk jatuh cinta terhadap perempuan tersebut dan mencintainya. Perasaan jatuh cinta biasanya akan timbul dan berkembang ketika tersedianya komoditas-komoditas yang ditawarkan. Sedangkan bentuk cinta, di mana ada dua pihak, yang penulis andaikan dalam bentuk hubungan heteroseksual yakni laki-laki dan perempuan, hanya akan terjadi ketika kedua belah pihak telah menemukan objek terbaik mereka pada pasangannya.

    Menguatkan Cinta (Sebuah Proses Menuju Peleburan Diri)

    Erich Fromm mengungkapkan bahwa pandangan terhadap cinta seperti di atas itu rapuh dan mudah untuk runtuh[4]. Jika diandaikan dua orang yang mulanya asing satu sama lain, kemudian saling bertemu dan bersepakat untuk merobohkan dinding kesendirian yang mereka rasakan. Kemudian setelah dinding tersebut roboh, mereka mulai merasa dekat, merasa satu, dan seolah-olah kejadian ini adalah pengalaman yang paling menyenangkan dan memesona dalam hidupnya. Padahal semua itu semu, ketika keduanya telah benar-benar mengenal dengan baik, keintiman yang semula dirasa menyenangkan dan memesona tersebut mulai memudar dan terasa hambar. Lantas timbul pertentangan-pertentangan. Pesona menjadi sirna, rasa senang menjadi kecewa. Lantas apa yang tersisa? Hanya rasa perih yang menggerogoti hingga ke dalam hati, hingga semuanya kembali menjadi sebuah dinding tinggi bernama sepi.

    Fromm menyatakan kesadaran dari keterpisahan dan kesendiriannya itu sebagai penjara eksistensi yang tidak dapat terucapkan yang manusia rasakan[7]

    Oleh sebab itu penulis setuju dengan yang Fromm ungkapkan, bahwa mencintai bukan persoalan yang mudah[5]. Banyak manusia yang menganggap bahwa mencintai adalah persoalan mencari objek yang menarik untuk dimiliki, bukan sebagai sebuah kemampuan untuk menerima, memahami, dan berbagi. Dalam bukunya, Fromm merumuskan bahwa yang diinginkan dari kemampuan untuk menerima, memahami, dan berbagi adalah tidak lain dari perwujudan manusia mengerti bahwa persoalan mencintai bukan terletak pada keinginan untuk dicintai dan memiliki, melainkan sebuah wujud nyata untuk memberi[6]. Wujud nyata untuk memberi tersebut Fromm sadari dari kesadaran akan pendeknya jangka waku kehidupan sebagai manusia dan fakta bahwa manusia terlahirkan dan mati di luar dari kemauan dan kehendaknya.

    Selain itu, manusia juga menyadari kemungkinan ia akan mati mendahului orang-orang yang dicintainya. Menyadari hal tersebut, manusia barulah menyadari keterpisahannya dan kesendirian. Fromm menyatakan kesadaran dari keterpisahan dan kesendiriannya itu sebagai penjara eksistensi yang tidak dapat terucapkan yang manusia rasakan[7]. Oleh sebab itu, manusia harus mampu membebaskan diri dari penjara mengerikan tersebut, dengan cara memberi, bukan dengan mengharapkan untuk menerima. Mewujudkan ini berarti manusia tidak boleh dijadikan sebagai alat bagi tujuan manusia lainnya, atau sederhananya dianggap sebagai perpanjangan tangan dari yang lain[8].

    Memberi dalam cinta, dapat menyelamatkan manusia dari kesadaran akan keterpisahan. Akan tetapi menurut Fromm, banyak manusia yang keliru dalam upaya menyelamatkan diri dari kesadaran keterpisahan, sebagaimana pengalaman orgiastik yang diwujudkan dalam bentuk seksual dan ritus-ritus bersama, atau sebagian lain yang tidak mengenal orgiastik memilih menenggelamkan diri dalam pengaruh alkohol dan obat-obatan. Bagi Fromm, dua bentuk tersebut merupakan sebuah kekeliruan, sebab bila disadari kedua hal tersebut hanya mampu meredakan rasa keterpisahan sesaat, setelah laku orgiastik dan pengaruh alkohol dan obat hilang, perasaan keterpisahaan tersebut akan kembali menyerang. Umumnya pelaku orgiastik dan pengonsumsi alkohol dan obat-obatan akan terus melakukan hal tersebut berulang-ulang sampai menjadi candu, sebab mereka tidak mampu melawan keterpisahan tersebut.

    Faktor lain yang menjadi penanda gagalnya konformitas dari penyelesaian kesadaran akan keterpisahan adalah lahirnya bentuk rutinitas dalam kesatuan[13]. Adanya rutinitas membuat manusia terlupa dari kesadaran bahwa dirinya adalah unik dan berbeda, segala kedudukan dan statusnya dapat dengan mudah ditentukan dan dialihkan melalui penyeragaman.

    Kekeliruan lain, Fromm menyatakan dalam bentuk konformitas, sebuah jalan yang ditempuh untuk mencari ketentraman dan keselamatan. yakni dengan melenyapkan batas individu ke kesatuan yang lebih besar[9]. Hal tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa tidak ada jawaban lain atas permasalahan kesadaran akan keterpisahan, sehingga persekutuan dalam kelompok akan menjadi pilihan utama[10]. Namun yang perlu dipahami dalam bentuk konformitas adalah meski dalam kesatuan tetap ada perdedaan yang harus dihormati. Masing-masing merupakan entitas yang unik atau suatu kosmos tersendiri[11]. Sederhananya, kesatuan bukan berarti setara dalam artian “sama” sebagaimana layaknya mesin atau sebuah eleminasi terhadap perbedaan, melainkan setara sebagai individu yang menyadari bahwa satu dengan yang lain memiliki keunikannya masing-masing[12]. Bentuk konformitas ini lebih banyak diminati ketimbang bentuk orgiastik dan pengonsumsian alkohol dan obat-obatan oleh sebab sifat konformitas yang tenang sebagai pereda ketegangan yang muncul dari rasa keterpisahan.

    Kekeliruan konformitas di atas dinyatakan Fromm sebagai penyelesaian yang hanya mampu menjangkau sektor mental, sedang orgiastik dan pengonsumsian alkohol dan obat-obatan hanya mampu menjangkau sektor tubuh. Faktor lain yang menjadi penanda gagalnya konformitas dari penyelesaian kesadaran akan keterpisahan adalah lahirnya bentuk rutinitas dalam kesatuan[13]. Adanya rutinitas membuat manusia terlupa dari kesadaran bahwa dirinya adalah unik dan berbeda, segala kedudukan dan statusnya dapat dengan mudah ditentukan dan dialihkan melalui penyeragaman. Kemudian Fromm menyebutkan bahwa bentuk orgiastik dan pengonsumsian alkohol dan obat-obatan dan konformitas sesungguhnya adalah jawaban parsial dari penyelesaian masalah yang ada, dan yang menjadi gabungan dari keduanya adalah cinta.

    Cinta bagi Fromm dianggap sebagai sebuah bentuk pencapaian kesatuan interpersonal melalui peleburan dengan orang lain[14]. Peleburan interpersonal ini dapat menjadi dorongan paling kuat dalam diri manusia sebagaimana ia menjadi kekuatan untuk merawat dan memelihara individu, keluarga, atau masyarakat. Akan tetapi yang Fromm garis bawahi, ketika berbicara cinta dan peleburan interpersonal, manusia harus menyadari bahwa kedua hal tersebut merupakan penyelesaian terhadap masalah eksistensial, bukan membicarakan tentang ragam cara atau jalan melaluinya[15]. Sebab ketika cinta dan peleburan interpersonal dianggap sebagai cara atau jalan mengakibatkan hanya berputar di persoalan “bentuk”, misal kesatuan simbiotik. Kesatuan simbiotik memiliki pola yang biologis, misal hubungan ibu hamil dan janin. Ibu hamil dan janin merupakan entitas yang berbeda, namun pada dasarnya mereka adalah satu, dan saling membutuhkan satu sama lain. Kelak kesatuan simbiotik ini melahirkan bentuk masokisme (bentuk pasif) dan sadisme (bentuk aktif). Masokisme adalah rasa gagal dalam upaya melawan kesadaran akan keterpisahan sehingga mengakibatkan subjek memilih untuk melarikan diri dan menjadi bagian dari diri orang lain yang mampu mengendalikan, mengarahkan, dan melindunginya[16]. Seringkali masokisme mewujud dalam bentuk membiarkan diri diperintah, dieksploitasi, disakiti, atau dihina. Sementara itu, Sadisme dikemukakan oleh Fromm sebagai rasa gagal dalam upaya melawan kesadaran akan keterpisahan sehingga membuatnya memilih menjadikan orang lain sebagai bagian dari dirinya, dengan demikian ia dapat mengukuhkan kembali dirinya[17]. Seringkali sadisme mewujud dalam bentuk memerintah, mengeksploitasi, menyakiti, menghina. Meski sekilas terlihat berbeda, namun masokisme dan sadisme sesungguhnya hampir tidak ada perbedaan, sebab keduanya melakukan hal yang sama yakni peleburan diri tanpa integritas.

    Upaya Mepertahankan Integritas Diri dalam Mencintai.

    Fromm mengambil dasar pemaknaan aktif dan pasif dari Spinoza. Spinoza membedakan antara adanya afeksi aktif dan afeksi pasif, sebab bagi Spinoza manusia adalah tuan atas kemauan-kemauannya.

    Pada ranah ini, penulis berupaya menjelaskan bagaimana seharusnya individu mempertahankan integritas dirinya dalam proses mencinta melalui kerangka pemikiran Erich Fromm. Baginya, cinta yang matang adalah bentuk kesatuan dengan seseorang di bawah kondisi saling tetap mempertahankan integritas dan individualitas masing-masing, atau Fromm menegaskannya dengan ungkapan fenomena di mana dua sosok menjadi satu namun tetap dua[18]. Cinta dipahami sebagai suatu aktivitas, yang mana mengartikan suatu tindakan yang membawa pada perubahan atas situasi tertentu melalui pengerahan energi. Sebab kemudian, jika dipahami seperti itu, maka muncul istilah cinta pasif yang berarti sikap berdiam diri dan berkontemplasi tanpa memiliki tujuan apapun kecuali menghayati kediriannya sendiri dan kebersatuannya[19]. Fromm menyebutkan jika konsep aktivitas tidak dapat disamakan dengan makna aktivitas dalam pengerahan energi yang membawa perubahan tertentu, sebab ada konsep lain tentang aktivitas yang mengacu pada penggunaan kekuatan-kekuatan inheren yang ada dalam diri manusia, terlepas dari apakah ada perubahan yang dihasilkan atau tidak[20].

    Fromm mengambil dasar pemaknaan aktif dan pasif tersebut dari Spinoza. Spinoza membedakan antara adanya afeksi aktif dan afeksi pasif, sebab bagi Spinoza manusia adalah tuan atas kemauan-kemauannya. Afeksi pasif berada dalam kondisi dikendalikan, manusia tidak menyadari akan objek motifnya. Kemudian menjadi jelas bahwa Fromm menolak cinta sebagai bentuk aktivitas yang dapat dan memungkinan adanya afeksi pasif, sebab cinta bagi Fromm selalu bersifat berusaha berdiri di dalam (standing in) dan bukan jatuh untuk (falling for)[21]. Pendasaran tersebut dikembalikan pada anggapan bahwa cinta adalah persoalan kemampuan yang mengandaikan sesuatu yang disadari, bukan tidak disadari atau bahkan dikendalikan. Kemampuan tersebut diwujudkan dengan tindak memberi, bukan menerima.

    Dalam cinta, manusia memberikan dirinya, memberikan sesuatu yang paling berharga yang dia miliki yakni kehidupannya, bukan berarti ia mengorbankan.

    Tindakan memberi ini digaris bawahi oleh Fromm[22], bahwa bukan merupakan suatu bentuk dari mengorbankan, sebagaimana dalam artian seorang anak yang memberikan mainan pada anak yang lain, berarti anak tersebut telah mengorbankan mainannya untuk anak yang lain. Bahkan ada anggapan lain bahwa memberi adalah bentuk pengorbanan yang ditujukan agar mendapatkan imbalan, atau sederhananya sebagai motif. Tidak ayal, ada ungkapan jitu tentang memberi yang diartikan sebagai pengorbanan, “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. Bagi Fromm, memberi adalah bentuk ekspresi tertinggi dari potensi yang ada dalam diri mereka, sebagai manusia. Manusia dengan memberi ia merasakan pengalaman yang menggembirakan ketimbang menerima, namun bukan berarti ini sebuah kerugian, melainkan dalam memberi terdapat ungkapan akan kehidupan (aliveness)[23]. Semisal digambarkan dalam laku seksual, seorang perempuan menyerahkan dirinya, bukan hanya vagina atau payudaranya saja. Dalam keadaan menerima tersebut, secara bersamaan perempuan menjalankan tindakan memberi.

    Dalam cinta, manusia memberikan dirinya, memberikan sesuatu yang paling berharga yang dia miliki yakni kehidupannya, bukan berarti ia mengorbankan. Dalam keadaan tersebut individu memberikan apa yang hidup dalam dirinya, seperti kegembiraan, pemahaman, pengetahuan, kesedihan, dan segala hal lain yang termanifestasi dalam dirinya. Melalui tindakan tersebut ia telah meningkatkan perasaan hidup orang lain melalui peningkatan perasaan hidupnya sendiri, sehingga ia tidak memberi untuk berharap sebuah imbalan, melainkan memberi pada dirinya sudah menimbulkan kegembiraan yang luar biasa. Mudahnya dengan mengibaratkan meniupkan secercah kehidupan dalam diri orang lain, yang kemudian kehidupan itu memancar kembali kepadanya[24]. Dalam tindakan memberi terdapat suatu ungkapan yang mewujud sebagai rasa saling berterima kasih.

    Segala hal tentang cinta akan selalui dimaknai sebagai sesuatu yang aktif, sebagaimana adanya unsur perhatian, tanggung jawab, penghargaan, dan memahami dalam persoalan mencintai. Konsekuensinya adalah cinta dianggap tidak ada jika tidak ada unsur aktif tersebut[25]. Hubungan di antara unsur tersebut dapat dijelaskan seperti ini[26]:

    1.  Pada unsur perhatian, cinta tidak dapat dilepaskan dari tindak usaha.

    2. Pada unsur tanggung jawab, cinta tidak dapat dilepaskan dari tindak merespon. Akan tetapi sering kali manusia keliru untuk memaknai tanggung jawab. Tanggung jawab dimaknai sebagai sebuah beban atau tugas, padahal menurut Fromm tanggung jawab merupakan tindak yang benar-benar bersifat suka rela. Dasar pemaknaan tanggung jawab menjadi sifat suka rela ini menjadi penting untuk unsur penghargaan, sebab tanpa sifat suka rela tanggung jawab menjadi bias dan beralih menjadi sebuah upaya dominasi atas kepemilikan.

    3. Pada unsur penghargaan, cinta tidak dapat dilepaskan dari memandang seseorang sebagaimana adanya, dengan melihat keunikan yang ada dalam diri orang tersebut. Kemudian menjadi jelas bahwa dengan menghargai berarti mengandaikan tidak adanya tindak manipulasi. Sosok yang dicintai dibiarkan tumbuh dan berkembang sesuai caranya sendiri dan demi kepentingannya sendiri, bukan dipaksakan atas hasrat dan ambisi orang yang mencintai.

    4. Pada unsur memahami, cinta tidak dapat dilepaskan dari upaya mengenalnya. Unsur perhatian dan tanggung jawab menjadi buta tanpa adanya upaya memahami, sementara memahami menjadi tidak bermakna tanpa adanya perhatian.     

    Kemudian di sini menjadi semakin jelas bahwa dalam tindak mencintai terdapat tindakan penyerahan diri untuk memberi, menembus pribadi orang lain untuk mengenali dan memahami. Mengenali manusia tidak hanya dapat mengandalkan pengetahuan biasa yang mengandalkan pikiran. Manusia adalah teka-teki, bahkan bagi dirinya sendiri, sehingga untuk menyikapi segala tentangnya diperlukan cinta. Cinta mampu melampaui pikiran dan kata-kata. Cinta merupakan sebuah lompatan keberanian ke dalam pengalaman kesatuan[27]. Cinta tidak hanya persoalan hubungan dengan seseorang sebagai objek, melainkan lebih pada orientasi karakter yang menentukan hubungan seseorang dengan dunia secara keseluruhan. Manusia mengalami sentuhan dan pengalaman berbagi keutuhan. Bahkan dengan mencintai, manusia merasakan adanya kemampuan dalam dirinya untuk menghasilkan cinta, ketimbang ketergantungan karena dicintai yang justru mengakibatkan kekerdilan, rasa ketidakberdayaan, dan kesakitan[28].

    Melalui berbagai pemahaman di atas, yang telah dijelaskan sebelumnya, pada akhirnya dengan mencintai pula manusia berhasil meninggalkan penjara kesendirian dan isolasi yang diakibatkan oleh kesadaran akan keterpisahan sebagaimana narsisme dan egosentrisme. Bentuk egoisme ini dapat dijelaskan melalui tindak mencintai tanpa memiliki kepedulian terhadap orang lain. Semisal dengan mempercayai bahwa ketika pasangan telah saling memiliki dan menunjukkan segala perhatian dan kepeduliannya yang hanya ditujukan kepada pasangannya saja, dianggap sebagai bukti dari kedalaman cintanya[29].

    Jelas disimpulkan, mencintai bukan persoalan tentang mendapatkan objek atau pun berusaha mengobjektifikasi, melainkan sebuah kemampuan untuk melihat cinta sebagai bentuk kegiatan yang melibatkan jiwa. Sederhanya diandaikan seperti seseorang yang ingin melukis namun tidak mau belajar melukis, dengan alasan ia sedang menunggu objek yang tepat untuk dilukis. Anggapan seperti itu seolah menegaskan bahwa jika telah mendapatkan objek yang tepat, maka ia akan mampu melukis dengan indah. Padahal pandangan semacam itu keliru. Jika benar-benar mencintai seseorang, maka sudah seharusnya untuk mencintai semua orang, mencintai dunia ini, dan mencintai kehidupan. Semisal ada seseorang yang mengungkapan, “Aku cinta padamu”, berarti seseorang tersebut harus mampu mengungkapkan pula “Di dalam dirimu, aku mencintai semua orang, melalui dirimu, aku mencintai seluruh dunia, dan di dalam dirimu, aku mencintai diriku sendiri”[30].

    Tapi apa iya bisa melakukannya? Kalau penulis sendiri lebih memilih untuk menjadi jejamuran saja, sebab menjadi manusia susah. Menjadi jamur tidak perlu mencintai, tinggal berdiri santai, bergoyang ke sana-sini mengikuti sepoi angin hehe.


    Catatan Akhir:

    [1] Lih. Fromm, “The Art of Loving” hal. 11.

    [2] Lih. Ibid hal. 12.

    [3] Lih. Ibid hal. 13.

    [4] Lih. Ibid hal. 14.

    [5] Lih. Ibid hal. 16.

    [6] Lih. Ibid hal. 20.

    [7] Lih. Ibid hal. 21.

    [8] Lih. Ibid hal. 37.

    [9] Lih. Ibid hal. 29.

    [10] Lih. Ibid hal. 30.

    [11] Lih. Ibid hal. 32.

    [12] Lih. Ibid hal. 33.

    [13] Lih. Ibid hal. 35-36.

    [14] Lih. Ibid hal. 38.

    [15] Lih. Ibid hal. 38.

    [16] Lih. Ibid hal. 39.

    [17] Lih. Ibid hal. 41.

    [18] Lih. Ibid hal. 42.

    [19] Lih. Ibid hal. 43.

    [20] Lih. Ibid hal. 43-44.

    [21] Lih. Ibid hal. 44.

    [22] Lih. Ibid hal. 45.

    [23] Lih. Ibid hal. 46.

    [24] Lih. Ibid hal. 49.

    [25] Lih. Ibid hal. 51-52.

    [26] Lih. Ibid hal. 53-56.

    [27] Lih. Ibid hal. 60.

    [28] Lih. Ibid hal. 75.

    [29] Lih. Ibid hal. 84.

    [30] Lih. Ibid hal. 84-85.

    Daftar Pustaka:

    Fromm, Erich. 2008. The Art of Loving, diterjemahkan oleh Syafi’ Alielha. Jakarta: Fresh Book.

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...

    Metalearning? Di Balik Cognitive Load Theory

    Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang...

    Kultur Toksik Pengabdian Kampus: Mempertanyakan Kembali Makna Keberlanjutan

    Pengabdian kepada masyarakat merupakan serangkaian pola pikir dan tindakan dengan dasar sukarela untuk membantu korban dari...