Seandainya kebenaran hal-ihwal kenyataan memang dapat kita jerat secara murni dan telanjang, maka seharusnya dari dulu sudah bisa dilakukan. Senyatanya, kebenaran yang ‘realistis’ itu benar-benar enggan tiba di pikiran. Ia memang hadir, tapi selalu saja sudah dalam keadaan terbungkus rapi oleh paradigma, dibonsai oleh logika, sebagai sesuatu yang kita anggap ini atau itu, atas nama akal-akalan koherensi (keruntutan antar premis) ataupun korespondensi (sesuai dengan kenyataan).
Dalam bentangan sejarah, kita bisa menelusuri bahwa manusia pernah memersepsi bumi sebagai bidang berbentuk lingkaran, lalu sewaktu-waktu menjadi datar, dan tetiba dipersepsikan bulat, kemudian agak lonjong, dan terakhir “datar-datar” saja(?) Di level sub-bumi, hal demikian juga terjadi kala Demokritos mendeklarasikan “atom” sebagai “sesuatu yang padat dan tak-terbelah lagi” sekonyong-konyong menjadi “roti kismis” di mata Thomson, lalu Bohr mengubahnya ke bentuk “tata surya” hingga terus berubah sedemikian rupa menjadi apa yang kita terima hari ini sebagai “model atom mekanika kuantum”. Akankah berubah lagi? Mungkin saja.
Sebagai ibu dari segala ilmu, filsafat pun tak bisa mengelak dari gejala-gejala ini. Ketika dogma-dogma kebenaran lahir serupa “archae”, “idea”, “ousia”, “substantia”, “Roh absolut”, “res”, “noumena”, dst., selalu saja disusul dengan munculnya slogan-slogan seperti “ad res”, “zur Sache und zu den Sachen” (kembali ke benda yang ada di tangan, ke benda itu sendiri) atau “retour au reel” (tabayyun pada realitas).
Jika setiap kebenaran adalah cerita kebohongan—atau setiap persepsi hanyalah permainan ilusi semata—apakah yang membedakan produk kognitif itu dengan ‘retorika-dusta’ para penyihir lampau yang konon mampu menciptakan “ilusi tubuh” lalu berkata di depan orang-orang yang menyaksikannya: “hoc est corpus”—ini adalah tubuh. Bukankah kata Latin itu yang kemudian bertransformasi menjadi “hocus pocus”, lalu terciptalah kata “hoax”?
Adanya slogan-slogan itu—juga wajah kebenaran yang berubah-ubah sepanjang sejarah manusia memersepsi dunianya—seolah menyandarkan kita di bahu Nietzsche sembari mendengarkan ia melantunkan kidung ratapan: “Semua kebenaran adalah fiksi, setiap fiksi adalah interpretasi, dan semua interpretasi adalah perspektif.”[1] Kebenaran pun terjerambab di sudut-sudut gelap persepsi, menjadi “ilusi-ilusi yang telah dilupakan bahwa mereka itu ilusi,” pinjam Nietzsche. Dengan kata yang lebih menohok, kebenaran hanyalah kebohongan yang belum terbukti kebohongannya, atau kebenaran akan tetap menjadi kebenaran sampai ia terbukti salah dan dusta.
Jika setiap kebenaran adalah cerita kebohongan—atau setiap persepsi hanyalah permainan ilusi semata—apakah yang membedakan produk kognitif itu dengan ‘retorika-dusta’ para penyihir lampau yang konon mampu menciptakan “ilusi tubuh” lalu berkata di depan orang-orang yang menyaksikannya: “hoc est corpus”—ini adalah tubuh. Bukankah kata Latin itu yang kemudian bertransformasi menjadi “hocus pocus”, lalu terciptalah kata “hoax”?
Selama ini, persepsi kita terhadap hoax selalu dijangkarkan pada makna peyoratif atau dimensi politisnya; kita akhirnya tak pernah benar-benar membiarkan hoax hadir sebagai dirinya sendiri lantaran kesibukan nalar kita untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang fakta dan makna yang palsu; atau pun sibuk menerima apa yang seturut kita benar sembari mencaci-maki apa yang dianggap salah.Padahal, jika kita sejenak membebaskan hoax dari predikat-predikat negatifnya itu, kita akan menemukan fakta bahwa ternyata dinamika per-hoax-an berikut prinsip verifikasi, falsifikasi, hingga tabayyun yang menyertainya tak bedanya dengan apa yang terjadi di dunia filsafat maupun sains, bahkan di dunia keseharian kita.
Ketika kita mendapati gambar atau informasi palsu, misalnya, lalu kita spontan percaya karena keterbatasan akses memverifikasi atau mengoreksi, apa bedanya dengan nasib para saintis terdahulu yang terpaksa harus meyakini model atom Rutherford atau orang-orang yang hidup di era bumi datar abad gelap-gerejawi. Demikian halnya ketika gambar dan informasi palsu itu telah terbukti sebagai hoax, maka kita pun serta-merta menyalahkannya. Hal ini tak bedanya dengan slogan “kembali pada kenyataan” dalam filsafat maupun prinsip “verifikasi evaluatif” dalam sains.
Dari perlintasan-perlintasan ini, kita pun bisa menelaah hoax secara lebih radikal, menembus batas-batas tabu, normatif juga etis, yang barangkali belum tersentuh oleh siapa pun baik bagi yang hendak melegitimasi hoax sebagai ‘kebenaran’ pasca-kebenaran, ataupun bagi mereka yang mencaci-maki hoax atas nama ‘kebenaran’—yaitu menilik hoax sebagaimana adanya, hoax versi radikal, atau the nature of hoax. Atau bahkan, kita bisa tiba pada tahap “mengurai diri” (reductio ad absurdum) yang tadinya sebagai “aku” (the I) yang memandang hoax selalu sebagai obyek, menjadi “aku” (the Me) yang berlumur hoax dipandang oleh “diriku sendiri” dalam sudut pandang “aku sendiri”.
Dengan itu, kita dapat mempertanyakan tentang apakah makna peyoratif hoax yang selama ini kita pahami sudah benar atau jangan-jangan hanya hoax; atau ketika ada kecemasan di level psikokognitif kita terhadap bahaya gelombang hoax, di sini kita boleh menilik apakah perjalanan neural impuls di otak kita yang aktif kala memersepsi hoax telah benar-benar berjalan pada jalur rasional nan berliku (the thalamo-cortico-amygdala track) ataukah sekadar mengambil jalan pintas emosional (the thalamo-amygdala track)—termasuk mempertanyakan apakah kita selalu rasional memandang hoax; makhluk apa rasionalitas itu.
Seluruh bentangan persoalan ini dapat dikondensasikan pada satu pertanyaan radikal neurosains-fenomenologis: bagaimana jika persepsi kita—yang berlokus di otak—terhadap segala hal (termasuk pada hoax) adalah hoax itu sendiri, hoax yang sebenar-benarnya hoax?
Sihir “Batu Filsuf” dan “Ramuan Panjang Umur” (Philosopher’s Stone—Elixir of Life)[2]
Persepsi adalah produk kognitif yang berimplikasi penuh pada tindak-laku individu. Dari persepsi, setiap orang dapat menyimpan kenangan, dan mengambil pelbagai keputusan—baik sekadar untuk berkehendak, memersepsi hal baru, maupun untuk memilah-milih sesuatu secara bebas. Bahkan dengan berpijak pada persepsi yang dimiliki hari ini, seseorang juga mampu merencanakan masa depan yang ia proyeksikan. Intinya, manusia mengonstruksi diri dan dunianya via persepsi. Seperti kata fenomenolog Marleau-Ponty: tubuh merupakan konstruksi dari kesadaran dan pikiran yang terakumulasi dalam pengalaman perseptual yang berkembang—kenyataan itulah yang nantinya menjadi lokus bagi identitas kita.[3]
Dus, tanpa persepsi, barangkali dunia ini takkan berwarna, tak berbentuk, tanpa tekstur, tanpa rasa, dan manusia hanya akan berakhir sebagai seonggok tubuh yang juga tak bermakna di samping sebagai subyek yang tak mampu memaknai. Saking begitu pentingnya ihwal persepsi, bahkan Tuhan sekalipun ‘harus’ angkat bicara, “Aku adalah sebagaimana persepsi hambaKu,” agar Ia bisa tetap dikenali dari celah-celah “perbendaharaan tersembunyi”; ketiadaan persepsi, otomatis menihilkan diriNya. Ringkas cerita, dapat kita katakan bahwa sebenarnya kita hidup dari persepsi-persepsi tentang kehidupan itu sendiri.
Akan tetapi, hubungan antara persepsi dan kenyataan-yang-dipersepsikan tidaklah apple to apple, tidak pernah satu banding satu. Adanya keterbatasan dalam cakrawala pandangan manusia, merujuk Marleau-Ponty, membuat kita tidak mengalami kesan indrawi atomistik, tapi lebih kepada pengalaman Gestalt yang dialami dalam pengalaman keseharian yang bersifat obyektif bagi diri kita sendiri.[4] Darinya, kita hanya menemukan atau mengetahui obyek hanya dalam konteks superfisial lalu merumuskannya sebagai persepsi, tapi persepsi itu sendiri bukanlah kenyataan obyek yang kita pikirkan, melainkan hanya sebatas apa yang kita lihat dan kenali.
Persoalan Gestalt ini bisa kita elaborasi lebih jauh bahwa perangkat biologis maupun fisiologis dari sistem indra yang kita miliki tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Ketika kita memersepsi, kita juga cenderung mengandalkan kemampuan psikologis yang subyektif yakni mengorganisasi sensasi-sensasi indrawi berdasarkan adanya pola-pola yang saling berdekatan satu sama lain, prinsip menyamakan, melengkapi yang tak lengkap, mengisi kekosongan yang tidak tertangkap indra, hingga memilih serangkaian stimulus tertentu dan mengabaikan yang lain, dan semuanya berbasis pada mental set yang sudah terbentuk sebelumnya.[5]
Sebagai analogi, ketika kita melihat sebuah rumah, sistem indra kita tidak mampu melihat rumah itu secara keseluruhan melainkan hanya bagian-bagian tertentu (sisi depan, sisi dalam, atau sisi belakang) yang terfragmentasi. Lalu bagaimana kita bisa membuktikan bahwa apa yang kita lihat adalah rumah tanpa mengelilinginya terlebih dahulu? Di situlah persepsi bekerja. Jadi, ketika manusia mengostruksi persepsi, ada hal yang sebenarnya diuniversalisasi, dari fragmen-fragmen informasi “tak lengkap” yang ditangkap oleh indra bisa menjadi kenyataan yang “lengkap” dalam persepsi.
Maka dari itu, setiap persepsi pada dasarnya selalu berdusta. Dan ketika kita hidup darinya, itu artinya kita hidup dalam dusta yang kita ciptakan sendiri. Itu juga berarti, dusta bisa terjadi sebagai konvensi sosial—kala kita hidup bersosial dengan banyaknya persepsi yang sama terhadap suatu hal (common sense), maka kita sebenarnya hidup dalam “dusta kolektif” yang kita sepakati bersama.
Seluruh rangkaian proses persepsi itu terjadi dalam perangkat kognitif super-canggih yang kita sebut otak; dimulai dari tercerapnya stimulus/informasi pada Area Visual primer sebagai bentuk-bentuk abstrak, warna dan karakteristik yang kemudian diorganisasi di Area Visual sekunder Occipital Lobe (OL), lalu membentuk obyek lengkap pada Area Asosiasi Visual yang berlokus pada Temporal Lobe (TL). Hal ini terverifikasi dari riset Newberg dan D’Aquili bahwa terdapat “ketidakmampuan mengenal orang/benda dalam konteks emosi dan memori, termasuk tidak mengenal wajah sendiri” pada pasien yang mengalami kerusakan bagian otak ini.[6]
Tapi TL tak bekerja sendiri. Jika informasi hanya tiba padanya, informasi akan berakhir sebagai ihwal kognitif belaka; bagian otak ini juga bertaut-sirkuit dengan bagian otak lainnya agar persepsi menjadi kompleks, seperti bank memori Hippocampus untuk mencocokkan informasi dengan pengalaman eksplisit sebelumnya, dan perangkat emosional Amygdala untuk memberi sentuhan emosi pada informasi yang hendak dipersepsi. Namun bagian otak yang beroperasi penting untuk mengarahkan dan mengeksekusi informasi menjadi bertujuan dan bermakna sembari mengabaikan yang tak penting ialah Prefrontal Cortex (PFC)—bagian otak tempat bersemayam fungsi-fungsi pengambilan keputusan, atensi, orientasi, working memory, regulasi emosi, hingga kepribadian.[7]
Sampai di sini, kita dapat memahami bahwa persepsi dimulai dari asumsi yang hadir pasca observasi eksternal (fisik) yang terdapat kemungkinan perolehan sejumlah informasi tanpa sadar, sengaja dihilangkan atau justru disalah-artikan, sehingga proses pembentukannya dapat dipengaruhi oleh stereotype dan prejudice (psikis). Dengan kata lain, persepsi kita tentang segala hal pada dasarnya selalu berbentuk “frame” (sebagaimana fungsi PFC). Dan frame ini selalu bersifat membatasi bahkan cenderung manipulatif; ibarat kameramen yang memotret suatu obyek, selalu ada hal yang dikontraskan dan ada yang dikaburkan, sehingga tidak pernah menggambarkan kenyataan yang seutuhnya alias palsu.
Kepalsuan ini terus berlanjut ketika persepsi ternyata tidak hanya bekerja pada obyek-obyek yang hendak dikenali, melainkan juga untuk memberi makna pada obyek. Menurut Jules Davidoff, persepsi bisa diartikan sebagai proses yang dipakai individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti.[8] Hal ini senada, meski dari perspektif lain, dengan sebutan Ernst Cassirer untuk manusia, yakni Animal Symbolicum.[9] Keterbatasan sistem reseptor dan efektor manusia dibanding hewan non-manusia lainnya membuat manusia menjadi unik (sui generis) dengan adanya semacam sistem simbolik pada dirinya. Karena itu, “manusia,” kata Cassirer, “adalah makhluk yang menciptakan dunia simbol, dunianya sendiri yang berbeda dari dunia naturalnya.”
Tidak mengherankan jika di mata kita, “logam” bisa menjadi “emas”. Seperti persepsi terhadap sekuntum mawar yang dapat dimaknai bermacam-macam; mawar bisa dilihat sebagai sekadar jenis tumbuhan dalam keluarga bunga, tapi ia bisa juga dipandang sebagai lambang cinta, bahkan simbol duka-kematian. Padahal, “mawar tetaplah mawar yang harum semerbak,” kata Juliet kepada Romeo, “meskipun kau memberinya nama lain.” Sama halnya dengan warna putih yang bagi seseorang bisa berarti kesucian, tapi bagi orang lain bisa menjadi simbol yang menakutkan apalagi jika warna putih itu bisa terbang-hinggap di malam hari. Dan sialnya, banyak orang yang kini takut pada putih yang berkerumun dan berjalan di siang hari.
Simbol sebagai persepsi merupakan cara kita untuk memahami, menggeluti, memperlakukan, menguasai kenyataan. Jika memungkinkan untuk menyerempet sedikit ke Semiotika, persepsi dapat dipahami sebagai bagian dari sistem penandaan (signifier) kita terhadap kenyataan (signified), tapi ia bukanlah kenyataan itu sendiri. Maka sebagai sarana “buatan” manusia untuk memahami dan mengartikulasikan “kenyataan”, ia bisa dikatakan “artifisial” ketimbang “riil”, “kultural” tinimbang “natural”, atau dalam istilah popular: “asli tapi palsu”.
Dengan demikian, uraian-uraian ini mengantarkan kita pada simpulan bahwa selalu saja ada celah, jarak dan distorsi antara persepsi dan kenyataan. Maka dari itu, setiap persepsi pada dasarnya selalu berdusta. Dan ketika kita hidup darinya, itu artinya kita hidup dalam dusta yang kita ciptakan sendiri. Itu juga berarti, dusta bisa terjadi sebagai konvensi sosial—kala kita hidup bersosial dengan banyaknya persepsi yang sama terhadap suatu hal (common sense), maka kita sebenarnya hidup dalam “dusta kolektif” yang kita sepakati bersama.
***
Hal lain yang lebih radikal lagi ialah bagaimana persepsi beroperasi di atas landasan pacu keyakinan-keyakinan yang pada dasarnya adalah subyektif. Dalam fenomenologi Husserlian, dikenal adanya “dunia-kehidupan” (lebenswelt) yaitu dunia pra-reflektif yang belum terkontaminasi presuposisi-presuposisi pengamat. Namun dunia seperti itu tak pernah tersentuh dan tak bisa dipeluk oleh manusia, sebab ketika berhadapan dengan dunia yang hendak dipersepsi, manusia tengah berdiri dengan paradigma, sistem logika, konsensus, dan perangkat-perangkat keyakinan lainnya. Pengikut Husserl seperti Johanna Maria Tito (1990) pun mengatakan bahwa segala tindakan keseharian kita yang terarah pada obyek yang hendak dipersepsi (intentionality) tidak lain tidak bukan adalah karakter-karakter keyakinan (characters of belief).[10]
Melengkapi pernyataan itu, neurosaintis-psikolog yang juga pendiri majalah Sceptic untuk Scientific American, Michael Shermer, menjelaskan bahwa pembentukan keyakinan ini didasari oleh pelbagai alasan subyektif, personal, emosional, dan psikologis dalam konteks yang diciptakan oleh lingkungan keluarga, teman, kolega, budaya, dan lingkungan sosial; setelah itu, kita kemudian membela, membenarkan, dan merasionalisasi keyakinan kita dengan sejumlah alasan intelektual, argumen meyakinkan, dan penjelasan rasional. “Keyakinan datang pertama,” kata Shermer, “penjelasan untuk keyakinan datang belakangan.”[11]
Sebagai “mesin keyakinan” (terma Shermer), otak kita selalu berusaha menghubungkan titik-titik informasi dari dunia luar ke dalam pola yang bermakna. Pola-pola yang bermakna itu lalu menjadi keyakinan. Dan setelah keyakinan terbentuk, otak mulai mencari bukti konfirmasi untuk mendukung keyakinan sembari membutakan diri pada informasi yang bertentangan, lalu menambahkan dorongan emosional lebih lanjut untuk mempertegas keyakinan. Shermer menggambarkan proses ini sebagai “belief-dependent realism”—apa yang kita yakini menentukan realitas kita, bukan sebaliknya.
Riset otak yang dilakukan oleh Sam Harris (dkk) di University of California Los Angeles (UCLA) memberi kita lokus di mana keyakinan itu beroperasi. Hasil pemindaian otak menggunakan functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) pada 50 subyek Relijius dan 50 subyek Kafir ketika diperhadapkan dengan pernyataan yang mendukung keyakinan masing-masing, menunjukkan adanya peningkatan aliran darah-oksigen yang sama pada bagian otak bernama ventromedial Prefrontal Cortex (vmPFC)—yang merupakan lokus fungsi dari representasi diri, asosiasi emosi, penghargaan, dan mengatur perilaku bertujuan.[12] Riset ini berkesimpulan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara orang Beriman yang meyakini “Tuhan itu nyata” sebagai kebenaran, dan seorang Ateis yang meyakini kebenaran bahwa “Tuhan hanyalah hoax”.
Keyakinan ini juga relevan pada semua bentuknya, baik keyakinan agama, keyakinan terhadap alien, dewa, atau hal berbau paranormal, hingga keyakinan dalam politik. Dan semua bentuk keyakinan itu adalah kebenaran bagi masing-masing individu yang menggenggamnya, meskipun bagi yang lain bisa dipersepsikan dusta. Seseorang boleh saja meyakini Amon Ra sebagai dewa, dan seseorang lain meyakini UFO itu nyata, atau dalam politik seseorang mungkin meyakini bahwa ada “Presiden turunan PKI” atau ada “Presiden terbaik se-Asia”. Apapun, pada akhirnya, ketika keyakinan itu sudah menjadi bagian dari diri seseorang dan menjadi hal penting dalam lingkungan sosial ia berada, maka keyakinan itu akan susah berubah.
Ini dibuktikan oleh riset lanjutan UCLA yang dipimpin oleh Jonas T. Kaplan. Dengan alat pindai otak fMRI, Kaplan (dkk) hendak mengetahui bagaimana orang menanggapi berita politik (kredibel atau hoax) terkait keyakinannya. Sebanyak 40 orang berpaham Liberal yang direkrut menggambarkan adanya daya-tahan keyakinan (bergeming, tidak berubah) ketika dikonfrontir dengan informasi/isu-isu politik yang bertolak-belakang dengan keyakinan politik mereka. Adapun bagian otak yang paling aktif pada partisipan adalah Amygdala dan Insular Cortex—lokus yang penting bagi emosi dan pengambilan keputusan (terutama terlibat dalam memersepsi ancaman dan kecemasan), dan berhubungan dengan “how we feel” ketika bukti berhadapan dengan keyakinan.[13] Dari riset ini, Kaplan mengakui bahwa emosi memainkan peran dalam kognisi dan dalam cara kita memutuskan apa yang benar dan apa yang tidak benar. “Kita organisme biologis,” kata Kaplan, “bukan komputer.”
Dalam kasus keyakinan-persepsi seperti ini, Shermer juga menambahkan bahwa tidak penting keyakinan itu adalah benar atau hanya keyakinan palsu, karena ketika setiap orang merasa “feel-good” dengan keyakinannya, maka otaknya akan bekerja untuk memperkuat keyakinan itu sebagai kebenaran dan untuk memastikan bahwa ia selalu benar. Riset yang dikutip oleh Shermer menunjukkan bahwa orang dalam kondisi perasaan bahagia dengan level neurokimia “dopamine” yang tinggi akan lebih mungkin untuk mencari pembenaran sesuai keyakinannya pada peristiwa yang acak sekalipun, sembari mengabaikan pola makna yang bertentangan; dan pada pola terbalik, orang dengan tingkat neurokimia normal, akan memperoleh sentakan dopamine ketika diberi informasi yang membenarkan keyakinannya.
Tentu saja masih banyak riset yang bisa ditambahkan, terutama studi-studi yang meneliti relasi keyakinan/persepsi dalam sirkuit klasik “PFC-dopamine” (brain-reward) hingga pada dimensinya yang memberi “efek candu”. Namun riset-riset yang sudah diuraikan kiranya sudah cukup memberi kita pemahaman bahwa tidak peduli apakah suatu informasi itu netral atau manipulatif, toh persepsi kita senyatanya terwujud seturut dengan keyakinan; dan ketika memersepsi hal yang kontra-keyakinan, kita cenderung lebih emosional tinimbang rasional, maka manusia pada dasarnya tidaklah se-rasional yang dikira. Apa yang kita sebut “rasionalitas” itu barangkali lebih cocok sebagai “kemasuk-akalan” (reasonable) semata yang sudah terkontaminasi hal-hal subyektif. Dengan kata lain, setiap orang dengan keyakinan dan persepsinya, akan mengalami nasib sama seperti Plato yang berkata dalam Theaetatus (201 bc): “Saya bisa saja memiliki keyakinan yang benar, namun tidak dengan kebenaran.”
Dihubungkan dengan uraian-uraian sebelumnya, riset-riset ini semakin mempertegas secara empiris bahwa dusta yang sebenarnya adalah persepsi kita sendiri, hoax versi radikal adalah persepsi. Hal ini juga membawa kita pada penyingkapan, bahwa sebagai perangkat kognitif, otak memang sudah “terdesain” untuk bukan menerima kenyataan sebagai kebenaran an sich maupun dusta an sich, melainkan—meminjam terma Michel Foucault—untuk mengabaikan, merepresi, menyensor, mengabstraksi, membuat topeng, menyembunyikan, atau memproduksi “kebenaran bagi dirinya sendiri”[14]—meski sebenarnya hanyalah “dusta-diri” (self-deception) yang fungsional dan efektif.
Fungsional karena “dusta-diri” itu memberikan “kuasa” pada setiap orang untuk memperlakukan obyeknya, memproduksi kenyataan, hingga mencipta ritual kebenaran yang berguna bagi dirinya—seperti halnya fungsi “batu filsuf” Alkemis yang mampu mengubah apapun yang disentuhnya menjadi bermakna dan berharga. Dan efektif karena “dusta-diri” itu membuat otak tidak peduli apakah persepsi seseorang terhadap suatu obyek adalah kebenaran atau kebohongan untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya—yakni mengoperasikan tubuh hingga menciptakan perilaku individu (efek sosio-politis), dan terutama, menginisiasi produksi zat neurokimia “kebahagiaan” (efek neuro-psiko-biologis) yang mungkin setara, secara metaforikal, dengan “ramuan panjang umur” Alkemis.
Dengan demikian, jika hoax versi radikal adalah persepsi, maka sumber dari segala sumber hoax adalah otak kita sendiri—dialah Sang Alkemis sejati yang menciptakan sihir “batu filsuf” dan “ramuan panjang umur” yang kita namai persepsi. Jadi, masihkah kita akan terus mencaci-maki hoax sementara ia tengah bersemayam di setiap altar pikiran ini?
Catatan Kaki:
[1] Copleston, Frederick. 1963. A History of Philosophy: Vol. VII. London: Search Press, hlm. 410.
[2] Philosoper’s Stone ialah batu yang dapat mengubah logam menjadi emas; Elixir of Life adalah Philosopher’s Stone versi cair yang jika diminum dapat memperpanjang umur. Konon, keduanya merupakan temuan ilmuwan (Alkemis) masa lampau yang sering juga disebut penyihir.
[3] Marleau-Ponty, Maurice. 2002. Phenomenology of Perception, diterjemahkan oleh Colin Smith. London-New York: Routledge, hlm. 84.
[4] Marleau-Ponty, op.cit., hlm. 16.
[5] Ehrenstein W.H., Spillmann L., Sarris V. 2003. “Gestalt Issues in Modern Neuroscience”. Axiomathes, 13 : 433.
[6] Pasiak, Taufiq. 2012. Tuhan dalam Otak Manusia. Bandung: Mizan, hlm. 207-214.
[7] Miller E.K., Freedman D.J., dkk. 2002. “The Prefrontal Cortex: categories, concepts an Cognition”. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series B, Biological Science, 357 (1424) : 1123-1136.
[8] Davidoff, Jules, dkk. 2008. “Cultural Differences in Perception: Observation from a Remote Culture”. Journal of Cognition and Culuture, 8 : 189-209.
[9] Cassirer, Ernst. 1944. An Essay on Man. New Haven: Yale University Press, hlm. 26.
[10] Sanchez, Carlos. 2007. “The Nature of Belief and the Method of Its Justification in Husserl’s Philosophy”. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 7 (2): 1-10.
[11] Shermer, Michael. 2011. The Believing Brain: from Ghosts and Gods to Politics and Cospiracies—How We Construct Beliefs and Reinforce Them as Truth. New York: Times Book.
[12] Harris S., Kaplan J.T., dkk. 2009. “The Neural Correlates of Religious and Nonreligious Belief”. PloS One, 4 (10).
[13] Kaplan J.T., Gimbel S.I., Harris S. 2016. “Neural Correlates of Maintaining One’s Political Beliefs in the Face of Counterevidence”. Scientific Reports, 6 : 39589.
[14] Foucault, Michel. 1991. Discipline an Punish: the birth of prison. London: Penguin, hlm. 194.