Judul: Keadilan Etis dan Keadilan Politis: Pandangan Levinas tentang Keadilan
Penulis: David Tobing
Penerbit: Penerbit Kedai Sinau
Tahun Terbit: 2017
Kita menghuni suatu dunia yang mengalami antinomi antara Universalitas dan Singularitas, antara Yang Abstrak (dalam rupa Idea) dan Yang Konkret, antara transendensi dan imanensi, antara Yang Absolut dan Yang Relatif—daftar ini bisa diperpanjang. Sederhananya, kita mengalami dunia yang dihuni oleh kontradiksi, pada fase yang semi-puncak, antara hal-hal ini, seiring munculnya kembali narasi-narasi besar (“isme-isme”…) di tengah semakin kompleksnya faset singularitas-singularitas kecil (“aku-aku yang tak tereduksikan”) yang mengakibatkan rumitnya penyikapan berujung kondisi aporetik, sehingga tiap pilihan sikap dapat menjadi nisbi tetapi juga absolut. “Idea Demokrasi”, misalnya.
Rancière dalam La Haine de la démocratie menunjukkan bahwa demokrasi universal ala Barat makin mengalami delegitimasi. Universalisme demokrasi dipertanyakan, bahkan dicampakkan. Namun, mencampakkan universalitas ini, apakah niscaya membuang Idea Demokrasi itu sendiri dan mengafirmasi xenofobia, etnosentrisme, atau fasisme? Aporia-nya terletak pada keharusan untuk keluar dari universalisme demokrasi, namun tanpa meninggalkan Idea Demokrasi itu sendiri. Pertanyaannya kurang lebih: bagaimana mengafirmasi universalitas (yang adalah Idea), namun tanpa mengabaikan singularitas? Vice versa, bagaimana mengafirmasi singularitas, namun tanpa menganulir universalitas? Antinomi ini jelas merupakan warisan dari situasi postmodern (tercermin dari tendensinya dalam post-strukturalisme), namun juga ketegangan yang diakibatkan oleh situasi ini ketika modernitas dan pra-modernitas juga belum sepenuhnya usai—suatu situasi “post-postmodern”. Suatu situasi aporetik, “maju kena mundur kena”, situasi hibrid di mana setiap pilihan menjadi kontingen dan terbatas, tetapi, paradoksnya, niscaya.
Di tengah situasi ini, filsafat Levinasian dapat memberi salah satu jalan keluar, meski bukan yang termudah. Filsafat ini memungkinkan kita memikirkan universalitas, namun di sisi lain, mengafirmasi singularitas, dengan berangkat dari pertanyaan fundamental: adakah suatu universalitas yang tidak menindas singularitas, dan adakah suatu singularitas yang bukan partikularitas, tetapi singularitas yang membuka kepada Yang Absolut itu sendiri? Atau, meminjam rumusan Caygill, “Adakah suatu universalitas yang lain daripada universalitas negara dan suatu kebebasan yang bukan kebebasan objektif”?[1] Dengan pertanyaan ini, kita dituntut untuk mengarung di antara dua karang: menghindari suatu universalitas yang totaliter sekaligus menghindari partikularitas yang sempit dan fanatik. Dengan kata lain, kita harus menemukan universalitas yang memungkinkan kita mempertahankan Yang Absolut, namun tidak dengan cara yang absolutis.
Filsafat Levinasian persis merupakan suatu jawaban, salah satu dari sekian jawaban “lama” yang harus dibaca dengan lensa baru di tengah kebaruan situasi saat ini, dan jawaban ini memberi kita suatu pendasaran atas Yang Absolut justru melalui singularitas yang tak dapat direduksikan oleh Yang Absolut itu, yaitu Wajah Orang Lain. Tidak melalui Wajah, melainkan pada Wajah, Levinas menjangkarkan Yang Absolut (Idea Ketakberhinggaan, Idea Yang-Baik) pada singularitas yang memungkinkan kita mengakses Yang Absolut tidak secara absolutis—karena ketidakmungkinan Yang Absolut meniadakan Wajah itu—dan mengafirmasi singularitas yang tidak partikular, persis karena Wajah ini memberi jalan menuju Idea, meski bukan melalui skema mediasi (Hegelian), melainkan melalui retakan (rupture) yang merupakan peristiwa pada dirinya. Bersama karya David Tobing ini, kita mengetahui bahwa salah satu Idea yang tidak pernah ditinggalkan oleh Levinas adalah Idea Keadilan.
***
Beberapa kritik atas filsafat Levinasian, dilihat dari sudut ini, lalu menjadi karikatural, untuk tidak mengatakan simplistik. Žižek, dalam sebuah ceramahnya di Birbeck, mengolok-olok: Respect for otherness? No, thank you! Alain Badiou, dosen penulis di Universitas Paris-VIII, mencemooh etika Levinasian sebagai “agama busuk” yang hanya layak menjadi “santapan malam anjing”.[2]
Karikaturisasi ini secara politis disebabkan oleh dua hal. Pertama, bias liberalisme politik hari ini mereduksi filsafat Levinasian menjadi serangkaian preskripsi bagi “politik perbedaan” yang mewujud dalam ideologi “multikulturalisme”, “toleransi”, atau sekadar “respek atas perbedaan”, yang bersifat egoistik dan tetap borjuistik. Bahkan ketika “politik” ini—yang adalah pseudo-politik—mewujud dalam aksi-aksi filantropis yang pada permukaannya “melayani” Yang Lain, “politik” ini tetap borjuistik karena tidak mempertanyakan landasan objektif dari mana Yang Sama dan Yang Lain berasal: perbedaan kelas, yang bukan sekadar perbedaan “etis”. Perbedaan kelas ini merupakan ketimpangan yang di atasnya “politik perbedaan” ini dijalankan.
Kedua, ketidakmampuan melihat apa yang fundamental dan radikal dari Levinas, sebagai pemikiran tentang “perbedaan” yang tidak dapat diapropriasi dan diadaptasikan begitu saja ke dalam ideologi dan praktik liberalisme apa pun, betapapun “humanis” dan “humanitarian”-nya ideologi itu. Filsafat Levinasian bukan filsafat tentang “perbedaan” sebagai “sekadar beda” (being just different)—prasyarat dari ideologi toleransi liberal yang borjuistik—tetapi “perbedaan” yang tak tereduksikan, yaitu alteritas radikal dari Yang Lain—radikal, karena persis tidak dapat diapropriasi, diasimilasikan, dan ditundukkan dengan model hegemoni apapun lantaran kelainannya. Berhadapan dengan Yang Lain ini, mengatasi ketimpangan kelas saja menjadi tidak cukup (walaupun hal itu menjadi salah satu kondisionalitas yang mungkin, bahkan niscaya, dilakukan), tetapi kita harus melengkapinya dengan suplemen etis,[3] yang merupakan prasyarat dari setiap politik pembebasan saat ini: mengatasi “jarak” (Levinas menyebutnya “separasi”, la séparation) antara Yang Sama dan Yang Lain dalam suatu kedekatan (proksimitas) yang, paradoksnya, tidak pernah dapat menghilangkan dan melenyapkan alteritas itu sendiri.
Filsafat Levinasian bukan filsafat tentang “perbedaan” sebagai “sekadar beda” (being just different)—prasyarat dari ideologi toleransi liberal yang borjuistik—tetapi “perbedaan” yang tak tereduksikan, yaitu alteritas radikal dari Yang Lain—radikal, karena persis tidak dapat diapropriasi, diasimilasikan, dan ditundukkan dengan model hegemoni apapun lantaran kelainannya.
Ketidakmungkinan menghilangkan/melenyapkan alteritas itu memungkinkan kita melihat ketimpangan itu akan tetap ada, betapapun dunia tampak bergerak ke “arah yang lebih baik” seturut cita-cita “demokrasi pasar” (optimisme ironis yang disukai liberalisme), karena Yang Lain tetap tidak tereduksikan, meski tatanan politik telah menginklusikan segalanya ke dalamnya dalam suatu “Negara Universal yang Damai” atau “Komunio Global yang Hiper-Inklusif bagi semuanya”. Rekahan Yang Absolut tampak justru di dalam paradoks ini: betapapun inklusif dan terbukanya suatu tatanan politik (polis) terhadap Yang Lain, tatanan itu, dilihat dari hukum ekonomi internal dirinya, tetap eksklusif, sehingga karenanya ia mesti terus siap-siap menyambut Yang Lain di pintu perbatasannya (batas teritori, batas geopolitik, batas negara…) dan dengan demikian, ide Yang Tak Berhingga menjadi imperatif yang tetap absolut (tak tereduksi, tak tertolak) bagi tatanan itu. Kita dapat berspekulasi, bahkan ketika dunia, lantaran globalisasi, suatu saat telah menghapuskan batas-batas negara dan umat manusia masuk ke dalam suatu periode internasionalisme baru, Yang Sama tetap harus siap-siap menyambut Yang Lain, yang mungkin bukan lagi hadir dalam wujud manusia, melainkan alien! Dilihat dari sudut pandang ini, alteritas Levinasian, berbeda dari anggapan para kritikus (karikaturis)-nya, dapat dijadikan suatu tonggak bagi suatu politik pembebasan, meski tidak dalam bentuk yang objektif dan positif.
***
Kita dapat merunut upaya Levinas untuk menjangkarkan universalitas pada singularitas Wajah Orang Lain, pada alteritasnya yang tak tereduksikan, dan bagaimana ia tiba pada persoalan keadilan dalam sedikitnya tiga teksnya berikut.
Pertama, Existence and Existents (1947). Dalam teks ini, Levinas melakukan kritik atas eksistensialisme egologis yang difigurkan oleh Heidegger, dan lahir dari trauma atas Nazisme. Penemuan kategori “il y a” (Es gibt, Ada-di-sana yang bukan Dasein, atau pra-Dasein) yang mencirikan Ada Heideggerian dalam netralitas dan ketakacuhannya, memunculkan suatu horor pada fenomenologi: bahwa Ada berarti Ada-untuk-dipersekusi.
Hal ini membawa Levinas pada gugatan atas netralitas Ada dan kenetralan pengada-pengada (existents) di hadapan “ia” yang diacuhkan. Benih-benih pemikiran alteritas Levinas hadir di sini, dalam figur pengada “anonim” (“yang lain”) yang bukan termasuk dalam lingkup pengada-pengada dengan netralitasnya. Pengada itu merupakan ekses terhadap eksistensi, suatu skandal atas Ada, bahkan ekses terhadap dunia. Figur pengada itu hadir secara empiris dalam wujud “korban”. Di sini keadilan hadir sebagai tuntutan yang belum tertematisasi dari para korban yang dipersekusi. Keadilan baru hadir di sini sebagai ekses dari eksistensi, dari Ada, namun tidak memiliki pendasaran metafisis. Pembacaan atas karya ini sayangnya luput dari buku David Tobing ini, padahal karya ini menyediakan suatu lokus genealogis dari gagasan alteritas.
Kedua, Totality and Infinity (1971). Di dalam teks ini, pendasaran metafisis yang berusaha mencari alternatif atas ontologi Ada-nya Heidegger dilakukan. Di sini kita menemukan “pembalikan Kopernikan” Levinas atas filsafat: primasi etika atas ontologi. Pembalikan itu dilakukan dengan penemuan ulang konsep “totalitas” dan “ketakberhinggaan”, yang sebenarnya merupakan warisan dari dialektika Hegelian dan ontologi secara umum, namun dengan pemaknaan yang sama sekali baru: “totalitas” adalah apapun yang mereduksi alteritas, dan “infinitas” adalah yang membuka kepada alteritas. Dengan bertolak dari Yang Lain, ekses dari ontologi, Levinas memaknai ulang term-term dialektis lama (Hegelian), interoritas dan eksterioritas, dan menggesernya dari subjek kepada Yang Lain.
Reformulasi mendasar dan baru ini mengantarnya pada penemuan kategori-kategori baru: “Wajah”, “relasi etis”, “subjektivitas etis”, dan seterusnya, penemuan ontologi waktu yang baru (alternatif atas skema waktu dialektis-Hegelian dan skema waktu linear Sein-zum-Tode Heideggerian), dan—ini yang terpenting dalam kasus kita—penemuan konsepsi keadilan sebagai konsepsi yang berada di luar/di seberang/melampaui “totalitas”. Penemuan ini berarti banyak hal dan mensyaratkan banyak hal. Ia mensyaratkan, pertama, pemisahan dan pembedaan keadilan dari konsep “keadilan objektif” Platonisian, yang memandang keadilan sebagai suatu produk kebenaran yang ditemukan melalui inteleksi atau ideasi. Alih-alih mendasarkan pada inteleksi, ideasi, atau adequatio antara pikiran dan kenyataan, Levinas mendasarkan keadilan pada “relasi”, yakni relasi antara Aku dan Yang Lain, “relasi sosial”. Kedua, keadilan “etis” ini juga mensyaratkan pemisahan dan pembedaan keadilan dari Ada Heideggerian, yang berarti dari kebebasan Dasein untuk mengada itu sendiri. Hal ini berarti, keadilan tidak diturunkan dan dilahirkan dari kebebasan, melainkan dari sesuatu selain kebebasan. Kebebasan yang mencirikan Dasein dan menduduki posisi sentral dari struktur eksistensinya tidak lagi mutlak—demikian juga “kebebasan subjektif” yang diglorifikasi oleh Hegel. Kebebasan itu sekunder terhadap keadilan, dengan kata lain, terhadap tanggung jawab. Subversi Levinas ini yang memungkinkannya memaknai ulang seluruh tematik fenomenologi, seperti “hasrat”, “rasa bersalah”, “bahasa”, dan lain-lain ke dalam suatu konsepsi baru yang berpusat pada tanggung jawab. Dilihat dari tanggung jawab, hakim bagi keadilan ini adalah Yang Lain itu sendiri. Namun, karena bahasa Yang Lain bukan lagi bahasa-“ku”, yang bertanggung jawab padanya, maka Levinas menjajaki kemungkinan menteorikan bahasa Yang Lain itu, yang bukan bahasa dari ranah-“ku”, suatu bahasa alteritas. Keadilan memiliki pertautannya dengan bahasa yang singular ini.
Ketiga, Otherwise than Being, or beyond Essence (1974). Teks ini merupakan penemuan definitif atas ranah etis di luar/di seberang ontologi, suatu ranah yang darinya alteritas memiliki bahasa, gramatika, dan hukum-hukumnya sendiri yang mengatasi/superior atas ontologi Yang Sama, dan darinya—ini obsesi teoretis terjauh Levinas—metafisika alteritas yang murni didasarkan atas Idea ketakberhinggaan.
Di sini, pelampauan atas kebebasan berlangsung lebih definitif dan eksplisit; Levinas menarik pelampauan ini sampai pada titik ultim di mana subjektivitas menjadi terekspos sepenuhnya kepada Yang Lain, melalui konsep-konsep “ketersanderaan”, “ketertuduhan”, “penganiayaan”, “keterpilihan”, “substitusi”, “pelayanan”, dan seterusnya. Keadilan, dilihat subjektivitas ini, adalah ketika subjektivitas berada pada titik nadirnya untuk dinilai dan dihakimi oleh Yang Lain. Levinas memperkenalkan di sini keadilan yang “anarkis”—an-arkhé, tak dapat didasarkan, persis karena keadilan ini berada dalam ketidakmungkinan sikap Yang Lain untuk ditebak atau diprediksi—keadilan menjadi sangat kontingen. Untuk sebagian, “anarkisme” Levinasian ini terdengar seperti “sado-masokisme” etis, di mana “Aku” harus selalu siap teraniaya oleh Yang Lain, dalam kemungkinan bahwa Yang Lain, dalam proses menuntut keadilan dariku, berbuat tidak adil padaku. Keadilan berada di antara dua ekses yang sama-sama ekstrem: atau “aku” membiarkan diriku dianiaya oleh Yang Lain, dengan risiko bahwa dia tidak berbuat adil padaku; atau “aku” membiarkan diriku memperlakukan Yang Lain setara denganku, dengan risiko bahwa bahwa aku tidak adil terhadapnya.
Menghadapi paradoks yang dimunculkan oleh dua ekses ini, Levinas memperkenalkan “pihak ketiga” (le tiers) sebagai hakim yang memungkinkan ketidakadilan Yang Lain dicegah, sekaligus memungkinkan keadilan dapat dikondisikan dalam situasi-situasi objektif—oleh lembaga hukum, persepsi publik, atau negara. Kemunculan “pihak ketiga” ini mengejutkan, karena terkesan “memoderasi” keadilan Levinas menjadi lebih seimbang dan menjauhi ekstremitasnya yang awal. Seakan ada “mata ketiga” di setiap perjumpaan antara Aku dan Yang Lain—Levinas nanti akan menyebut figur “pihak ketiga” ini, salah satunya, dengan “Tuhan”. Keberadaan “pihak ketiga” membuat keadilan dapat diobjektivikasi, namun keadilan itu tetap tidak mungkin sepenuhnya objektif, dalam arti dilembagakan. Karena itu, Levinas menarik kesenjangan fundamental antara “keadilan” (la justice) dan “hukum” (le droit). Keadilan dapat dilahirkan dari produk hukum, sebagai “pihak ketiga” yang mengarbitrase Aku dan Yang Lain, tetapi produk hukum bukan keadilan itu sendiri. Uraian tentang “pihak ketiga”, dalam pelembagaannya yang historis dan institusional, kurang dijelajahi oleh David Tobing dalam buku ini.
Agak mengherankan di akhir bukunya, David melakukan kritik atas Levinas dengan meminjam perspektif teori keadilan distributif Rawlsian—kritik yang mengembalikan Levinas kembali kepada konsep keadilan yang telah dilampauinya dari awal: keadilan “ekonomis”, keadilan kontraktual dan transaksional, keadilan yang lahir dari kebebasan positif filsafat liberal. Sejak awal dan konsisten hingga konklusinya, buku ini semestinya mengafirmasi kritik Levinasian atas kebebasan dan primasi tanggung jawab etis atas kebebasan, dengan menarik konsekuensinya lebih jauh kepada praktik emansipasi itu sendiri—bukan lagi kebebasan, melainkan pembebasan, yang berangkat dari praksis radikal tanggung jawab dalam kehidupan politis hari ini.
Apa persisnya “praksis radikal tanggung jawab” ini hari-hari ini? Kritik atas “demokrasi pasar”, atas eksklusivisme nasional, rasisme, xenofobia, komunistofobia, homofobia, atas pedofilia, atas fasisme, etnosentrisme, dan sekian fenomena inhumanitas baru yang berpijak pada bentuk-bentuk “totalitas” baru. Dengan memikirkan praksis ini, kita mengetahui bahwa era “post-Levinasian” hari ini telah memunculkan Yang Lain tidak lagi dalam figur klasik—tetangga, janda, atau si papa—tetapi Yang Lain sebagai—untuk men-suplementasi Levinas dengan kosakata psikoanalitis dari Julia Kristeva—“Yang Abjek”, yang tak ingin kita lihat, yang menjijikkan atau dianggap menjijikkan: homo, komunis, imigran, pengungsi (refugee), gelandangan proletar, prekariat, orang Arab berjenggot tebal, negro, dan seterusnya. Di hadapan figur-figur baru Yang Lain itu, persoalan keadilan bukan saja relevan (Ide keadilan tidak benar karena statusnya sebagai Ide-nya), tetapi keadilan menjadi suatu tanda tanya sekaligus imperatif di hadapan epifani Wajah-wajah, yang tak lagi singular, tetapi telah plural-jamak—singular dalam kejamakannya.
*Ulasan atas buku “Keadilan Etis dan Keadilan Politis: Pandangan Levinas tentang Keadilan” karya David Tobing (Penerbit Kedai Sinau, 2017), sebelumnya merupakan materi yang disampaikan pada diskusi buku itu di STF Driyarkara, Jakarta, 7 April 2017.
[1] Howard Caygill, Levinas and the Political (London-New York: Routledge, 2002), 73.
[2] Alain Badiou, Ethics: An Essay on the Understanding of Evil, terj. Peter Hallward, (London-New York: Verso, 2001), 23.
[3] Tentang suplementasi ini, bdk. Caygill, Levinas and the Political, 131.