Tantangan terbesar jurnalisme kontemporer adalah bagaimana ia membersihkan kembali fakta dari selubung teknologi manipulatif.
Bahasa jurnalistik akhir-akhir ini dipenuhi dengan judul bombastis guna mendulang klik (clickbait). Hal ini tentu menggelisahkan kita, pasalnya dengan judul yang bombastis makna dari suatu peristiwa bisa saja menjadi kabur atau bahkan hilang. Tentu saja banyak pengaruh negatif dari bergesernya makna dalam kehidupan keseharian kita, salah satu contohnya adalah hoax. Argumen yang saya tawarkan ialah melakukan prinsip verifikasi kemudian memfalsifikasi guna membekali penalaran kita agar terhindar dari efek negatif bahasa. Hal ini penting, sebab dapat memberikan pendasaran yang baik bagi kita agar tidak terperangkap dalam permainan makna yang dibuat oleh media—khususnya politik media.
Dengan demikian, tulisan ini akan memuat tiga persoalan penting yang kait kelindan antara satu dengan yang lainnya. Pertama, saya akan menjelaskan bagaimana hubungan yang “malu-malu kucing” antara filsafat dan jurnalistik. Hubungan “malu-malu kucing” pencarian atas kebenaran yang tentu saja secara kualitas berbeda. Penyalahgunaan proses penyikapan kebenaran oleh “oknum jurnalis/media” yang kemudian akan mengondisikan pentingnya prinsip verifikasi. Kedua, memaparkan prinsip verifikasi dan falsifikasi guna memberikan justifikasi guna memperkokoh kerja-kerja jurnalistik. Terakhir, mencoba merefleksikan bagaimana kerja-kerja jurnalistik ke depannya, khususnya pers mahasiswa. Proses reflektif ini diharapkan secara tidak langsung memantik kajian-kajian serius guna mengelaborasikan idea of truth dan idea of freedom dalam idea of writing sebagai produk akhir dari kerja jurnalistik.
Filsafat dan Jurnalistik: Hubungan yang Meragu
Hubungan filsafat dan jurnalistik, menurut Nezar Patria, bisa dibilang “ragu-ragu”.[1] Filsafat sebetulnya jauh, tapi juga dekat, dengan jurnalisme. Ia jauh karena jurnalisme, sesuai karakternya yang mengutamakan hal praktis, enggan berkutat dengan upaya reflektif—suatu daya abstraksi tingkat tinggi yang membuat para filsuf melampaui detil-detil peristiwa untuk mencari hal substansial dari realitas. Jurnalisme sebaliknya, menyandarkan dirinya pada reportase, pada suatu laku kesaksian detil peristiwa, berikut tekad melaporkannya kembali kepada publik dengan benar. Sederhananya, para jurnalis berusaha menggali kebenaran lewat tampilan fakta yang hadir dalam rutinitas keseharian, sementara para filsuf mengerahkan daya reflektifnya guna mencari kebenaran absolut. Namun, bukan berarti para filsuf menjadi anti terhadap fakta-fakta aktual, tapi lebih kepada fakta hanya kualitas sekunder guna melengkapi kualitas primer dalam realitas.
filsafat memperkarakan apa yang disebut sebagai kebenaran (truth), sementara jurnalisme seperti kata Bill Kovach, seorang veteran jurnalis Amerika Serikat, bertugas melayani kepentingan publik dengan melaporkan kebenaran.
Buktinya ada juga filsuf yang dekat dengan kegiatan jurnalistik, sebut saja Albert Camus, Hannah Arendt, Jean Paul Sartre, dan Karl Marx. Albert Camus dan Jean Paul Sartre rajin menulis di koran Prancis pasca-Perang Dunia ke-2. Hannah Arendt juga sering melaporkan peristiwa persidangan Adolf Eichmann—pejabat SS Nazi yang terlibat dalam holocaust. Laporan Arendt itu pernah dimuat berseri pada 1963 di majalah The New Yorker (Arendt menjadi reporter di majalah itu. Dia juga menulis laporan lain semisal biografi penyair WH Auden). Sementara Karl Marx pun kerap menulis kritik kapitalisme sekaligus menjadi jurnalis di koran Jerman Rheinische Zeitung pada pertengahan abad ke-19. Gagasannya itu kelak menjadi pemantik revolusi sosialis di banyak negara di paruh pertama abad ke-20. Namun di sisi lain, kita juga mendengar kecurigaan para filsuf terhadap “yang-populer” (Nietzsche, Heidegger, Derrida, Foucault) dan keengganan para filsuf untuk menulis di suratkabar atau media umum lainnya. Secara sederhana, pada umumnya para filsuf tak begitu suka dengan media massa. Mereka menganggap laporan jurnalistik bukanlah format tepat untuk mengungkapkan gagasan filsafat.
Nezar Patria juga berpendapat bahwa filsafat juga terasa dekat dengan jurnalisme. Barangkali karena keduanya punya wilayah tugas yang sama: filsafat memperkarakan apa yang disebut sebagai kebenaran (truth), sementara jurnalisme seperti kata Bill Kovach, seorang veteran jurnalis Amerika Serikat, bertugas melayani kepentingan publik dengan melaporkan kebenaran. Terhadap tugas ini, kebenaran yang diperjuangkan oleh filsafat, dan juga jurnalisme, sama-sama memikul risiko. Nezar memberikan contoh Socrates (lewat pemaparan Plato) dan para jurnalis yang sama-sama menjadi korban dalam proses menyikap kebenaran.
Dalam Dialog, Plato menulis laporan tentang kematian Socrates. Laporan detil perihal kematian Socrates itu adalah arsip penting konstruksi pemikiran sang filsuf. Itu sebabnya John Carey editor buku The Faber Books of Reportage (1996) sebuah antologi karya jurnalistik yang mengumpulkan beragam reportase kesaksian terpenting di muka bumi, menempatkan catatan peristiwa kematian Socrates sebagai sebentuk reportase yang patut dikenang. Kita tahu rekaman detik kematian Socrates yang menerima hukuman menenggak racun itu ada pada Dialog yang ditulis oleh Plato. Tindakan Socrates, seperti yang dilaporkan oleh Plato, adalah bagian dari risiko sikap filsafat, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kebenaran.
Kisah yang serupa juga dialami oleh para jurnalis. Setiap tahun, puluhan jurnalis di seluruh dunia menghadapi ancaman kematian di ujung pena mereka. “Jurnalisme,” tulis Ian Hargreaves dengan masygul, “bukan urusan yang mudah.”[2] Sepanjang tahun 2004, 56 orang jurnalis dibunuh setelah melakukan pekerjaan mereka, dan selama satu dasawarsa (1994-2004), jumlahnya mencapai angka 337. Di Indonesia sendiri, bukan hal yang ganjil lagi jika kita mendengar berita penganiayaan atau pembunuhan jurnalis. Sebut saja Anak Agung Prabangsa, wartawan Radar Bali ditemukan tewas mengambang di pantai Denpasar pada tahun 2009. Pengadilan membuktikan dia dibunuh karena membongkar skandal korupsi yang dilakukan oleh kroni bupati Bangli. Contoh lain ialah Alfred Mirulewan, seorang wartawan di Maluku Barat Daya, tewas di Pulau Kisar karena dibunuh jaringan mafia penyelundup BBM yang melibatkan aparat keamanan negara di pulau kecil itu.
Proses penyikapan kebenaran—baik dalam filsafat maupun jurnalisme—adalah kerja yang berisiko. Tapi, tanpa risiko, bagaimana kebenaran dapat dibicarakan? Kita kesampingkan dahulu pertanyaan ini, sebab akan saya bahas di bagian akhir esai.
Menangkal Hoax Lewat Verifikasi dan Falsifikasi
Pada dasarnya kerja-kerja jurnalistik adalah pekerjaan yang mulia, namun sungguh disayangkan ada saja oknum jurnalis/media massa yang mencoba mempergunakan produk jurnalistik guna memproduksi hoax. Meskipun hoax bukan tema baru dalam sejarah peradaban manusia, tapi persoalan besar di abad ke-21 ini adalah kebohongan menyebar lewat teknologi media telah dikemas menyerupai fakta sesungguhnya. Bukan hanya teks, berita palsu kini disajikan secara audio visual dan menampilkan“kebenaran” dengan mengecoh persepsi, menipu indera, dan juga memelintir logika. Tentu ini adalah perkara serius. Berita bohong telah dipakai untuk menggosok emosi, sentimen politik atau agama, yang lalu diterima tanpa kritik sebagai sebuah kebenaran oleh sekelompok orang. Dalam skala tertentu berita palsu sengaja diproduksi guna memperparah ujaran kebencian, memicu konflik sosial dan bahkan perang.
Kode etik jurnalistik universal, adalah melaporkan fakta secara jujur dan penuh, tidak bohong dan setengah hati.
Dalam konteks inilah hubungan filsafat dan jurnalistik tidak boleh lagi meragu. Pasalnya hoax telah menghina rasionalitas manusia. Padahal dengan rasionalitas atau akal, manusia dapat memilah-milah mana yang benar dan yang salah. Jika rasio kita mudah untuk dikelabui, lalu dengan dasar apa lagi kita bertindak? Di sinilah peran epistemologi—cabang filsafat yang memikirkan pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran dan pengetahuan—dalam memperbaiki perkakas berpikir kita. Lalu, pada tahap inilah logika[3] dan prinsip verifikasi menjadi faktor penentu kualitas penalaran manusia.
Korban pertama kecanggihan manipulasi fakta (hoax) ini tentu saja jurnalisme. Tugas inti jurnalisme, begitulah yang didengungkan oleh kode etik jurnalistik universal, adalah melaporkan fakta secara jujur dan penuh, tidak bohong dan setengah hati. Dengan merebaknya kemampuan fake news hadir menyerupai fakta sebenarnya (factoid), apakah yang tersisa bagi kebenaran jurnalisme?
Tantangan terbesar jurnalisme kontemporer adalah bagaimana ia membersihkan kembali fakta dari selubung teknologi manipulatif. Namun di sisi lain, teknologi komunikasi telah memaksa kita merenungkan kembali pengertian tentang fakta dan juga kebenaran. Misalnya, jika fakta kita artikan sebagai sesuatu yang ada (das Sein) dan hadir secara alamiah, otentik, dan bebas dari interpretasi, maka memahaminya dalam lingkup era “Post-Truth” mungkin menjadi tugas besar, sesuatu yang melampaui jurnalisme, dan mungkin masuk ke ranah filsafat. Oleh karena itu tugas jurnalisme main ke sini semakin berat, karena kebenaran jurnalistik tampaknya kini tidak boleh berhenti pada lapis fakta permukaan, namun harus menggalinya lebih dalam.
Lagi-lagi saya menyitir pandangan Nezar Patria perihal pentingnya prinsip verifikasi dalam jurnalistik.[4] Bagi Nezar, jurnalisme tidak boleh lagi memaknai kebenaran sesuai dengan prinsip kebenaran korespondensi—kebenaran dinilai jika suatu proposisi sesuai dengan fakta. Jurnalisme, suka tak suka, haruslah kembali kepada disiplin verifikasi, seperti yang dilakukan oleh sains dalam kasus “bumi datar” atau “bumi bulat”. Para jurnalis harus menelisik kembali dengan hati-hati: semua data diuji ulang.
Kemudian selain menggunakan prinsip verifikasi, saya menyarankan untuk memperlengkap perkakas berpikir kita dengan prinsip falsifikasi. Prinsip falsifikasi ini diperkenalkan oleh Karl Popper. Dengan falsifikasionisme, Popper memandang bahwa ilmu pengetahuan berkembang dengan penolakan terus-menerus terhadap sebuah hipotesis atau teori. Maka demi perkembangan ilmu pengetahuan, menurut Popper, ilmuwan harus merumuskan hipotesis ataupun teorinya dalam bentuk yang bisa difalsifikasi (falsifiable). Sekali muncul hasil observasi yang bertentangan dengan sebuah hipotesis atau teori, maka hipotesis atau teori tersebut seketika itu pula akan dianggap gugur. Ilmuwan mesti membuang jauh-jauh hipotesis atau teori tersebut dan harus membuat hipotesis atau teori baru yang lebih andal.[5] Begitu pula sikap kita dalam menyikapi hoax. Setiap tafsir atas fakta yang ditawarkan harus terus menerus digantung posisinya sampai tafsir didukung oleh data-data yang kuat sehingga lebih mapan atau andal. Mudahnya adalah kita tidak boleh lagi terburu-buru dalam menyimpulkan tiap peristiwa. Oleh sebab itulah, kedua prinsip ini akan menjadi pisau analisis yang penting dalam menghadapi peristiwa.
Dibutuhkan pemikiran kritis (critical thinking) selain kemampuan verifikasi dan falsifikasi dalam jurnalisme.
Senada dengan pandangan Muhammad Al-Fayyadl yang mengatakan bahwa jurnalisme seharusnya tidak berhenti pada tataran yang nampak saja, namun bergerak ke arah pengalaman yang lebih hidup.[6] Menurutnya jurnalisme, pertama-tama, terkait erat dengan apa yang diistilahkan oleh Edmund Husserl sebagai “pengalaman” yang objektif (Erfahrung): kita tahu, bahwa kerja jurnalisme dikonstitusi oleh kerja reporting,[7] yaitu melaporkan suatu hal (peristiwa, kejadian, atau figur) ke dalam suatu bentuk representasi pemberitaan tertentu. Dengan demikian, terdapat pengalaman yang ingin dihadirkan dan direpresentasikan—pengalaman itu bersifat objektif di luar sang jurnalis, namun sang jurnalis tidak diam begitu saja di depan pengalaman itu melainkan terlibat dengannya. Pelibatan ini mengubah “pengalaman” dari sekadar objektif (Erfahrung) menjadi “pengalaman” yang hidup (Erlebnise).
Dengan demikian, kebenaran jurnalistik tak bisa berhenti pada satu lapisan fakta saja. Lapis pertama bisa menipu dan menyesatkan, namun lapisan kedua, di mana fakta-fakta otentik digali lebih detil, akan menyibak kebenaran lainnya. Dibutuhkan pemikiran kritis (critical thinking) selain kemampuan verifikasi dan falsifikasi. Itu sebabnya, jurnalisme terutama bagi media serius yang hidup dan menjadi pemeluk teguh jurnalisme bermutu, berusaha keras mengembalikan inti atau ruh jurnalisme di tengah gemuruh produksi informasi dari media sosial.
Quo Vadis Jurnalistik (?)
Seseorang tidak dapat mengungkapkan kebenaran kecuali ia memiliki kebebasan untuk mencari dan menemukan kebenaran tersebut.
Mungkin sebagian dari kita paham bahwa seorang jurnalis bukanlah pengamat yang terpisah dari objeknya. Ia bukan seorang observer atas fenomena. Ia terlibat, dalam pengertian bahwa ia berpikir, merasakan, menghayati, dan merefleksikan peristiwa atau sosok yang ia akan hadirkan dan representasikan ke dalam suatu bentuk reporting tertentu.
Namun tepat pada titik ini saya mengajak pembaca untuk membayangkan bahwa jurnalisme merupakan sebuah “kegiatan membuka tabir” atas fenomena (phainomenon). Meminjam pandangan Fayyadl bahwa, jurnalisme adalah seni atau teknik penulisan untuk “menyingkap” (to reveal) suatu gejala atau fenomena agar menampakkan kebenarannya. Jurnalisme adalah upaya representasi atas kebenaran yang sebelumnya tak terungkapkan, agar kebenaran itu dapat diketahui dan menjadi suatu diskursus. Menyingkap sebuah fenomena adalah sebuah kerja radikal sebagaimana halnya kerja filsafat itu sendiri. Penyingkapan ini adalah perjuangan terus-menerus untuk membuka “kebenaran” sampai ke akar-akarnya, sampai ke hal-hal yang tak terduga di baliknya, atau yang dengan sengaja atau tak sengaja disembunyikan—sesuatu yang juga menjadi kegelisahan dari setiap refleksi filosofis.
Kemudian Fayyadl menyitir Heidegger, bahwa ada keterkaitan erat antara kebenaran dan kebebasan.[8] Seseorang tidak dapat mengungkapkan kebenaran kecuali ia memiliki kebebasan untuk mencari dan menemukan kebenaran tersebut. Kebebasan merupakan conditio sine qua non bagi kebenaran agar dapat terungkap; tanpa kebebasan, seorang subjek (jurnalis, dalam hal ini) tidak dapat berbicara tentang kebenaran kecuali sebagai angan-angan; dengan kata lain, untuk mengaktualkan kebenaran, kebebasan harus terlebih dulu diaktualkan. Saya sepakat dengan hal tersebut. Jurnalis yang independen akan lebih bebas dalam menyikap kebenaran daripada jurnalis yang memihak/dikondisikan untuk berpihak pada suatu pandangan tertentu.[9] Pasalnya jurnalis dengan beban politis (politik media, tekanan dari pihak luar, atau menerima suap dari pejabat) akan terbatas gerak-geriknya dalam melaporkan sesuatu.
Di dalam jurnalisme, ada idea of truth dan idea of freedom—dan kedua idea tersebut berkorelasi dengan idea of writing: penulisan sebagai tindakan untuk menyingkap kebenaran dan mengafirmasi kebebasan dalam pengertian yang paling luas.
Di sini ada celah yang dapat dimanfaatkan pers mahasiswa. Pers mahasiswa seharusnya mampu menulis lebih bebas dan mendalam dalam melihat peristiwa. Guna mencapai kebenaran ada kalanya penting untuk tidak memandang segala sesuatunya dari permukaannya saja. Perlu adanya keberanian untuk menyelam lebih dalam guna memperoleh mutiara kebenaran itu. Kecuali jika memang pers mahasiswa saat ini sudah lupa atas idealisme mereka, atau bahkan parahnya lagi sudah malas untuk berpikir, menggali lebih dalam fakta-fakta yang ada.
Di sinilah kerja jurnalisme, bagi Fayyadl, sejalan dengan upaya setiap refleksi filosofis yang mendalam untuk mengungkap kebenaran dengan mengafirmasi kebebasan. Di dalam jurnalisme, ada idea of truth dan idea of freedom—dan kedua idea tersebut berkorelasi dengan idea of writing: penulisan sebagai tindakan untuk menyingkap kebenaran dan mengafirmasi kebebasan dalam pengertian yang paling luas. Tindakan “membuka tabir” itu tentu saja tidak mungkin lahir jika sang jurnalis tidak terlibat sedalam-dalamnya dengan pengalaman yang ingin diangkatnya.
Tentu saja kerja jurnalistik yang seperti itu tak jauh beda dengan kerja-kerja kemanusiaan. Sebab proses penggalian atas kebebasan tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia senantiasa dihinggapi belenggu yang mengondisikan kehidupan mereka. Misalnya saja peristiwa bersejarah “Gerakan 30 September” yang merupakan peristiwa hilangnya kebebasan di tengah masyarakat dan individu. Proses hilangnya hak rakyat Indonesia untuk tahu sejarah bangsanya sendiri. Pada peristiwa ini pemerintah berusaha untuk yang menutup-nutupi, tidak mengakui, menyembunyikan, merepresi, dan menekan hak-hak rakyat terhadap sejarah.
Mungkin dapat kita ambil sedikit pelajaran bahwasanya jurnalisme bukan sekadar teknik dalam pengertian yang instrumental-teknis-pragmatis. Jurnalisme tak berurusan dengan sekadar teknik menulis yang baik, menarik, memikat, atraktif, menghibur, suatu art of entertainment sebagaimana hal yang lumrah terjadi saat ini (di mana informasi telah bercampur-baur dengan konsumsi dalam satu paket cepat saji “infotainment”). Sebaliknya, penting juga menggarisbawahi bahwa jurnalisme adalah suatu kerja “kemanusiaan” yang berfungsi mempertanyakan, menginterogasi, dan menyingkap realitas melalui perspektif-perspektif baru yang mungkin atau belum mungkin dibayangkan. Sebagaimana Fayyadl menyebut jurnalisme yang bermutu sebagai thoughtful reporting—suatu kerja jurnalisme yang melaporkan, menyingkap, membuka, menyibak, dan menyidik hal-hal yang mungkin ditutup-tutupi, disembunyikan, dilupakan, direpresi, dan dideterminasi secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam jurnalisme yang demikian diharapkan tidak adanya lagi distraksi yang ditimbulkan oleh bahasa terhadap kebenaran peristwa. Saya sepakat dengan hal tersebut, bagaimana dengan kalian?
Catatan Akhir:
[1] Lih., Nezar Patria, “Filsafat dan Jurnalisme: Pencarian Makna di Balik Berita” dalam naskah pengantar diskusi dalam Studium Generale di Fakultas Filsafat, UGM, Yogyakarta, 9 September 2013. Diakses via
[2] Lih., Ian Hargreaves, Journalism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), hal. 21.
[3] Saya memakai argumen logika sebagai salah satu bagian dari epistemologi, sebab beberapa filsuf memisahkan logika sebagai cabang filsafat yang mandiri di luar epistemologi.
[4] Lih., Nezar Patria, “Berita Palsu dan Disiplin Verifikasi” dalam naskah pengantar acara talkshow “Post-Truth dalam Jurnalistik”, 16 September 2017.
[5] Lih., Taufiqurrahman, “GM dan Kepikunan Popperian”, diakses via http://lsfcogito.org/gm-dan-kepikunan-popperian/.
[6] Lih., Muhammad Al-Fayyadl, “Jurnalisme dan Filsafat: Sebuah Introduksi”, dalam sketsa pemikiran untuk diklat “BPPM Balairung”, UGM, Yogyakarta, 16 November 2009.
[7] Lih., Oxford Companion to English Language menulis: “Journalism [Early 19c: from French journalisme]: The enterprise of producing newspapers and magazines (including reporting, writing, editing, photographing, and managing) as well as the styles of writing used in such publications.” Lihat, Ross Eaman, Historical Dictionary of Journalism (Maryland & Toronto: The Scarecrow Press, 2009), hal. 1.
[8] Lih., Martin Heidegger, “The Essence of Truth”, terj. Ted Sadler (New York & London: Continuum, 2005), hal. 66.
[9] Tentu pandangan ini masihlah sebuah hipotesis yang masih bisa diperdebatkan secara terbuka.