Barangkali akan ada begitu banyak hal yang hilang dan luput dari keseluruhan proses alih-bahasa ini; gaya, nada, jika bukan malah makna[i]. Namun bagaimanapun juga, Nietzsche tetap harus kita baca, kita terjemahkan ke dalam semesta tanda yang mampu masuk ke dalam pemahaman dan kesadaran kita. Bukan hanya karena namanya yang, tak disangsikan lagi, begitu besar dalam sejarah filsafat Barat, tetapi juga karena ide-idenya yang seringkali disalah-pahami, disalah-mengerti, hingga tak ada lagi yang tersisa selain hanya slogan ‘Tuhan telah mati’.
Tentu saja, Nietzsche tidak butuh untuk dianggap penting. Toh, hampir di seluruh tulisannya, tidak ada yang kita dapatkan darinya selain hanya olok-olok atas seluruh sejarah filsafat Barat dan konstruksi budaya yang melahirkannya. Namun justru karena itulah Nietzsche menjadi tidak mungkin untuk diabaikan. Seluruh penelanjangan yang telah dilakukan Nietzsche terhadap tata-bangun pemikiran Barat hanya mengandaikan dua sikap: menolak atau menerimanya. Sialnya, upaya penolakan atas seluruh kritik yang telah dilontarkan Nietzsche, di satu sisi, sekarang telah menjadi sangat tidak mungkin untuk dilakukan, selain hanya nyinyiran yang sifatnya personal—bahwa ia gila, sakit, atau dalam kasus terbaiknya ia dianggap ad hominem—persis seperti yang dilakukan Russel dalam buku Sejarah Filsafat Barat yang sangat tebal itu. Sementara di sisi lain, penerimaan atas ide-ide yang diusulkan Nietzsche, sebagaimana dilakukan oleh Heidegger dan hampir seluruh pemikir pasca-modern, merupakan satu momok dan ’beban terberat’ yang nyaris tidak dapat menjadi memungkinkan untuk dilakukan dengan satu alasan: kita belum siap untuk itu. Atau, kondisi terburuknya, kita tidak benar-benar mengerti apa yang disampaikan Nietzsche.
Demikianlah kemudian buku ini dipaksa hadir di hadapan pembaca dalam bahasa Indonesia, meski pada akhirnya pun masih banyak yang tak ter-alih-bahasakan dengan tepat; hingga mau tidak mau tetap dibiarkan begitu saja, atau memaksanya untuk dapat diserap secara arbitrer dengan meninggalkan sedikit catatan[ii]. Semua itu tidak lebih disandarkan pada sebuah harapan bahwa pembacaan kita terhadap Nietzsche tidak akan lagi semena-mena, jika bukan sebelah mata.
/2/
Gai Saber, atau yang kemudian kita baca sebagai ‘Sains yang Mengasyikkan’[iii], adalah semacam atavisme yang dihidupkan kembali oleh Nietzsche. Kumpulan rima dan kidung-kidung yang disematkan pada terbitan kedua semakin menambah kepastian bahwa Nietzsche ingin mengajak kita menyaksikan pertunjukan teatrikal dari sebuah budaya yang dibangun di atas perpaduan ksatria, musisi-pengembara, dan ruh-bebas[iv].
Benar! Tidak ada yang lebih intim dan personal di antara buku-buku yang pernah ditulis Nietzsche selain The Gay Science—setidaknya begitulah komentar yang seringkali diberikan[v]. ‘Sains yang mengasyikkan’, Nietzsche menyebutnya sebagai penanda dari “saturnalia sebuah ruh yang telah sabar melawan suatu keburukan, tekanan panjang—dengan sabar, dingin, tanpa menyerah, tapi juga tanpa harapan.” Demikianlah di awal pengantar, kita akan membaca bagaimana Nietzsche meragu, mempertanyakan apakah seseorang yang tidak memiliki pengalaman yang sama dengan apa yang telah melahirkan seluruh tulisannya dalam buku ini, akan dapat memahaminya hanya melalui pengantar.
Demikianlah Nietzsche menilai suatu ‘penilaian’ terhadap dunia; bukan kebenarannya, melain- kan efek moralnya. Kita tidak akan pernah dapat membuktikan ‘kebenaran’, namun kita dapat menilai pengaruh dari suatu nilai yang kita berikan pada dunia dan kita yakini—apakah itu membuat kita decadence atau ascendence.
Persis di situ, kita tidak cukup hanya membaca pengantar untuk sampai pada apa yang ingin disampaikan Nietzsche. Dalam buku yang terbagi ke dalam lima bagian ini[vi], kita harus lebih sabar dan hati-hati untuk membaca satu demi satu aforisme yang ditulisnya secara terpisah. Karena jika kita baca dengan lebih cermat, kita akan menyadari; adalah suatu kesalahan besar untuk menganggap bahwa keseluruhan aforisme tersebut tidak memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga kemudian kita secara serampangan mengatakan bahwa kita bebas untuk memilih membaca aforisme manapun dan mengabaikan beberapa lainnya.
Incipit tragodia—incipit parodia, begitulah seharusnya memang kita membaca Nietzsche. Kita tidak pernah diperkenankan untuk memotong benang yang mempertautkan antara tragedi dan parodi yang dimainkan Nietzsche; yang memuji sekaligus menghina, menangisi sekaligus menertawai. Sebagaimana kemudian kita membaca: “Belas kasih adalah perasaan paling seronok,” namun seketika Nietzsche mengatakan, “Belas kasih adalah yang terpuji sebagaimana kebajikan para pelacur.”
Adalah tragedi yang melahirkan seluruh penilaian kita atas dunia, yang mendorong kita menuju sudut-paling-sepi dari jiwa kita, yang akhirnya, memaksa kita untuk mengambil dan memilih satu pegangan—entah moralitas atau agama—agar seluruh kepedihan tragis itu dapat terobati atau setidaknya terwadahi oleh satu keyakinan yang dapat sedikit menyeka air mata kita[vii]. Akan tetapi, Nietzsche ingin mengingatkan kita bahwa hidup dalam tragedi terus-menerus, nyaris akan membuat kita menjadi individu yang pesakitan—yang tentu saja memiliki konsekuensi terhadap terbentuknya budaya dan peradaban yang sakit.
Lantas apa yang ditawarkan Nietzsche melalui konsepnya tentang parodi? Apakah kita harus menertawakan seluruh tragedi, hingga akhirnya mendapati diri kita menjadi ‘tidak-berhati’ dalam satu kerangka konsep yang selama ini kita yakini?[viii] Di sinilah kita dihadapkan dua pilihan paling dilematis, jika bukan malah mengerikan:
“Entah menghapus rasa takzimmu atau—dirimu sen- diri!” Yang terakhir itu akan menjadi nihilisme; tapi bukankah yang pertama juga akan menjadi—nihilisme? (§346)
Tentu saja, nihilisme adalah sebentuk keniscayaan; ia lahir dari suatu tragedi yang memaksa kita untuk diam tak memberi nilai apapun terhadap seluruh peristiwa yang tragis. Namun untuk sampai pada keadaan semacam itu, kita harus mampu dan berani menyingkirkan rasa ingin-untuk-aman dan seluruh harapan atas ‘hikmah’ yang mungkin kita dapat.
/3/
Demikianlah kemudian kita sampai pada tiga tema sentral dari ’Sains yang Mengasyikkan’: kematian Tuhan, perulangan abadi, dan amorfati[ix].
“Tuhan telah mati,” kata si orang sinting di tengah pasar, “dan kita lah yang membunuhnya.” Tentu saja, kita dapat seketika mengatakan bahwa warta itu hanya berlaku bagi orang-orang Eropa, yang dalam alegori tersebut, memang sudah tidak lagi percaya dengan adanya Tuhan. Sementara, kita bukanlah bagian dari mereka; kita masih memegang teguh keyakinan kita terhadap ‘Tuhan Yang Esa’—bahkan ketidakpercayaan atasnya, dapat menjadi sebuah penghinaan yang tak termaafkan.
Namun persoalannya, kematian Tuhan tidaklah terletak pada perkara apakah kita masih meyakininya atau tidak. Tuhan, sebagaimana kita pahami sebagai kausa paling asali dari hadirnya dunia, bagi Nietzsche tidaklah mengartikan apapun selain hanya sebagai konsep, sebagai ‘subjek’ yang kita introdusir ke dalam gramatika bahasa untuk dapat menjadi penegas dari predikat ‘dunia’. Sementara, kausalitas sebagai satu-satunya prinsip yang menyokong keberadaan Tuhan semacam itu tidaklah memiliki pijakan ontologis yang memadai selain hanya merupakan rangkaian konseptual yang dibangun secara arbitrer melalui pembagian ruang dan waktu; bahwa satu peristiwa mendahului peristiwa yang lain[x].
Tentu saja, nihilisme adalah sebentuk keniscayaan; ia lahir dari suatu tragedi yang memaksa kita untuk diam tak memberi nilai apapun terhadap seluruh peristiwa yang tragis. Namun untuk sampai pada keadaan semacam itu, kita harus mampu dan berani menyingkirkan rasa ingin-untuk-aman dan seluruh harapan atas ‘hikmah’ yang mungkin kita dapat.
Di sinilah kemudian, Tuhan memang seharusnya mati agar manusia memperoleh dunianya kembali secara penuh dan murni. Karena bagaimanapun juga, keberadaan Tuhan bagi Nietzsche, selama ini telah membimbing umat manusia menuju jalan penghancuran diri, penaifan diri, dan penghinaan diri yang tak ada habisnya. Dunia yang seharusnya dihidupi dan diterima dengan cinta, seketika menjadi sangat salah dan hina di mata manusia. Dan seketika kita bertanya: bukankah memang demikian, dunia yang kita tinggali saat ini hanyalah persinggahan sementara untuk menuju kehidupan yang lebih baik setelah mati?
Mari kita simak pertanyaan genealogis[xi] yang akan diberikan Nietzsche: mengapa kalian menginginkan kehidupan yang lebih baik, tidakkah dunia ini sudah memberikan segalanya; kebahagiaan dan sekaligus ketidakbahagiaan? Bukankah kebahagiaan itu menjadi mungkin jika dan hanya jika ada ketidakbahagiaan di sisinya? Dan biarkan Nietzsche menerka apa yang mungkin akan menjadi jawaban kalian: bukankah eksistensi kita pasti memiliki makna dan tujuan, dan tujuan tersebut pastilah sesuatu yang lebih baik daripada dunia yang kini kita hidupi? Tepat di situlah tragedi bermain. Keyakinan kita yang mati-matian atas dunia ‘pembalasan’, dunia yang lebih baik setelah mati, tidak lebih merupakan sebentuk eskapisme rendahan atas ketidaksanggupan kita menerima tragedi dengan ‘kebesaran jiwa’. Alih-alih merangkulnya sepenuh hati, kita malah mengubah kebijaksanaan kuno [gnothi seauton] yang diajukan Nietzsche dengan rumusan ceroboh [kenali setan dalam dirimu] tanpa rasa malu. Begitulah kita memang; selalu mencari kambing hitam atas segala persoalan yang menimpa diri sendiri. Kita masih dikuasai oleh rasa ‘dendam’ atas kepedihan kita melihat dunia yang amat tragis[xii]; kita masih tidak sanggup untuk mengikhlaskan keluarga, saudara, dan sahabat kita yang mati di medan perang, terbunuh dengan amat kejam. Kita, orang-orang yang tak cukup memiliki ‘kebesaran jiwa’, amat takut menghadapi fajar baru dengan gemuruh angin dari penderitaan hidup yang menerpa kita terus-menerus, lagi dan lagi.
Sedianya kita harus membaca lagi pengandaian Nietzsche tentang ‘perulangan abadi’ secara lebih mendalam:
Bagaimana seandainya pada suatu hari atau pada suatu malam, iblis menyelinap ke dalam kesunyianmu yang paling dalam dan berkata kepadamu: “Hidup ini, sebagaimana telah kau hidupi sekali lagi dan lagi tanpa batas; tidak akan ada sesuatu yang baru di dalamnya, selain bahwa setiap rasa sakit dan setiap sukacita dan setiap pemikiran juga rintihan, segala sesuatu yang kecil ataupun besar yang tidak dapat dirinci dalam hidupmu, harus kembali lagi semua untukmu, dalam susunan dan urutan yang sama—”(§341)
Senyatanya, kita tidak pernah benar-benar mengerti bagaimana dunia ini berjalan; seluruh penjelasan tentangnya yang kita dapatkan selama ini, entah itu berupa nubuat ataupun postulat ilmiah, hanyalah upaya pendekatan yang ‘terlalu manusiawi’, selalu berjangkar pada keadaan fisik ataupun psikis manusia—singkatnya: hanya untuk ‘kita’ saja. Demikianlah kemudian kita memaklumi pengandaian Nietzsche; toh, kita tidak pernah tahu apakah dunia ini memiliki awal dan akhir, atau ia hadir demi suatu ‘telos’ tertentu. Tidaklah berlebihan untuk mengandaikan bahwa dunia ini berjalan di atas lingkaran setan; bahwa ia harus ‘kembali secara abadi’ untuk kita hidupi sekali lagi dan lagi tanpa batas.
Namun persoalannya, kematian Tuhan tidaklah terletak pada perkara apakah kita masih meyakininya atau tidak. Tuhan, sebagaimana kita pahami sebagai kausa paling asali dari hadirnya dunia, bagi Nietzsche tidaklah mengartikan apapun selain hanya sebagai konsep, sebagai ‘subjek’ yang kita introdusir ke dalam gramatika bahasa untuk dapat menjadi penegas dari predikat ‘dunia’.
Jelas bahwa Nietzsche tidak pernah memaksudkan suatu kebenaran apapun melalui pengandaian tersebut. Lagipula, tidak pernah ada kebenaran bagi Nietzsche; “kita hanya tidak memiliki organ untuk pengetahuan [das Erkennen], untuk kebenaran: kita hanya tahu [wissen] (atau percaya atau membayangkan) seberapa besar kemungkinannya berguna untuk kepentingan manusia, kepentingan spesies (§354).” Tepat dalam arti kegunaan itulah kita seharusnya memberikan nilai pada kehidupan. Seluruh pengetahuan kita tidak semestinya ditujukan pada suatu kebenaran tertentu, untuk mengatakannya sekali lagi, karena kita tidak memiliki organ untuk hal semacam itu.
Dalam arti inilah kita dapat menerka apa yang ingin Nietzsche sampaikan: bahwa ‘perulangan abadi’ adalah satu-satunya pengandaian tentang dunia yang dapat membuat manusia hidup dengan ‘kebesaran jiwa’. Persis demikianlah Nietzsche menilai suatu ‘penilaian’ terhadap dunia; bukan kebenarannya, melain- kan efek moralnya. Kita tidak akan pernah dapat membuktikan ‘kebenaran’, namun kita dapat menilai pengaruh dari suatu nilai yang kita berikan pada dunia dan kita yakini—apakah itu membuat kita decadence atau ascendence.
Pada akhirnya, kita digiring Nietzsche pada satu rumusan hidup yang paling personal: amorfati, sebagai konsekuensi etis dari kematian Tuhan dan perulangan abadi. Sebagaimana tragedi yang kapan saja dapat menjatuhkan kita ke dalam jurang pemikiran yang sakit—pesimisme, nihilisme, atau bahkan religiusitas naif—, di hadapannya, kita tidak diperkenankan untuk merengek apalagi mencaci-maki. Sebaliknya, amorfati, mengandaikan kita untuk berkata ‘Ya!’ kepada hidup betapapun tragis hal itu di mata kita. Mencintai bukan berarti pasrah dan menyerah—sebagaimana sikap yang diambil orang-orang pesimis—akan tetapi, memperindah apa yang kita miliki.
/4/
Di sinilah kita akhirnya, yang sudah semestinya belajar memahami kembali dengan baik tentang hakikat bagaimana menjadi seorang individu. Namun bagaimana lagi, ‘individu’ kini telah kehilangan makna luhurnya dan tergantikan oleh rumusan-rumusan mentah dari orang-orang altruis yang lemah, yang tidak sanggup hidup tanpa bergumul dengan perkumpulan; takut sendiri, takut dikucilkan, takut dikebiri. Bagaimana mungkin seluruh persoalan sosial dapat selesai, sementara kita belum selesai dengan diri sendiri?
Sekali lagi, semoga tidak terlalu sulit bagi kita untuk memahami Nietzsche. Karena bagaimanapun juga, Nietzsche telah memeringatkan kita bahwa kegagalan kita memahami sebuah buku, bukan semata-mata karena ketidakmampuan kita untuk menjamah atau menelusup jauh ke dalam pikiran penulis. “Seseorang,” kata Nietzsche, “tidak hanya ingin dipahami ketika ia menulis; ia juga ingin sekaligus untuk tidak dipahami.” Tentu saja, semua itu dimaksudkan dalam suatu kerangka pikir bahwa: “Semua ruh dan selera yang lebih mulia memilih pembacanya ketika mereka ingin berkomunikasi.” Demikianlah kemudian; seandainya kita mampu memahami buku ini dengan baik, maka buku ini memang sengaja ditulis untuk kita—orang-orang yang ‘berjiwa besar’ !
Catatan Akhir :
[i] Ini merupakan artikel pengantar untuk terjemahan The Gay Science.
[ii] Proses alih-bahasa ini menggunakan tiga buku sebagai rujukan; versi Kaufmann sebagai rujukan primer, versi Nauckhoff sebagai pembanding, dan versi Jerman sebagai konfirmasi akhir untuk beberapa terminologi yang gagal memperoleh padanan kata dalam bahasa Inggris maupun Indonesia. Proses alih-bahasa ini menggunakan metode interpretatif sehingga ada begitu banyak reduksi ataupun ekstensi kalimat yang dirasa lebih enak dibaca dalam ke- rangka bahasa kita, tanpa menghilangkan beberapa terminologi kunci khas nietzschean.
[iii] Penerjemahan ini dipilih berdasarkan terjemahan Setyo Wibowo, yakni ‘Pengetahuan yang Mengasyikkan’, dalam bukunya ‘Gaya Filsafat Nietzsche’. Penggantian kata ‘pengetahuan’ dengan ‘sains’ didasarkan pada argumentasi Walter Kaufmann dalam pengantar edisi Inggris yang memberi kritik terhadap terjemahan sebelumnya, The Joyful Wisdom. Kaufmann mengatakan bahwa kata Wissenschaft lebih tepat dimaknai dan dipahami sebagai sains yang sifatnya rigor daripada ‘kebijaksanaan’. Demikian pula kata ‘pengetahuan’, menurut saya, kurang tepat untuk mewakili apa yang dimaksudkan Nietzsche dan argumentasi yang diberikan Kaufmann.
[iv] Lih. uraian Nietzsche tentang ‘Sains yang Mengasyikkan’ dalam Ecce Homo: “Lagu-laguan dari Pangeran Vogelfrei, yang sebagian besar ditulis di Sisilia, sangat jelas mengingatkan kita pada konsep Provencal atas gaia scienza, yang merupakan perpaduan dari ksatria, pengamen jalanan, dan ruh-bebas, yang membedakan suatu kebudayaan yang amat indah dari kebudayaan yang ambigu [modern].”
[v] Walter Kaufmann dan Setyo Wibowo memiliki komentar yang sama tentang hal ini.
[vi] Pada mulanya, buku ini hanya terdiri dari empat bagian sebelum Nietzsche menambahkan pengantar dan bagian kelima, serta kumpulan rima sebagai pembuka dan lagu-laguan sebagai penutup dalam edisi kedua yang terbit pada tahun 1887.
[vii] “Sekarang ini, kita masih hidup di abad tragedi, abadnya moralitas dan agama-agama” Lih. Bagian Satu: §1. Konsep tragedi ini menjadi sangat penting dalam kerangka filsafat Nietzsche. Sebagaimana kita tahu, konsep ini diadaptasi dari ’Tragedi Yunani’ yang seringkali menggambarkan suatu narasi tragis di mana konsep bahwa ‘yang baik selalu menang di atas yang jahat’ tidak berlaku. Seperti itulah realitas menurut Nietzsche; ia selalu immoral, hanya orang yang kehendaknya lemah yang kemudian terdorong untuk menciptakan penilaian moral ‘baik’ dan ‘jahat’, yang pada akhirnya melahirkan beragam konsepsi cacat tentang keadilan dan pembalasan.
[viii] Secara lengkap, persoalan ini telah dibahas oleh Higgins dalam bukunya Comic Relief: Nietzsche’s Gay Science. Dalam buku tersebut, Higgins mengutip Lawrence Hatab yang mengatakan:
“Di mata Nietzsche, yang tragik dan yang komik adalah dua sisi mata uang yang sama, dua jalan di mana negasinya dapat diakui dan diafirmasi […] Nyatanya, komedi dan gelak-tawa dapat muncul sebagai sebuah sikap positif terhadap yang tragis, tanpa menyang- kal negativitas dari yang tragis. Dengan kata lain, komedi, bagi Nietzsche, menjadi jalan terbaik di mana sebuah situasi tragis perlu disikapi tanpa keadaan pikiran yang negatif.” Lih. Higgins, hal. 7.
[ix] Dalam proses pencarian benang merah ini, saya sangat berutang banyak kepada Monika Langer yang cukup teliti memberi komentar dan interpretasi dalam bukunya Nietzsche’s Gay Science: Dancing Coherence (2010). Dalam bukunya, Langer merumuskan tiga tema sentral dari The Gay Science: anti-pendewaan atas alam, dunia, moralitas, dan pengetahuan; naturalisasi diri; dan memperindah kehidupan. Saya mencoba merumuskan tiga hal tersebut ke dalam terminologi kunci yang digunakan oleh Nietzsche sendiri.
[x] Selengkapnya mengenai kematian Tuhan, dapat dibaca dalam tulisan saya di Jurnal Cogito Vol. 4 No. 2 Oktober 2017 dengan judul ‘Kematian Tuhan: Tentang Bahasa, Logika, dan Metafisika’.
[xi] Inilah proyek utama dari filsafat Nietzsche menurut Deleuze; meradikalkan kritik yang telah dibangun oleh Kant dengan membawa seluruh persoalan ke dalam semesta ‘nilai’. Metode ini pula yang kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud untuk membangun psikoanalisis. Sebagaimana diuraikan Setyo Wibowo dalam ‘Gaya Filsafat Nietzsche’, inti dari genealogi adalah menelusuri apa yang sebenarnya diinginkan oleh kehendak saat menghendaki sesuatu. Persis dalam kerangka inilah ‘kedalaman’ seorang Nietzsche menjadi polemik; apakah itu terlalu benar atau malah tidak sopan.
[xii] Persis dalam hal inilah Nietzsche memandang seluruh bangunan modernisme-pencerahan—demokrasi, feminisme, dan seluruh kampanye yang menyuarakan persamaan hak—menunjukkan adanya simtom yang menandakan kemunduran dari suatu kebudayaan dan peradaban. Bagi Nietzsche seluruh konsepsi sosio-politik yang lahir dari rahim modernisme tidak lebih merupakan luapan dari perasaan ‘dendam’, atau dalam istilah Nietzsche, ‘ressentiment’.