spot_img
More

    Agama dalam Pemikiran Karl Marx

    Featured in:

    Umumnya orang menganggap bahwa agama adalah petunjuk bagi hidup manusia. Karena ia merupakan petunjuk untuk hidup, maka manusia akan tersesat jika ia tidak berpegang pada sistem nilai yang disodorkannya. Betapa tidak, sistem nilai itu dianggap berasal dari entitas transenden yang merupakan pencipta dari manusia itu sendiri. Orang menyebutnya sebagai Tuhan. Ketika agama diposisikan sebagai petunjuk, maka agama itu sendiri dianggap dapat atau mampu menyelesaikan segala masalah yang ada. Baik masalah tentang rahasia-rahasia alam semesta maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan realitas sosial. Agama juga mengajarkan bagaimana seseorang berhadapan dengan Tuhan itu sendiri. Segala masalah yang ada di dunia, singkatnya, akan terselesaikan jika seseorang mendasarkan diri kepada agama.

    Namun benarkah demikian? Apakah agama betul-betul merupakan petunjuk bagi manusia atau justru sebaliknya? Karena seringkali dijumpai juga, alih-alih memberikan solusi atas masalah yang ada, agama malah memberikan jalan “lain” yang cenderung merugikan manusia.

    Alan Woods memberikan gambaran praktik religius umat Kristen yang menurutnya sangat merugikan. Ia mengatakan, Gereja pada masa Paus Leo X tahun 1517 melahirkan apa yang dinamakan dengan Taxa Camerae. Taxa Camerae adalah praktik religius yang diklaim dapat menyelamatkan jiwa seseorang, hanya jika seseorang dapat membayar kepada Gereja.[1] Pelaku praktik ritual ini menganggap bahwa dosa seseorang, entah itu dosa-dosa besar ataupun dosa-dosa kecil dapat ditebus hanya dengan membayar sejumlah uang yang cocok, sesuai dengan timbangan dosa yang dilakukan.[2] Bagi Alan Woods, alih-alih menunjukan dan melakukan ritus keagamaan yang suci, praktik-praktik tersebut malah menunjukan hal yang sebaliknya, yakni hipokrisitas. Kemudian, contoh lainnya adalah fenomena Tuhan Marduk Babilonia. Alan Woods menjelaskan, perintah-perintah yang dititahkan oleh agama tersebut hanya menyembunyikan fakta atau realitas yang sebenarnya, yakni pemilahan masyarakat kepada dua kelas. Yakni kelas yang menindas, yang diwakili oleh kalangan yang merupakan “wakil” dari Tuhan, dan kelas yang ditindas, yakni yang diwakili oleh kelas pekerja.[3] Kelas pekerja ini bertugas untuk memberikan persembahan kepada Tuhan, yang tak lain dan tak bukan adalah kelas penindas tadi. Pada dasarnya praktik religius tersebut bukan merupakan persembahan itu sendiri, tapi hanya sebagai perbudakan mayoritas oleh minoritas. Pendeta-pendeta ini dibebaskan dari segala beban kerja, dan mereka mendapatkan kesenangan dan privileges atasnya.[4]

    Kalau demikian persoalannya, apakah agama benar-benar merupakan petunjuk dan pembebas umat manusia? Dari titik ini, mungkin muncul asumsi bahwa yang mesti jadi kritik dari fenomena tersebut adalah orang beragama itu sendiri, dan bukan agama an sich. Dalam artian, agama dan pemeluknya merupakan dua entitas yang berbeda. Jika dua kenyataan itu dipisahkan, maka sangat mungkinlah jika agama itu sendiri memang hadir sebagai petunjuk, namun karena terdapat oknum atau para penyeleweng, agama pun berubah menjadi suatu hal yang buruk. Tapi apakah demikian?

    Karl Marx mengatakan hal yang sebaliknya. Ia menganggap bahwa agama bukanlah petunjuk bagi umat manusia, tapi ia adalah kerangkeng atau jeratan. Marx mengatakan, “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world and the soul of soulness conditions. It is the opium of the people”.[5] Kutipan terkenal ini merepresentasikan posisi Marx ketika berhadapan dengan agama. Agama hanyalah keluh kesah dari mahluk tertindas, kemudian ia hanyalah opium. Agama bukan petunjuk, tapi ia tak lebih dari masalah dari manusia itu sendiri. Alih-alih memberikan petunjuk untuk melepaskan diri dari sebuah masalah, ia malah menjadi opium atau penenang. Opium di sini bermakna sebagai sebuah obat yang dapat meringankan atau melupakan rasa sakit yang riil. Penenang di sini bermakna ilusi belaka, yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah sebenarnya yang ada di masyarakat. Singkatnya agama merupakan sebuah kepalsuan.

    Pertanyaannya, bagaimana Marx bisa sampai kepada kesimpulan tersebut? Dan bagaimana Marx memandang realitas agama itu sendiri?

    Konsep Alienasi Hegel dan Feuerbach

    Alienasi merupakan konsep yang sangat krusial dalam pandangan Marx tentang agama. Konsep tentang alienasi ini ia adopsi dari Hegel dan juga Feuerbach.[6] Dari Hegel lah konsep alienasi itu muncul. Namun alienasi ini di tangan Hegel masih bercorak idealis. Dalam artian, alienasi yang terjadi di dalam realitas, masih dianggap sebagai alienasi yang terjadi di dalam tataran non-material atau idea. Sehingga konsep alienasi Hegel ini tidak dianggap terjadi di dalam tatanan material.[7]

    Menurut Hegel, alienasi merupakan kesadaran yang tidak bahagia (unhappy consciousness). Alienasi ini terjadi ketika terdapat individu yang berada dalam kondisi terpisah dengan dasar esensinya. Dasar esensi ini merupakan basis universal jiwa dunia. Kondisi ini terjadi ketika individu tadi atau seorang subjek merasa bahwa esensi atau jiwa dari dirinya sendiri terpisah jauh, bahkan berada di sebrang kesadaran dirinya.[8] Tapi bagi Hegel alienasi ini adalah suatu hal yang penting, karena ia merupakan salah satu fase dari perkembangan sejarah dari sebuah Roh. Jadi, ketika Roh berada dalam keadaan alienasi, ia kemudian berusaha untuk melakukan rekonsiliasi dengan apa yang teralienasi di dalam dirinya sendiri. Bentuk rekonsiliasi itu terjadi, ketika roh yang teralienasi ini, yang berada di dalam bentuk individualitas personal seseorang, kemudian menjadi objek bagi kesadarannya. Atau dalam bahasa lain, individu ini mulai menyadari bahwa dirinya adalah kekuatan spiritual atau kendaraan dari jiwa yang memiliki pengetahuan akan dirinya sendiri.[9] Posisi Hegel ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa alienasi itu hanya mungkin teratasi jika terdapat apa yang disebut dengan rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini terjadi, ketika individu mulai menyadari bahwa dirinya terhubung dengan basis universal dari jiwa dunia, atau dalam bahasa lain ia mulai menyadari basis dari segala sesuatu, yakni esensi dasar tidak terpisah dari dirinya sendiri. Ketakterpisahan itu terjadi ketika terjadi harmoni antara individualitas dengan esensi dasar dari segala sesuatu atau Roh qua Tuhan itu sendiri. Dalam artian, proses penyelesaian dari alienasi terjadi ketika seseorang mulai menyadari atau menaruh keimanannya kepada Tuhan.[10]

    Posisi Feuerbach berbeda dengan Hegel, meskipun dalam konteks alienasi ia masih mempergunakan kerangka darinya. Jika Hegel mendasarkan konsep alienasinya masih di dalam tataran Roh qua Jiwa qua Kesadaran. Maka Feuerbach membalik konsepsi Hegel ini. Pembalikan dalam konteks ini berarti, Feuerbach tak mendasarkan alienasi di tataran ideal, namun berada di dalam tataran material. Atau dalam bahasa lain, Feuerbach membalik filsafat roh Hegel, kepada filsafat manusia.[11]

    Bagi Feuerbach, tugas utama dari filsafat ialah mengembangkan filsafat manusia, bukannya filsafat tentang Roh atau Teologi. Singkatnya kritik filsafat manusia terhadap filsafat spiritual.[12] Bagaimana ini bisa terjadi? Feuerbach mengatakan, alih-alih melampaui alienasi dengan cara melakukan rekonsiliasi dengan Tuhan, wujud rekonsiliasi dengan Tuhan itu sendiri merupakan alienasi.[13] Hegel, sebagaimana agama Kristen, menganggap bahwa manusia dan alam merupakan entitas yang terpisah satu sama lain, ucap Feuerbach. Dan hal tersebut merupakan kesalahan. Feurbach sebaliknya mengatakan bahwa manusia dan alam merupakan dua hal yang tak terpisah satu sama lain.[14] Jika demikian persoalannya, maka jika seorang manusia memiliki kesadaran bahwa dirinya seharusnya menyatu dengan Tuhan, hal demikian adalah wujud alienasi. Alasannya, karena manusia melepaskan kediriannya yang bersifat natural kepada suatu entitas atau wujud yang berada di dalam ruang naturalitas itu sendiri.[15] Sehingga, jika alienasi itu ingin dilampaui, jalan satu-satunya adalah menarik Tuhan dengan segala sifat yang dilekatkan kepadanya, kepada diri manusia itu sendiri. Mengapa demikian? Karena Tuhan adalah manusia yang teralienasi itu sendiri, Tuhan tak lain ialah proyeksi manusia.[16] Karena ia merupakan proyeksi, maka ia merupakan hasil ciptaan manusia. Namun, fakta bahwa Tuhan merupakan hasil ciptaan manusia ini sudah dilupakan, sehingga tugas utama seorang manusia adalah kembali mengingat fakta mendasar ini, yakni bahwa Tuhan adalah ciptaan.[17]

    Di sinilah letak dari materialisme Feuerbach, yakni sebagai wujud pembalikan atas filsafat Hegel yang bercorak idealistik. Ia mengubah Teologi menjadi Antropologi. Posisi Feuerbach ini mulai membuka celah kritik atas agama. Jika menggunakan konsepsi alienasi Feuerbach ini, maka agama bukannya merupakan wujud penyelesaian masalah dari alienasi, justru sebaliknya agama itu sendiri merupakan masalah dan sumber dari alienasi. Feuerbach di sini meletakan subjek qua manusia Hegelian yang bersifat atemporal dan ahistoris itu ke dalam wujudnya yang riil, yakni subjek qua manusia yang bersifat historis qua temporal.

    Lalu apa yang dimaksud dengan alienasi menurut Marx? Marx memang mengikuti kesimpulan dari Feuerbach, namun Marx tidak setuju dengan Feuerbach dalam beberapa hal. Sebelum menjelaskan soal alienasi ala Marx, adalah suatu hal yang perlu jika posisi materialisme Marx diketengahkan terlebih dahulu. Karena materialisme Marx ini berbeda dengan Feuerbach. Dan perbedaan posisi ini, akan berimplikasi pada konsepsi alienasi dari Marx itu sendiri.

    Materialisme Historis Marx

    Meskipun ia terinspirasi oleh Feuerbach, tapi setidaknya Marx pun memberikan kritik pula terhadapnya. Menurut Marx,

    • The chief defect of all hirhertho existing materialism (that of Feuerbach included) is that the thing, reality, sensuousness, is conceived only in the form of the object or of contemplation, but not as sensuous human activity, practice, not subjectively. Hence, in contradistinction to materialism, the active side was developed abstractly by idealism—which, of course, does not know real, sensuous activity as such. Fereubach wants sensuous objects, really distinct from the thought objects, but he does not conceive human activity itself as objective activity. Hence, in Das Weesen des Christentums, he regards the theoretical attitude as the only genuinely human attitude, while practice is conceived and fixed only in its dirt-judaical manifestation. Hence he does not grasp the significance of “revolutionary,” of “practical-critical,” activity.[18]

    Kutipan ini mewakili dan menjadi titik pijak pertama kritik Marx terhadap agama, sekaligus di dalam tesis ini Marx sedang menegaskan distingsinya dengan materialisme Feuerbach.

    Bagi Marx, Feuerbach meletakan manusia sebagaimana adanya atau dalam kondisi yang riil. Tapi manusia di dalam pandangan Feuerbach masih merupakan objek kontemplasi, yang sesungguhnya agak tak berbeda dengan Hegel; yang juga meletakan manusia sebagai objek kontemplasi. Ada yang luput dari pandangan Feuerbach, yakni dimensi praxis manusia.

    Manusia memang hadir sebagai mahluk material atau natural, akan tetapi ia bukanlah makhluk yang pasif. Sebaliknya, ia merupakan mahluk yang aktif. Aktfitas manusia itu bisa dilihatnya dari dimensi praxis manusia. Dimensi praxis ini adalah hal yang paling fundamental dalam diri manusia, namun ia dilupakan oleh Feuerbach. Namun apakah yang dimaksud dengan dimensi praxis itu sendiri? Makna praxis di sini mengacu kepada produksi. Produksi di sini berarti usaha atau wujud mencari penghidupan berkelanjutan dari spesies manusia. Tentu manusia yang dimaksud di sini mesti dimaknai sebagai mahluk sosial.[19] Marx mengatakan, bahwa perbedaan antara manusia dengan binatang justru bukanlah terletak pada fakta bahwa manusia adalah mahluk yang berpikir. Justru, letak perbedaannya terdapat di dalam dimensi pencarian subsistensinya.[20]

    Produksi itu sendiri atau praxis, bagi Marx, hanya mungkin terwujud di dalam organisasi sosial. Dan organisasi sosial yang memproduksi itu hanya mungkin jika terjadi di dalam alam material itu sendiri. Tapi pola produksi ini tidak hanya bisa dipahami sebagai mode reproduksi fisikal saja. Lebih jauh, produksi yang dilakukan oleh manusia mencerminkan mode kehidupan mereka.[21]Dengan demikian, apa yang diproduksi oleh manusia menentukan ke-apa-an mereka. Apa yang diproduksi oleh suatu masayarakat, dengan demikian berkoinsidensi dengan cara bagaimana mereka hidup. Kedua hal tersebut bagi Marx tidak bisa dipisahkan satu sama lain.[22]

    Konsep ini merupakan konsep sentral di dalam filsafat Marx. Konsep ini dinamai Marx dengan istilah materialisme historis. Materialisme historis ialah sebuah kerangka pembacaan sekaligus realitas dari tatanan masyarakat. Materialisme historis di sini bekerja di dalam ranah makrososiologis yang “menggambarkan” tentang penyebab stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.[23] Dalam arti, Marx menganggap, takkan pernah ada masyarakat yang tak terikat dengan hukum materialism historis.

    Materialisme historis ini juga merupakan sebuah skema dalam menafsirkan totalitas sejarah yang berkontribusi dalam merealisasikan konsep tentang akhir dari sejarah.[24] Dalam arti, konsep ini pun merupakan metode pembacaan atas hukum gerak sejarah masyarakat.[25]

    Di dalam konsep materialisme historis Marx, terdapat dua operasi yang saling berhubungan satu sama lain. Yang pertama adalah basis, dan yang kedua suprastruktur. Kedua hal ini bekerja dan terdapat di dalam setiap tatanan masyarakat. Basis merupakan sebuah struktur dan mode produksi dinamis yang ada di masyarakat. Di dalamnya terdapat relasi produksi dan kekuatan produksi. [26] Yang kedua, suprastruktur, mengacu kepada politik dan ideologi.[27] Kedua entitas ini mesti dibedakan, tapi tak terpisah satu sama lain. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah, konsep ini jangan dipahami sebagai terdapatnya ideologi dan politik hanya mungkin jika ada produksi. Tapi, konsep ini mesti dipahami bahwa wujud politik dan ideologi tertentu dapat direduksi ke dalam bentuk produksi tertentu yang ada di masyarakat.[28] Tapi reduksi di sini juga tidak berarti determinisme ekonomi sepenuhnya. Dalam artian bahwa segala bentuk ideologi dan politik tak berpengaruh apa-apa terhadap basis. Justru, Marx sendiri menegaskan, bahwa ideologi dan politik itu memiliki derajat otonomi tertentu. Tapi otonomi tersebut tidak bisa dilepaskan dari jeratan basis.[29] Basis di sini berfungsi sebagai hal yang determinan terhadap suprastruktur, tetapi suprastruktur yang memiliki otonomi ini mesti dipahami sejauh dibatasi atau terbatas pada kondisi basis.

    Lalu apa yang disebut dengan suprastruktur itu sendiri secara spesifik? Marx mengatakan dua pengertian tentangnya. Pertama, suprastruktur ialah institusi non-ekonomi; kedua suprastruktur ialah institusi non-ekonomi yang karakternya bisa dijelaskan dari kondisi struktur ekonomi.[30]

    Marx sendiri mengatakan—misalnya ketika berbicara soal hukum—bahwa masyarakat tidak ditemukan di dalam hukum, namun sebaliknya hukum mesti dicari di dalam masyarakat. Hukum mengekspresikan kebutuhan dan keinginan mendasar dari suatu masyarakat. Dan ekspresi tersebut muncul dari mode produksi yang terjadi di dalam rentang waktu tertentu.[31] Napoleon, ungkap Marx, tidak menciptakan masyarakat borjuis. Tapi sebaliknya ia (masyarakat borjuis) merupakan refleksi dari tatanan produktif yang ada di dalam masyarakat. Singkatnya, setiap bentuk mode produksi menciptakan tatanan legal, bentuk pemerintahan, dan lain sebagainya.[32]

    Akan tetapi, jika suprastruktur merupakan efek dan cerminan dari sebuah basis, atau produksi yang ada di masyarakat, apakah basis “membutuhkan” suprastruktur? Jawaban Marx adalah positif. Dalam artian, basis pun membutuhkan suprastruktur untuk melanggengkan posisi dirinya.[33] Di sinilah letak pentingnya suprastruktur, yakni untuk mempertahankan stabilitas dari produksi atau sistem ekonomi. Fungsi ini kemudian menunjukan, bahwa analisa terhadap masyarakat tak mungkin bisa hanya terfokus kepada basis produksi saja, namun ia mesti juga mendasarkan diri pada analisis atas suprastruktur yang ada di dalam masyarakat. Singkatnya keduanya saling berelasi satu sama lain.

    Perkembangan Corak Produksi

    Sebagaimana di jelaskan di bagaian materialisme historis, Marx pada posisi ini menegaskan, bahwa suprastruktur atau ideologi di dalam masyarakat, merupakan cerminan dari sebuah basis. Basis struktur itu ialah ekonomi. Dengan demikian, Marx menjangkarkan pola analisis masyarakatnya pada analisa ekonomi, karena ia merupakan suatu hal yang fundamental bagi sebuah masyarakat. Namun, suatu hal yang perlu diketahui adalah, bahwa corak produksi yang ada di masyarakat ini tidak bersifat statis atau tetap. Corak produksi yang ada di masyarakat itu dinamis dan menyejarah. Oleh karenanya setiap fase sejarah menyimpan sebuah bentuk corak produksi tertentu, dan karenanya membuahkan sebuah sistem ideologi yang berbeda pula.

    Bagi Marx, fase awal itu adalah komunisme primitif. Pada masyarakat komunisme primitif atau masyarakat paling sederhana ini, tidak terdapat apa yang disebut dengan kelas (sebagaimana nanti terdapat di dalam struktur masyarakat modern: kapitalisme). Mulanya, masyarakat memenuhi kebutuhannya dengan cara berburu. Karena produksi dalam perburuan ini bersifat kolektif alias tidak individual, maka pembagian kerja menjadi niscaya. Pembagian ini muncul, dikarenakan setiap individu yang ada di dalam suatu komunitas masyarakat, memiliki perbedaan-perbedaan kapasitas. Kapasitas itu antara lain terdapat orang yang kuat, yang lemah, dan juga memiliki keterampilan yang berbeda.[34]Fase ini bagi Marx merupakan fase yang cukup “ideal”, karena setiap individunya terikat oleh komunalitasnya, sehingga tidak ada kepemilikan privat. Mereka bekerjasama dalam mempertahankan hidupnya, mereka berbagi dalam hasil produksinya tanpa ada ketimpangan hasil.[35]

    Sampai kemudian, muncul lah benih-benih kepemilikan privat. Kepemilikan privat ini ditandai dengan berubahnya corak produksi masyarakat berburu kepada pertanian. Di dalam masyarakat pertanian atau feudal ini, muncul apa yang disebut dengan klaim kepemilikan tanah. Dari klaim kepemilikan tanah inilah muncul apa yang disebut dengan kelas sosial. Di dalam masyarakat ini, kelas sosial terbagi ke dalam dua, yakni tuan dan budak. Tuan adalah seseorang yang memiliki tanah, sedangkan budak adalah orang yang tak memiliki tanah. Untuk memperpanjang kehidupannya, di sini budak “memberikan” tenaga kerjanya kepada tuan yang memiliki lahan pertanian.[36]

    Kemudian, pola ini berlanjut sampai era industrialisasi pada zaman modern. Pertentangan kelas yang ada pada zaman feodalisme ini masih berlanjut, namun dalam bentuknya yang berbeda. Kelas yang muncul pada zaman industri, atau kapitalisme, melahirkan dua kelas yakni borjuasi dan proletar. Kelas borjuis adalah kelas yang memiliki alat produksi, sedangkan proletar atau buruh adalah orang yang menjual tenaga kerjanya kepada kaum borjuis untuk mendapatkan upah.[37]

    Era kapitalisme ini ditandai dengan semakin massifnya produksi menggunakan mesin-mesin modern. Kemudian aktivitas komersil dan perdagagnan juga memiliki skala yang benar-benar luas. Semua aktivitas ini terjadi di dalam sebuah pabrik, di mana komoditas-komoditas diproduksi secara massif.[38]

    Marx menandai bahwa di dalam tatanan masyarakat kapitalisme, justru memperuncing pertentangan kelas yang ada. Bahkan penderitaan kaum yang termarjinalisasi ini, yakni proletariat, semakin meruncing dan tak terhindarkan. Ketegangan kelas inilah yang nanti akan melahirkan sebuah tatanan baru.[39]

    Perjuangan Kelas

    Ketika bicara tentang masyarakat dan juga mode produksi yang terdapat di dalamnya, maka pembicaraan tentang perjuangan kelas menjadi niscaya. Mengapa hal tersebut penting? Karena menurut Marx, relasi produksi itu sendiri menciptakan apa yang disebut dengan kelas-kelas sosial. Dan kelas-kelas sosial yang ada di setiap tahap sejarah, merupakan sejarah pertentangan kelas.[40] Marx mengatakan bahwa sejarah merupakan perwujudan dan juga aktivitas dari sebuah antagonisme antar kelas. Rentangan itu terjadi, dari masyarakat perbudakan, feudal, hingga masyarakat kapitalis. Di dalam masyarakat kapitalis, terdapat dua kelas yang saling bersitegang satu sama lain, yakni borjuis dan proletariat.[41]

    Kaum borjuis adalah kaum yang bertujuan untuk memperbanyak modal atau kapital sebanyak-banyaknya.[42] Sedangkan kaum proletar merupakan kelas pekerja. Mereka adalah kelas yang menjual tenaga kerjanya kepada kaum borjuis, yakni yang memiliki kepemilikan privat alat produksi.[43]

    Kelas proletar adalah kelas yang tak bisa bekerja tanpa terikat kepada kaum borjuis. Kerja mereka adalah kerja yang bisa disebut kerja yang terpaksa. Karena mereka takkan bisa hidup jika tak menggantungkan kerja mereka kepada kaum borjuasi. Dan kerja mereka, dengan demikian, hanya bisa dipahami sebagai kerja yang bertujuan untuk memperbanyak modal dari kaum borjuasi itu sendiri.[44] Kaum proletar ini, yang menjual tenaga kerjanya kepada kaum borjuis, merupakan komoditas. Mereka adalah bagian internal dari sistem perdagangan itu sendiri. Dengan demikian mereka mencerminkan kemalangan dari sebuah kompetisi dari pasar itu sendiri.[45]

    Marx di sini yakin, bahwa masyarakat borjuasi akan mendapatkan kekalahannya. Mengapa? Karena sifat dari pasar itu sendiri. Sifat dari pasar adalah kompetisi antar setiap pemodal atau kaum borjuis. Sehingga, jika di dalam masyarakat terdapat kompetisi, maka setiap kaum borjuis atau pemodal itu akan dan harus saling memakan satu sama lain, sampai akhirnya mereka benar-benar menyusut dan kalah. Singkatnya sistem dari kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya seturut dengan sifat dan hukum dari pasar itu sendiri.[46]

    Ketika sistem kapitalisme runtuh, maka akan muncullah sebuah tatanan baru, yakni tatanan di mana setiap properti produksi tidak dimiliki secara secara privat.[47] Dan siapakah yang mengemban tugas untuk hal tersebut? Ia adalah buruh qua kelas pekerja atau proletariat. Tapi mesti menjadi catatan, properti itu sendiri tidak hilang begitu saja di dalam tatanan yang baru. Yang menjadi hilang hanyalah properti borjuasi, sejauh ia dipahami sebagai kepemilikan pribadi. Sehingga, tatanan baru ini atau tatanan komunisme berarti tatanan di mana masyarakat, seluruhnya memiliki alat produksi, atau dalam bahasa lain, di mana alat produksi dimiliki secara komunal.[48] Marx di sini percaya, bahwa kapitalisme akan runtuh di “akhir” sejarah. Ia percaya bahwa sejarah akan berakhir dengan kemenangan kaum proletariat. Bahwa kaum proletariatlah yang akan menggetarkan revolusi komunis di dunia.[49]

    Agama dan Alienasi Menurut Marx

    Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Marx memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Feuerbach ketika memandang sebuah agama. Meskipun usaha Feuerbach, dalam beberapa hal, memang cukup berhasil mengkritik apa yang disajikan oleh Hegel. Feuerbach di sini membalik logika dari Hegel, dalam konteks ini, bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi sebaliknya manusialah yang menciptakan Tuhan.

    Sudut pandang ini tentu memiliki implikasi terhadap sudut pandang Feuerbach tentang agama. Agama tidak bisa dipahami sebagai sebuah institusi atau sebuah ajaran yang benar-benar muncul atau lahir dari Tuhan. Agama bukanlah suatu hal yang difirmankan oleh Tuhan kepada manusia. Justru, agamalah itu sendiri diciptakan oleh manusia.

    Posisi itu disetujui oleh Marx, “man makes religion, religion does not make man” ucap Marx.[50] Marx mengatakan bahwa Feuerbach berhasil menyingkap realitas fantasi surgawi tersebut, dan menemukan bahwa hal tersebut tak lebih dan tak bukan hanyalah refleksi kondisi riil manusia itu sendiri. Tapi sayangnya Feuerbach masih terjebak ke dalam kerangka filsafat klasik/skolastik.[51]

    Maksudnya, Feuerbach tidak benar-benar melampaui apa yang pernah dilakukan oleh Hegel, yakni filsafat spekulatif. Karena manusia di tangan Feuerbach masih merupakan objek kontemplasi belaka. Tapi di dalam bagian tertentu atau di samping pikiran spekulatifnya, Feuerbach sudah mulai melangkah kepada metode saintifik sebagai pembacaan terhadap realitas manusia.[52] Lantas, bagi Marx tugas selanjutnya ialah mendudukan manusia benar-benar di dalam terang sains. Marx berpendapat bahwa manusia merupakan mahluk duniawi. Jika manusia adalah mahluk duniawi, maka manusia mau tidak mau mesti diletakan di dalam ruang kesejarahannya. Manusia adalah mahluk yang senantiasa berubah, sesuai dengan kondisi zaman yang mengitarinya. Manusia tidak ditentukan oleh sebuah esensi universal.[53]

    Dari titik ini, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, manusia qua masyarakat itu sendiri melakukan laku produksi sebagai bentuk subsistensinya. Kemudian, produksi ini menentukan ‘apanya’ masyarakat dan apa yang dikehendaki oleh masayarakat itu sendiri. Produksi merupakan sebuah basis, sedangkan apa yang bukan termasuk ke dalam produksi qua ekonomi merupakan suprastruktur.

    Suprastruktur terdiri dari ideologi dan politik. Dan suprastruktur dideterminasi oleh basis yang menjadi fondasinya. Ideologi dan politik singkatnya merupakan cermin dari basis situ sendiri; dan fungsi dari ideologi adalah melanggengkan sebuah tatanan ekonomi. Lantas bagaimana dengan posisi agama itu sendiri?

    Marx mengatakan bahwa agama merupakan bagian dari tubuh ideologi. Jika agama disebut sebagai bagian dari tubuh ideologi, maka agama merupakan efek dari basis saja. Sebagaimana dikatakan di atas, dengan demikian agama merupakan ciptaan manusia yang berfungsi sebagai pelanggeng dari sebuah tatanan masyarakat. Pelanggengan tatanan masyarakat ini bermakna sebagai pemelihara eksploitasi yang terjadi di dalam tatanan.[54]

    Marx dengan tegas mewartakan bahwa agama merupakan sebuah ilusi, dan ia merupakan gambaran dari alienasi yang ada di masyarakat. Karena ia merupakan sebuah ilusi, Marx mengatakan bahwa agama betul-betul merupakan wujud sebuah kejahatan itu sendiri secara definitif.[55]

    Konsekuensinya, doktrin agama di hadapan Marx tidak begitu berguna dan tak signifikan, karena ia hanyalah efek. Kemudian, setiap bentuk agama tidak memiliki bentuk yang tetap atau abadi. Sebaliknya, setiap agama memiliki ragam bentuk—yang tentu saja berefek pada keberagaman dari setiap doktrin—sesuai dengan situasi dan kondisi zaman yang mengitarinya.[56]

    Agama yang menyejarah ini tentu berkaitan erat, bahkan ia sendiri dependen, terhadap apa yang membentuknya, yakni struktur atau sistem ekonomi yang berlaku di dalam setiap fase sejarah. Karena agama bergantung kepada struktur ekonomi, maka agama itu sendiri hadir sebagai sisi lain dari kompleksitas fenomena perjuangan kelas yang tergelar di dalam sejarah peradaban manusia.[57] Tujuan dari agama, bahkan fungsi dari agama menurut Marx ialah menutupi kenyataan alienasi yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat. Yakni alienasi yang ada di dalam struktur ekonomi; yang bersifat material.[58]

    Perbedaan alienasi antara Feuerbach dan Marx terletak di sini. Jika Feuerbach mengatakan bahwa alienasi manusia terjadi ketika manusia mengasingkan dirinya kepada sebuah entitas supranatural, di sini Marx berpendapat lain. Karena hal yang fundamental dalam diri manusia adalah dimensi praxis, maka alienasi yang terjadi di dalam masyarakat mesti dicari di dalam dimensi praxis itu sendiri, yakni sistem produksi atau ekonomi. Dengan demikian, agama bukanlah sumber alienasi sebenarnya, tapi ia hanya pelarian dari wujud alienasi lain yang fundamental.

    Tapi mengapa masyarakat bisa teralienasi—yang dalam konteks ini teralienasi di dalam sebuah tatanan masyarakat kapitalis? Sifat dasar manusia adalah kerja. Karena kerja merupakan upaya seseorang untuk bisa bertahan hidup di alam. Kerja itu sendiri pada dasarnya/dan seharusnya mesti bebas, memiliki bentuk ekspresi yang bermacam-macam, dan juga memberikan kenikmatan. Tapi sayangnya, kondisi-kondisi tersebut tidak terjadi. Seorang manusia bisa teralienasi ketika produk dari hasil kerjanya tidak lagi menjadi bagian dari dirinya sendiri.[59] Alih-alih dimiliki si pekerja, tapi ia malah dimiliki oleh orang lain, yang dalam hal ini adalah orang yang memiliki alat produksi. Alat produksi yang dimiliki oleh orang lain, membuat si pekerja atau kaum proletariat (yang menjual tenaga kerjanya) mengubah hasil kerjanya sebagai komoditas. Komoditas ini, setelah ia diproduksi oleh pekerja, ia diperjual belikan di pasar.[60]

    Hal yang paling penting dari alienasi ekonomi itu adalah dirampasnya nilai surplus yang dihasilkan buruh oleh pemodal. Sebenarnya, seorang proletar bisa memproduksi sebuah komoditas yang cukup mengihupi dirinya dan keluarganya dalam rentang waktu tertentu. Tapi, alih-alih berhenti pada titik tercukupnya, mereka dipaksa untuk bekerja lebih. Kerja lebih ini tentu saja menghasilkan komoditas yang berlebih pula. Dan komoditas yang berlebih ini sama sekali tidak dimiliki oleh kaum proletar tadi, akan tetapi tapi mesti diberikan kepada si pemodal. Di sinilah letak dirampasnya nilai surplus yang diciptakan oleh proletariat; dan perampasan ini merupakan alienasi itu sendiri. Nilai surplus yang diambil inilah yang menjadi profit atau keuntungan dari pemilik alat produksi atau pemodal.[61]

    Selain teralienasi dari barang yang diproduksinya, kaum proletar pun teralienasi oleh masyarakatnya. Mengapa demikian? Karena setiap personalitas, yang merupakan esensi mendasar dari diri seseorang—juga yang terekspresikan di dalam kerjanya—itu hilang atau tidak terlibat di dalam relasi dan keterlibatan satu sama lain di dalam sebuah tatanan sosial masyarakat. Keterlibatan itu bahkan hanya mungkin terjadi di dalam relasi perdagangan, atau pertukaran komoditas.[62]

    Selain sebagai peredam penderitaan, yang merupakan mekanisme internal dari sebuah ideologi. Agama, menurut Marx, merupakan ekspresi dari kondisi alienasi yang riil. Agama tak lebih dari keluhan dari penderitaan dan juga sebagai sebuah jeritan protes atas kondisi alienasi yang riil. Agama juga berfungsi sebagai opium atau penenang dari penderitaan yang sama sekali tidak pernah menyelesaikan masalah sebenarnya.[63] Sehingga jika demikian persoalannya, maka penghilangan atas kebahagiaan ilusif agama (karena ia sebagai penenang atau opium), merupakan usaha nyata untuk mendatangkan kebahagiaan sejati atau riil. Usaha untuk mengenyahkan setiap ketergantungan orang terhadap ilusi beragama, merupakan usaha untuk mengarahkan mereka kepada perjuangan riil yang ada di realitas konkret.[64] Karenanya, tugas filsafat ialah menyibak segala topeng dari ilusi surgawi kepada tatanan duniawi yang riil. Sehingga kritik atas dunia surgawi mesti ditarik kepada kritik atas dunia material yang konkret. Kritik terhadap agama mesti diubah menjadi kritik terhadap hukum, dan kritik atas teologi mesti ditarik menjadi kritik atas politik.[65]

    Kesimpulan

    Menurut Marx agama bukanlah wujud alienasi sebenarnya dari manusia. Tidak seperti Feuerbach, ia menegaskan bahwa fenomena agama hanyalah efek lain dari alienasi sebenarnya, yang ada di dalam tatanan masyarakat yang riil. Alienasi yang sebenarnya itu adalah alienasi ekonomi. Mengapa demikian? Karena menurut Marx, manusia bukanlah entitas material yang bersifat metafisis sebagaimana yang dibayangkan oleh Feuerbach. Manusia adalah mahluk konkret aktif, yakni mahluk yang bekerja atau yang memiliki dimensi praxis. Dimensi praxis ini ditemukan di dalam sebuah organisasi sosial yang mewujud dalam rangka subsistensi. Dimensi praxis itu atau produksi itu ialah struktur ekonomi. Alienasi ekonomi ini terwujud ketika kaum proletariat dirampas nilai surplusnya oleh pemilik modal. Dan pelarian atas kondisi alienasi ini adalah agama. Agama berfungsi sebagai penenang dari penderitaan yang dialami kelas buruh, sekaligus sebagai pelanggeng tatanan eksploitatif yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, penghilangan agama merupakan, penghilangan atas kebahagiaan palsu menuju kebahagiaan yang riil.


    Catatan akhir:

    [1] Alan Woods, Marxism and Religion, https://www.marxist.com/marxism-religion-liberation-theology220701.htm, diakses pada 9 November 2019, pukul: 14.34 wib.

    [2] Woods, Marxism and Religion, https://www.marxist.com/marxism-religion-liberation-theology220701.htm, diakses pada 9 November 2019, pukul: 14.34 wib.

    [3] Woods, Marxism and Religion, https://www.marxist.com/marxism-religion-liberation-theology220701.htm, diakses pada 9 November 2019, pukul: 14.34 wib..

    [4] Woods, Marxism and Religion, https://www.marxist.com/marxism-religion-liberation-theology220701.htm, diakses pada 9 November 2019, pukul: 14.34 wib..

    [5] Karl Marx, “Critique of Hegel’s Philosophy of Right”, dalam Marx on Religion, ed. John Raines, (Philadelphia: Temple University Press, 2002), 171.

    [6] Allen W. Wood, Karl Marx, (New York: Routledge, 2004), 10.

    [7] Wood, Karl Marx, 11.

    [8] Wood, Karl Marx, 10-11.

    [9] Wood, Karl Marx, 11.

    [10] Wood, Karl Marx, 11.

    [11] Karl Lowith, Max Weber and Karl Marx, (New York: Routledge, 2003), 92.

    [12] Lowith, Marx Weber, 92.

    [13] Shlomo Avineri, The Social & Political Thought of Karl Marx, (New York: Cambridge University Press, 1975), 11.

    [14] Avineri, The Social & Political Thought, 11.

    [15] Avineri, The Social & Political Thought, 11.

    [16] Avineri, The Social & Political Thought, 11.

    [17] Avineri, The Social & Political Thought, 11.

    [18] Karl Marx, “Concerning Feuerbach (1845)”, dalam Marx on Religion, ed. John Raines, (Philadelphia: Temple University Press, 2002), 182-183.

    [19] Karl Marx, “The German Ideology—Ideology in General (1844-46)”, dalam Marx on Religion, ed. John Raines, (Philadelphia: Temple University Press, 2002), 95.

    [20] Marx, The German Ideology, 95.

    [21] Marx, The German Ideology, 96.

    [22] Marx, The German Ideology, 96.

    [23] Jon Elster, An Introduction to Karl Marx, (New York: Camridge University Press, 2005), 103.

    [24] Elster, An Introduction, 103.

    [25] Elster, An Introduction, 103.

    [26] Elster, An Introduction, 104.

    [27] Elster, An Introduction, 112.

    [28] Elster, An Introduction, 112.

    [29] Elster, An Introduction, 112.

    [30] G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History A Defence, (New Jersey: Princeton University Press, 2001), 216.

    [31] Cohen, Karl Marx’s Theory, 232.

    [32] Cohen, Karl Marx’s Theory, 232.

    [33] Cohen, Karl Marx’s Theory, 231.

    [34] Daniel L. Pals, Eight Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 2006), 123.

    [35] Pals, Eight Theories, 124.

    [36] Pals, Eight Theories, 124.

    [37] Pals, Eight Theories, 124.

    [38] Pals, Eight Theories, 124.

    [39] Pals, Eight Theories, 124-125.

    [40] Karl Marx, “The Communist Manifesto”, dalam Karl Marx Selected Writings, ed. David McLellan, (New York: Oxford University Press, 2000), 246.

    [41] Marx, The Communist Manifesto, 246.

    [42] Marx, The Communist Manifesto, 255.

    [43] Marx, The Communist Manifesto, 251.

    [44] Marx, The Communist Manifesto, 251.

    [45] Marx, The Communist Manifesto, 251.

    [46] Marx, The Communist Manifesto, 255.

    [47] Marx, The Communist Manifesto, 256.

    [48] Marx, The Communist Manifesto, 256.

    [49] Marx, The Communist Manifesto, 271.

    [50] David Leopold, The Young Karl Marx German Philosophy, Modern Politics, and Human Flourishing, (New York: Camridge University Press, 2007), 219.

    [51] Leopold, The Young Karl Marx, 221-222.

    [52] Leopold, The Young Karl Marx, 222.

    [53] Leopold, The Young Karl Marx, 224.

    [54] Trevor Ling, Karl Marx and Religion In Europe and India, (London: The Macmillan Press LTD, 1980), 16.

    [55] Pals, Eight Theories, 132.

    [56] Pals, Eight Theories, 132.

    [57] Pals, Eight Theories, 132.

    [58] Pals, Eight Theories, 133.

    [59] Pals, Eight Theories, 127.

    [60] Pals, Eight Theories, 127.

    [61] Pals, Eight Theories, 128.

    [62] Pals, Eight Theories, 127.

    [63] Karl Marx, “Critique of Hegel’s Philosophy f Right (1844)”, dalam Marx on Religion, ed. John Raines, (Philadelphia: Temple University Press, 2002), 171.

    [64] Marx, Critique of Hegel’s, 171 .

    [65] Marx, Critique of Hegel’s, 171-172.


    Daftar Pustaka

    Sumber Buku:

    Allen W. Wood, Karl Marx, New York: Routledge, 2004.

    David Leopold, The Young Karl Marx German Philosophy, Modern Politics, and Human Flourishing, New York: Camridge University Press, 2007.

    Daniel L. Pals, Eight Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 2006

    A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History A Defence, New Jersey: Princeton University Press, 2001.

    Jon Elster, An Introduction to Karl Marx, New York: Camridge University Press, 2005.

    Karl Lowith, Max Weber and Karl Marx, New York: Routledge, 2003.

    Karl Marx, Karl Marx Selected Writings, ed. David McLellan, New York: Oxford University Press, 2000.

    _________, Marx on Religion, ed. John Raines, Philadelphia: Temple University Press, 2002.

    Shlomo Avineri, The Social & Political Thought of Karl Marx, New York: Cambridge University Press, 1975.

    Trevor Ling, Karl Marx and Religion In Europe and India, London: The Macmillan Press LTD, 1980.

    Sumber Internet:

    Alan Woods, Marxism and Religion, https://www.marxist.com/marxism-religion-liberation-theology220701.htm, diakses pada 9 November 2019, pukul: 14.34 wib.


     

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Kritik Mukjizat dari Skeptikus Empirisme Radikal

    Doktrin agama memuat ajaran yang kebenarannya mutlak bagi suatu pemeluk agama tertentu. Doktrin merupakan aturan yang bersifat...

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...