Absurditas dan Yang-Absurd
Seberapa keras usaha manusia dalam hidup, ia akan tetap menemui kematian sebagai akhir. Namun, manusia tetap berusaha menjalani kehidupannya di dalam komunitas sosial. Itulah yang-absurd. Segala tragedi, kemalangan, dan kebahagiaan fana itulah yang-absurd. Ketika manusia menyadari ketiadaan makna dan berusaha mencari maknanya sendiri, ia dianggap dan menjadi asing di dalam komunitas sosial. Lagi-lagi, itulah yang-absurd secara nyata.
Satu kepastian selain kematian adalah bahwa absurditas itu dilahirkan (Pandanari, 2018). Absurditas mengikat manusia dan dunianya. Ketika idealisme manusia mengalami bentrok dengan realitas, nalar manusia berusaha memahaminya dengan menyusun suatu struktur logis. Ketika struktur logis dari dinamika keduanya tidak terbentuk, absurditas lahir. Jika realitas berhenti bergerak dan nalar mampu memahami realitas tersebut, absurditas tidak lahir (Camus, 1999).
Albert Camus menganggap absurditas sebagai suatu kehormatan bagi manusia. Konfrontasi yang terus dilakukan manusia menandakan usaha manusia untuk melihat kembali dunianya. Momen kesakitan yang dirasakan manusia adalah usaha manusia untuk tetap hidup menghadapi yang-absurd. Oleh karenanya, bunuh diri bukan menjadi jawaban Camus. Bunuh diri mengandaikan bahwa manusia takluk di hadapan yang-absurd. Camus mengajak kita menjadi bahagia dan terhormat untuk hidup di hadapan yang-absurd.
Banal Semakin Binal menyadarkan pendengarnya terhadap keabsurdan dunia. Dalam perilisan album ketiga ini, The Jansen bagai memberi panduan melawan yang-absurd. Yang-absurd dilawan dengan suatu bentuk karya seni romantis. Banal Semakin Binal menyingkapkan dirinya sebagai sebuah perlawanan indah setelah kisah perlawanan Sisifus di Tartarus.
Yang Romantik dalam Absurditas Banal Semakin Binal
Setiap lirik puitis Banal Semakin Binal adalah ciptaan Adji Pamungkas, bassist The Jansen. Lirik-lirik itu, seperti yang akan ditilik, terkesan absurd. Paduan gaya “nge-pop” dan musik punk menambah absurditas Banal Semakin Binal. Beberapa penggalan lirik berikut menunjukkan suatu absurditas.
Dua Bilah Mata Pedang
Senyumanmu bagaikan dua bilah mata pedang
…
Badai selalu tenang, sangat tenang, dan berlalu
Tak pernah ku bayangkan jatuh cinta kepadamu
Kata “badai” dipakai untuk menganalogikan permasalahan hidup yang muncul begitu saja tanpa alasan yang jelas. Adji menambahkan frasa ”jatuh cinta kepadamu” untuk menambah kesan lagu tanpa maksud dan tujuan yang jelas (Praditya, 2022). Ketiadaan maksud dan tujuan inilah yang Camus sebut sebagai absurditas. Namun, dapat dipahami pula bahwa “jatuh cinta kepadamu” adalah bentuk perlawanan terhadap absurditas kehidupan—kita tidak takluk di hadapan permasalahan hidup.
Kau Pemeran Utama di Sebuah Opera
Masa-masa naik bis kota dengan wajah yang sama
…
Birama kehidupanmu sedang kacau
Adakalanya berhenti bersandiwara
Kisah pengalaman Adji ketika dia berangkat sekolah dan menemui wajah-wajah familiar di dalam bus (Praditya, 2022) menunjukkan bahwa manusia mengisi kehidupannya dengan kegiatan repetitif yang tampak sia-sia. Bangun pagi, sarapan, dan berangkat serta pulang sekolah dilakukan setiap hari tanpa tujuan dan makna. Hal yang sama pun terlihat di keseharian pekerja-pekerja korporat metropolitan yang selalu berdesakan di dalam KRL demi mengejar waktu. Tidak bermakna, tetapi kegiatan repetitif itu tetap mereka lakukan—begitulah absurditas kehidupan.
Mereguk Anti Depresan Lagi
April mohon datang kembali
Tak lagi menjadi hal yang ku benci
…
Seperti brownies yang kau kirimkan
Adji pernah membenci hari ulang tahunnya, tetapi suatu momen membuatnya tidak lagi membenci hari tersebut (Praditya, 2022). Berhenti memandang kehidupan sebagai sebuah kesia-siaan, seperti yang dilakukan Adji, adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap absurditas. Pemilihan istilah brownies—sebagai hal manis yang membahagiakan banyak manusia—rasanya cukup romantis untuk menghadapi ketidakbermaknaan hidup. Pada akhirnya, absurditas adalah suatu hal yang harus dihadapi dengan bahagia. Hal yang perlu dilakukan oleh manusia adalah melepaskan harapan masa depan dan penyesalan masa lalu. Manusia harus live in the present dan melawan yang-absurd.
Mengapa Ia Karya Seni?
Camus melihat bahwa seni harus memanfaatkan absurditas. Camus melihat seni sebagai pemberontakan (Camus, 1999). Berkaitan dengan itu, dia melihat seniman sebagai seseorang yang memberontak sekaligus menerima dunia. Seorang seniman adalah seseorang yang ingin menghadirkan keteraturan dan memberi makna kepada dunia (Husni, 2021).
Beberapa referensi musik The Jansen adalah The Undertones, Ramones, Buzzcocks, dan band indie, seperti The Pastels, The Flatmates, serta rilisan-rilisan label musik Sarah Records. Kemiripan musik The Jansen dengan band-band tersebut menjadikan Banal Semakin Binal pantas disebut sebagai karya seni. Penilaian ini berangkat dari teori family resemblance yang diusung oleh para filsuf Neo-Wittgensteinian. Family resemblance menolak upaya pendefinisian seni karena upaya pendefinisian yang dilakukan teori-teori sebelumnya tidak adekuat. Family resemblance dalam diskursus filsafat seni menekankan aspek kemiripan untuk menilai suatu karya sebagai seni. Maurice Mandelbaum melontarkan kritik bahwa family resemblance tidak seharusnya berfokus hanya kepada aspek sekunder seperti kemiripan, tetapi juga aspek primer. Teori institusional seni kemudian mengembangkan bahwa aspek primer tersebut adalah relasi sosial. Relasi sosial memuat standar penilaian sesuatu sebagai karya seni yang disepakati bersama (Carroll, 1999).
Dengan demikian, Banal Semakin Binal bukan hanya persoalan kemiripan gaya “punk nge-pop 70-an”, tetapi juga terdapat peran relasi sosial. Terdapat standar punk—seperti permainan akor sederhana dengan tempo cepat—yang menjadikan Banal Semakin Binal sebagai sebuah karya seni, khususnya karya seni musik. Eksistensi komunitas musik yang menggemari The Jansen semakin mengukuhkan posisi Banal Semakin Binal sebagai karya seni. Kendati memenuhi standar punk, Banal Semakin Binal tidak membatasi diri kepada gagasan punk yang anarkis, tetapi hadir dengan gaya “nge-pop” seperti yang telah dilakukan Buzzcocks atau Ramones.
Referensi
Camus, A. (1999). Mite sisifus (edisi ke-2.). (Apsanti D., Penerjemah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Carroll, N. (1999). Philosophy of art: a contemporary introduction. New York: Taylor & Francis Group.
Husni, M. (2021, September 18). Seni dan hal asyik yang ikut bersamanya. Geotimes. https://geotimes.id/kolom/seni-dan-hal-asyik-yang-ikut-bersamanya/
Pandanari, D. S. (2018, Maret 29). Absurditas Camus. LSF Discourse. https://lsfdiscourse.org/absurditas-camus/
Praditya, B. (2022, Desember 30). Bilangnya begini maksudnya begitu: menyelami makna lirikal Banal Semakin Binal. Rich Music. https://richmusiconline.com/bilangnya-begini-maksudnya-begitu-menyelami-makna-lirikal-banal-semakin-binal/