Pengantar
Salah satu pemikir yang besar di masa posmodern adalah Michel Foucault. Pemikiran-pemikiran Foucault pada masa hidup dan setelahnya telah begitu banyak memengaruhi ranah keilmuan saat ini. Konsepsinya tentang kekuasaan (power), subjek, dan juga pengetahuan bersumbangsih besar pada banyak bidang keilmuan. Secara lebih spesifik ini mengarah pada bidang ilmu sosial.
Untuk menjelaskan sumbangsih pemikirannya, tulisan ini akan mengurai beberapa pemikiran kunci Foucault dan bagaimana itu berguna untuk menjelaskan satu topik penting dalam ilmu sosial, yaitu warga negara. Konsepsi Foucault tentang kekuasaan dan subjek di sini akan menjadi poin kunci untuk melihat bagaimana konsep warga negara dalam kacamata Foucauldian.
Foucault dan Beberapa Konsep Kunci
Karya-karya Foucault umumnya membedah beberapa hal yang menjadi perhatian utama, yaitu kuasa, subjek, dan governmentality. Tiga konsep ini merupakan topik penting dalam karya-karya Foucault. Karenanya, penjelasan tentang hal-hal tersebut bersifat wajib untuk diorientasikan.
Sebagai permulaan, konsep ‘kuasa’ menurut Foucault harus dijelaskan terlebih dahulu. Kuasa (power) dalam arus pembahasan dominan kerap dimengerti sebagai suatu atribut atau sesuatu yang bisa dimiliki. Perspektif Marxian atau Gramscian misalnya, menganggap kuasa sebagai sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau segmentasi masyarakat tertentu. Lebih lanjut, kekuasaan juga sering diartikan sebagai sesuatu yang beroperasi secara negatif atau represif (Mudhoffir, 2013). Pengertian kuasa seperti ini, menurut Foucault, sulit menangkap kompleksitas kekuasaan yang ada di masyarakat. Foucault sendiri mengartikan kekuasaan sebagai sesuatu yang ada di mana-mana dan tidak dimiliki oleh siapapun (Kebung, 2017). Kekuasaan di sini lebih diartikan sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis (Mudhoffir, 2013). Karenanya kuasa itu ada di mana-mana sejauh di situ ada manusia.
Untuk menemukan realitas semacam ini, Foucault pertama-tama tidak berfokus terhadap pertanyaan “apa itu kekuasaan?”, tetapi lebih mengarah pada bagaimana kekuasaan itu beroperasi[1]. Menurut Foucault, kekuasaan beroperasi melalui praktik normalisasi dan regulasi. Cara beroperasi ini kemudian menelurkan konsep kekuasaan Foucault yang unik. Konsep tersebut adalah disciplinary power. Medan beroperasinya kekuasan ini adalah tubuh (dalam artian politis maupun biologis). Sedangkan, fungsi dari kekuasaan ini adalah melatih, membentuk, dan menyeleksi tubuh guna menghasilkan suatu tipe individu tertentu (Robertus Robert, 2014). Hasil dari hal ini adalah individu yang sesuai dengan manifestasi kuasa tertentu. Individu ini pada akhirnya akan mereproduksi kekuasaan ini. Karenanya, sifat dari kuasa menurut Foucault adalah pertama-tama produktif dan juga sekaligus positif (Mudhoffir, 2013).
Keberhasilan kuasa disipliner bergantung pada tiga instrumen, yaitu observasi hierarkis, penilaian normal-tidak normal, dan pengujian (Heyes, 2010). Observasi hierarkis di sini diartikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan subjek senantiasa terawasi dan bisa dikontrol. Penilaian normal-tidak normal dijalankan melalui pengaturan terhadap apa yang dianggap normal dan tidak normal. Ini bertujuan untuk menciptakan konformitas secara masif. Pelanggaran terhadap hal yang dianggap normal akan dikenakan penilaian ketidaknormalan, sehingga pada akhirnya memaksa individu untuk memperbaiki dirinya. Karenanya, dalam hal ini regulasi bersifat korektif. Pengujian merupakan kombinasi antara kedua instrumen yang telah disebutkan sebelumnya. Apa yang dipandang atau diamati di sini dikategorikan di bawah relasi kekuasaan, dokumen, atau kasus tertentu.
Sebagai contoh konseptual ini, Foucault sendiri menyajikan kasus bagaimana kekuasaan disipliner beroperasi di penjara. Tahanan dalam penjara berada pada situasi yang serba diperhatikan. Selain itu, jadwal atau regulasi keseharian para tahanan seperti olahraga, kerja bakti, penggiliran jaga, dan makan juga telah ditetapkan (Neal, 2019). Jadwal ini bertujuan untuk mendisiplinkan individu-individu. Individu yang tidak mengikuti jadwal ini akan dikenakan sanksi tertentu, dan itu dianggap sebagai sesuatu yang dianggap normal. Lebih lanjut, para tahanan juga dikategorikan dengan beberapa kategori, yaitu tahanan yang rajin, malas, atau disiplin. Pada akhirnya, hal ini terinternalisasi dan ternormaliasi pada para tahanan dan bahkan direproduksi oleh para tahanan itu sendiri. Di titik ini, hasil dari kuasa disiplin ini adalah subjek yang mengawasi dirinya.Secara lebih jauh, itu mengembangkannya, berguna, dan memproduksi praktik normalisasi atau regulasi yang telah ditetapkan (Heyes, 2010).
Berangkat dari konsepsi dan contoh kuasa yang telah dijelaskan, individu sebagai medan beroperasinya kekuasaan kemudian mencuat. Di titik ini, konsep penting lain dari Foucault mengemuka. Konsepsi tersebut adalah menyoal subjek. Subjek di sini pertama-tama mesti diartikan sebagai kemungkinan untuk menjadi suatu jenis individu tertentu pada masa historis tertentu (Heyes, 2010). Foucault dalam hal ini lebih mengarahkan pandangan pada bagaimana suatu subjek pada masa tertentu bisa terbentuk. Dengan kata lain, seperti halnya kekuasaan, Foucault pertama-tama tidak menyelidiki apa itu subjek, tetapi lebih jauh bertanya tentang bagaimana suatu subjek terbentuk oleh kebudayaan pada masa sejarah tertentu (Foucault, 2013). Atas dasar ini, Foucault menolak pandangan universal atau metafisika tertentu terhadap subjek (seperti rasional dan otonom sepanjang masa) sebab, subjek adalah entitas yang khas dan spesifik secara historis (Robertus Robert, 2014).
Adapun menurut Foucault, kurang lebih ada tiga modus objektifikasi dalam pembentukan subjek (Robertus Robert, 2014). Pertama, praktik pembelahan. Dalam modus ini, dengan menggunakan berbagai prosedur, manusia diberikan sejenis identitas sosial dan personal (waras dan tidak waras, miskin dan tidak miskin) tertentu yang sekaligus mengeksklusikan dirinya dengan yang lain. Praktik ini dilakukan dengan cara medikalisasi, stigmatisasi, dan normalisasi. Kedua, modus objektifikasi melalui klasifikasi ilmiah. Hal ini misalnya muncul dalam klasifikasi subjek dalam linguistik, ranah ekonomi dengan individu produktif dan tidak produktif, atau biologis seperti subjek yang berusia muda atau tua. Ketiga, modus subjektifikasi. Di sini, subjektifikasi diartikan sebagai cara seorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek. Dalam konteks tersebut, ini menandakan ciri aktif subjek untuk merengkuh identitasnya dan membentuk dirinya sebagai subjek.
Dalam studi lebih lanjut, Foucault sendiri berusaha menyatukan dua konsep penting yang telah dijelaskan dengan suatu konsep penting bernama governmentality. Kata ini merupakan kombinasi semantik dari kata memerintah (gouverner) dan modus pikiran (mentalite). Ini mengindikasikan adanya keterkaitan tertentu antara kekuasaan dan proses konstitusi subjek (Robertus Robert, 2014). Jika kuasa disipliner (disciplinary power) mengarah pada tubuh individu tertentu, maka governmentality mengarah pada tubuh sosial atau populasi (Mudhoffir, 2013).
Governmentality itu sendiri merupakan rasionalisasi dari bagaimana kekuasaan itu dijalankan oleh negara agar beroperasinya kekuasaan itu dapat diakui oleh masyarakat (legitimate). Melalui proses ini, kekuasaan diinternalisasi dalam tubuh sosial. Foucault sendiri menyebut governmentality sebagai tuntunan dari tuntunan (conduct of conduct) (Foucault, 2013). Negara, dalam hal ini berkedudukan sebagai yang memerintah, mengatur tindakan, atau perilaku masyarakat dengan cara menginternalisasikan penundukan itu agar ia menjadi populasi yang patuh (Mudhoffir, 2013). Karenanya, melalui konsep ini, individu dalam suatu populasi mesti senantiasa dilihat sebagai hasil determinasi dari struktur, normalisasi, kontrol, serta regulasi tertentu (Robertus Robert, 2014).
Ketiga konsep kunci yang diajukan oleh Foucault ini merupakan konsep penting yang memberi pengaruh besar terhadap warga negara sebagai suatu entitas politik. Pada bagian berikutnya penulis akan mengelaborasi konsep ini dan menggunakannya dalam melihat warga negara. Secara ringkas ini bisa diartikan sebagai bagaimana warga negara itu dilihat dalam kacamata Foucauldian.
Warga Negara, Foucault, dan Indonesia
Warga negara pada hakikatnya merupakan suatu identitas sosial yang berkembang sejak kehadiran entitas politik bernama negara. Karena itu, warga negara dalam kacamata Foucauldian mesti diartikan juga sebagai salah satu manifestasi subjek. Seperti halnya beberapa konsep kunci yang telah diajukan, menurut pandangan Foucauldian yang terpenting dalam melihat warga negara adalah bukan apa itu warga negara, tetapi lebih jauh menyasar pada dua bentuk klaim pertanyaan, yaitu 1.) Bagaimana subjek bernama warga negara itu bisa terbentuk pada konteks historis tertentu? 2.) Bagaimana kekuasaan beroperasi dan membentuk identitas bernama warga negara? Dengan adanya dua klaim pertanyaan ini, maka warga negara pada perspektif Foucauldian setidaknya mesti ditempatkan dengan kualifikasi tiga hal, yaitu 1.) warga negara senantiasa dibentuk dari luar, 2.) identitas ini merupakan produk dari teknologi kekuasaan, 3.) sistem identifikasi terhadap warga negara itu bersifat lentur dan terus bergeser (Robertus Robert, 2014). Untuk memperinci simpulan ini, maka penulis akan memberikan beberapa contoh kasus yang sekiranya relevan dengan konsepsi ini.
Penulis akan berangkat dari konteks Indonesia. Sasarannya adalah melihat secara ringkas praktik kekuasaan pada apa yang disebut sebagai warga negara Indonesia. Bentang historis tertentu akan diajukan untuk membuktikan argumen Foucault bahwa subjek—dalam hal ini warga negara—senantiasa bersifat khas pada konteks historis tertentu. Untuk itu, pertama-tama penulis tidak akan menjawab pertanyaan apa atau siapa itu “warga negara Indonesia”, tetapi mengajukan semacam jawaban sementara terhadap bagaimana kekuasaan beroperasi pada pembentukan subjek bernama “warga negara Indonesia.”
Untuk menjawab ini, penulis akan menggunakan konsep kuasa disipliner, modus objektifikasi subjek, dan governmentality. Dengan konsep ini, penulis pertama-tama akan mengarahkan pandangan pada praktik kuasa pembentukan subjek bernama warga negara. Dalam modus objektifikasi subjek, pembelahan subjek terjadi pada ranah pemberian identitas yang secara langsung mengeksklusikan identitas lainnya.
Pada konteks ini, identitas warga negara Indonesia dengan sendirinya melahirkan yang bukan warga negara Indonesia. Di titik ini, penyelidikan lebih jauh terhadap yang tereksklusi sekiranya penting untuk dilihat, sebab di titik inilah operasi kekuasaan paling nyata terlihat.[2] Dengan berangkat dari hal ini, dapat terlihat bahwa ada syarat administrasi, sosial, regulasi, dan juga kesetiaan tertentu terhadap entitas politik bernama Indonesia. Syarat-syarat ini merupakan praktik regulasi, stereotip, dan normalisasi nilai tertentu pada subjek bernama warga negara Indonesia. Subjek bernama warga negara Indonesia memproduksi nilai (kebangsaan dan Pancasila), mengikuti prosedur administrasi warga negara (KTP), dan bahkan melakukan pendisiplinan tertentu pada subjek yang berlawanan (yang dianggap kurang Indonesia, ini pun punya konteks historis tertentu).
Lebih lanjut, identitas warga negara Indonesia ini punya kekhususan dalam konteks historisnya masing-masing. Pada masa orde Baru, yang bukan warga negara Indonesia dilekatkan dengan identitas tidak Pancasilais. Ini diukur dengan syarat administrasi seperti P4. Kategorisasi terhadap hasil penilaian administrasi ini menghasilkan penilaian beragam,: perlu dibina, lulus, lulus bersyarat, dan lain-lain. Ini pada akhirnya menjadi usaha Orde Baru untuk mengatur masyarakat Indonesia untuk patuh terhadap rezim. Konteks ini secara spesifik hanya ada di masa Orde Baru.
Simpulan
Dengan dua contoh yang telah diajukan tadi, penulis telah menunjukkan bagaimana warga negara dilihat dalam perspektif Foucauldian. Setidaknya telah ditunjukkan bahwa warga negara merupakan hasil dari objektifikasi yang kompleks pada suatu masa tertentu. Ia juga merupakan bentukan operasi kekuasaan tertentu. Dengan demikian, seperti halnya subjek menurut Foucault, warga negara adalah sesuatu yang tidak terberi dan stabil, tetapi lebih jauh, ia merupakan hasil dari praktik kekuasaan tertentu.
Catatan Akhir:
[1] Foucault sendiri dalam hal ini menelurkan dua pendekatan untuk melihat bagaimana kekuasaan itu beroperasi. Pertama adalah arkeologi dan kedua adalah genealogi. Pendekatan arkeologi mengarah pada penyelidikan terhadap ide, pengetahuan, dan aspek kesadaran manusia yang menjadi medan operasi kekuasaan (atau medan diskursif). Pendekatan genealogi mengarah pada penyelidikan terhadap tubuh individu sebagai medan operasi kekuasaan.
[2] Foucault sendiri mengajukan pernyataan yang sebangun, “ untuk menyelidiki bagaimana itu yang waras, perlu kiranya menyelidiki bagaimana itu yang gila” (Foucault, 2013)
Daftar Pustaka
Foucault, M. (2013) “The Subject and Power,” Ethische und politische Freiheit, 8(4), pp. 777–795. doi: 10.1515/9783110815764.387.
Heyes, C. J. (2010) “Subjectivity and power,” Michel Foucault: Key Concepts, pp. 159–172. doi: 10.1017/UPO9781844654734.012.
Kebung, K. (2017) “Michel Foucault : Kuasa Versus Rasionalitas Modernis,” Jurnal Ledalero, 16(1), pp. 55–73.
Mudhoffir, A. M. (2013) “Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik,” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 18(1). doi: 10.7454/mjs.v18i1.3734.
Neal, Veghan (2019). ‘ Michel Foucault dan Hubungan Internasional,’ Teori-Teori Penantang Politik Internasinal. 1st ed. Jakarta : Noura
Robertus Robert (2014) Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan Dari Marx sampai Agamben. 2nd ed. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.