Tentang artikel[1]
Francis Fukuyama dalam buku The End of History and The Last Man mengemukakan “ramalan” rasional mengenai akhir dari perkembangan sejarah manusia. Menurutnya, sejarah telah dan akan berakhir dengan tercapainya masyarakat demokratis liberal di seluruh dunia. Akhir sejarah yang dimaksud di sini bukanlah berakhirnya peristiwa alias kiamat, melainkan akhir dari sejarah ideologi. Dengan kata lain, menurut Fukuyama, tidak ada lagi ideologi baru yang dapat menggantikan kedudukan demokrasi liberal dan kapitalisme. Ideologi tersebut menjadi puncak dan finalitas ideologi yang pernah ada dalam sejarah.
Fukuyama mengutarakan pandangan dan argumennya yang menjustifikasi ideologi demokrasi liberal dan kapitalisme dengan mengikuti pandangan G.W.F Hegel, filsuf idealis Jerman. Namun, ia tidak langsung merujuk pada pemikiran Hegel sendiri, melainkan Hegel sebagaimana ditafsirkan oleh Alexandre Kojève. Maka ketika menyebut Hegel, sebetulnya merujuk pada tafsiran Kojève terhadap pemikiran Hegel.[2]
Dalam bab 13 buku tersebut, Fukuyama memunculkan suatu teori spekulatif yang menarik tentang awal sejarah manusia. Dalam pembacaannya terhadap Hegel, ia menemukan dasar penggerak sejarah manusia adalah “perjuangan untuk diakui”. Fukuyama menyebut motif “pengakuan” lebih memadai untuk menjelaskan evolusi sejarah manusia ketimbang motif materialistik yang diajukan oleh Karl Marx. Di situ nampak bahwa ia mendukung idealisme Hegelian dan mengesampingkan materialisme Marxian.
Fukuyama memulai uraiannya dengan menyebut peristiwa penggulingan rezim diktator di Spanyol, Argentina, Hungaria, dan Polandia yang diikuti dengan penegakan sistem demokrasi liberal. Menurutnya ada resonansi (kemiripan) motif dalam peristiwa yang terjadi di pelbagai belahan dunia tersebut. Motif tersebut biasanya dianggap materialistik, entah itu ekonomi atau politik. Namun bagi Fukuyama, penjelasan tersebut jauh dari memadai. Ia meyakini adanya motif non-materialistik yang mendasari pelbagai peristiwa sejarah tersebut.[3]
Untuk menemukan motif non-materialistik tersebut, Fukuyama merujuk pada Hegel. Hegel menyebut proses sejarah didasari suatu mekanisme, yakni “perjuangan untuk diakui”. Bagi Fukuyama, ide lebih mampu menjelaskan peristiwa sejarah kontemporer. Ia mengkritik masyarakat kontemporer yang terbiasa mereduksi peristiwa apapun bermotif ekonomi. Padahal, sesungguhnya kebanyakan peristiwa politik itu tidak ada hubungannya dengan motif ekonomi. Sebaliknya, “perjuangan untuk diakui” adalah motif yang lebih tepat, terbukti di mana-mana, dan mampu menjelaskan gerakan yang mendukung demokrasi liberal, entah di Uni Soviet, Eropa Timur, Afrika Selatan, Asia, Amerika Latin, maupun Amerika Serikat.[4]
Untuk memahami makna “perjuangan untuk diakui”, harus terlebih dahulu dipahami konsep kodrat manusia menurut Hegel. Dalam bahasa Hegel, kodrat manusia disebut sebagai “manusia pertama”. “Manusia pertama” di sini bukan merujuk pada manusia primitif secara historis dan empiris, melainkan suatu karakteristik yang secara universal ada pada setiap manusia. Hegel sendiri tidak mengakui adanya kondisi alami (state of nature) manusia, tidak seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau dengan teori state of nature-nya masing-masing. Bagi Hegel manusia itu pada dasarnya bebas dan tidak terdeterminasi. State of nature dipandang sebagai batasan atas kebebasan manusia. Kendati demikian, konsep “first man” yang digagas Hegel sebenarnya tidak berbeda jauh dari konsep state of nature Hobbes dkk.[5]
Hegel kemudian mulai mendeskripsikan konsep manusia pertama tersebut. Manusia pertama pada masa primitif mempunyai kesamaan dengan hewan secara biologis: membutuhkan makan, tidur, dan perlindungan. Namun, ada dua hal yang membedakan. Pertama, manusia dapat menginginkan objek non-material. Buktinya, hanya manusialah makhluk yang bisa mendambakan sesuatu yang tidak ada urusannya dengan kebutuhan biologis, misalnya medali atau bendera musuh. Secara lebih spesifik, manusia mendambakan apa yang didambakan pula oleh manusia lainnya, yaitu untuk diinginkan oleh manusia lainnya, atau dengan kata lain, untuk diakui. Manusia tidak dapat sadar diri jikalau tidak memperoleh pengakuan dari manusia lainnya.[6]
Kedua, yang lebih fundamental, manusia ingin diakui sebagai manusia. Menurut Hegel, hasrat akan identitas tersebut ditentukan dari sejauh mana ia berani mempertaruhkan nyawa. Maka ketika seseorang bertemu orang lain, terjadilah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan. Caranya adalah dengan mempertaruhkan nyawa dan berperang bahkan sampai berdarah-darah.[7]
Sebagai hasil dari peperangan mati-matian tersebut, terdapat tiga kemungkinan: (1) keduanya mati sehingga kehidupan berakhir, (2) salah satu mati sehingga tidak ada yang mengakui dan diakui, (3) semua hidup karena perang diakhiri dengan menciptakan relasi budak dan tuan. Tuan adalah mereka yang menang, yang lebih berani mempertaruhkan nyawa. Budak adalah mereka yang kalah, pengecut dan menyerah pada kekuasaan sang tuan.[8]
Dari uraian ini dapat disimpulkan adanya kesamaan Hegel dengan Marx dalam hal kepercayaan pada adanya kelas sosial dalam masyarakat primitif. Namun perbedaannya, bila Marx percaya kelas sosial terjadi berdasarkan fungsi-fungsi ekonomi, yakni tuan tanah dan buruh penggarap tanah, Hegel meyakini kelas sosial terbentuk lebih-lebih berdasarkan sikap manusia terhadap kematian: apakah berani atau pengecut?[9]
Dalam penilaian Fukuyama, Hegel jauh lebih akurat daripada Marx dalam membaca sejarah. Ia berargumen bahwa masyarakat aristokrat tradisional awalnya muncul berkat semangat ksatria suku-suku nomaden sehingga dalam peperangan berhasil menaklukkan kaum sedenter (menetap). Para penakluk kemudian menjadi tuan, sementara yang takluk dijadikan budak. Kendati kemudian tercipta masa damai tanpa perang, semangat ksatria yang berdasarkan keberanian untuk mempertaruhkan nyawa itu tetap dijunjung tinggi dalam budaya kerajaan.[10]
Fukuyama memperkirakan bahwa gagasan Hegelian di atas akan terdengar aneh bagi orang modern, terutama tentang keberanian mempertaruhkan nyawa sebagai sikap dasar manusia. Padahal, menurutnya, sampai zaman sekarang pun terbukti masih ada orang yang bersedia mempertaruhkan nyawa dalam pelbagai peperangan, baik perang tradisional maupun “perang” jenis baru, seperti perang antar geng, kartel narkoba, atau konflik di Afghanistan.[11]
Agar dapat memahami mengapa mempertaruhkan nyawa itu signifikan maknanya, Fukuyama kemudian mengajak untuk memperdalam makna kebebasan manusia. Ia membandingkan pengertian kebebasan menurut Hobbes dan Hegel. Menurut Hobbes, kebebasan berarti tiadanya penghalang eksternal untuk bergerak. Definisi ini bisa diterapkan pada pengada apapun, tidak hanya manusia.[12]
Fukuyama menganggap definisi tersebut kurang memadai. Ia mengkritik pandangan Hobbes itu, demikian: jika begitu halnya, apakah kayu yang menggelinding dengan bebas di lereng gunung dapat disebut bebas? Bukankah kayu itu hanya dideterminasi oleh gaya gravitasi? Kemudian, jika pengertian manusia bebas adalah sekadar manusia yang tidak terbelenggu secara fisik, bukankah manusia tidak lebih bebas daripada kayu? Atau dengan kata lain, bukankah manusia lalu sama saja bebasnya dengan kayu?[13]
Kritik ini makin diperkuat oleh temuan Fukuyama bahwa dalam karyanya termasyhur, Leviathan, Hobbes memotret manusia sebagai suatu “mesin” yang amat kompleks. Kodrat manusia menurut Hobbes terdiri dari serangkaian perasaan seperti sukacita, sakit, takut, dsb dan itu semua mendeterminasi perilaku manusia. Hobbes pada akhirnya tidak percaya bahwa manusia punya kemampuan untuk membuat pilihan moral. Rasionalitas manusia pun tak lebih dari mekanisme pemeliharaan diri yang memang sudah ada dari sononya alias sudah kodratnya. Padahal, kodrat itu sendiri dapat dijelaskan dengan hukum-hukum alam.[14] Jadi, jelas bahwa menurut Fukuyama, konsep kebebasan manusia menurut Hobbes masih belum cukup memadai. Manusia menurut Hobbes ternyata masih secara dominan terdeterminasi.
Sebaliknya, menurut Fukuyama, Hegel memahami manusia secara sungguh berbeda. Manusia bukan hanya tidak terdeterminasi oleh sifat fisik atau kebinatangannya, melainkan mampu melampaui atau menegasi kodrat kebinatangannya itu. Manusia bukan hanya bebas dalam arti tidak terbatas secara fisik, melainkan bebas dalam arti metafisis, yakni sama sekali tidak terdeterminasi oleh alam. Manusia juga mampu menentukan pilihan moral, yakni pilihan aksi yang tidak hanya berdasarkan keuntungan terbesar, melainkan berdasar kebebasan untuk membuat dan menaati aturan yang dibuatnya sendiri. Dan persis martabat manusia terletak pada kapasitasnya untuk menentukan pilihan moral tersebut secara merdeka.[15]
Buktinya, bila ada manusia dan hewan yang sama-sama lapar, dan di depan mereka terdapat pohon apel yang sedang berbuah ranum, hewan akan serta merta mengambil dan memakan buah apel itu. Namun, berbeda dengan hewan, manusia dapat memperhitungkan konsekuensi lain bila ia melakukan yang sama (misalnya mungkin ditangkap dan dihukum sebagai pencuri) sehingga dapat menahan rasa laparnya.[16]
Menurut Fukuyama, Hegel tidak menyangkal bahwa manusia punya kodrat hewani, seperti membutuhkan makan dan tidur. Namun dia juga mampu bertindak kebalikan dari hasrat hewaninya itu demi memenuhi hasrat yang lebih tinggi. Di situlah keberanian mempertaruhkan nyawa menjadi penting. Keberanian tersebut membuktikan kemampuan manusia untuk bertindak kebalikan dari insting paling dasar manusia, yakni mempertahankan diri. Jadi, alasan untuk berperang mati-matian adalah untuk mendapatkan pengakuan dari manusia lain, bahwa aku berani mempertaruhkan nyawa dan karenanya aku secara radikal berbeda dengan hewan. Aku manusia yang bebas dan otentik.[17]
Jika alasan berperang adalah hal-hal lain, seperti melindungi keluarga atau ingin merebut teritori lawan, maka sebenarnya manusia juga hanya memenuhi salah satu hasrat hewaninya. Banyak hewan yang berani mempertaruhkan nyawa demi melindungi anak atau habitat mereka. Sebaliknya, hanya manusialah yang mampu berperang mati-matian melulu demi menunjukkan bahwa ia punya martabat oleh karena kebebasannya.[18]
Kemajuan sains saat ini mungkin dapat menjelaskan bahwa tindakan melawan kodrat seperti mempertaruhkan nyawa tersebut dideterminasi oleh insting yang lebih mendasar lagi. Semua perilaku manusia dapat dijelaskan dengan psikologi dan antropologi sampai dengan biologi dan kimia. Artinya kebebasan dan tindakan moral tidak ada karena semua dideterminasi oleh hukum alam. Namun Hegel dan Kant sudah mengantisipasi bahaya itu. Mereka percaya dan berusaha membuktikan bahwa manusia tidak sepenuhnya tunduk pada hukum alam. Maka, fenomena moral pun tidak dapat direduksi pada sekadar mekanisme alamiah.[19]
Fukuyama mengakui, memang banyak kegiatan manusia diarahkan untuk memenuhi kebutuhan biologis-alamiah semata. Namun waktu yang didedikasikan untuk mengejar yang non-material pun tak kalah signifikan. Manusia tidak hanya mencari kenyamanan material, tetapi juga rasa hormat dan pengakuan. Itu karena mereka percaya bahwa mereka punya nilai dan martabat. Ilmu psikologi atau politik yang mengabaikan hasrat manusia untuk diakui pasti akan menyalahpahami perilaku manusia.[20]
Bagi Hegel, kebebasan bukan hanya fenomena psikologis, melainkan esensi dasar manusia. Maka kebebasan dan kodrat saling bertentangan. Kebebasan bermula ketika kodrat berakhir. Kebebasan manusia timbul ketika ia mampu melampaui kodrat hewaninya dan menjadi pribadi. Titik tolaknya adalah perjuangan mati-matian untuk diakui.[21]
Pemikiran Hegel tentang perang maut “manusia pertama” ini hanya awal dari filsafat sejarah Hegel. Persoalan utama sejarah manusia adalah upaya mencari penyelesaian yang dapat memuaskan baik kelompok tuan maupun budak yang sama-sama ingin saling diakui dengan setara. Oleh karena itu, sejarah akan berakhir dengan kemenangan suatu tatanan sosial yang dapat mengakomodasi kepentingan tersebut. Dan tatanan sosial yang dimaksud itu adalah demokrasi liberal modern.[22]
Evaluasi Kritis
Bagian evaluasi kritis ini akan saya bagi dalam dua aspek, apresiasi dan kritik. Saya akan mulai dari apresiasi. Pertama, pemikiran dan argumentasi Fukuyama yang mendukung pemikiran Hegel disusun secara runtut dan meyakinkan. Motif non-material dalam sejarah peradaban manusia memang harus diakui adanya. Penggerak sejarah bukan hanya hal-hal material seperti diklaim oleh Marx dengan mengatakan bahwa bangunan bawah (Unterbau) yakni ekonomi menentukan bangunan atas (Überbau) masyarakat, seperti agama dan ideologi. Fukuyama mengakui serta membuktikan itu dengan benar-benar merujuk pada karya Hegel sebagaimana diinterpretasikan oleh Kojève.
Kedua, Fukuyama mempertahankan argumennya tidak hanya dengan merujuk pada Hegel, filsuf besar yang diikutinya tersebut. Ia juga mampu menunjukkan bukti empirisnya dengan menyebut beberapa fakta peristiwa di mana peperangan berlangsung atas dasar motif non-material, khususnya hasrat untuk diakui. Fukuyama dengan demikian mampu mengkontekstualisasikan dan merelevansikan aktualitas pemikiran Hegel hingga saat ini. Pemikiran Hegel tidak hanya sahih secara historis sampai dengan era Hegel saja, melainkan sampai saat ini.
Akan tetapi, pemikiran Fukuyama ini tidak lepas pula dari kritik. Pertama, dalam buku The End of History and The Last Man, Fukuyama menggunakan karya Hegel Phenomenology of Mind untuk merepresentasikan filsafat sejarah menurut Hegel.[23] Padahal menurut M.C. Lemon, khusus tentang tema filsafat sejarah, Hegel pernah menulis buku-buku lain, yakni The Philosophy of History dan The Philosophy of Right.[24] Saya sependapat dengan Lemon untuk menggugat Fukuyama, mengapa ia tidak merujuk, atau dengan kata lain, mengabaikan buku-buku tersebut? Apakah karena di dalam dua buku tersebut, Hegel hanya pernah satu kali menyebut tentang perjuangan untuk diakui?[25]
Maka, apakah buku Phenomenology of Mind memang tepat dirujuk sebagai suatu karya filsafat sejarah? Atau Fukuyama secara tendensius menghalalkan segala cara untuk mencari justifikasi dan legitimasi atas pemikirannya, termasuk menggunakan sumber yang tidak relevan sebagai argumen serta mengabaikan sumber lain yang sesungguhnya jauh lebih relevan? Jika demikian, Fukuyama melakukan appeal to authority dengan “bernaung” di bawah nama besar Hegel tanpa peduli dalam bidang apa Hegel berbicara?
Memang Fukuyama sendiri telah mengakui bahwa ia mengikuti pembacaan Kojève atas Hegel.[26] Kojèvelah yang menafsirkan buku Phenomenology of Mind tersebut sehingga Fukuyama tinggal mengikutinya. Namun, Fukuyama tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara akademis. Mengapa ia menerima begitu saja pembacaan Kojève atas Hegel tersebut tanpa kritik sedikitpun? Atau Fukuyama memang secara sengaja dan tendensius menggunakannya karena sejalan dengan pemikiran dan tesisnya?
Kedua, kecenderungan Fukuyama mempertentangkan kodrat dan kebebasan itu tidak masuk akal. Menurut saya, Fukuyama telah terjerembab dalam kesesatan nalar (logical fallacy) berupa false dichotomy atau false dilemma. False dichotomy sendiri adalah kesesatan nalar karena memperlawankan dua hal yang sebetulnya tidak sejajar untuk didilematisasi.[27]
Kodrat semestinya diterima sebagai esensi manusia. Kebebasan dapat diaktualisasikan seoptimal mungkin di bawah kodrat. Tidak ada kebebasan yang melampaui kodrat. Sebagai contoh, salah satu kodrat manusia adalah tidak dapat terbang[28]. Maka, tidak masuk akal kalau dikatakan ia mempunyai kebebasan untuk terbang. Sebebas-bebasnya manusia, kebebasan itu tidak lantas dapat membuatnya terbang. Contoh lainnya, kodrat seorang laki-laki adalah memproduksi sel sperma. Tidak mungkin ia dengan kebebasannya lalu secara alami mampu memproduksi sel telur yang secara kodrati dimiliki oleh perempuan.
Sintesis yang tepat antara kodrat dan kebebasan adalah sebagai makhluk yang kodratnya tak dapat terbang, ia bebas berbuat apapun asalkan tetap tunduk pada kodrat tersebut. Misalnya, ia dapat berlari dengan cepat atau berenang (asalkan bisa) sebagai perwujudan kebebasannya itu. Kemudian, sebagai laki-laki, seseorang bebas berbuat apapun asalkan tidak melawan kodratnya sebagai laki-laki. Ia bebas untuk membuahi ataupun tidak membuahi sel telur, misalnya, sebagai perwujudan kebebasannya itu. Dengan demikian menjadi jelas bahwa kodrat dan kebebasan tidak dapat diperlawankan, tetapi merupakan suatu kesatuan integral.
Ketiga, ternyata Fukuyama sendiri inkonsisten dalam pemaparan argumennya. Contoh inkonsistensinya, pada satu bagian, ia mengakui bahwa memang manusia tidak dapat bergerak lebih cepat daripada kecepatan cahaya dan tidak dapat melawan gravitasi.[29] Dari kalimat itu ia mengakui adanya kodrat yang membatasi manusia. Namun pada bagian lain buku yang sama, ia memperlawankan kebebasan dan kodrat. Dikatakan, kebebasan baru mulai bila kodrat berakhir.[30] Padahal kebebasan adalah ciri paling mendasar dari manusia.[31]
Pertanyaannya, kapan kodrat manusia yang tidak dapat bergerak lebih cepat daripada kecepatan cahaya serta tidak dapat melawan gravitasi itu akan berakhir? Jika tidak kunjung berakhir, apakah manusia lalu kehilangan kebebasannya? Jika ia tidak bebas untuk melawan gravitasi, apakah itu berarti manusia tidak bebas lagi? Sekali lagi, kodrat tidak semestinya diperlawankan dengan kebebasan karena kebebasan hanya mungkin diaktualisasikan di dalam kodrat. Kita mesti mengakui keterbatasan kebebasan manusia oleh karena kodratnya sekaligus mengakui pula bahwa di bawah kodrat tersebut kita bebas beraktualisasi.
Keempat, Fukuyama telah mereduksi motif manusia sebagai makhluk yang kodratnya mencari pengakuan belaka. Reduksi ini timbul dengan asumsi bahwa sejarah diawali dengan peperangan dan konflik—kalau tidak ingin mengatakan bahwa sejarah hanya berisi peperangan. Padahal, faktanya sejarah tidak sesempit itu. Ada peristiwa sosial lain seperti perdamaian, kerjasama, dan komunikasi yang mewarnai sejarah manusia. Bukankah sejarah juga mungkin diawali dengan perdamaian, kerjasama, dan komunikasi? Pertanyaan kritis yang kemudian dapat diapungkan adalah apakah benar peristiwa sejarah selain perang dimotivasi melulu oleh hasrat mencari pengakuan? Tidakkah hasrat lain, seperti mencari teman yang menjadi dasar bagi homo homini socius juga harus diperhitungkan?
Bagaimanapun, usaha Fukuyama merekonstruksi perkembangan sejarah manusia melalui tafsiran Kojève atas Hegel dan menunjukkan relevansinya bahkan sampai pada zaman sekarang patut diberi perhatian. Ia telah dengan jeli memperlihatkan apa yang selama ini seringkali luput dari pengamatan para sejarawan dan filsuf sejarah mengenai adanya motif non-material yang menggerakkan sejarah. Motif material (ekonomi dan politik) yang dominan diperhatikan selama ini digusur dan digantikan dengan motif non-material, yakni kebutuhan akan pengakuan. Lepas dari kekurangan di sana-sini dalam pemikiran Fukuyama, motif kebutuhan akan pengakuan kini semestinya mulai dipertimbangkan bila hendak mengamati suatu peristiwa sejarah, terkhusus yang menyangkut peperangan dan konflik sosial.
Catatan akhir:
[1] Tulisan ini adalah saripati dari bab 13 “In the Beginning, a Battle to the Death for Pure Prestige,” dalam Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, (London: Penguin Books, 1992), hlm. 143-152. Pada bagian akhir, penulis menyertakan tanggapan kritis atas isi tulisan Fukuyama tersebut.
[2] Fukuyama, hlm. xxi, 144.
[3] Fukuyama, hlm. 143-144.
[4] Fukuyama, hlm. 145-146.
[5] Fukuyama, hlm. 146.
[6] Fukuyama, hlm. 146.
[7] Fukuyama, hlm. 147.
[8] Fukuyama, hlm. 147.
[9] Fukuyama, hlm. 147.
[10] Fukuyama, hlm. 148.
[11] Fukuyama, hlm. 148.
[12] Fukuyama, hlm. 148-149.
[13] Fukuyama, hlm. 149.
[14] Fukuyama, hlm. 149.
[15] Fukuyama, hlm. 150.
[16] Fukuyama, hlm. 150.
[17] Fukuyama, hlm. 150.
[18] Fukuyama, hlm. 150-151.
[19] Fukuyama, hlm. 151.
[20] Fukuyama, hlm. 151-152.
[21] Fukuyama, hlm. 152.
[22] Fukuyama, hlm. 152.
[23] Lih. catatan akhir no. 1 dari bab 13 dalam Fukuyama, hlm. 364.
[24] M.C. Lemon, Philosophy of History: A Guide for Students, (London: Routledge, 2003), hlm. 397.
[25] G.W.F. Hegel, Philosophy of Right (terj. S.W. Dyde), (Kitchener: Batoche Books, 2001), hlm. 66.
[26] Fukuyama, hlm. 144.
[27] Bo Bennett, Logically Fallacious: The Ultimate Collection of over 300 Logical Fallacies, (Sudbury, MA: eBookit, 2012), hlm. 168-169.
[28] Terbang yang dimaksud di sini adalah secara natural dengan organ-organ biologis yang ada, seperti burung atau kelelawar. “Terbang” dengan alat transportasi udara adalah persoalan lain.
[29] Fukuyama, hlm. 151.
[30] Fukuyama, hlm. 152.
[31] Fukuyama, hlm. 150.
Daftar Pustaka
Bennett, Bo. Logically Fallacious: The Ultimate Collection of over 300 Logical Fallacies, Sudbury, MA: eBookit, 2012.
Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man. London: Penguin Books, 1992.
Hegel, G.W.F. Philosophy of Right (terj. S.W. Dyde). Kitchener: Batoche Books, 2001.
Lemon, M.C. Philosophy of History: A Guide for Students. London: Routledge, 2003.