Manusia telah hidup berdampingan dengan cinta jauh sebelum generasi milenial menguasai dunia seperti saat ini. Adam dan Hawa adalah bukti bahwa perintah untuk mencinta didasarkan pada otoritas Tuhan. Tampak jelas bahwa manusia lahir ke dalam realitas ini untuk menebar dan menerima cinta. Lalu, apakah manusia masih menyadari hal itu? Ragu rasanya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Manusia saat ini memperoleh cinta hanya sebatas untuk mendapatkan atensi dari khalayak umum dan melupakan substansi dari cinta sejati. Maka dari itu, Søren Kierkegaard, filsuf asal Denmark berupaya untuk merumuskan persoalan tersebut dalam kacamata eksistensi manusia. Berangkat dari keinginan untuk memperoleh cinta sejati dalam hidupnya, alasan tersebut tentunya cukup untuk menjadi referensi tentang makna cinta yang telah dilupakan oleh kebanyakan orang.
Oleh sebab itu, menurut Kierkegaard, individu menjadi titik fokus untuk menentukan suatu kejadian, dan juga sebagai representasi atas pentingnya subjektivitas dan penderitaan sebagai emosi sentral kehidupan manusia.
Sebagai filsuf yang terkenal melankolis, Kierkegaard telah berhasil menciptakan banyak karya dalam pergulatan menjadi manusia yang autentik. Kematian ibu dan saudara-saudaranya menjadi tak terelakan dalam kehidupan Kierkegaard. Tidak hanya itu, kegagalan pernikahannya dengan sang tunangan, Regina Olsen, melengkapi pergulatan hidup Kierkegaard sebagai manusia yang berhak bahagia. Di samping penderitaan yang mendalam, hal tersebut justru menjadi keuntungan bagi dirinya. Pengalaman tersebut menyebabkan Kierkegaard berusaha penuh untuk menjadi manusia autentik dengan caranya sendiri. Selain itu, penderitaan Kierkegaard banyak dituangkan melalui sejumlah karya termasyhur. Karya Either/Or adalah salah satu hasil refleksi Kierkegaard atas perpisahannya dengan Regina. Adapun hal tersebut juga tertuang dalam karyanya yang berjudul Fear and Trembling, serta buku-buku lainnya yang hingga sekarang dijadikan sebagai rujukan para filsuf. Selain itu, filsuf yang lahir pada 5 Mei 1813 tersebut, juga telah mendefinisikan sedemikian rupa perihal paham eksistensialisme, dan itulah alasan mengapa Kierkegaard mendapat gelar “Bapak Eksistensialisme”. Kierkegaard berharap dengan memahami eksistensi manusia, manusia akan menghindari perilaku “kepura-puraan dalam kerumunan”. Maksud dari kepura-puraan dalam kerumunan adalah upaya untuk menjalani hidup dalam kepalsuan. Hal ini bukan disebabkan oleh aspek lahiriah dan batiniah individu tersebut, melainkan pengaruh dari orang sekitar. Oleh sebab itu, menurut Kierkegaard, individu menjadi titik fokus untuk menentukan suatu kejadian, dan juga sebagai representasi atas pentingnya subjektivitas dan penderitaan sebagai emosi sentral kehidupan manusia.
Untuk memahami jalan hidup Kierkegaard, pembaca perlu memahami rumusan-rumusan eksistensi manusia terlebih dahulu, khususnya dalam karyanya Stages on Life’s Way tahun 1845 tentang tahap eksistensi (spheres of existence) dan keautentikan diri dalam cinta sejati. Sebelum memasuki beberapa pandangan Kierkegaard, sesuatu yang unik darinya adalah dia terbiasa memakai nama samaran dalam karya-karyanya. Hal tersebut bertujuan agar para pembaca buku dapat fokus dengan apa yang tertulis di karyanya tanpa melihat latar belakang dari si penulis.
Tahap Eksistensi
Setiap manusia mempunyai pedoman untuk bertindak dalam kehidupannya. Pedoman tersebut diharapkan dapat menjawab setiap persoalan manusia. Selain itu, manusia berharap pedoman hidupnya tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga bersifat praktis. Berangkat dari itu, Kierkegaard merumuskan tiga tahap eksistensi manusia. Kierkegaard membedakan tahap eksistensinya menjadi tiga, dengan setiap tahap memiliki prinsip hidup yang berbeda.
Pertama adalah tahap estetis. Tahap eksistensi yang tergolong bebas dan hanya mementingkan kepuasan indrawi. Tujuan utama dari tahap estetis adalah mencari kesenangan. Kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan yang terjadi hanya dalam jangka waktu yang sementara dan didapatkan secara spontan. Apa yang disenangi itulah yang akan dilakukan. Tidak adanya pertimbangan moral dalam mencapai kesenangan menyebabkan tahap estetis selalu berakhir dengan rasa kecewa, tidak puas, dan bosan. Manusia diharuskan memilih satu dari dua pilihan, yaitu “memperoleh kesenangan secara terus menerus dan berakibat bosan” atau “tidak memperoleh kesenangan dan berakibat kecewa.” Dalam konteks pilihan manusia, Kierkegaard menggambarkan tahap estetis dengan tokoh Don Juan. Don Juan adalah tokoh novel Abad Pertengahan sebagai representasi dari seorang individu yang berpaling dari moral dan kebenaran agama. Don Juan menyumbangkan pengalaman hidup kepada Kierkegaard yang hanya memiliki tujuan hidup sebatas kesenangan dalam hal seksualitas dengan wanita-wanita tanpa memedulikan pertimbangan moralitas. Walaupun dirinya selalu memperoleh hasrat seksual yang diinginkan, Don Juan mengalami kebosanan dalam hidupnya karena kesenangan tersebut bersifat sesaat. Cintanya tidak menyentuh aspek batiniah, melainkan hanya sebatas aspek indrawi. Tahap estetis yang telah digambarkan oleh Don Juan menunjukkan bahwa cinta hanya sebatas objek hinaan, maka dari itu yang tersisa hanyalah cinta kesementaraan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, cinta tidak membicarakan kesetiaan yang harmonis, melainkan hanya sebagai objek pemuas hasrat sementara dari kedua belah pihak yang berada dalam tahap estetis. Ketika manusia mengalami kebosanan, kekecewaan, atau bahkan kesementaraan dalam hidupnya, manusia akan tertantang untuk memasuki tahap eksistensi yang lebih tinggi.
Kedua adalah tahap etis. Manusia dalam tahap estetis mulai mempertimbangkan untuk memilih sikap baik dan jahat sebagai tindakan eksistensinya. Manusia berkomitmen dan bertanggung jawab atas apa yang telah dipilihnya. Dalam tahap ini, pilihan etis menjadi jalan keluar dari kebingungan atas rasa bosan dan kecewa. Manusia yang berhasil membuat pilihan merasa telah meraih dan menguasai dirinya. Kierkegaard mencontohkan tokoh Sokrates sebagai manusia yang berada di tahap etis. Sokrates berhasil menyingkirkan hasrat yang estetis dalam dirinya demi kebaikan diri dan orang di sekitarnya. Menurut Kierkegaard, cinta dalam tahap etis adalah suatu komitmen untuk menerima dan terbuka terhadap orang lain. Penyelewengan komitmen akan menyebabkan kegagalan dalam moralitas cinta. Komitmen tersebut dapat terlihat dalam hubungan sepasang kekasih yang telah sepakat untuk menikah berdasarkan kesadaran moral tanpa harus menghilangkan cinta di tahap estetis. Jika manusia gagal dalam menguasai dirinya dan mempersilakan orang lain menguasainya, maka manusia tersebut telah dinyatakan tidak eksis dalam tahap etis. Secara umum, tahap etis cukup untuk manusia eksis dalam dunia ini, sebab manusia telah menjadi beretika dan bermanfaat bagi dirinya serta kehidupan sekitarnya. Namun, menurut Kierkegaard, untuk melengkapi eksistensi manusia, diperlukan peran iman atau spiritualitas sebagai kesempurnaan manusia dalam menentukan tindakan.
Dengan pasrah dan patuh kepada perintah Tuhan, tanpa memikirkan baik atau jahat dari sudut etis, manusia pada akhirnya memperoleh keinginan yang sulit didapatkan di tahap-tahap sebelumnya, misalnya saja perihal cinta sejati.
Ketiga adalah tahap religius. Tahap religius adalah tahap yang paling tinggi dari eksistensi manusia. Bagi Kierkegaard, hanya melalui “lompatan iman” manusia tidak lagi berkomitmen kepada sesamanya, melainkan secara penuh kepada Tuhan. Dalam tahap ini, tujuan manusia bukan untuk dirinya yang bersifat temporal lagi, melainkan pencapaian terhadap kebahagiaan abadi dalam hubungannya bersama Tuhan. Kierkegaard memberi contoh pada tahap religius dengan menceritakan kisah Abraham tentang kepasrahan yang total kepada Tuhan. Dalam cerita Abraham yang mengorbankan anaknya, Kierkegaard membuktikan bahwa kepercayaan memberikan segala hal yang dia butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Dalam tahap religius, cinta mendapatkan tempat yang tertinggi, sebab manusia tidak lagi berusaha mencari cinta untuk manusia, tetapi memperolehnya dari Tuhan. Pada saat Kierkegaard membatalkan pernikahannya dengan sang tunangan, ia memiliki tujuan untuk mendapatkan cinta sejati dari Tuhan dan tunangannya. Namun, hingga akhir hayatnya, Kierkegaard tidak mendapatkan kembali cinta dari Regina. Walau demikian, Tuhan memberikan hadiah yang lebih kepada Kierkegaard, yaitu cinta dari para pembaca dan penggemar karyanya hingga saat ini. Dengan pasrah dan patuh kepada perintah Tuhan, tanpa memikirkan baik atau jahat dari sudut etis, manusia pada akhirnya memperoleh keinginan yang sulit didapatkan di tahap-tahap sebelumnya, misalnya saja perihal cinta sejati.
Usaha Kierkegaard menjadikan manusia autentik—mendapatkan pemaknaan lebih akan keberadaan diri dan cinta sejati. Kierkegaard dengan semangat melalui karya-karyanya mengundang setiap manusia—khususnya para pembaca karyanya—untuk memberikan suatu kesadaran sebagai manusia autentik dalam kehidupan sehari-hari. Tahapan-tahapan eksistensialis yang ditawarkan Kierkegaard diharapkan menjadi jalan bagi setiap individu untuk lebih percaya diri dengan kemampuannya, tanpa harus berpura-pura di dalam kerumunan. Setiap tahap eksistensi memiliki cara pikir berbeda-beda yang bertujuan untuk memberikan kepuasaan tersendiri bagi setiap individu. Namun perlu ditekankan bahwa, menurut Kierkegaard, semua tahap eksistensi bukan bertujuan untuk mempermudah segala kehidupan seseorang, melainkan mempersulitnya. Tidak ada keharusan bagi setiap manusia dalam perjalanan hidupnya untuk menuju ke tahap-tahap eksistensi tersebut. Di sini terlihat bahwa eksistensi pada manusia autentik memerlukan keberanian untuk melawan segala bentuk, khususnya dalam kepalsuan hidup. Kebanyakan manusia takut untuk bisa hidup tanpa kepura-puraan dan lebih nyaman mengikuti kerumunan. Dengan tahap eksistensi Kierkegaard, manusia diharapkan dapat lebih mengenal dirinya sendiri dan berani untuk eksis secara autentik. Sebagai elaborasi yang terakhir, Kierkegaard mengajak setiap individu untuk bebas secara utuh melalui lompatan hidup religius.
Cinta Sejati
Ketika terdapat cinta, manusia menemukan sesuatu yang besar dan tak terbatas. Oleh karena itu, cinta sejati tidak berpihak, setia, dan tidak mencari balasan atau keuntungan kepada sesuatu yang dicintainya.
Penderitaan yang dialami manusia sering kali tidak terlepas dari proses mencinta. Penderitaan terjadi pada saat manusia melawan ego untuk sesuatu yang dia cintai. Penderitaan dalam cinta adalah bukti ketulusan dari seseorang yang sedang mencinta. Hanya cinta sejati yang dapat menerima penderitaan sebagai proses mencinta. Dalam proses mencinta, manusia menjadi objek utama dalam menentukan tindakan penderitaan tersebut. Hal inilah yang membuktikan bahwa manusia selalu beriringan dengan penderitaan dalam hal proses mencinta. Dengan demikian, cinta yang autentik adalah cinta yang menerima penderitaan dan tidak adanya kepura-puraan dalam diri. Cinta yang autentik pada akhirnya perlu diterima manusia secara lapang dada.
Tuhan memerintahkan manusia lahir ke dunia ini untuk memberi dan menerima cinta. Cinta mengajarkan berbagai kualitas unggul kemanusiaan seperti kesabaran, kepasrahan, dan pengorbanan. Dalam karyanya yang berjudul Works of Love, Kierkegaard memberikan penjelasan mengenai “Sepuluh Pokok Cinta Autentik”. Menurut Kierkegaard, cinta yang autentik adalah cinta yang dapat mendidik manusia. Baginya, tujuan mendidik manusia dapat membangun paham dalam hal kebaikan. Kierkegaard menekankan bahwa cinta mengajarkan manusia untuk dapat menahan ego demi orang lain. Selanjutnya, dalam Works of Love, dijelaskan juga bahwa cinta sejati tidak mengharapkan adanya balasan. Secara umum, cinta yang menuntut balasan adalah cinta yang berdasarkan keuntungan dari kedua belah pihak. Cinta seperti itu bukanlah cinta sejati. Maka menurut Kierkegaard, cinta sejati adalah cinta seperti mengenang orang mati, hanya memikirkan yang baik dan yang indah saat mereka hidup. Ketika manusia mengenang orang mati, manusia tersebut tidak akan mencari keuntungan, seperti halnya cinta sejati. Kierkegaard mengibaratkan cinta sebagai suatu rumah yang di dalamnya ada eksistensi dari “Si Pencinta” atau Tuhan. Jika seseorang menjadikan cinta seperti rumah-Nya, maka orang tersebut telah menghadirkan cinta di mana pun dia berada. Cinta sejati tidak dapat hilang, meskipun pernah tergantikan, dan akan selalu mengetahui jalan pulang. Kenyataan dari cinta menetap (love abideth) menurut istilah Kierkegaard adalah sesuatu yang terus mengisi pikiran manusia dengan berbagai cara. Ketika terdapat cinta, manusia menemukan sesuatu yang besar dan tak terbatas. Oleh karena itu, cinta sejati tidak berpihak, setia, dan tidak mencari balasan atau keuntungan kepada sesuatu yang dicintainya.
Kierkegaard mendasari pemikirannya berdasarkan prinsip-prinsip moral Kristen. Hal tersebut terlihat dari pengertian cinta sejati yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Bagi Kierkegaard, membicarakan cinta sejati akan mustahil rasanya apabila Tuhan tidak diikutsertakan. Tuhan dalam hal ini merujuk pada Yesus Kristus sebagai penyelamat dan penebus dosa. Hal tersebut dapat terjadi sebab ayah Kierkegaard, Michael Pedersen Kierkegaard, yang merawatnya sejak kecil adalah seorang penganut Kristen yang saleh.
Walaupun Kierkegaard dalam menulis semua karya menggunakan perspektif ajaran Kristiani, cinta agape—cinta tanpa syarat, cinta tanpa batas, dan cinta yang tidak mementingkan diri sendiri—dapat ditafsirkan melalui pandangan kepercayaan apa pun. Hasrat untuk mendapatkan cinta sejati tidak pernah padam meskipun kepercayaan manusia amat beragam. Dalam berbagai ajaran kepercayaan, Tuhan selalu menerima cinta sejati dari umat-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan para Muslim untuk mencintai-Nya agar mendapatkan kasih dan pengampunan dosa dari Sang Pencipta. Dalam Tanakh, YHWH menyampaikan 10 Hukum Taurat kepada Musa, yang memerintahkan orang Yahudi untuk mencintai Tuhan dengan menaati kesepuluh hukum tersebut. Adanya perintah mencintai di setiap kepercayaan menjadikan pemikiran Kierkegaard dalam cinta sejati sangat relevan untuk kebermaknaan hidup manusia saat ini. Maka dari itu, tidak ada batasan bagi setiap manusia untuk mencintai Tuhan, karena cinta sejati adalah cinta sepenuhnya kepada Tuhan.
Daftar Pustaka
Faiz, F. (2019, Februari 28). Ngaji Filsafat 185 : Soren Kierkegaard – Cinta Eksistensialis. diakses pada 1 Mei 2021 dari Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=wdXx5yPK1oA&t=5139s
Gardiner, P. (2002). Kierkegaard: A very short introduction. OUP Oxford.
Hadiwijono, H. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: PT Kanisius.
Kierkegaard, Soren. (1946). Works of Love. translated by David F. Swenson & Lilian Marvin Swenson. New Jersey: Princeton University Press.
Marhenanto, S. (2018). Makna Cinta Menurut Soren Kierkegaard dalam Works of Love. diakses pada 4 Mei 2021 dari www.academia.edu
Mokorowu, Y. Y. (2016). Makna Cinta: Menjadi Autentik dengan Mencintai Tanpa Syarat Menurut Soren Kierkegaard. Yogyakarta: PT Kanisius.
Tjaya, T. H. (2018). Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.