Pengabdian kepada masyarakat merupakan serangkaian pola pikir dan tindakan dengan dasar sukarela untuk membantu korban dari permasalahan sosial. Pengabdian kepada masyarakat biasanya tumbuh masif di kampus dengan beragam inovasi dari akademisi di dalamnya. Hal ini didasari doktrinasi yang menekankan bahwa permasalahan sosial dapat segera ditanggulangi ketika kalangan intelektual terjun langsung ke lapangan. Dalam karya tulis ini, penulis akan memaparkan refleksi kritis sebagai kritik terhadap dunia pengabdian di kampus.
Dengan berbekal pengalaman di lapangan, penulis mengungkapkan sebuah argumen bahwasanya pengabdian kepada masyarakat, jika dikaitkan dengan pendidikan, akan menimbulkan sekat-sekat keilmuan. Hal ini didasari oleh paradigma berpikir bahwa pengabdian ialah kegiatan mengimplementasikan ilmu yang didapat melalui riset atau kuliah di kelas untuk diterapkan di lapangan. Namun, paradigma berpikir ini merupakan paradigma yang salah, khususnya dalam lingkungan kampus. Pengabdian di klaster ilmu sains, teknologi, dan medis mengimplementasikan ilmu berbasis eksakta yang relevan. Akan tetapi, dalam ilmu sosial humaniora, pengabdian tidak bisa terjebak dalam paradigma berpikir yang sama. Ilmu sosial humaniora, dalam proses pengabdian kepada masyarakat, menempatkan diri sebagai entitas ilmu sosial untuk menelaah problem yang ada.
Pengabdian diperlukan untuk memberikan ruang-ruang pertemuan antara ilmu akademis dan realitas sosial.
Asumsi bahwa apapun bisa dipraktiskan merupakan asumsi yang salah. Jika kalangan intelektual berpikir sedemikian rupa, mereka terjebak dalam paradigma berpikir yang toksik. Jika semua pengabdian berusaha untuk mempraktekkan ilmu yang ada di kelas, lantas siapa yang akan mengkritisi problem sosial? Dari pertanyaan tersebut, paradigma berpikir pun muncul dan setiap orang pasti akan memiliki jawaban yang berbeda. Sesuai pengalaman penulis, kecenderungan yang terjadi dalam pengabdian ialah sekelompok orang memaksa dan dipaksa untuk membuat berbagai program dengan substansi yang terkadang tidak jelas hanya untuk memenuhi standar pengabdian. Kebiasaan tersebut akhir-akhir ini kian membumi dan menjadi hal yang sangat diwajarkan di dunia akademik.
Seremonial Yes, Substansial No
Dalam memandang pengabdian tersebut, penulis terinspirasi dari artikel Taufiqurrahman yang berjudul Kultur Toksik Dunia Akademik. Dalam artikel tersebut, Taufiqurrahman (2023) menjelaskan bahwa fenomena yang terjadi di dunia akademik sekarang ini memiliki kesan hanya mengutamakan aspek seremonial dan bukan substansial, begitu juga halnya di dunia pengabdian kampus. Dengan menyambung argumen Taufiqurrahman, pengabdian kampus secara empiris memiliki fungsi yang tidak bisa dijelaskan. Sebagai contoh, di dunia kampus setiap fakultas atau universitas pasti memiliki lembaga atau badan eksekutif di kalangan mahasiswa. Dalam menyusun Rancangan Anggaran Tahunan (RAT) mereka, badan atau lembaga tersebut pasti akan menyisihkan sedikit ruang untuk program kerja dan dana untuk membuat program pengabdian yang mengutamakan urgensi penyelesaian. Akan tetapi, program tersebut terkadang hanya sebatas formalitas belaka yang hanya asal selesai saja. Di samping itu, ketika program kerja tersebut dikritik, selalu ada posisi diplomatis yang berargumen bahwa program pengabdian ini tidak relevan dengan rencana pembangunan berkelanjutan dan kondisi masyarakat. Dengan bangunan argumen tersebut, dapat dimaknai bahwa pengabdian lembaga atau badan eksekutif dalam lingkungan kampus hanya bersifat seremonial belaka.
Kecenderungan yang terjadi dalam pengabdian ialah sekelompok orang memaksa dan dipaksa untuk membuat berbagai program dengan substansi yang terkadang tidak jelas hanya untuk memenuhi standar pengabdian.
Pernyataan tersebut didukung dengan tidak tercapainya sebuah progres dikarenakan tingginya idealisme suatu lembaga atau organisasi eksekutif. Pengaruh pengabdian yang sebatas menyelesaikan proker dan bersifat seremonial hanya sebatas angin lalu. Padahal, dalam konteks pengabdian masyarakat, lembaga atau badan eksekutif memiliki privilese yang cukup besar. Namun, privilese ini hanya sebatas bualan rapat ketidakjelasan dengan dalih mahasiswa dapat membantu masyarakat. Alur pemikiran “asal suatu program kerja terselesaikan” itu menjadi bentuk kesalahan yang dilaksanakan dengan sadar. Tanpa substansi berkelanjutan di masyarakat, pengabdian akan dinilai tidak efektif. Dunia pendidikan dan pengabdian dalam hal ini sama-sama toksik sehingga membuat intelektualitas di dalamnya terbelenggu.
Dalam konteks pengabdian kampus, lembaga atau badan eksekutif dinilai memiliki andil yang besar. Namun, hal tersebut perlu dipertanyakan kembali. Apa pengaruh lembaga atau badan eksekutif terhadap kampus? Lalu, apa makna keberlanjutan yang cenderung digemborkan ketika melakukan pengabdian? Dua pertanyaan tersebut dapat dijawab ketika pengabdian dalam lingkungan kampus mampu menyasar masyarakat yang tepat. Selain itu, pengabdian ini juga diperlukan untuk memberikan ruang-ruang pertemuan antara ilmu akademis dan realitas sosial. Pengabdian juga tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur kebermanfaatan organisasi, khususnya dalam lingkungan kampus. Hal ini dikarenakan pengabdian bukan sekadar membantu dan selesai, melainkan sesuatu yang berlanjut dalam jangka panjang. Dampak dari bantuan itulah yang dinamakan sebagai keberlanjutan. Pengabdian bukan hanya sebatas program kerja yang berakhir formalitas belaka. Pengabdian membutuhkan sebuah moralitas intelektual yang, ke depannya, akan menular dan memutar pola kehidupan masyarakat.
Memaknai Pengabdian Menurut Max Horkheimer
Untuk membangun nalar kritis dalam dunia pengabdian, pemikiran dengan basis sosial diperlukan. Jika dispesifikkan di ilmu sosial, pemikiran kritis ini berada di posisi menerapkan filsafat sosial. Dalam filsafat sosial, terdapat salah satu pemikiran tentang teori kritis dari filsuf Jerman yang bernama Max Horkheimer. Teori kritis tersebut mengutamakan pengajaran kesatusisian. Kesatusisian merupakan bentuk keterlibatan “produk aktivitas manusia” dalam memanusiakan masyarakat (Tjahyadi, 2007).
Sistem dan dana merupakan dua hal yang mengatur dinamika pengabdian.
Dalam dunia pengabdian, khususnya dalam lingkungan kampus, seorang individu harus bisa menemukan landasan berpikirnya. Terlepas dari landasan berpikir tersebut, pengabdian juga harus bisa memberikan substansi untuk berdampak jangka panjang kepada masyarakat dan tidak hanya memberikan sisi kehadiran produk aktivitas manusia sebagai pengakuan atas hubungan interaksi jangka pendek. Bersumber teori kritis tersebut, pengabdian membutuhkan kesatusisian untuk terlibat langsung di dalam masyarakat. Seorang pengabdi harus memiliki orientasi keberpihakan kepada masyarakat. Walaupun seorang pengabdi terikat oleh sistem ataupun dana, seremoni bukan menjadi jalan akhir. Sistem dan dana merupakan dua hal yang mengatur dinamika pengabdian. Akan tetapi, substansi pengabdian merupakan inti yang harus diperjuangkan agar pengabdian dapat bermanfaat untuk masyarakat dan bukan sebagai seremoni saja. Berpikir kritis untuk melampaui kondisi keterikatan sistem dan dana merupakan tujuan akhir pengabdian itu sendiri.
Teori kritis Horkheimer juga mengajarkan langkah keterlibatan seorang pengabdi yang seharusnya. Pertama, seorang pengabdi merekonstruksi masyarakat berdasarkan hubungan non-eksploitatif antarpribadi. Dalam rekonstruksi tersebut, seorang pengabdi diharuskan untuk mampu memahami masyarakat secara langsung di lapangan. Pemahaman ini tidak bisa didapatkan hanya dalam hitungan hari, tetapi perlu hitungan minggu atau bulan untuk bisa memahami karakter masyarakat yang sesungguhnya.
Kedua, seorang pengabdi merestorasi peran sentral manusia dalam evolusi masyarakat sebagai suatu kesadaran yang mandiri dan subjek dari realitas sosial yang mengatur dirinya sendiri. Seorang pengabdi perlu mengidentifikasi masalah sosial untuk mengatur kembali masyarakat tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa tujuan sosial dari pengabdian ialah datang untuk membangun. Maka dari itu, rekonstruksi dibutuhkan sebagai dasar pemahaman dalam membangun masyarakat. Hal ini dikarenakan seorang pengabdi yang melakukan pengabdian tidak akan berada di posisi tersebut dalam jangka waktu yang lama.
Kesimpulan
Dunia pengabdian kepada masyarakat merupakan citra utama dalam menguji makna ilmu dan pendidikan secara berkelanjutan. Pengabdian kepada masyarakat tidak bisa digerakkan atas dasar kebermanfaatan jangka pendek, tetapi kebermanfaatan jangka panjang. Pengabdian kepada masyarakat membutuhkan analisis kritis untuk rekonstruksi dan restorasi dunia sosial. Dengan demikian, dunia pengabdian tidak bisa digerakkan secara cepat, khususnya jika hanya untuk memenuhi standardisasi seremonial saja.
Referensi
Taufiqurrahman. (2023, Mei 8). Kultur toksik dunia akademik. Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/05/07/kultur-toksik-dunia-akademik
Tjahyadi, S. (2007). Teori sosial dalam perspektif teori kritis Max Horkheimer. Jurnal Filsafat, 17(1), 1-14.