Mabuk yang paling membuat saya sempoyongan adalah mabuk pendidikan. Bayangkan saja jika mabuk miras bisa reda hanya dengan istirahat yang cukup, sedangkan mabuk pendidikan pusingnya tak mungkin selesai minimal 12 tahun sekolah. Hal itu pun tak salah juga, bukankah pendidikan dapat meningkatkan derajat hidup seseorang? Beda hal jika memang kita sudah terlanjur muak dengan pendidikan. Itu juga jika kita tak malas dan terlanjur jenuh menenggak diktat tebal yang isinya hanya melulu tentang kita harus seperti inilah, itulah, dan segala sumpah serapah di dalamnya.
Betapa sering kita pada akhirnya pasrah dan bersandar pada pendapat para ahli. Kian majemuk suatu pengetahuan, kian manut-manut saja kita mengangguk di hadapannya. Lalu kita pun lagi-lagi hanya jadi makmum dan teriak keras-keras berteriak amin.
Lebih-lebih jika kamu masuk jurusan filsafat, bisa gila kamu dibuatnya. Belum lagi mitos bahwa mempelajari filsafat akan membuatmu jadi atheis, gila dan sederet hal negatif lainnya. Bahkan konon ada dua pilihan bagi kita jika menekuni ilmu filsafat secara serius. Pertama, kita akan menjadi bijaksana, atau yang kedua, bisa jadi kitalah yang hilang ditelan filsafat, alias jadi gila! Tapi peduli apa saya dengan itu, toh itu cuma konon kata orang, yang jelas bergulat dengan berbagai macam pemikiran sungguh akan membuatmu pusing tujuh keliling. Bahkan ada sebuah kisah menarik tentang filsafat.
Alkisah di Yunani Kuno, “Aku pusing,” begitulah kata Theaetetus pada suatu hari. “Itu permulaan filsafat,” komentar seorang kakek tua bernama Socrates. Komentar Socrates menandakan bahwa filsafat dimulai dari rasa pusing akan realitas, berbeda dengan rasa pusing biasa, ia tidak bisa berhenti. Dus saya tak ingin membahas pusingnya belajar filsafat, tidak sama sekali. Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan saat ini cenderung menihilkan kreatifitas berpikir siswa sehingga hanya membuat siswa pusing dan mabuk.
Bayangkan betapa membuat sempoyongan pendidikan itu. Kita dapat dibuatnya mekanis seperti sebuah robot, jadi martir ideologi yang tak segan-segan untuk mati. Belum lagi jika pengetahuan yang diajarkan berubah menjadi takhayul, itu sungguh suatu hal yang horor dalam kehidupan. Goerge Bernard Shaw, dalam kata pengantar buat lakon drama Joan d’Arc –yang dihukum bakar karena dianggap tukang sihir—mengatakan sesuatu yang mengagetkan: manusia, di abad ini, sebenarnya lebih bertakhayul ketimbang orang Abad Pertengahan. Bukankah kebanyakan orang cuma percaya begitu saja bahwa bumi itu bulat, tanpa pernah bisa mengajukan alasannya sendiri untuk menopang statement itu?
Berlebih-lebihan, tentu. Namun, betapa sering kita pada akhirnya pasrah dan bersandar pada pendapat para ahli. Kian majemuk suatu pengetahuan, kian manut-manut saja kita mengangguk di hadapannya. Lalu kita pun lagi-lagi hanya jadi makmum dan teriak keras-keras berteriak amin. Kita amin ketika para ahli sejarah menjelaskan peristiwa G30S/PKI, ada mazhab keynesian yang top teruji untuk meningkatkan ekonomi, dan ada cadangan devisa dari manusia yang jadi pembantu di luar negeri. Kita bahkan percaya bahwa Gadjah Mada berwajah tembem, seperti karangan heibat Muhammad Yamin.
Sebagian pendidikan yang kita dapatkan memang berada di tingkatan itu: kurang didasarkan pada akal budi atau pun eksperimen, melainkan, seperti kata Orwell, pada “otoritas”. Dan segala debaran pada dada kita ketika seorang ahli, segala gelar dan stempel “pakar” sudah diterakan, pendidikan pun tak lagi dilihat sebagai proses, melainkan sabda dari seorang Resi. Kekuasaan semakin besar, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menggampangkan, memandekkan, bahkan mendustai. Kemudian lahirlah takhayul. Tak heran jika akhir-akhir ini pendidikan hanya dijadikan sesuatu yang sakral dan tak lagi menyenangkan.
Ivan Illich berseru agar masyarakat bebas dari sekolah, tapi niat deschooling mungkin hanya menggapai satu sisi persoalannya. Rabindranath Tagore bahkan lebih sadis. Baginya tak ada kata-kata bagus untuk sekolah. Sekolah, seperti yang ditempuhnya pada semasa kanak, ia sebut sebagai “siksaan yang tak tertahankan.” Tak heran jika pada usianya yang ke-13 tahun ia berhenti dari sekolah. Lalu menjadi penyair, jadi pemikir besar India paling terkemuka sampai hari ini. Toh Tagore bisa jadi pemenang Nobel untuk kesusastraan.
Pada tahun 1924 ia pun berbicara di depan para guru tentang pengalaman pendidikannya itu. “Sering aku hitung tahun-tahun yang harus kujalani sebelum aku memperoleh kemerdekaanku,” katanya ketika berkunjung ke negeri tirai bambu, Tiongkok. Sekali lagi sekolah seakan seperti penjara. Sekolah tempat pengetahuan dipertukarkan menjadi tempat menunggu yang pengap. “Betapa inginnya saya,” Tagore mengenang, “untuk dapat melintasi masa 15 atau 20 tahun menghilang itu, dan dengan semacam sihir gaib, serta merta menjadi orang dewasa.”
Sayang seribu sayang, dalam kehidupan keseharian kita, tak ada sihir yang seperti Tagore bilang. Ritus itu telah menjadi keharusan. Masa sekolah malah sudah jadi perintah wajib dari negara. Anak-anak boleh merasa, seperti kata Tagore, prosedur “siksaan”. Tapi ada benarnya kata Tagore. Sebab kenyataanya kini pendidikan menjadi angker bagai sebuah neraka. Selayaknya sebuah neraka hukuman pun diberikan dengan tegas—bahkan sampai ada kasus siswa yang meninggal.
Dalam dunia pendidikan tentu kita pernah dihukum di sekolah. Dan yang menjadi soal tampaknya memang masih ada kepercayaan yang dipegang teguh dan menjadi usang, bahwa menghukum merupakan bagian dari mendidik. Bagi saya itulah neraka karena menjadikan hukuman sebagai bagian dari pendidikan. Ironisnya kita akhirnya mencari-cari dalih mana hukuman yang bisa disebut “pendidikan” dan mana hukuman yang hanya kelanjutan dari rasa jengkel yang merusak.
Tapi untungnya kita punya pepatah “Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian.” Bahkan Gatot Kaca pun harus diproses dalam Kawah Candradimuka yang mendidih sebelum jadi kesatria. Ah… serba salah memang yang namanya pendidikan itu. Barang kali kita memang sedang mencari-cari kesepakan dalam hukuman yang mendidik. Atau siswa memang dipaksa untuk enggan bersuara seperti pada bait puisi Rumi, “Hatiku penuh dengan kata-kata, karena itu tak kuucapkan sepatah pun suara.”
Di lain hal, beda lagi soal. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian jadi pembahasan lain tentang mabuk pendidikan. Bagaimana kita harus sakit terlebih dahulu baru bisa senang atau sebaliknya. Tentu yang jadi soal ialah bagaimana cara memanfaatkan kemudahan (kesenangan) yang sudah di dapat melalui teknologi saat ini. Menghubungkan latihan hari ini untuk menghadapi hari depan. Dengan kata lain, jika memang sekolah memang dibutuhkan untuk menyiapkan kita menghadapi kehidupan di hari esok. Hari ini, di zaman adanya internet, kamus elektronik, kalkulator canggih, dan segala hal yang menunjang pendidikan jadi faktor kunci mengatasi mabuk pendidikan.
Kemudahan itu tak apa untuk dipertahankan, tapi jika kita terjebak di dalamnya tambah pusinglah kita oleh pendidikan yang sama sekali tak memberikan kita ruang untuk berproses—sebab kita terpaku oleh canggihnya teknologi. Karena memang semakin banyak tahu, lewat informasi yang cepat dan tercakup luas, semakin kita gampang untuk tak ingat lagi apa yang kita tahu. Kita tak mungkin mengingat banyak hal, sebab kita tak berdialog dengan akal budi kita, kita tak merefleksikan dengan sungguh-sungguh pendidikan yang kita peroleh, seolah-olah kita hanya sebagai “hard disk pengetahuan”.
Iya, otak kita hanya jadi semacam tempat penyimpanan pengetahuan karena kurangnya penghayatan akan makna dari pendidikan itu sendiri. Padahal setiap subjek punya hak atas pikirannya sendiri, atas pengetahuan yang dia maknai, tentang pengetahuan yang berasal dari kehidupannya sendiri. Mendengarkan seorang guru atau pun dosen yang satu arah juga tak selamanya menyenangkan, malah lebih banyak bosannya. Sebab, kita dituntut untuk selalu mendengarkan tanpa pernah ditanya apa pendapatmu tentang pengetahuan yang telah bapak atau ibu gurumu ini berikan. Lalu, bagaimana bisa pendidikan tidak jadi hal yang memusingkan? Ternyata ada jawabannya, bukan dari dunia nyata namun dari lakon wayang.
Alkisah Dorna, guru yang baik, mengajar para muridnya bagaimana membidik. “Ada seekor burung kutilang di dahan sana,” katanya. “Siapkan anak panah dan jemparingmu.” Para murid bersiap. Mereka memandang ke arah yang ditujukan sang pandita. “Apa yang kalian lihat?” tanya Dorna. “Burung di dahan itu,” sahut para murid, hampir serempak. Syahdan, hanya Arjuna yang menjawab lain. Ia menyahut pelan, “Hamba melihat sepotong leher kutilang, guru.” Arjuna benar, ia tepat memanah sang burung tepat di batang lehernya. Leher itu patah, unggas itu terjungkal. Si pemanah telah menjalankan tugasnya dengan sempurna. “Itulah pengetahuan anak-anakku,” konon kata Dorna. “Suatu proses yang memerlukan pemusatan pikiran, pancaindera dan kemauan.”
Kisah itu berakhir, namun maknanya hadir di tengah-tengah kita: bahwa menuntut ilmu memang memerlukan semacam pembersihan diri. Penyingkiran berbagai macam distraksi, segala hal yang mengakibatkan ikhtiar kita menjadi tidak fokus. Karena memang sejatinya pendidikan menghendaki “kemabukkan” yang menyenangkan. Bertukar banyak hal tanpa takut dicap bodoh dan mendapat raport merah jadi cita-cita yang sudah sepatutnya kita perjuangkan.