“The idea that the poor should have leisure has always been shocking to the rich.” Bertrand Russell (In Praise of Idleness, 1932, p.17)
Bertrand Russell (1872-1970) dikenal sebagai seorang filsuf, logikawan, esais dan kritikus sosial asal Britania Raya abad ke-20 lewat karya-karyanya, seperti On Denoting (1905), Mysticism and Logic (1910), Principia Mathematica (bersama Alfred North Whitehead, 1910), The Problems of Philosophy (1912), Our Knowledge of The External World (1914), Introduction to Mathematical Philosophy (1919), Free Thought and Official Propaganda (1922), Marriage and Morals (1929), In Praise of Idleness (1932), History of Western Philosophy (1945), Human Knowledge (1949), The Impact of Science on Society (1951), dan lain sebagainya.
Bersama G.E. Moore, Russell dianggap sebagai tokoh utama dalam filsafat analitik modern di dunia filsafat Anglo-Amerika. Beberapa kontribusi Russell dalam dunia logika matematika dan filsafat mencakup soal pendirian logisismenya (pandangan bahwa matematika, dalam pengertian tertentu, dapat direduksi ke dalam logika), monisme netral (pandangan bahwa dunia terdiri hanya dari satu jenis substansi yang tidak mental sekaligus tidak fisik), teorinya mengenai deskripsi definit, atomisme logis dan tipe-tipe logis (Irvine, 2017).
Selain menulis mengenai topik-topik yang berkaitan dengan logika matematika, metafisika, epistemologi dan filsafat analisis-logis, Russell juga terkenal lewat esai-esai populernya yang mencakup tema-tema seperti pendidikan, moral, pernikahan, kemanusiaan, perang, damai, kebahagiaan, dampak sains dalam masyarakat, yang dapat kita baca melalui sejumlah judul karya-karya Russell di atas.
Dengan esai-esai briliannya mengenai ‘ideal-ideal kemanusiaan dan kebebasan pikiran’ Russell diganjar Nobel Sastra pada 1950. Alasan mengapa Russell dipilih oleh komite Nobel sebagai penerima Nobel Sastra adalah karena ‘Russell begitu ekstensif menujukan buku-bukunya untuk publik awam dan, dengan demikian, telah berhasil merawat minat orang banyak mengenai filsafat secara umum’.
Dalam artikel ini, penulis akan membahas salah satu esai filsafat semi-populer Russell yang terkenal, yakni In Praise of Idleness (IPI) yang terbit pada 1932. Di dalam esai ini Russell mengajukan pandangannya soal kemalasan, waktu senggang dan kerja dalam masyarakat modern.
Kemalasan yang dipertahankan Russell dalam IPI bukan kemalasan yang didapatkan karena dari mengorbankan orang lain untuk bekerja lebih banyak….
Sebelum membahas inti permasalahan dalam esai IPI, penting untuk disimak mengenai alasan mengapa esai-esai semi-populer Russell hadir dan bisa dibaca sampai saat ini: karena pada 1930-an Russell sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya alias butuh uang, sehingga ia menulis seri-seri artikel-artikel semi populer dan buku-buku potboiler. IPI adalah salah satu di antara ratusan esai Russell yang terbit kala itu.
Dalam membahas esai In Praise of Idleness dalam tulisan singkat ini, penulis akan dibantu oleh analisis Stephen Mumford dalam Russell’s Defence of Idleness mengenai filsafat kerja dan waktu senggang a la Russell dalam IPI (Mumford, 2008).
IPI adalah esai filosofis Russell mengenai pemenuhan manusia dan keutamaan dalam hidup. Dalam IPI, Russell mengajukan beberapa premis untuk sampai pada kesimpulan yang dapat menyokong pandangannya mengenai kemalasan. Tentu saja, kemalasan yang dibahas Russell berkaitan dengan kerja dalam masyarakat modern. Untuk itu, pertama-tama, mari kita bahas kemalasan macam apa yang dipertahankan oleh Russell, lalu kemudian kita akan menyimak definisi kerja berikut implikasi-implikasinya dalam IPI.
Kemalasan yang dipertahankan Russell dalam IPI bukan kemalasan yang didapatkan karena dari mengorbankan orang lain untuk bekerja lebih banyak, seperti yang dilakukan tuan tanah, pendeta, dan kaum pemodal. Mereka inilah yang mengkhotbahkan soal etika kerja dan kewajiban kerja kepada kaum buruh sebagai sesuatu yang luhur sementara mereka ongkang-ongkang kaki. Hal ini juga terjadi di Rusia yang komunis kala itu, yang menyuarakan keutamaan (virtue) kerja kepada kelas pekerja demi tercapainya tujuan negara.
Dalam hal ini, Russell mempertahankan ide kemalasan sebagai semata-mata cara menuju sebuah tujuan akhir, yakni kemalasan yang memberikan kontribusi bagi masyarakat dan peradaban (Mumford, 2008).
Jadi, Russell juga tidak mempertahankan kemalasan-begitu-saja atau kemalasan tanpa arah—Mumford menyebut ide kemalasan yang dipertahankan Russell sebagai kemalasan aktif (sebuah hal yang nampak swa-kontradiktif). Dalam esai Russell, kita dapat melihat posisi yang sejajar antara kemalasan dan waktu senggang (akan sedikit dijelaskan nanti). Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kemalasan, kita akan membahas mengenai definisi kerja menurut Russell di bawah ini.
Russell berpendapat bahwa kerja terdiri dari dua jenis; (1) kerja sebagai aktivitas mengubah posisi materi yang berada di permukaan bumi dan (2) kerja sebagai upaya memerintah orang lain untuk melakukan hal yang demikian. Jenis yang pertama, demikian kata Russell, tidak menyenangkan dan dibayar rendah. Sedangkan, yang kedua menyenangkan dan bayarannya tinggi (hlm. 12). Ini berarti ada pekerja yang disuruh dan ada tuan pesuruh. Definisi kerja yang disebut pertama yang menjadi fokus bahasan kita di bawah ini.
Kerja dalam definisi pertama kita sebut dengan kerja manual. Ini berarti, kerja-kerja seperti kerja untuk peradaban, yang Russell juga lakukan ketika menulis karya-karyanya, tidak dianggap sebagai kerja atau dimasukkan ke dalam jenis kontribusi sia-sia untuk peradaban yang hanya dimungkinkan ketika seseorang memiliki waktu senggang yang cukup.
Russell melihat keyakinan terhadap kewajiban kerja sebagai ‘moralitas budak’, yang dipelihara oleh para penguasa untuk mendorong orang lain melakukan kerja demi kepentingan tuannya.
Mumford (2008: 7-8) menunjukkan bahwa dengan pemilahan konsep kerja yang demikian, kita dapat menarik dua argumen yang mendasari pemikiran Russell mengenai kerja dan kemalasan: (a) argumen kerja; (b) argumen kontribusi bagi peradaban. Di bawah ini akan disajikan penjelasan mengenai argumen (a) dan (b) (dalam hal ini, penulis akan meminjam analisis Mumford)
- Argumen kerja:
- Kerja tidak menyenangkan; waktu senggang menyenangkan
- Karena adanya mekanisasi, kita tidak perlu lagi bekerja sebanyak yang kita lakukan sebelumnya dan saat ini
- Tetapi organisasi sosial kita menghendaki agar kita bekerja lebih dari yang diperlukan
Karenanya, kita seharusnya mengganti organisasi atau struktur sosial yang ada dengan yang baru yang memungkinkan kita bekerja lebih sedikit (Russell mengajukan empat jam kerja dalam sehari) dan lebih banyak waktu senggang. (Kesimpulan a)
- Argumen kontribusi bagi peradaban:
- Waktu senggang tersedia bagi sedikit orang (minoritas)
- Peradaban adalah semata-mata produk waktu senggang
- Penyokong potensial bagi peradaban adalah setidaknya orang banyak (mayoritas) yang sama mungkinnya dengan orang-orang yang sedikit (minoritas)
Karenanya, Peradaban akan berguna apabila waktu senggang diberikan secara merata bagi semua orang. (Kesimpulan b)
Dari dua kesimpulan tersebut (a dan b) kita dapat memerasnya menjadi seperti ini: bahwa kita seharusnya bekerja lebih sedikit karena kerja itu tidak menyenangkan (a) dan karena waktu senggang bermanfaat bagi peradaban (b) (Mumford, 2008).
Russell berkata bahwa manusia modern berpikir bahwa segala hal harus dilakukan demi sesuatu yang lain, dan tidak demi dirinya sendiri.
Kita bisa melihat upaya penghadap-hadapan antara apa yang Russell sebut etika kerja (keyakinan bahwa kerja adalah keutamaan atau virtue) dan kemalasan atau waktu senggang sebagai keutamaan. Russell melihat keyakinan terhadap kewajiban kerja sebagai ‘moralitas budak’, yang dipelihara oleh para penguasa untuk mendorong orang lain melakukan kerja demi kepentingan tuannya. Russell melawan ide ini dalam IPI.
Tetapi, menariknya, Russell mengakui (sebagaimana dijelaskan di poin 4 pada argumen ‘b’ di atas) sejumlah waktu senggang digunakan oleh orang-orang tertentu (raja, penyair, pendeta, filsuf, ilmuwan—yang memiliki keutamaan aristokratis) untuk memajukan peradaban (Western, 2000). “Waktu senggang penting bagi peradaban dan di waktu lampau waktu senggang bagi sedikit orang,” demikian tulis Russell, “hanya mungkin ada karena adanya kerja yang dilakukan oleh orang banyak.”
Jadi, Russell melihat banyak keutamaan aristokratis yang bernilai besar dan penting untuk terus dijaga dalam masyarakat modern dan demokratis. “Bahkan pembebasan kaum tertindas biasanya dimulai dari atas,” kata Russell, “Tanpa kelas yang menikmati waktu senggang, umat manusia tidak akan pernah muncul dari barbarisme”.
Tetapi, bagi Russell, keutamaan aristokratis hanya akan terjadi dalam sosialisme, ‘karena keutamaan aristokratis hanya akan muncul di bawah kondisi keamanan ekonomi dan waktu senggang’ ‘dan dengan teknik-teknik modern mungkinlah untuk mendistribusikan waktu senggang tanpa membahayakan peradaban’ (Carey & Ongley, 2009; Western, 2000). Inilah tawaran Russell dalam upaya mendistribusikan keutamaan-keutamaan aristokratis dalam masyarakat.
Sebagaimana telah disebut di atas, kemalasan yang dipertahankan Russell bukanlah kemalasan begitu saja. Kita dapat menghadapkan kemalasan-begitu-saja, disebut juga kemalasan pasif (yakni konsumsi waktu yang non-produktif), dengan kemalasan yang memungkinkan orang banyak berkontribusi bagi peradaban, sebut saja kemalasan aktif (meminjam Mumford).
Ia khawatir bahwa banyak orang, terutama kaum pekerja, tidak bisa dan tidak tahu cara memanfaatkan waktu senggangnya.
“Ketika saya menyarankan bahwa jam kerja harus dipangkas menjadi empat jam saja,” demikian tulis Russell, “saya tidak sedang bermaksud mengimplikasikan bahwa waktu sisanya seharusnya dihabiskan dalam kesia-siaan. Saya bermaksud bahwa kerja empat jam dalam sehari akan memberikan seseorang kebutuhan dan kenyamanan mendasar dalam hidup.”
Nah, mengenai kemalasan inilah yang dikhawatirkan Russell. Ia khawatir bahwa banyak orang, terutama kaum pekerja, tidak bisa dan tidak tahu cara memanfaatkan waktu senggangnya. Mengenai perkara ini, Russell menawarkan dua pandangan (Western, 2000).
Pertama, kita harus menerima bahwa kehidupan adalah kenikmatan pada dirinya sendiri. Russell berkata bahwa manusia modern berpikir bahwa segala hal harus dilakukan demi sesuatu yang lain, dan tidak demi dirinya sendiri. Bisa dikatakan, dalam hal ini perlu ada keseimbangan antara kerja dan kemalasan-waktu senggang. “Kita terlalu banyak berpikir soal produksi, dan terlalu sedikit soal konsumsi. Salah satu hasilnya adalah bahwa kita sangat sedikit memperhatikan kenikmatan dan kebahagiaan yang sederhana dan bahwa kita tidak menilai produksi dari kenikmatan yang ia berikan kepada konsumen,” demikian kata Russell.
Kedua, Russell menekankan pentingnya pendidikan yang bisa meningkatkan perasaan kita sehingga kita bisa memanfaatkan waktu senggang dengan cerdas (hlm. 25). Ini bertujuan untuk ‘mendidik kembali kembali minat kita sehingga kita menggunakan waktu senggang secara lebih produktif’ dan kita menjadi bagian aktif dari waktu senggang yang kita miliki (Mumford, hlm. 14).
Dalam esai ini, ada nada optimisme yang Russell berikan. Ia percaya bahwa “di dunia di mana tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk bekerja lebih dari empat jam dalam sehari, setiap orang yang memiliki keingintahuan ilmiah akan mampu menurutinya, dan setiap pelukis akan bisa melukis tanpa takut kelaparan [….] Para ahli medis akan memiliki waktu untuk mempelajari kemajuan di bidang kesehatan”. Apakah keyakinan Russell ini mungkin tercapai?
Barangkali, ide Russell yang tertuang dalam esai IPI mengenai kemalasan demi kebahagiaan hidup dan kemajuan peradaban, soal pemangkasan waktu kerja menjadi empat jam, akan berakhir sebagai cemoohan—contohnya, dalam bentuk meme di media sosial—karena dianggap hanyalah sejenis ‘optimisme utopis’ seorang pemikir tanpa menceburkan diri ke dalam keadaan ekonomi–politik; atau mungkin bagi kawan-kawan yang bergerak, misalnya, di bidang kajian Marxisme, ide Russell itu tidak mencukupi untuk menganalisis kenyataan dan membuat perubahan nyata bagi keadaan kaum buruh di dunia saat ini karena filsafat kerja a la Russell dianggap tidak seketat teori nilai-lebih Marx (Mumford, 2008). Belum lagi soal pertimbangan jurang waktu, geografis dan kondisi sosial-ekonomi-politik saat Russell hidup dan kenyataan saat ini yang pasti memiliki sejumlah perbedaan penting yang perlu dipikirkan dan memerlukan analisis yang lebih mendalam.
Bisakah kita benar-benar menarik garis batas yang tajam antara mereka yang berkontribusi dan yang tidak berkontribusi bagi peradaban?
Tentu saja, dengan segala keterbatasan esai IPI ini masih banyak hal yang belum dijelaskan lebih jauh oleh Russell, sehingga dengan demikian, mengenai posisi Russell dalam esai yang menarik ini, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan (Mumford, 2008).
Pertama, mengenai pembedaan Russell antara aktivitas yang berkontribusi bagi peradaban dan yang tidak. Apa yang membedakan aktivitas yang dianggap sebagai kerja dengan aktivitas yang dianggap dilakukan di waktu senggang? Bisakah kita benar-benar menarik garis batas yang tajam antara mereka yang berkontribusi dan yang tidak berkontribusi bagi peradaban?
Kedua, mengenai kemalasan yang didukung Russell, yakni kemalasan yang berperan bagi peradaban: Dapatkah seseorang menggunakan kemalasan demi dirinya sendiri?
Ketiga, Seberapa praktiskah ide empat jam kerja dalam sehari diterapkan untuk semua kaum pekerja di segala bidang? Bagaimana dengan perkembangan modern konsumerisme massa yang bisa merayu kaum pekerja untuk menjadi penikmat pasif waktu senggang?
Ya, hal-hal dan pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, tentu saja, masih sangat terbuka untuk dijawab dan diperdebatkan. Namun, dalam kesempatan ini, menurut penulis, kiranya cukuplah untuk membahas terlebih dahulu ide soal bentuk kemalasan yang mungkin ada di luar racauan kaum penganut etika kerja (upahan) sembari memikirkan lebih lanjut mengenai ide kemalasan dan waktu senggang ini di hari-hari mendatang. Demikian, kawan-kawan.
Daftar Pustaka:
Carey, Rosalind & John Ongley. 2009. Historical Dictionary of Bertrand Russell’s Philosophy. Maryland: Scarecrow Press, Inc
Irvine, Andrew David, “Bertrand Russell”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2017), Edward N. Zalta (ed.) URL: https://plato.stanford.edu/entries/russell/
Mumford, Stephen. 2008. Russell’s Defence of Idleness. Russell: The Journal of Bertrand Russell Studies, 28 (summer 2008): 5–19
Russell, Bertrand. 1935. In Praise of Idleness and Other Essays. London: George Allen & Unwin Ltd, p. 9-29.
Western, Paul. 2000. More Praise for Idleness. URL: https://philosophynow.org/issues/29/More_Praise_for_Idleness