“Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat mengawali kelas filsafat dalam pembahasan hermeneutika Jürgen Habermas di Serambi Salihara.
Dalam dinamika hermeneutika, walau fokusnya adalah seputar cara “memahami”, arah pembahasannya mengalami pergeseran. Di dalam pemikiran Friedrich Schleiermacher, hermeneutika dipahami sebagai sebuah seni (Kunst) memahami teks secara divinatoris (divinatorisches Verstehen) (Hardiman, 2015, hlm. 45). Schleiermacherlah yang berhasil melepaskan hermeneutika dari disiplin spesifik dan menjadikannya sebuah cara untuk memahami segala ungkapan dalam bahasa (Hardiman, 2015, hlm. 38). Fondasi epistemologis hermeneutika ini dilanjutkan oleh Wilhelm Dilthey yang menjadikan kegiatan memahami sebagai sebuah “kategori kehidupan” (Negru, 2007). Dalam hermeneutikanya yang bersifat metodologis, Dilthey berupaya memberi justifikasi rasional atas ilmu-ilmu tentang manusia dan masyarakat (Geisteswissenschaften) (Hardiman, 2015, hlm. 71). Untuk memahami manifestasi dari kehidupan yang dihayati (Erlebnis), ia membuat model interpretasi dengan modus hubungan penghayatan (Erleben), pemahaman (Verstehen), dan ungkapan (Ausdruck) (Palmer, 2000, hlm. 106).
Dalam rangkaian kuliahnya pada tahun 1920-an yang berjudul “Ontologi-Hermeneutik Faktisitas” (“Ontologie-Hermeneutik der Faktizität”) (Hardiman, 2015, hlm. 102), Martin Heidegger seolah-olah mencabut hermeneutika dari kesempitan lingkup epistemologi (metodologi) dan menaruhnya ke dalam ranah ontologis, khususnya dalam ranah pemahaman/proses memahami yang merupakan ciri eksistensial kita sebagai Dasein yang memiliki pra-struktur pemahaman. Proses memahami dalam ranah ontologis ini berciri primordial, yaitu mendahului dan juga memungkinkan segala bentuk pemahaman empiris, baik itu proses memahami tulisan-tulisan maupun ungkapan-ungkapan kehidupan. Oleh sebab itu, proses memahami bukan sekadar sebuah aktivitas kognitif, melainkan cara manusia mengada-dalam-dunia (Iqbal, 2023, hlm. 112). Mengikuti dan memperbaharui Heidegger, Hans-Georg Gadamer mendasarkan pemahaman Heidegger tentang teks untuk melihat dimensi sosial. Ia mengatakan bahwa pra-struktur dalam kegiatan memahami itu telah mewujud dalam proyeksi atau prasangka yang sudah hadir di diri subjek. Prasangka ini tidak dapat dihindari. Ia telah selalu menyertai setiap kegiatan interpretasi penafsir terhadap teks penulis. Pra-struktur pemahaman itulah yang tidak dilihat oleh Schleiermacher dan Dilthey yang mengandaikan reproduksi makna dan terlalu terobsesi dengan objektivitas (Hardiman, 2015, hlm. 167).
Hermeneutika Filosofis
Proyek Gadamer adalah membebaskan hermeneutika dari batas-batas estetis dan metodologis yang masih menjerat Schleiermacher dan Dilthey. Hermeneutika tidak lagi dimengerti sebagai seni (Kunst) ataupun sebagai metode (Methode), melainkan sebagai kemampuan universal manusia untuk memahami. Oleh karena itu, hermeneutika Gadamer bisa dikatakan sebagai “hermeneutika filosofis” (“philosophische Hermeneutik”). Seperti yang telah dijelaskan di atas, Gadamer tidak berhenti dengan dimensi eksistensial seperti yang dikemukakan Heidegger, tetapi mencoba menjangkarkannya dengan dimensi sosial. Konsekuensinya, proses memahami berarti juga proses “saling memahami” (Sichverstehen) yang juga memiliki arti kesepahaman (Einverständnis) (Hardiman, 2015, hlm. 160).
Menurut Gadamer, pra-struktur dalam kegiatan memahami telah mewujud dalam proyeksi atau prasangka yang sudah hadir di diri subjek.
Dalam buku Kebenaran dan Metode (Wahrheit und Methode), Gadamer mengkritik Schleiermacher tentang upaya reproduksi maknanya dan Dilthey tentang kesadaran ahistorisnya dalam memahami sejarah. Schleiermacher berkehendak untuk menghadirkan kembali makna dari masa silam secara utuh. Tindakan reproduksi makna ini seolah-olah bisa steril dari keterlibatan penafsirnya dalam kekiniannya (Hardiman, 2015, hlm. 162). Gadamer tidak setuju pemikiran seperti ini. Menurutnya, kita sebagai penafsir sudah terperangkap dalam sebuah “horizon”. Dalam upaya menafsirkan teks, proses memahami bukanlah sebuah reproduksi makna, tetapi peleburan horizon (Horizontverschmelzung). Peleburan horizon adalah konsep yang menunjukkan bahwa interpretasi bukan hanya perihal menginterpretasi fenomena, melainkan juga menginterpretasi subjek yang membawa horizon pengalaman mereka sendiri. Peleburan kedua horizon tersebut membuat sebuah momen inti dari pengalaman hermeneutis (Klapwijk, 1985). Dengan kata lain, interpretasi adalah kegiatan memproyeksikan horizon historis penulis dengan horizon kekinian dari penafsir teks.
Di dalam penjelasan tentang hermeneutika dan sejarah, Dilthey berpandangan bahwa manusia ditentukan oleh sejarah. Maka, manusia dapat mengetahui sejarah sebagai fakta. Dalam arti ini, pengetahuan tentang sejarah berciri universal, yaitu melampaui sejarah. Dilthey masih terperangkap di dalam filsafat kesadaran Descartes yang menjelaskan segalanya dalam terang subjek universal. Dari filsafat kesadaran Descartes, Dilthey membuat konsep kesadaran historis yang dipermasalahkan oleh Gadamer. Menurut Dilthey, kesadaran historis merupakan hasil refleksi yang seolah-olah bisa keluar dari sejarah dan, dengan cara itu, menemukan fakta objektif.1 Gadamer mengkritik pandangan Dilthey dengan memperkenalkan konsep tentang sejarah pengaruh (Wirkungsgeschichte) (Hardiman, 2015, hlm. 165-166). Baginya, memahami sejarah tidak hanya berarti bahwa kita memahami fenomena sejarah, tetapi juga memahami pengaruh karya-karya di dalam sejarah. Dalam hermeneutika, istilah sejarah pengaruh mengacu kepada keterlibatan kita dalam sejarah, yakni suatu situasi yang di dalamnya kita, sebagai pelaku-pelaku sejarah, tidak melampaui sejarah seperti yang dipikirkan oleh Dilthey (Hardiman, 2015, hlm. 175).
Konsep Gadamer tentang peleburan horizon dan sejarah pengaruh menyiratkan bahwa hermeneutika bukan sekadar metode memahami, melainkan juga sebuah pengalaman dialog dengan yang lain dalam keberlainannya. Dalam hal ini, ia menjelaskan mengenai pengalaman dialog sebagai hubungan Aku-dan-Engkau (Ich und Du). Baginya, memahami tradisi tertentu tidak bisa disamakan dengan hubungan subjek dan objek, melainkan “Aku” dan “Engkau”. Hal ini disebabkan kita sendiri termasuk di dalam tradisi tertentu yang memungkinkan pengetahuan kita. Dengan kesepahaman, pengalaman hermeneutis dapat dialami jika Aku dan Engkau saling memahami dalam keberlainan satu sama lain (Hardiman, 2015, hlm. 190-194).
Prasangka yang Imanen dalam Memahami
Peleburan horizon dalam pemikiran Gadamer mengandaikan kehadiran prasangka atau proyeksi dalam diri penafsir. Gadamer bertolak dari tilikan Heidegger tentang pra-struktur pemahaman (Hardiman, 2015, hlm. 168). Menurut Heidegger, setiap interpretasi didasarkan kepada sesuatu yang telah kita miliki sebelumnya (Vorhabe), sesuatu yang telah kita lihat sebelumnya (Vorsicht), dan sesuatu yang telah kita pahami sebelumnya (Vorgriff) (Negru, 2007). Gadamer mengambil konsepsi Heidegger ini dan mengembalikannya kepada interpretasi secara umum. Ia mengubah penamaan konsepsi tersebut menjadi proyeksi (Entwurf). Baginya, proyeksi tidak dapat dihindari dalam kegiatan interpretasi. Proyeksi sudah selalu menyertai setiap kegiatan interpretasi sehingga, jika seorang penafsir membersihkan dirinya dari proyeksinya, dia berada dalam sebuah bentuk proyeksi lain (Hardiman, 2015, hlm. 168).
Tilikan Gadamer selanjutnya adalah mengenai konsep prasangka yang dipahami secara negatif pada masa Pencerahan. Menurut Gadamer, sejak sains berkembang pesat pada abad ke-18, konsep prasangka dipahami sebagai penilaian yang tidak memiliki dasar. Ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan (Sozialwissenschaften) yang berkembang saat itu berupaya untuk menghadirkan fakta, yaitu kenyataan apa adanya yang bebas dari prasangka-prasangka kita. Ia mengkritik pendirian semacam ini. Bagi Gadamer, ilmu-ilmu, dengan metode ilmiahnya, dapat menafsirkan objek-objek mereka dengan prasangka. Lebih jauh, ia menaruh perhatian kepada otoritas dan tradisi pada masa Pencerahan. Otoritas dan tradisi merupakan komponen-komponen utama pembangun prasangka umum yang, menurut narasi masa Pencerahan, dapat mendistorsi pengetahuan kita. Keduanya harus diperiksa dan dikritik di bawah cahaya akal. Bagi Gadamer, masa Pencerahan—secara implisit—hanyalah masa ketika “prasangka melawan prasangka” (Hardiman, 2015, hlm. 169-170).
Kekosongan Refleksi dalam Tradisi dan Kritik Universalitas Hermeneutika
Terdapat berbagai kritik mengenai model hermeneutika Gadamer dalam Wahrheit und Methode. Berbagai kritik dilontarkan oleh William Betti, Eric Donald Hirsch Jr., Jürgen Habermas, Paul Ricoeur, bahkan Jacques Derrida. Dalam tulisan ini, penulis mengerucutkan kritik Habermas dengan hermeneutika kritisnya. Sebenarnya, Habermas tidak menerbitkan karya dan mengisi kuliah mengenai hermeneutika. Namun, ia terlibat dalam perdebatan intensif dengan Gadamer mengenai hermeneutika.
Perdebatan Habermas dan Gadamer berlangsung lama, dimulai dari esai panjang Habermas berjudul Mengenai Logika Ilmu-Ilmu Sosial (Zur Logik der Sozialwissenschaften) pada tahun 1967 yang mengkritik esai Gadamer. Pada tahun yang sama, Gadamer langsung menjawab esai itu dengan menerbitkan Retorika, Hermeneutika, dan Kritik Ideologi (Rhetorik, Hermeneutik und Ideologiekritik). Habermas menjawab lagi lewat esai Klaim Universal Hermeneutika (Der Universalitatsanspruch der Hermeneutik) pada tahun 1970. Estafet kritik berakhir ketika Gadamer melontarkan esai berjudul Balasan (Replik) pada tahun 1971 dan Kebenaran dan Metode (Wahrheit und Methode) pada tahun 1972 kepada Habermas. (Hardiman, 2015, hlm. 210). Terdapat dua pokok kritik Habermas terhadap Gadamer, yaitu kritik terhadap konsep tradisi dan kritik terhadap klaim universal hermeneutika. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, memahami, bagi Gadamer, tidak dapat lepas dari prasangka atau proyeksi. Memahami juga memiliki arti kesepahaman atau persetujuan dengan tradisi. Lebih jauh, Gadamer menjelaskan bahwa tradisi (dan otoritas) selalu ada dalam aktivitas memahami (Hardiman, 2015, hlm. 210-211). Habermas tentu tidak setuju dengan pendapat Gadamer. Baginya, Gadamer melupakan satu hal yang paling penting dalam proses memahami (Verstehen), yaitu daya refleksi (atas tradisi). Tradisi adalah komponen yang dapat diteruskan dan juga dapat diputuskan dari aktivitas memahami. Lebih lanjut, Habermas menjelaskan bahwa tindakan refleksilah yang membuat prasangka menjadi pengetahuan setelah masyarakat banyak menerimanya (Hardiman, 2015, hlm. 212-213).
Bagi hermeneutika kritis, memahami adalah membebaskan penulis dari komunikasi yang terdistorsi secara sistematis yang telah menghasilkan teksnya.
Poin kritik Habermas yang kedua adalah kritik terhadap pandangan hermeneutika Gadamer yang mengklaim universalitas hermeneutika. Universalitas dalam artian ini memiliki makna bahwa hermeneutika memiliki kegunaan untuk semua ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Habermas yang memiliki proyek epistemologis dalam teori kritisnya menolak klaim seperti itu. Baginya, universalitas hermeneutika gagal dalam konteks dan keadaan tertentu, yaitu ketika digunakan dalam ilmu alam dengan ungkapan linguistik yang monologal dan komunikasi yang terdistorsi secara sistematis (Hardiman, 2015, hlm. 217-221).
Dalam buku Pengetahuan dan Kepentingan (Erlebnis und Interesse), Habermas membagi pengetahuan menjadi tiga jenis, yakni pengetahuan empiris-analitis (ilmu alam), pengetahuan historis-hermeneutis (ilmu sosial budaya) dan pengetahuan kritis-emansipatoris (teori kritis) (Habermas, 1972, hlm. 308). Dalam tulisan ini, penulis memusatkan kepada ilmu alam untuk menunjukkan kritik Habermas kepada Gadamer. Bagi Habermas, proses mediasi dalam ilmu alam tidak bisa dilakukan dengan hermeneutika yang ditradisikan dan berkembang dari bahasa sehari-hari. Bahasa dalam ilmu alam adalah matematika dan logika yang bersifat monologal, bukan dialogal seperti dalam ilmu sosial budaya. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa ilmu alam memiliki kepentingan teknis dan bertindak secara instrumental, yakni tindakan memanipulasi atau mengontrol proses-proses alam yang bersifat objektif (Hardiman, 2015, hlm. 218).
Selain ilmu alam, terdapat batas lain ketika hermeneutika a la Gadamer tidak dapat digunakan, yaitu dalam teks-teks abnormal dan komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Teks abnormal adalah jenis teks yang dihadapi oleh penafsir jika penutur atau pelakunya tidak mengerti bahasa dan perilakunya sendiri. Habermas merujuk kepada dua kasus ketika teks menjadi abnormal, yakni kasus psikopatologis dan kasus perilaku kolektif hasil indoktrinasi. Hermeneutika biasa yang digagas oleh Gadamer memiliki batasnya di sini karena hanya dapat beroperasi dalam komunikasi yang kurang lebih transparan bagi orang luar ataupun bagi para pelakunya sendiri. (Hardiman, 2015, hlm. 218-222). Oleh karena itu, bagi Habermas, sebuah hermeneutika kritis harus dijalankan.
Sasaran hermeneutika kritis berbeda dari hermeneutika biasa. Bagi hermeneutika kritis, memahami bukanlah sekadar memproduksi makna yang dimaksud penulis dan memproduksi makna baru yang terarah ke masa depan, melainkan membebaskan penulis dari komunikasi yang terdistorsi secara sistematis yang telah menghasilkan teksnya. Hermeneutika kritis bertujuan agar penulisnya memahami teks yang ditulisnya sendiri sehingga ia bebas dari distorsi-distorsi, yakni memperoleh kesembuhan dalam kasus psikoanalisis dan memperoleh otonomi dalam kasus kritik-ideologi. Habermas menjelaskan bahwa keseluruhan makna yang termuat di dalam teks semacam itu memiliki “kerusakan dari dalam”. Kerusakan itu memiliki tiga lapis, yakni bahasa, perilaku, dan kekongruenan bahasa dan perilaku (Hardiman, 2015, hlm. 224-224).
Dalam hermeneutika kritis, memahami bukan hanya tugas pembaca, melainkan juga tugas penulis. Tugas hermeneutika kritis tercapai bila pemahaman bagi penafsir juga merupakan pemahaman bagi penulis. Proses penuh susah payah untuk sembuh dan menyembuhkan ini merupakan proses pembebasan. Maka, memahami dalam arti itu juga berarti emansipasi. (Hardiman, 2015, hlm. 230). Praktik kritik ideologi dan psikoanalisis memperlihatkan bahwa memahami merupakan sebuah jerih payah untuk membebaskan rekan dialog yang mengalami distorsi sistematis dalam komunikasi. Memahami secara kritis-ideologis merupakan praksis pembebasan dari kesepahaman semu hasil dominasi untuk mencapai kesepahaman rasional yang bebas dominasi (Hardiman, 2015, hlm. 233).
Referensi
Habermas, J. (1972). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Penerj.). Boston: Beacon Press.
Hardiman, F. B. (2015). Seni memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius.
Iqbal, M. (2023). Hermeneutika versi Heidegger. Dalam A. M. Nawawi (Ed.), Pemberontakan terhadap kuasa kata (109-113). PTIQ Press.
Klapwijk, J. (1985). Kritische studie: The universal in Hans-Georg Gadamer’s hermeneutic philosophy. Philosophia Reformata, 50(2), 119-129. https://doi.org/10.1163/22116117-90001440
Negru, T. (2007). Gadamer-Habermas debate and universality of hermeneutics. Cultura: International Journal of Philosophy of Culture and Axiology, 4(1), 113–119. https://doi.org/10.5840/cultura20074124
Palmer, R. E. (2000). Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Illinois: Northwestern University Press.