Pertanyaan pertama yang perlu dijawab perihal persekusi rumah makan selama masa Ramadan adalah “Mengapa hal tersebut dapat terjadi?” Ketika suatu hal dilakukan, motif menjadi esensial. Motif menjadi suatu indikator yang kemudian dapat diturunkan sebagai argumen. Semua aktivitas manusia saat berhadapan dengan Yang-Lain perlu dilacak sampai pada taraf motif, tak terkecuali persekusi rumah makan selama masa Ramadan ini. Konsekuensinya, suatu keputusan untuk bertindak akan berimplikasi pada Yang-Lain. Persekusi ini setidak-tidaknya adalah bentuk eksklusivitas dan penegasian Yang-Lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui alasan dan menjawab persekusi rumah makan selama masa Ramadan, puasa, pertama-tama, mesti dilihat kembali.
Apakah lantas orang berpuasa mesti diakomodasi oleh orang yang tidak berpuasa agar puasanya dapat berjalan lancar?
Setiap setahun sekali, persekusi terhadap rumah makan selama bulan Ramadan selalu menjadi polemik. Persekusi yang terjadi bisa sangat sistemik walau dalam praktiknya minim justifikasi. Berbagai teror dilakukan atas nama agama. Baru-baru ini, sebuah restoran di Puncak digerebek warga karena nekat berjualan pada siang hari (Fajar, 2023). Pada tahun 2021 di Serang, Banten, Satpol PP merenggut penanak nasi sebuah rumah makan karena menolak untuk tutup ketika siang hari (Prasetya, 2021). Tidak hanya itu, tempat hiburan malam dilarang beroperasi selama bulan Ramadan (Rianti, 2023). Contoh-contoh tersebut adalah sebagian kecil bukti dominasi aparatus1 yang dapat dijadikan acuan refleksi kita ke depan.
Namun, ada sesuatu yang lebih subtil dan, karenanya, menjadi banal. Hal tersebut adalah penggunaan tirai yang menutupi bagian dalam rumah makan. Kebijakan untuk menutup rumah makan dengan menggunakan tirai ini masih dilaksanakan seperti dalam kasus Pemkot Bekasi (Bachtiar, 2023). Pada kenyataannya, banyak masyarakat setuju dengan dalil penghormatan dan penghargaan terhadap orang puasa. Akan tetapi, pertanyaan sekali lagi berlanjut. Apa esensi dari puasa? Apakah lantas orang berpuasa mesti diakomodasi oleh orang yang tidak berpuasa agar puasanya dapat berjalan lancar? Apabila puasa adalah proses menahan godaan, yang relatif terhadap kelompok tertentu, kemudian godaan tersebut diuniversalkan dan menegasikan Yang-Lain dalam kebijakan dan persekusi yang ada, lantas apa upah orang berpuasa? Pertanyaan lain berkaitan dengan moralitas masyarakat yang berjalan secara temporal dengan seakan-akan hanya mengistimewakan bulan Ramadan. Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu dijawab secara radikal dan komprehensif, demi sekali lagi melihat nalar di balik persekusi, bahkan di ranah yang paling subtil dan banal, yakni persoalan tirai di atas. Oleh karena itu, sebagai aspek komparatif puasa konvensional, ajaran Buddha dipilih sebagai perbandingan yang memiliki konsep puasa yang sedikit berbeda, tetapi memiliki konsekuensi yang kolosal. Kemudian, tulisan dilanjutkan dengan psikoanalisis sebagai instrumen untuk mencari motif persekusi.
Puasa dalam Ajaran Buddha
Dalam ajaran Buddha, istilah puasa disebut dengan uposatha yang berarti menghindari keinginan-keinginan duniawi, yaitu makan dan minum. Istilah tersebut kemudian berkembang hingga mengandung makna menahan diri dari sifat-sifat jahat, seperti kemarahan, hawa nafsu, iri dengki, dan keserakahan (Syukur, 2007). Puasa dalam umat Buddha bukan hanya bertujuan menahan diri, tetapi juga meningkatkan kualitas diri, yakni dengan mengusahakan kebaikan. Dengan demikian, unsur penting dalam puasa buddhis adalah kemampuan mengontrol diri, yaitu mengejar hal-hal yang dinilai wajib dilakukan, selain menghindari hal-hal yang dianggap pantang.
Terdapat tujuan khas dalam puasa Buddhisme. Salah satunya adalah menjamin agar umat buddhis dapat mengembangkan diri untuk melakukan kebajikan dalam kondisi kekurangan (dalam hal ini adalah makanan dan minuman yang berlebihan). Puasa Buddhisme memperbolehkan umat yang berpuasa untuk meminum air jika dirasa perlu selama tidak berlebihan. Tujuan dari diperbolehkannya meminum air adalah untuk mencegah kerusakan tubuh, seperti melalui dehidrasi yang dapat memengaruhi kondisi mental atau batin pelaku puasa (Lisniasari, dkk., 2022).
Secara eksplisit, Buddhisme menyadari bahwa kondisi-kondisi di luar diri manusia memiliki pengaruh dalam tindakan manusia tersebut. Lingkungan memiliki peranan besar dalam memprakondisikan diri seseorang. Dalam konteks berpuasa, seseorang terlepas dari faktor-faktor substansial yang berada di lingkungan kesehariannya, yaitu makanan dan minuman. Ketiadaan faktor-faktor tersebut membuat lingkungan orang yang berpuasa akan berbeda dari lingkungan kesehariannya sehingga memengaruhi kondisi mental orang tersebut.
Prinsip puasa dalam Buddhisme tersebut telah mendapat afirmasi dari kalangan ilmuwan. Beberapa riset ilmiah telah menunjukan bahwa keterputusan kebutuhan primer (makanan dan minuman) dalam jangka waktu tertentu memiliki pengaruh kepada persepsi seseorang terhadap dunianya. Persepsi yang dimaksudkan tidak hanya melibatkan unsur rasional, melainkan juga unsur mental, yaitu emosi. Penelitian oleh Pross, dkk. (2014) menunjukkan pengaruh air terhadap kondisi emosi seseorang. Penelitian tersebut menunjukan bahwa ketersediaan air dalam tubuh seseorang berbanding lurus dengan kondisi mood-nya. Dengan kata lain, ketika tubuh seseorang mengalami dehidrasi, orang tersebut lebih dimungkinkan untuk melakukan tindakan yang buruk karena tendensi emosi orang tersebut mengarah pada emosi yang negatif.
Motif Persekusi dalam Psikoanalisis
Peristiwa persekusi rumah makan selama Ramadan dapat dirasionalisasikan dengan penelitian Pross, dkk. (2014) bahwa tindakan tersebut tidak berlandaskan pada aspek rasional, melainkan emosi. Oleh karena itu, mencari motif lebih mudah daripada alasan (reason) di balik tindakan tersebut. Salah satu cara membedah motif di balik kegiatan persekusi adalah dengan menggunakan psikoanalisis Lacanian.
Ontologi relasional Lacanian menempatkan tiga unsur penting dalam struktur masyarakat, yaitu subjek, objek kecil a (objet petit a) dan Yang-Lain (the Other). Objek kecil a disebut juga dengan object of desire atau objek hasrat (Lacan dalam Johnston, 2013, hlm. 254). Objek hasrat bukanlah objek sebenarnya, melainkan medium untuk merealisasikan hasrat tersebut. Sebagai contoh, dalam persekusi rumah makan dengan tirai, tirai ditempatkan sebagai objek kecil a. Pada kenyataannya, objek yang diinginkan pelaku persekusi bukanlah tirai, melainkan dampak yang dihasilkan dari penggunaan tirai tersebut. Dalil utama dari tindakan persekusi rumah makan menggunakan tirai adalah rasa menghormati golongan yang berpuasa karena puasa adalah hal yang sakral. Kondisi dihormati adalah bentuk lain dari kebutuhan rekognisi, yaitu kebutuhan pengakuan atas hal-hal yang melekat pada individu atau golongan tertentu. Maslow menganggap bahwa penerimaan sosial merupakan salah satu wujud kebutuhan yang penting. Saat kebutuhan ini terpenuhi, muncul rasa percaya diri, rasa dihargai, dan kekuatan pada individu atau golongan tertentu (Llanos dan Verduzco, 2022).
Tirai hanyalah objek kecil a yang bertujuan mengatasi kecemasan akibat kekurangan rekognisi.
Kebutuhan atas pengakuan sosial seringkali bertendensi pada arah korup. Dalam diskursus Lacanian, kebutuhan muncul didasarkan pada suatu kondisi kekurangan atau Lack (Deleuze dalam Klepec, 2016, hlm. 20) yang membuat seseorang selalu mencari hal-hal yang dapat menutupi kekurangan tersebut, yaitu kebahagiaan (Jouissance). Namun, kebahagiaan bersifat transenden sehingga tidak dapat dicapai sehingga setiap kegiatan manusia yang bertujuan untuk mengisi kekurangan tersebut hanya mendatangkan kenikmatan (pleasure) yang bersifat temporal (Lacan dalam Žižek, 1991, hlm. 42). Hal tersebut membuat seseorang akan mengulangi tindakannya selama hal tersebut mendatangkan kenikmatan yang bersifat temporal. Pengulangan dalam diskursus Lacanian dikenal dengan istilah repetition. Istilah tersebut tidak hanya menunjukkan suatu tindakan yang berulang-ulang, tetapi juga variasi dari kegiatan tersebut, seperti peningkatan intensitas atau penambahan komponen yang tidak ada sebelumnya. Kemunculan variasi dari tindakan berulang dapat dihubungkan dengan rasa cemas, yaitu kondisi ketika seseorang tidak bisa menjamin bahwa kekurangan tersebut dapat mendatangkan kenikmatan yang sama (Lacan dalam Alain-Miller, 1995, hlm. 33-34).
Kasus penutupan rumah makan dengan tirai bukanlah kasus baru, melainkan kasus repetitif dari tahun ke tahun. Jika ditinjau dari psikoanalisis Lacanian, hal yang mendasari tindakan tersebut adalah kekurangan yang menimbulkan rasa cemas terhadap suatu kelompok. Intensitas kecemasan tersebut semakin bertambah seiring kondisi kekurangan dari hal yang substansial, yaitu makanan dan minuman, yang membuat kecemasan tersebut semakin menjadi-jadi. Kondisi ini mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan tindakan yang berlandaskan pada kondisi mental sesaat yang tidak rasional. Tirai yang digunakan untuk menutup rumah makan hanya bertindak sebagai objek kecil a yang bertujuan untuk mengatasi kecemasan atas rasa kekurangan terhadap kebutuhan rekognisi.
Upah Puasa
Puasa adalah bentuk keterpisahan manusia dengan kebanalannya. Makan, minum, marah, dan nafsu adalah hal biasa dan seakan telah menjadi rutinitas sehari-hari, selain pada bulan puasa. Begitupun dengan keinginan untuk mendapat rekognisi—lebih tepatnya mendapat afirmasi. Namun, bukannya mengontrol diri, masih terdapat banyak oknum yang ingin mengontrol orang lain. Implikasinya, puasa yang bersifat sakral dan transenden kemudian dinodai oleh kebutuhan sosial subjek, seperti kenikmatan dominasi terhadap sesama. Belum lagi problem sejenis seperti peraturan absurd oknum pemerintah yang melarang tempat hiburan malam hanya di bulan Ramadan. Pelarangan ini adalah obat temporal (pleasure) karena sifat kebahagiaan yang transenden di atas. Terdapat inkonsistensi dan relativisme dalam membuat kebijakan di ranah publik yang plural, seperti di Indonesia ini. Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah “Siapa yang paling dirugikan ketika bulan Ramadan? Apakah bulan Ramadan adalah ajang manusia yang tidak berpuasa untuk berpasrah diri—berkorban—demi kesuksesan manusia yang berpuasa?”
Tirai adalah awal dari langkah dominasi aparatus Ramadan. Namun, dari hal-hal paling subtillah justru kita mesti belajar dan berefleksi kembali, seperti dalam kasus tirai dan puasa ajaran Buddha. Belajar dari puasa ajaran Buddha, kita mestinya tidak hanya memaksakan pengontrolan diri, seperti menahan lapar, tetapi tetap ada nilai yang masih perlu ditaati. Oleh karena itu, kita harus lebih mengenali lingkungan sekitar yang memprakondisikan kita saat ini. Kehausan kita tidak seharusnya malah membuat kita menjadi marah dan membuat orang lain menaati kita.
Apabila dalam berpuasa kita masih mengeksklusikan manusia lain, apakah upah kita? Bukankah orang tidak berpuasa juga berbuat demikian? Apabila dalam berpuasa kita malah ingin dihormati dan dihargai, apakah upah kita? Bukankah orang yang tidak berpuasa juga berbuat demikian? Oleh karena itu, mestilah kita berbenah dan meluruskan kembali esensi dari puasa tanpa mereduksinya pada tataran emosi belaka yang fana. Dengan demikian, persekusi dapat dibatalkan dan inklusivitas dapat mewujud di dalam kenyataan kita sehari-hari.
*Selamat berpuasa!
Referensi
Alain-Miller, J. (1995). Reading seminar XI: Lacan’s four fundamental concepts of psychoanalysis (including the first English translation of “Position of the Unconscious” by Jacques Lacan). State University of New York Press.
Bachtiar, Y. (2023, Maret 23). Warung makan di Kota Bekasi wajib pakai tirai selama Ramadan. Tribun. https://jakarta.tribunnews.com/2023/03/23/warung-makan-di-kota-bekasi-wajib-pakai-tirai-selama-ramadan?_ga=2.17415993.1431353232.1680539612-95019185.1628430605.
Syukur, E. (2007). Pelaksanaan dan makna puasa (uposatha) dalam agama Buddha. [Skripsi]. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Fajar, A. A. (2023, Maret 23). Hari pertama Ramadan, restoran di Puncak ramai digerebek warga. Radar Bogor. . https://www.radarbogor.id/2023/03/23/hari-pertama-ramadan-restoran-di-puncak-ramai-digerebek-warga/
Gutting, G., & Oksala, J. (2022). Michel Foucault. Dalam Edward N. Zalta & Uri Nodelman (Eds.), The Stanford encyclopedia of philosophy. https://plato.stanford.edu/archives/fall2022/entries/foucault/
Klepec, P. (2016). For another Lacan-Deleuze encounter. Dalam Boštjan Nedoh & Andreja Zevnik (Eds.), Lacan and Deleuze: a disjunctive synthesis (hlm. 13-31). Edinburgh University Press.
Lisniasari, Ismoyo, T., Putri, A. S., Saputra, D. N., & Nyana, D. (2022). Fasting in the perspective of Buddhism. Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal), 5(3), 25211-25220. https://www.bircu-journal.com/index.php/birci/article/view/6565
Llanos, L. F. & Verduzco, L. M. (2022). From self-transcendence to collective transcendence: in search of the order of hierarchies in Maslow’s transcendence. Frontiers in Psychology, 13. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.787591
Prasetya, D. (2021, April 19). Satpol PP razia warteg di Serang, sita rice cooker usai dapati pengunjung makan siang. Merdeka.com. https://www.merdeka.com/peristiwa/satpol-pp-razia-warteg-di-serang-sita-rice-cooker-usai-dapati-pengunjung-makan-siang.html
Pross, N., Demazières, A., Girard, N., Barnouin, R., Metzger, D., Klein, A., Perrier, E., & Guelinckx, I. (2014). Effects of changes in water intake on mood of high and low drinkers. PLoS ONE, 9(4). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0094754
Rianti, E. (2023, Maret 22). Tempat hiburan malam di Jakarta dilarang beroperasi selama Ramadhan. Republika. https://news.republika.co.id/berita/rrxbra436/tempat-hiburan-malam-di-jakarta-dilarang-beroperasi-selama-ramadhan
Žižek, S. (1991). Looking awry: an introduction to Jacques Lacan through popular culture. MIT Press.
Footnotes
- Penulis meminjam terma “aparatus” dalam pemaknaan Michel Foucault sebagai rujukan terhadap oknum yang melakukan persekusi-persekusi—termasuk pemerintah, sang pembuat kebijakan. Foucault mengemukakan bahwa kekuasaan tidak hanya eksis pada level politik dan ekonomi, tetapi juga terkait dengan struktur kebudayaan, termasuk cara kita berpikir, bertindak, dan berbicara (Gutting, 2022). Dalam konteks ini, aparatus adalah manifestasi kekuasaan. Menurut Foucault, aparatus ini membentuk cara kita memahami dan mengalami dunia. Foucault juga mengatakan bahwa kekuasaan tidak hanya diterapkan dari atas ke bawah, tetapi juga terbentuk melalui interaksi sosial dan pengaruh budaya yang dalam kasus ini adalah hubungan antarumat pada bulan Ramadan.