Judul: Nineteen Eighty-Four (Terj. 1984)
Penulis: George Orwell
Penerjemah: Landung Simatupang
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2018 (Cet.7)
Jumlah Halaman: viii + 400 hlm
Bahasa: Indonesia
ISBN: 978-602-291-234-7
Tujuh puluh tahun lalu, tepatnya tanggal enam Juni 1949, George Orwell menerbitkan Nineteen Eighty-Four (disingkat 1984). 1984 sendiri adalah novel distopia atau satire anti-utopia yang pada titik tertentu dalam novel ini, menggambarkan kisah “masa depan” atau suatu kondisi yang akan datang, yang secara temporal berbeda dengan masa di mana sang Orwell hidup, paling tidak dengan waktu pertama novel tersebut diterbitkan. Latar belakang teks 1984 tak lain adalah refleksi Orwell terhadap pengalaman politiknya. Novel ini terbit sekitar empat tahun setelah perang dunia kedua dan tepat pada permulaan perang dingin. Oleh karenanya, kontemplasi internal yang tidak mudah dari terror dan brutalitas tanpa henti ideologi-ideologi dunia seperti fasisme dan komunisme, menjadikan novel ini sebagai salah satu novel yang paling berpengaruh hingga saat ini dalam kesusastraan Inggris kontemporer tentang bagaimana kekuasaan dalam kondisi totalitarian beroprasi. Orwell adalah seorang sosialis dan sasaran kritik Orwell yang paling utama sebenarnya ditujukan kepada komunisme Uni Soviet rezim Joseph Stalin yang berkuasa pada saat itu. Salah satu komentator karya-karya Orwell, Phillip Bounds (2009) menulis, “Orwell agreed with the anti-Stalinists from the beginning and wrote bitter attacks on the USSR from 1936 onwards. At the same time (and unlike some of his more propaganda-minded contemporaries) he was interested not simply in denouncing Stalinism but in understanding it” (Hal.137). Penulis beranggapan bahwa, novel ini, selain sebagai kritik juga sebagai kekecewaan Orwell terhadap rezim keji komunisme Stalin yang memanfaatkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan dan menyelewengkan cita-cita sosialisme itu sendiri.
Sedikit menjelaskan kisahnya, dalam novel ini, dunia pecah terbagi menjadi tiga negara besar yakni Oceania, Eastasia, dan Eurasia yang berada dalam peperangan tanpa henti demi menguasai satu sama lain. Tokoh utama dalam novel ini, Winston Smith, adalah seorang anggota partai Sosing yang berkuasa di negara Oceania. Winston adalah pengabdi Bung Besar (Big Brother) yang taat, ia bekerja di “Ministry of Truth” pada bagian berita dan propaganda yang bertujuan untuk membentuk opini dan cara berpikir masyarakat yang sesuai dengan visi partai. Dia dengan senang hati melakukan tugas-tugasnya setiap hari, hingga pada akhirnya ia menyadari bahwa masyarakat tidak mengetahui lagi bagaimana kehidupan mereka sebenarnya berjalan, dari masa lalu hingga masa kini, mereka tidak mengetahui sejarah secara jelas, alasannya tak lain karena partai membolak-balik realitas dengan mengubah dan membentuk kebenaran sesuai dengan kehendak partai itu sendiri. Dunia dalam 1984 sangat kejam, penuh pergejolakan dengan peperangan yang telah menjadi kebiasaan – tanpa henti, yang membuatnya kian suram. Realitas menjadi kabur, masyarakat tidak mengetahui lagi mana yang benar mana yang salah, mana yang nyata mana yang bohong. Poster “Bung Besar Sedang Mengawasi Saudara” ada di mana-mana seolah-olah mengwasi gerak-gerik setiap orang. Teleskrin selalu memberitakan kemenangan pasukan militer partai, kestabilan ekonomi, dan taraf hidup masyarakat yang semakin membaik. Namun pada kenyataannya untuk menemukan barang seperti pisau cukur saja, Winston harus membohongi beberapa orang untuk menyimpan stok pisau cukur saking langkanya barang tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Winston sang protagonis, pada akhirnya mulai sadar dan muak terhadap sistem totaliter partai di bawah kuasa Bung Besar yang selalu mengatasnamakan kebaikan bersama. Ia memulainya dengan secara sembunyi-sembunyi menulis catatan harian dengan tujuan memercikan sedikit harapan dari dunia yang penuh kemunafikan di mana ia hidup. Tulisannya selalu bercerita tentang kediktatoran Bung Besar terhadap pola hidup setiap individu yang dilakukannya dengan segala cara. Puncak dari kegelisahan yang mempengaruhi pola pikir Winston adalah “pemberontakan” terhadap partai, yang dimulai dengan perjumpaannya dengan Julia, seorang perempuan muda yang awalnya ia sangat curigai sebagai mata-mata partai. Perjumpaan dengan Julia membuat Winston merasa menjadi manusia seutuhnya, karena tanpa paksaan ia bisa mencintai seseorang sepenuh hatinya. Bukan hanya itu, bersama Julia pula, Winston dengan bebas mengeluarkan semua isi pikirannya yang dulu hanya ia ekspresikan dalam guratan pena dalam catatan hariannya. Namun, kebebasan Winston yang ditemukannya dalam kenikmatan menulis dan mendiskusikannya dengan Julia tidak berlangsung lama. Harapan Winston tentang dunia yang damai, bebas, tenang tanpa intervensi sistem atau struktur kekuasaan lainnya nampaknya tidak pernah terwujud. Kebahagiaannya dengan Julia dan kebebasan berpikirnya terendus oleh Polisi-Pikiran (Thought-Police), pihak yang menindak segala bentuk isi kebijakan dan garis pikiran yang telah ditetapkan oleh Bung Besar. Partai menuduh mereka melakukan kejahatan seks dan kejahatan pikiran. Mereka diciduk saat sedang bercinta, oleh karena itu Winston dan Julia melakukan kejahatan seks. Untuk alasan lainnya, tulisan harian Wilson yang kritis tentang kebebasan individu dianggapnya sebuah kejahatan dengan maksud pengkhianatan terhadap partai dan masyarakat. Mereka berdua dipisahkan, sebagai hukumannya mereka harus mendapatkan siksaan fisik dan menjalani masa indoktrinisasi. Setelah menjalani hukuman dan masa indoktrinisasinya, Winston dan Julia sudah saling melupakan satu sama lain dan Winston harus kembali kepada kehidupannya yang terisolasi, penuh kesendirian, dan menuruti semua apa yang diinginkan Bung Besar.
Seperti hari ini, tujuh puluh tahun setelah 1984 dipublikasikan, novel ini justru menimbulkan pertanyaan dalam diri penulis, seperti bagaimana hari ini kita membaca impian futuristik Orwell ini dalam konteks kekiniannya? Masihkah kisah Orwell yang jernih dan mencekam ini relevan di era kapitalisme akhir?
Hari ini, kemajuan di bidang teknologi dengan medianya yang sangat canggih membuat dinamika masyarakat dan kebudayaan semakin lebih kompleks untuk dipahami. Kondisi modern saat ini terlihat dan memiliki kesan bahwa segala sesuatu bekerja dengan sangat praktis, mudah, terjangkau karena kemajuan teknologi yang sangat pesat dibandingkan lima puluh atau tujuh puluh tahun silam yang menempatkan manusia dalam suatu anggapan “kondisi ideal” penuh dusta yang mereka pikir bahwa mereka sudah benar-benar merealisasikan diri mereka. Tingkat konsumsi yang tinggi, akses yang mudah terhadap informasi, kemajuan “menjanjikan” dalam bidang bioteknologi atau rekayasa genetik terang secara total membedakan hari ini dengan beberapa dekade silam. Lebih dari sekedar instumen, dalam dimensi sosial, budaya, dan politik hari ini kita hidup di dalam era “kebebasan”. Demokrasi menjadi tren dan “kritik” sudah menjadi bagian lumrah di dalamnya, dan fonomena ini hampir dapat dijumpai di setiap negara. Dengan ini, dapat dikatakan, beberapa proses dan dinamika yang terjadi kemudian memiliki implikasi baik pada pola dan cara berpikir dan praktis keseharian masyarakat itu sendiri.
Walaupun demikian, era modern hari ini yang pada titik tertentu memperlihatkan “kewarasan” dan kebaikan hidup pada dirinya, justru secara fundamental paradoks. Beberapa filsuf Mazhab Franfurt, seperti Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Habermas malah beranggapan bahwa, dengan proses instrumentalisasi yang mendasarkan pada rasionalitas teknologis, masyarakat modern mengalami kemunduran. Sistem teknologi–yang bekerja sangat baik dengan kapitalisme, tidak hanya mencakup semua realitas alam dan sosial dalam cengkeramannya, lebih dari itu mungkin jika penulis menarik ke dalam konteks digitalisasi hari ini, sistem ini hampir menangkap semua realitas manusia. Sistem ini diproduksi terus menerus dalam simulasi, kemudian manusia dalam ilusi cabul bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan. Dalam One-Dimensional Man, Marcuse (1964) mengklaim, “From this point on, technical progress would transcend the realm of necessity, where it served as the instrument of domination and exploitation which thereby limited its rationality; technology would become subject to the free play of faculties in the struggle for the pacification of nature and of society.” (Hal.18). Selain instrumentalisasi dengan rasionalitas teknologisnya, kecenderungan masyarakat modern maju yang memiliki sudut pandang saintifik hanya melihat segala sesuatu sejauh bisa dioprasikan. Mengambil istilah Adorno, manusia pada titik ini telah mencapai “negativitas total”. Atau dengan kata lain, aspirasi manusia untuk kebahagiaan dan kebebasan pada akhirnya tidak akan pernah terwujud karena pada akhirnya manusia dikendalikan sebagai objek oleh sistem yang bekerja atau mewujud sebagai teknologi dan sains itu sendiri.
Meskipun kini, masa depan telah menjadi masa lalu, penulis selalu beranggapan bahwa 1984 sebagai aktualiasasi fiksional Orwell selalu mengundang para pembaca untuk tidak hanya mengimajinasikan suatu dunia yang berada dalam suatu krisis karena suatu sistem totalitarian, tetapi merefleksikan kembali bagaimana struktur kekuasaan di dalam masyarakat bekerja dan mendominasi alam serta otonomi manusia. Seperti hari ini, tujuh puluh tahun setelah 1984 dipublikasikan, novel ini justru menimbulkan pertanyaan dalam diri penulis, seperti bagaimana hari ini kita membaca impian futuristik Orwell ini dalam konteks kekiniannya? Masihkah kisah Orwell yang jernih dan mencekam ini relevan di era kapitalisme akhir?
Refleksi terhadap Struktur Kekuasaan
Ideologikritik atau kritik ideologi adalah refleksi terhadap struktur kekuasaan yang bekerja dalam masyarakat. Istilah Ideologi sendiri, dipakai dalam berbagai macam cara, namun sering kali secara umum di masyarakat luas, ideologi dipahami dalam pemahamannya yang paling netral. Secara etimologis, yang dapat kita telusuri sampai ke Yunani kuno, kata ideologi berasal dari kata idea yang berarti ide/gagasan, dan kata logos yang berarti ilmu atau diskursus. Mengenai istilah itu, mengutip de Tracy, Morrice (1996) menulis “I would prefer that the name ‘ideology’, or science of ideas, should be adopted. It is an appropriate name because it does not hint of anything doubtful or unknown; it does not bring to mind any idea of cause” (Hal.26). Louis Claude Destutt de Tracy (1754-1836), seorang aristokrat dan filsuf Prancis, adalah orang pertama yang merumuskan istilah ideologis, sebagaimana ditulis di atas, baginya ideologi adalah seperangkat penalaran yang memiliki visi tentang peradaban. Lebih lanjut Morrice menjelaskan ide-ide de Tracy bahwa ide-ide sejati tidak boleh dimulai dari prasangka apa pun harus diketahui dengan pasti. Namun, seperti yang penulis singgung di atas, pemahaman tentang struktur kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu bekerja di era yang sangat terbuka ini sangat kompleks. Orang dapat beranggapan bahwa ideologi adalah ilmu tentang idea, atau sebuah doktrin, kepercayaan, gagasan, pandangan dunia dan lain sebagainya dalam suatu kerangka yang netral, tetapi di dalam tradisi Marxis, yang dimulai dari Marx sendiri dalam The German Ideology, ideologi dimengerti sebagai seperangat konsep imajiner – dalam artian tidak sesuai dengan kenyataan atau “palsu”, untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri.
Untuk memulainya, dalam horizon penulis, kita memiliki ideologi dalam pengertian yang paling umum sebagai suatu doktrin, sekumpulan gagasan, kepercayaan, konsep dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan di atas. Habermas di sini adalah contoh pemikir Besar yang masih berkaitan dengan ide ini. Dalam teori kritisnya, Habermas mengajukan sebuah tesis dengan paradigma lain, bahwa kritik ideologi berkaitan dengan refleksi atas kondisi konkret yang terjebak di dalam struktur yang menindas dengan memiliki misi emansipatoris. Pemahaman Habermas tentang kritik ideologi ini merupakan tesis baru karena, para pendahulunya seperti Horkheimer, Adorno, maupun Marcuse, telah gagal merumuskan teori yang berdasarkan pada warisan Marxism dan mendorong praksis yang membawa pada perubahan kualitatif masyarakat. Para pemikir generasi pertama Mazhab Frankfurt, masih memahami praksis dalam kerangka pemikiran Marx yakni paradigma kerja. Dalam Marx, satu-satunya cara untuk mengubah suatu situasi soial yang mengekang adalah melalui perjuangan kelas dan kelas pekerja harus bersatu untuk melawan kaum borjuis. Dengan penjelasan yang lebih mudah, dalam pemikiran Marx, untuk melepaskan diri dari penindasan yang ada, diperlukan revolusi kelas yaitu revolusi proletar. Bagi Habermas, konsep praksis Marx memiliki tujuan emansipatoris. Oleh karena itu, Habermas masih bertahan namun meramu epistemologi baru yang berbeda yang masih dalam koneksi antara teori dan praktis sosial manusia, yakni paradigma komunikasi yang universal.
Habermas, dengan unsur fundamental yang sama dalam tradisi Marxis untuk melihat pertautan antar teori dan praktis–dibandingkan dengan para pendahulunya, berhasil membangun landasan epistomologis yang jelas untuk Teori Kritisnya. Dengan caranya sendiri, Habermas ingin mengungkapkan bahwa kritik ekonomi politik di Marx tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat kita yang ia sebut sebagai Spätkapitalismus (late capitalism). Dalam bukunya, Theory and Practice, Habermas (1971) mengungkapkan:
“The sphere of commodity exchange and social labor requires so much centralized organization and administration that bourgeois society, once left to private initiative operating according to the rules of the free market, is forced to resort to political mediation of its commerce for many of its branches. However, if it is no longer autonomously constituted as that sphere which serves as presupposition and basis for the state, then state and society no longer stand in the classical relationship of superstructure and base.” (Hal.195)
Sebagai penyelamat umat manusia dari penindasan, Habermas mengganti proletariat (yang dalam Marxisme klasik memiliki peran penting) dengan sesuatu yang sangat umum, yaitu rasio manusia. Di sini, Habermas berusaha untuk kembali memahami ide inti dan merekonstruksi proses pencerahan dengan proses rasionalisasinya, tidak diragukan lagi karena baginya pencerahan dengan rasionalisasi adalah proyek yang belum selesai. Dan apa yang dimaksud Habermas dengan rasio di sini berbeda dari para pendahulunya di Sekolah Frankfurt yang masih menafsirkan rasio sehubungan dengan kesadaran untuk melaksanakan prinsip-prinsip praktis revolusioner berdasarkan “Paradigma Kerja” Marx. Bagi Habermas, dan di sinilah letak perbedaan radikal, rasionya mendapatkan pemahaman baru sehubungan dengan keterampilan bahasa manusia, dengan kata lain Habermas mengusulkan tesis tentang “Paradigma Komunikasi” untuk menggantikan “Paradigma Kerja” Marx. Dalam bukunya yang berjudul Toward a Rational Society, Habermas (1987) mengklaim “In order to reformulate what Weber called ‘rationalization’, I should like to go beyond the subjective approach that Parsons shares with Weber and propose another categorical framework. I shall take as my starting point the fundamental distinction between work and interaction” (Hal.91). Dapat dikatakan, Habermas masih mengandaikan kelanjutan rasio sebagai warisan pencerahan dengan membedakan praktik “kerja” dengan mengusulkan “interaksi” sebagai manifestasi kesadaran untuk kepentingan emansipatoris manusia modern. Pembedaan Habermas tentang dua paradigma praksis yang paling mendasar, kemudian ia mengembangkannya lebih lanjut menjadi teori tindakan, yang tidak akan dibahas lebih lengkap dalam tulisan ini. Tetapi secara umum poinnya dapat dipahami bahwa bagi Habermas, baik tindakan tujuan rasional maupun tindakan komunikatif adalah tindakan yang mendasari praksis sosial dalam kehidupan manusia. Yang membedakan keduanya adalah bahwa tindakan rasional ditujukan untuk sukses, sedangkan tindakan komunikatif berorientasi pada pencapaian pemahaman. Dalam Habermas, pada tahap inilah ideologi bekerja, sebagai komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.
Akal sehat menjadi bidah dari segal bidah. Falsafah dan logika partai menolak segala bentuk realitas ekternal yang faktual hingga validitas pengalaman manusia.
Keberanian Winston sebenarnya tidak hanya mengambang dalam pikirannya saja. Dalam artian dimensi praktisnya, ia secara pribadi bertemu dengan Julia yang tidak hanya menjadi kekasihnya, tetapi juga temannya untuk bertukar gagasan dan garis kebijakan tak wajar dari partai. Kemudian ia bertemu dengan sosok O’Brien sang anggota partai inti yang ia yakini berpihak padanya dan memiliki akses ke suatu persaudaraan yang mengizinkan kebebasan berpikir. Ia beberapa kali bertemu dengan O’Brien, membicarakan persaudaraan dan agendanya untuk melakukan pemberontakan aktif terhadap partai meskipun itu sulit. Orwell sangat mencari-cari arti persaudaraan utuh yang berakal sehat tidak terbatas pada kolektivitas semata. Sedikit demi sedikit, dengan tujuannya itu ia hendak mendapati suatu perasaan sebagai manusia yang sungguh bernilai, meskipun usahanya tidak menghasilkan apapun, paling tidak dalam pikirannya, ia telah mengalahkan partai.Jika kita kembali ke teks, refleksi pertama-tama dilakukan Orwell melalui penggambaran Winston yang menulis catatan harian tentang keresahannya pada kekuasaan dengan berbagai macam kebijakannya. Yang hendak disampaikan Orwell adalah, walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi, setidaknya dalam pikirannya sendiri, Winston bisa bebas melepaskan diri dari kemunafikan dan dunia yang tanpa harapan, dengan mengekspresikan apa pun dalam bentuk tulisan. Propaganda terus menerus yang dilakukan oleh partai membuat segala sesuatu menjadi kabur. Masa silam dihapus, penghapusannya dilupakan, semua dusta menjadi kebenaran. Winston seakan menghidupi mimpi buruk dengan kebingungan karena pemalsuan besar-besaran yang dilakukan partai. Yang paling gila adalah pada suatu hari partai mengumumkan bahwa dua tambah dua itu lima, dan semua orang harus patuh kepadanya. Akal sehat menjadi bidah dari segal bidah. Falsafah dan logika partai menolak segala bentuk realitas ekternal yang faktual hingga validitas pengalaman manusia. Namun Winston masih percaya akan rasio manusia dengan menolak dogmatise rasional partai yang paradoks tersebut dengan catatan-catatannya.
Dengan beberapa penjelasan dan contoh gambaran teks di atas, penulis menafsirkan bahwa, Orwell dengan cermat melalui Winston sebetulnya telah membaca bahwa ada yang tidak beres dengan sistem komunikasi yang membuatnya seperti merasa menjadi “mati”. Winston sungguh terepresi oleh sistem sejak dalam bahasa dengan Newspeak a la Sosing. Kondisi represif terhadap sistem komunikasi manusia itulah kemudian membuat cara berpikir dan kondisi itu menjadi satu dimensi dengan doublethink. Propaganda-propaganda melalui teleskrin secara otomatis memperluas subsistem yang ada. Dan yang tidak membangkang dan berbeda dengan sistem—baik dalam cara berpikir maupun aksinya, akan terdeteksi oleh Polisi Pikiran yang menghasilkan siksaan. Oleh sebab itu penulis menyimpulkan, bahwa refleksi Orwell terhadap struktur kekuasaan bukan berkaitan dengan kerja, melainkan dengan interaksi simbolis yang telah kacau. Dengan kata lain, dalam pemikiran Habermas, ideologi bekerja sebagai pengetahuan yang membeku dari komunikasi manusia dalam Life-World yang secara sistematis telah terdistorsi. Di sini Orwell tidak memberikan perhatian kepada perlawanan revolusioner dan perubahan menyeluruh untuk menciptakan masyarakat sosialis seperti yang telah dilakukan oleh partai komunis dan pergerakan lainnya. Namun, sedikit demi sedikit, seperti apa yang diungkapkan Habermas, proses kewarasan atau rasionalisasi dalam dimensi interaksi ini menyediakan suatu dasar untuk kesetaraan masyarakat yang memiliki formasi individu yang progersif.
Eksternalisasi Ideologi
Di dalam novel tersebut Orwell menggambarkan bagaimana sang protagonis, Winston Smith, menderita karena struktur kekuasaan yang secara disadari atau tidak, telah merampas kebebasannya secara total. Selain melakukan kritik ideologi yang digambarkan dengan adanya suatu penguasaan atau pengendalian terhadap kebebasan warga negaranya oleh partai berkuasa yaitu Sosing yang dipimpin oleh Bung Besar melalui semacam ide abstak kolektivitas absolut, di dalam novel ini–yang kurang mendapatkan perhatian adalah, Orwell memberikan perhatian kepada bentuk lain dari ideologi atau dapat dikatakan, semacam eksternalisasi ideologi. Mengambil istilah Althusser, dengan kata lain ideologi bukan hanya semacam doktrin, seperangkat gagasan, kepercayaan, konsep dan lain-lain, tetapi ideologi dalam keberlainannya dalam wujud apparatus dan praktis kesehariannya. Reproduksi formasi sosial yang dilakukan oleh partai di dalam novel tersebut, paling tidak, melalui Althusser penulis menemukan dalam dua cara; ideologis dan represif.
Bagi Althusser, ideologi tidak mencerminkan dunia nyata, tetapi memanifestasikan dirinya dalam hubungan imajiner masing-masing individu dengan dunia nyata. Althusser (1971) tentang gagasan ideologi secara umum menjelaskan, “Ideology is an imaginary assemblage, a pure dream, empty and vain, constituted by the ‘diurnal residues’ of the only full, positive reality, of concrete, material individuals materially producing their existence” (Hal.175). Menurut Althusser, ideologi berfungsi sebagai kekuatan tersembunyi bagi masyarakat untuk bertahan, atau di dalamnya adalah proses menemukan makna eksistensial. Althusser (1971), tentang ini menjelaskan “… people do not ‘represent’ their real conditions of existence in ideology (religious ideology or some other kind), but above all, their relation to those real conditions of existence“. (Hal .183). Yang paling unik dari pandangan atau teori Althusser tentang ideologi adalah bahwa ia berhasil memberikan manifestasi material dalam perangkat atau apparatus yang membuat ideologi menjadi “hidup”. Althusser (1971) menegaskan “… an ideology always exists in the apparatus and in practice or practices of that apparatus. This existence is material” (Hal.184). Ideologi direproduksi secara terus menerus dalam suatu apparatus dan praktik sehari-harinya sampai tertanam dalam kepercayaan satu atau kelompok tertentu. Bentuk Idological State Apparatus (ISA), tersebut direpresentasikan dalam keluarga, agama, sekolah, media massa, partai politik, universitas, olahraga, dan sebagainya.
Tanpa sadar–mengambil istilah Gramsci, aparatur menjadi alat hegemoni ideologis yang paling kuat untuk melanggengkan status quo kekuasaan. Althusser (1971) menjelaskan, “What really happens in ideology thus seems to happen outside it. That is why those who are in ideology, you and I, believe that they are by definition outside ideology: one of the effects of ideology is the practical denegation of the ideological character of ideology by ideology.“(Hal.191). Ideologi memproses individu dalam situasi keterpanggilan. Ideologi mengkonstruksikan kita layaknya praktik keseharian kita dengan yang lain, di mana seseorang memberikan suatu penyematan atas diri kita (kita ini subjek dengan segala kepintarannya, ketampanannya, kecantikannya, keunikannya atau apapun yang membedakan kita dengan yang lainnya)–dalam situasi kita dengan sempurna mengetahui yang benar-benar terpanggil adalah diri kita dan bukan orang lain. Ini adalah mekanisme yang berjalan dengan keyakinan yang telah tertanam dalam sistem ketidaksadaran semua kelas dan kelompok, baik kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Tetapi di sini, ideologi yang berkuasa membantu kelas penguasa dalam menguasai kelas yang dieksploitasi sambil pada saat yang sama memantapkan dirinya sebagai kelas penguasa. Bagi Althusser, begitulah fungsi mekanisme ideologis. Dan bagi mereka yang menolak dengan menanamkan nilai-nilai ideologis yang halus dalam perangkat ideologis (ISA), mereka akan mendapatkan nilai-nilai melalui kekerasan dalam bentuk Repressive State Apparatus (RSA) seperti polisi, tentara, dan pengadilan dan sebagainya.
Melalui Newspeak, kekuasaan bukan hanya menjadi semacam ungkapan atau kondisi para anggota partai, tetapi dengan kaidah-kaidah yang ada seperti kosa kata dan tata bahasa yang dibatasi, Newspeak membatasi kebebasan berpikir dengan tujuan untuk mengabaikan kebebasan, ekspresi, dan identitas diri yang dianggap sebagai ancaman bagi ideologi partai dan Bung Besar.
Secara ideologis, untuk melanggengkan kekuasaan, English Socialism atau Sosing yang dipimpin oleh Bung Besar di Oceania terlebih dahulu menyentuh dimensi bahasa manusia dengan menciptakan suatu bahasa baru bernama Newspeak. Seperti yang kita ketahui, bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahasa dan di dalam bahasa manusia hidup atau manusia terbentuk melalui bahasa. Di dalam bahasa kita berdialektika tentang suatu peristiwa dan makna, dengan bahasa pula manusia dimungkinkan memahami dan mengartikulasikan sesuatu. Dengan menciptakan Newspeak sebagai bahasa resmi dan satu-satunya sarana komunikasi, partai Sosing dan Bung Besar kemudian dapat mengendalikan warganya dengan mudah. Dalam novel 1984, Orwell bahkan sampai membuat lampiran yang membahas secara khusus tentang kaidah-kaidah bahasa Newspeak yang dengan sangat detail dan komprehensif. Ia memaparkan dari inti Newspeak hingga pada tataran tata bahasan dan kosa katanya. Melalui Newspeak, kekuasaan bukan hanya menjadi semacam ungkapan atau kondisi para anggota partai, tetapi dengan kaidah-kaidah yang ada seperti kosa kata dan tata bahasa yang dibatasi, Newspeak membatasi kebebasan berpikir dengan tujuan untuk mengabaikan kebebasan, ekspresi, dan identitas diri yang dianggap sebagai ancaman bagi ideologi partai dan Bung Besar. Pengendalian dalam bentuk bahasa ini pada prinsipnya tidak hanya membatasi kebebasan berpikir, tetapi secara bertahap dan sistematis, partai dengan Newspeaknya ingin mengganti iklim berpikir yang tidak sesuai dengan cara yang ditentukan oleh partai. Keberhasilan penanaman ide melalui bahasa yang selalu membenarkan sistem ini disebut dengan Doublethink, yang berfungsi sebagai daya pikir untuk memuat dua keyakinan pada saat yang bersamaan semacam kontradiksi dalam pikiran, dan menerima kebenaran keduanya. Pada tahap yang dimulai dari doublethink inilah kemudian, ideologi mewujud dalam praktis-praktis keseharian masyarakat Oceania secara umum dan yang terepresentasikan dalam keluarga, media, ‘sekolah’ dan lain-lain sampai tertanam dan menjadi kepercayaan setiap individu warga Oceania.
Melalui cara represif, dalam novel ini, kekuasaan menggunakan Polisi Pikiran sebagai polisi rahasia dan teleskrin sebagai alat yang mengawasi setiap gerak-gerik masyarakat sipil di Oceania. Polisi Pikiran melalui teleskrin mengawasi setiap orang sepanjang waktu dan bahkan bisa menyadap dari kabel pikiran sesorang kapanpun mereka mau. Siapapun yang gerak-geriknya mencurigakan dan lain dari kebiasaan partai, akan dilenyapkan. Penanaman dari apparatus ideologi melalui Newspeak dan Doublethink yang terwujud dari praktis keseharian diawasi, dideteksi, kemudian menahan siapapun warga yang menentang otoritas partai dan Bung Besar. Dengan adanya teleskrin, pemerintah Oceania dapat segera mencegah adanya indikasi penyelewengan atau segala bentuk pemberontakan dari warganya. Tidak melulu urusan sipil warganya, dalah hal urusan personal pun, seseorang bisa ditangkap dan diberi hukuman. Tertangkapnya Winston dan Julia yang dijebak O’Brien dalam novel ini adalah gambaran yang menandakan bahawa, teleskrin juga sekaligus menghasilkan ketumpulan kemampuan di kalangan warga sipil untuk membuka gagasan atau pandangan politik yang berbeda karena ketakukan dalam wujud represi oleh kekuasaan. Teleskrin juga menjadi alat yang paling efektif bagi partai, bukan hanya menyebarkan doktrin, tetapi mengendalikan tingkah laku seseorang dengan berita-berita yang mengagungkan rezim Bung Besar.
Dari gambaran-gambaran di atas tentang bagaimana ideologi bekerja dalam suatu masyarakat dapat disimpulkan bahwa, secara sadar ataupun tidak, ideologi mengambil peran yang sangat penting dalam mengkonstruksikan realitas sosial dan politik individu. Tidak hanya semacam gagasan abstrak, melalui apparatus-apparatusnya seperti tergambarkan dalam novel 1984, ideologi memiliki wujud materialnya dalam praktis-praktis keseharian individu itu sendiri. Oleh karena itu, penulis dapat mengatakan bahwa, dalam ideologi seorang individu atau kelompok masyarakat dapat menerima begitu saja kebenaran dari citraan yang mereka anggap benar tanpa alasan yang sah. Dengan kata lain, tanpa berpegang pada akal sehat, ideologi bagaikan memiliki daya mistik yang dapat mengubah cara kita menilai, cara berpikir berpikir kita tentang sesuatu, dan praktik-praktik sosial kita.
Catatan Kritis
Alih-alih dibuang dari rak buku, penulis beranggapan, novel ini justru dirasakan semakin dekat dengan kondisi hari ini. Novel ini masih memiliki sesuatu untuk ditawarkan dan potensi dalam memahami bagaimana ideologi dalam suatu masyarakat bekerja. Bagi penulis, memandang kembali horizon dalam 1984 seakan membawa kita kepada suatu pembacaan gejala-gejala ideologis yang terdapat di dalam masyarakat dewasa ini. Oleh karena itu, meskipun “ramalan” Orwell sudah lampau untuk hari ini, akan tetapi secara fundamental justru penulis rasakan, bahwa novel ini semakin dekat dengan kondisi kekinian kita.
Secara umum, Orwell sebenarnya lebih dekat dengan Habermas, dengan melukiskan bahwa semua realitas telah tergenggam, sistem mensahkan dirinya sendiri dalam hegemoni kebudayaan sehingga kekuasaanya dalam ekonomi maupun politik semakin kuat dan membuat semacam komunikasi dalam life-world kita menjadi terdistorsi. Solusi yang ia ajukan juga membawanya pada pergerakan kualitas individu yang progresif. Yang terlupakan dalam pembacaan kritik ideologi Orwell adalah ia dengan cermat merefleksikan kritiknya melalui eksternalisasi ideologi, atau ideologi pada dirinya yang berwujud dengan bentuk eksternalisasi yang seolah-olah tercerminkan dalam semacam ide di dalam novel ini. Mengutip Zizek “Ideology is no longer conceived as a homogeneous mechanism that guarantees social reproduction, as the ‘cement’ of society; it turns into a Wittgensteinian ‘family’ of vaguely connected and heterogeneous procedures whose reach is stricdy localized” (Hal.14). Jalan yang ditempuh Orwell, kritik berdasarkan tesis ideologi dominan (DIT) yang berusaha menunjukan bahwa ideologi memiliki pengaruh yang penting–meskipun terbatas pada strata sosial, memiliki peran dalam reproduksi sosial yang sangat kecil. Hal ini tertuliskan jelas dalam 1984, solusi Orwell menjumpai kegagalannya paling tidak dari gambaran dalam novel tersebut saat Winston pada akhirnya tertangkap, tetapi menganggap semua akan baik-baik saja dan kemudian ia kembali ke “pangkuan” Bung Besar. Kegegalan Orwell menjadi penanda kegagalan konsensus liberal di masyarakat post-ideologi dewasa ini yang hanya memiliki dan mengikuti motivasi utilitarian dan hedonistik.
Hari ini, di era kapitalisme akhir, di mana media secara prinsipil masif memungkinkan ideologi masuk hingga ke tulang sum-sum setiap individu, dan berbagai tindakan masyarakat tidak lagi menceriminkan keyakinan ideologis mereka, seperti yang di ungkapkan Zizek, “things get blurred again, since the moment we take a closer look at these allegedly extra-ideological mechanisms that regulate social reproduction, we find ourselves knee-deep in the already mentioned obscure domain in which reality is indistinguishable from ideology” (Hal.14-15). Kita yang pada saat ini hidup di era internet dan perangkat Hi-Tech lainnya, berada dalam domain yang sangat gelap–semacam pengawasan yang sangat berlebihan. Setiap kata dimonitor, ucapan yang tidak sesuai dengan aturan dihapus, sejarah ditulis ulang dan dihapus (memilih-milih fakta sesuai kepentingan), dan siapapun yang tidak seirama dengan yang berada dalam kekuasaan akan dilenyapkan, diasingkan dari masyarkat dan lain sebagainya. Kekuasaan absolut hari ini yang terwujud dalam perusahaan-perusahaan swasta yang bekerja di Sillicon Valley total menguasai dunia online yang di mana manusia dewasa ini menghabiskan lebih banyak waktu dalam dimensi virtual tersebut. Gawai cerdas mengambil peran teleskrin, selain berperan di satu sisi sebagai jendela yang memungkinkan kita memandang dunia, di sisi lain perusahaan privat yang syarat kepentingan memilik banyak sekali data dan kapan pun bisa mengakses data-data pribadi para penggunanya. Dalam media sosial juga propaganda-propaganda seperti sensitivitas gender, anti-semit, islamophobia, radikalisme atas nama agama diproduksi tanpa henti dan dirayakan bagai pesta yang terbuka untuk siapa saja. Bukannya dipenuhi oleh perdebatan penuh akal sehat, ruang publik di media sosial justru dipenuhi oleh orang-orang bebal yang hipokrit dan konsumtif.
Meletakkan itu semua, kemudian dapat dikatan, hari ini setelah 70 tahun publikasi novel 1984 yang menggambarkan negara penuh pengawasan kian semakin mendekati kenyataan dalam wujud perusahaan-perusahaan swasta yang menghegemoni. Tentang kondisi ini, Zizek (1994) menulis:
“What thereby comes into sight is a third continent of ideological phenomena: neither ideology qua explicit doctrine, articulated convictions on the nature of man, society and the universe, nor ideology in its material existence (institutions, rituals and practices that give body to it), but the elusive network of implicit, quasi-‘spontaneous’ presuppositions and attitudes that form an irreducible moment of the reproduction of ‘non-ideological’ (economic, legal, political, sexual…) practices” (Hal.15)
Zizek mengajukan gagasan Marxis tentang “fetisisme komoditas”, sebagai contoh: Bagi Zizek, fetisisme komoditas bukan merupakan teori ekonomi politik borjuis tetapi serangkaian praduga yang menentukan struktur praktik ekonomi pertukaran pasar yang sangat ‘nyata’. Secara teori, Zizek (1994) menjelaskan “capitalist clings to utilitarian nominalism, yet in his own practice (of exchange, etc.) he follows ‘theological whimsies’ and acts as a speculative idealist. For that reason, a direct reference to extra-ideological coercion (of the market, for example) is an ideological gesture par excellence” (Hal.15). Seperti yang telah Zizek ungkapkan, kondisi kita dewasa ini memungkinkan pasar dan media massa terhubung secara dialektis; kita hidup dalam ‘masyarakat tontonan’ di mana media menyusun persepsi kita tentang realitas terlebih dahulu dan membuat realitas tidak dapat dibedakan dari citra ‘estetis’nya.
Referensi:
Althusser, L. (1971) Lenin and Philosophy and Other Essays. London: NLB
Bounds, P. (2009). Orwell and Marxism: The Political and Cultural thinking of George Orwell. New York: I.B. Tauris & Co Ltd
Habermas, J. (1974). Theory and Practice. Boston: Beacon Press
Habermas, J. (1987). Toward a Rational Society. Cambridge: Polity Press
Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man: Studies in Ideology of Advanced Industrial Society. New York: Routledge
Morrice, D. (1996). Philosophy, Science, and Ideology in Political Thought. London: Macmillan Press Ltd
Zizek, S. (1994). Mapping Ideology. London: Verso