Salah satu film berlatar tahun 80an berjudul Bandersnatch – yang sejatinya berakar pada serial televisi fiksi ilmiah Black Mirror dari Netflix, mampu merefleksikan salah satu permasalahan yang tidak pernah selesai perbincangannya dalam diskursus filosofis, yakni “Kehendak Bebas”. Berbicara tentang Black Mirror secara umum, penonton akan ditenggelamkan dalam kompleksitas cerita tentang kemajuan zaman modern yang paradox. Bandersnatch, dengan nuansa gelap dan satir, menyuguhkan kepada para pemirsanya semacam “interaksi” dengan kebebasan menentukan sendiri pilihan jalan hingga akhir cerita yang dikehendakinya.
Film garapan Charlie Broker dan David Slade yang dirilis pada 28 Desember 2018 ini mengisahkan Stefan Butler, seorang programmer yang terobsesi ingin membuat video game bernama Bandersnatch yang berpangkal pada novel dengan judul yang sama dari penulis “gila” bernama Jerome F. Davies. Awalnya, Stefan sangat senang dan bersemangat saat mendapatkan kontrak dari salah satu perusahaan penerbit game yang sangat populer, tetapi pada akhrinya ia pun terjebak dalam “kegilaan” dunia bingkai-bingkai, jaringan-jaringan sistem pemrograman, hingga lebih parah sampai ia dirasuki “hantu” penulis novel Bandersnatch. Mengingat plot cerita film ini dikonstruksikan sendiri oleh penonton, film ini memiliki beberapa alternatif akhir cerita seperti lompatan iman, kematian yang lebih awal, menyadari bahwa ia adalah suatu bagian dan dikuasai oleh suatu sistem, dan lain lain.
Bandersnatch, yang menawarkan pilihan alur cerita kepada penontonnya, membuat penulis kemudian merefleksikannya dan mengajukan beberapa pertanyaan yang relvean di era masyarakat pasca modern dengan budaya kapitalis-konsumeris lanjut tentang kondisi dan permasalahan kontemporer ini. Seperti, apakah ada kemungkinan kehendak dan makna kebebasan bagi manusia? atau apakah yang ditawarkan sebagai kebebasan itu adalah semacam ilusi dari bentuk kekuasaan saja?
Apakah saat kita membuat pilihan-pilihan bebas kita, seutuhnya merupakan pilihan yang kita buat sendiri atau mungkin telah ditentukan sebelumnya?
Program dan Kontrol
Wacana yang ingin direfleksikan dari Bandersnatch adalah, tentang kontrol terhadap manusia dan relasinya dengan kehendak bebas. Dalam film ini, dengan permutasi cerita yang beragam, terdapat beberapa pertanyaan yang juga beragam tentang kontrol ini. Kita, dalam fitur interaktif film ini seakan memprogram dan mengontrol Stefan dalam narasinya sendiri. Dia dikontrol oleh pilihan yang seutuhnya bukan miliknya. Katakanlah kita sebagai penonton pada akhirnya yang menentukan sendiri bagaimanakah kisah Bandersnatch ini dari awal sampai akhir. Mulai dari pilihan-pilihannya seperti jenis sereal apa untuk sarapan, genre musik apa yang ingin ia dengarkan, apakah ingin bekerja di rumah atau dikantor, hingga bagaimana ia bergelut dengan masa masa lalunya telah ditentukan sebelumnya oleh penonton film ini. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah saat kita membuat pilihan-pilihan bebas kita ini, adalah utuh pilihan yang kita buat atau telah ditentukan sebelumnya? Permaasalahan ini relevan dengan perkembangan teknologi yang saat ini berkembang dengan pesat.
Jika kita melihat realitas dan problematika kebudayaan hari ini – cocoknya kultur hi-tech dengan kekuasaan yang mendominasi, baik secara politik ataupun ekonomi, kita berada di suatu titik berbahaya, di mana sesuatu yang awalnya dikhawatirkan para filsuf mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer dan Theodor Adorno terkait berbagai pendekatan teknis untuk menguasi sumber daya alam, kini telah terjadi. Kritik etis mereka dalam pembukaan Dialektik der Aufklärung, Horkheimer dan Adorno (1944) menyebut “Enlightenment, understood in the widest sense as the advance of thought, has always aimed at liberating human beings from fear and installing them as masters. Yet the wholly enlightened earth is radiant with triumphant calamity. Enlightenment’s program was the disenchantment of the world” (Hal.1). Penulis memberikan persetujuan pada kritik kedua filsuf yang berada dalam tradisi Marxisme Barat ini terhadap konsep pencerahan. Hal ini sangat berkaitan, karena teknologi adalah salah satu program paling konkret dari pencerahan. Dengan segala kemajuannya – bahkan sekarang, dikabarkan, kita sudah memasuki tahap Revolusi Industri 4.0 yang serba digital, teknologi diandaikan memiliki peluang objektif bagi manusia untuk merealisasikan seluruh kehendaknya. Kemajuan dalam bidang komunikasi, produksi, hingga paling jauh dalam rekayasa bioteknologi, memaksa manusia mengubah praktis dan cara pandanganya dalam kehidupan sosial dewasa ini.
Namun bukannya tanpa masalah, dalam komentarnya terhadap pemikiran Mazhab Frankfurt, Bertens (2014a) menguraikan “Kemajuan tidak dapat dipikirkan terlepas dari kemunduran. Sebab kemajuan tidak mungkin jika tidak ada sesuatu yang dihancurkan, yaitu alam di mana manusia berdiri” (Hal.272). Kemunduran yang dimaksud oleh Horkheimer maupun Adorno adalah instrumentalisasi kehidupan berlandaskan rasionalitas teknologis yang menempatkan manusia dalam suatu represifitas tak berkesudahan. Teknologi yang berjalan mesra dengan sistem kapitalisme ini, menempatkannya pada takhta luhur sebagai pemegang ideologi dominan, apalagi dengan runtuhnya komunisme Uni Soviet pada akhir abad ke 20 baik sebagai ideologi politik ataupun ekonomi. Segala macam alternatif politik dan ekonomi pun pasti dengan mudah digilas.
Kemajuan dalam kebudayaan pasca modern ini memberikan kesan pembebasan manusia, tetapi pada kenyataannya ia mengurung manusia dalam perbudakan dan keterasingan.
Sistem teknologis bukan hanya merangkum seluruh realitas alamiah dan sosial dalam cengkramannya, lebih dari itu mungkin jika penulis menarik ke konteks digitalisasi hari ini, sistem ini sudah hampir menggenggam seluruh realitas manusia. Sistem diproduksi terus menerus dalam simulasi, kemudian manusia dalam suatu ilusi dengan sesuka hatinya dapat memperoleh apa saja yang diinginkannya.
Tentang kebebasan yang ditawarkan sistem ini, filsuf Mazhab Frankfurt lainnya, Herbert Marcuse (1964), dengan tajam mengatakan, “Under the rule of a repressive whole, liberty can be made into a powerful instrument of domination. The range of choice open to the individual is not the decisive factor in determining the degree of human freedom, but what can be chosen and what is chosen by the individual” (Hal.10). Kemajuan dalam kebudayaan pasca modern ini memberikan kesan pembebasan manusia, tetapi pada kenyataannya ia mengurung manusia dalam perbudakan dan keterasingan. Bertens (2014a) mengomentari, “Manusia berpikir ia memiliki segala sesuatu yang ia kehendakinya, tetapi pada kenyataannya ia tidak berbuat lain daripada menginginkan apa yang dianggap perlu oleh sistem teknologis yang totaliter itu untuk mempertahankan dirinya” (Hal.293). Tawaran dalam wujud ilusi kebebasan, toleransi, dan keberagaman dengan menolak suatu narasi besar seakan menjadi tipu muslihat sistem totaliter ini.
Salah satu adegan dalam Bandersnatch menjelaskan dengan metaphor suatu game dengan judul PAC-man, suatu kondisi permasalahan kehendak bebas dan kompleksitas kebudayaan modern ini. PAC berarti Program and Control, manusia berpikir bahwa ia memiliki kehendak bebas, tapi sebenarnya ia terjebak dalam suatu labirin, suatu sistem. Yang bisa manusia lakukan hanya mengonsumsi. Dia terpengaruh oleh “iblis” yang mungkin hanya ada dalam kepala mereka sendiri, bahkan jika ia ingin mengatur pelariannya dengan menyelinap keluar labirin tersebut, yang terjadi adalah ia berada di sisi lain sistem tersebut. Massa menganggap ini suatu permainan yang mengasyikan, namun ini adalah suatu mimpi buruk yang nyata. Dan kita menghidupinya.
Seperti Stefan, yang narasinya “ditentukan” oleh penonton film ini, kita sendiri dikontrol. Jangan dulu melihat contoh yang jauh, apa yang kita tonton atau film ini adalah salah satu program televisi yang hadir untuk menawan kita, dengan perusahaan, korporasi, atau organisasi lainnya yang mengiklankan pada semua orang, untuk memengaruhi dan menguasi kehidupan manusia. Dengan ilusinya, kita hanya mengonsumsi terus menerus dan tidak ada lagi alternatif untuk itu, persis apa yang Marcuse sebut tentang masyarakat pasca industri sebagai “one-dimensional man”, atau manusia satu dimensi.
…di sisi lain ada pula hal-hal yang bisa kita kendalikan, hal yang bergantung dari aksi dan keinginan kita, seperti kini dan nanti.
Kebebasan yang Dinamis & Kreatif
Lantas apa artinya kebebasan dan masihkan manusia memiliki kebebasan jika seluruh realitas terasa telah tergenggam oleh hegemoni ideologi yang berkuasa hari ini?
Dalam sejarah filsafat, khususnya di Barat, permasalahan tentang kehendak bebas ini memang telah dibahas sejak Platon. Dengan kedua istilah yang berbeda namun kerap kali saling berkaitan, “Kehendak” dan “Kebebasan”, tentu kita akan berjumpa dengan permasalahan-permasalahan yang berbeda, beragam, dan tak akan berguna untuk membahas dengan runtut berdasarkan sejarah filsafat tentang apa itu kebebasan dan kehendak. Intinya, kebebasan dalam kehidupan manusia adalah suatu realitas yang sangat kompleks, baik dalam dimensi sosio-politk maupun individu itu sendiri.
Karena kompleksitasnya, ada beberapa permasalahan berkaitan dengan kebebasan yang tidak mudah dijawab, seperti tidak bisanya kita memilih di mana dan oleh siapa kita di lahirkan, semesta di mana kita hidup, ras apa yang melekat dalam tubuh, perasaan dan gairah yang muncul, atau kenyataan bahwa kita adalah manusia yang dengan sendirinya hidup dan akan mati pada akhirnya, dan lain sebagainya. Namun tentu saja, jika kita berbicara kehendak bebas, selain hal-hal di luar kendali manusia tersebut, di sisi lain ada pula hal-hal yang bisa kita kendalikan, hal yang bergantung dari aksi dan keinginan kita, seperti kini dan nanti.
Bandersnatch, yang semacam “choose your-own-adventure” film ini persis memberikan contoh dan pertanyaan-pertanyaan yang menawan tentang kehendak bebas dalam narasinya. Suatu kuasa media, teknologi dan lain sebagainya. Hingga kita yang dihadapkan suatu permasalahan pilihan-pilihan dalam keseharian kita.
Henri Bergson, adalah salah satu filsuf Prancis yang membahas tema “kehendak bebas” dalam pemikirannya. Pendekatan Bergson sangat unik dan berbeda dari para filsuf Prancis yang rasional mengikuti tradisi filsafat Barat. Bertens (2014b) mendeskripsikan pendekatan Bergson, “bertitik tolak dari pengalaman langsung, dari pengalamanku sebagai aku” (Hal.13). Ia menolak segala bentuk determinisme dan asosiansime yang meniadakan peran kebebasan dalam manusia. Maksudnya, faktor apapun (temasuk ideologi) yang menentukan kehidupan manusia dan menghapus dimensi kebebasannya.
Bagi Bergson, kebebasan adalah sesuatu yang dialami dalam keadaan kesadaran (state of consciousness). Dalam Bertens (2014b) Bergson tegas mengatakan, “Kita adalah bebas, jika perbuatan-perbuatan kita memancar dari kepribadian kita seluruhnya, jika perbuatan-perbuatan kita mengungkapkan kepribadian kita, jika antara perbuatan-perbuatan dan kepribadian kita terdapat kemiripan yang sukar ditentukan itu; semacam kemiripan anatara seniman dan karyanya” (Hal.14). Jika berkaitan semesta, identitas yang melekat, dan kenyataan kita manusia yang hidup dan mati begitu saja, Bergson berpendapat bahwa, segala peristiwa yang terjadi dalam manusia berada dalam mekanisme terbalik (inverse mechanism) dan bukan karena penyebab atau dideterminasi. Inilah yang memungkinkan bagi Bergson adanya kehendak bebas.
Jika kita kembali ke Bandersnatch yang interaktif ini, dengan beberapa jalan cerita kuncinya yang berbeda, ada kedalaman yang coba ditawarkan dengan insfanya beberapa karakter terkait jalan cerita yang kita buat. Seperti tokoh utama, Stefan, yang menyadari bahwa ia berada dalam garis waktu dan berada dalam kebuntuan dalam hidupnya. Stefan kemudian menyadari, bahwa ia berada dalam kontrol dan konspirasi pemerintah, dihantui “hantu” Bandersnatch, sampai momen aneh yang benar-benar membawa ia mengetahui, bahwa ia dikendalikan oleh Netflix dan penonton film tersebut. Yang lebih menarik, ada satu kisah di mana, Stefan dapat mengatasi masa lalunya dan berhenti menyalahkan dirinya sendiri dan ayahnya atas apa yang terjadi, meskipun kisahnya berahir tragis.
Hal di atas menggambarkan tepat seperti apa yang dikatakan Bergson tentang waktu yang lebih fundamental dibandingkan hitungan waktu secara ilmiah. Menurut Bergson, waktu adalah durée atau durasi yang bersifat subjektif psikologis. Prinsip inilah yang menjadi kunci untuk mencapai kebebasan dalam horizon Bergson. Pada intinya, meskipun Stefan dapat memilih pilihan dan konsekuensi hidup yang beragam, akan tetapi ia tidak bisa mengubah masa lalunya, dan satu-satunya hal yang hendak ia bisa ubah adalah dirinya sendiri. Stefan, dengan berani berjumpa dan menjalani kondisi apapun, katakanlah secara langsung mengalamai kebebasannya dengan dinamis dan kreatif dalam merealisasikan dirinya.
Sebuah Catatan Kritis
Dengan beberapa contoh dari Bandersnatch di atas, penulis tidak bisa membantah bahwa manusia terjebak dalam ilusi kebebasan yang sangat vulgar dan kita tidak bisa meremehkannya. Benar bahwa, seluruh proyek pencerahan termasuk proyek besar teknologi ini seperti apa yang diuraikan Horkheimer dan kolega, berasal dari apa yang disebut akal budi dan salah satu upaya merealisasikan manusia. Namun, melihat kenyataannya yang sangat paradoks, pada tahap inilah justru manusia yang berdaulat seakan hilang, menjadi tidak rasional dan malah terkuasai oleh teknologi.
Dalam kondisinya yang gelap, baik dalam bentuk kebebasan sosio-politik ataupun individunya, hari ini kita terkesan lebih bebas namun realitasnya malah lebih diatur, seperti kontrol data, kita yang harus bersikap correct secara politk dan segala bentuk kedisiplinan lainnya. Lebih dari itu, kehidupan unidimensionalitas yang dibarengi mentalitas konsumeris ini telah meresapi pemikiran yang berdampak pada kehidupan modern dengan tawaran-tawaran dalam bentuk kebebasan berbicara di media sosial, memilih untuk berbelanja ini atau makan itu, keinginan memukul, memerkosa perempuan, mencuri dan lain lain dalam bentuk “kebebasan” total yang telah ditentukan dalam kerangka ideologis.
…roh bekerjasama satu sama lain dengan tubuh dalam semacam persepsi dan ingatan. Tubuh sebagai praksis dimungkinkan dengan apa yang disebut dengan kehendak.
Bagaimanapun juga, meskipun penulis sangat pesimistis dengan kondisi kebudayaan kapitalisme lanjut ini, penulis mengambil posisi yang memungkinkan adanya kehendak bebas seperti dalam pemikiran Bergson. Dengan kaitannya dengan manusia, sebagai makhluk yang berada dalam dunia, permasalahan kehendak bebas ini tentu ada dalam proyeksinya dalam usaha merealisasikan diri, katakanlah manusia yang mencari dimensi yang khas, suatu dorongan dalam dirinya yang membedakan manusia dari makhluk yang subhuman. Tentu kemudian, banyak perdebatan tentang apakah manusia memiliki atau tidak kehendak bebas ini. Namun, posisi penulis beralasan, karena meskipun setuju tentang berbagai macam kebebasan yang telah ditentukan oleh kuasa ideologi dominan hari ini, namun realitanya kritik etis beberapa para filsuf mazhab frankfurt dalam kerangka memandang dan memishakan praxis sosial dengan teori yang berdiri sendiri di era modern ini, sepenuhnya materialistik.
Meskipun sukar dipahami dan dibuktikan secara empiris, Bergson jelas menolak segala bentuk monisme dan mempertahankan baik materi maupun roh sebagai kenyataan. Secara singkat, roh bekerjasama satu sama lain dengan tubuh dalam semacam persepsi dan ingatan. Tubuh sebagai praksis dimungkinkan dengan apa yang disebut dengan kehendak. Intelegensi, yang berisfat instrumental dalam dominasi dewasa ini, ungkap Bertens (2014b) “pada dasarnya terarah pada benda-benda fisis saja” (hal.13). Dengan kata lain, intelegensi memang sangat berguna dan mendapat statusnya dalam teknologi maju modern ini dan sampai kapanpun menyelami hakekat segala sesuatu termasuk teknologi itu sendiri. Pada tahap inilah Mazhab Frankfurt dalam praxis kritisnya perlu memasukan semacam dimensi yang bersifat intuitif, yang menurut Bergson berperan menjadi dasar suatu insting yang menjadikan manusia sadar, mencapai tahap refleksi dan mengarahkannya pada kehidupan. Jika apa yang kita alami dalam diri kita sebagai makhluk hidup dilengkapi dengan hasil pemikiran metafisis, maka bukan hanya kita memiliki kesadaran (durée) yang terus menerus dalam diri kita, akan tetapi kita memiliki dorongan hidup (Élan vital) sebagai bukti kehendak bebas manusia yang dinamis dan kreatif bukan lagi secara mekanistis dan artifisial seperti yang ditawarkan ideologi yang berkuasa hari ini.
Akhirnya, poin yang ingin coba didapatkan dari Bandersnatch, tentang makna kebebasan sebenarnya yang sulit dimengerti dan ambigu pada era modern ini adalah perlunya ketelibatan dan keselarasan diri dan laku manusia yang dinamis serta kreatif dengan realitas secara langsung, berani berkonfrontasi dengan segala macam pensifatan negatifnya, sekaligus melihat dan mempertanyakan presuposisi dari segala yang “diberikan” kepada kita dari ideologi yang menghegemoni. Seperti Zizek, yang menentang “Pertanyakanlah segalanya, temasuk gagasan kebebasan itu sendiri”.
Catatan Akhir
Adorno, T.W. ,dan Horkheimer, M. (2002). Dialectic of Enlightenment: Philosopical Fragment. California: Stanford University Press
Bergson, H. (2001). Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Consciousness. New York: Dover Publication, Inc
Bertens, K. (2014a). Sejarah Filsafat Barat Kontemporer: Jerman dan Inggris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Bertens, K. (2014b). Sejarah Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society. London: Routledge
Pink, T. (2004). Free Will: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press Inc
Russell, B. (2002). Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
The Guardian. (2014, 3 Desember). What is freedom today? Slavoj Žižek. Video diunggah di di https://www.youtube.com/watch?v=UpPuTaP68Dw