Guido Anselmi adalah seorang sutradara fiksional yang terkenal–ia merupakan karakter utama dalam film 8½ atau Otto e Mezzo (1963) garapan maestro asal Italia, Federico Fellini. Guido mengalami krisis kreativitas ketika sedang menggarap suatu proyek film sci-fi terbarunya. Ia merasa seakan kehilangan minat untuk menyelesaikan film tersebut karena kesulitan artistik yang dihadapi.
Sejak adegan awal, penonton sudah dibawa ke alam mimpi Guido. Ia ditempatkan berada dalam kemacetan layaknya neraka. Guido melarikan diri ketika mobilnya dipenuhi asap yang mencekamnya. Saat ia keluar, seakan penuh mukjizat, ia melayang ke langit sampai para pengejarnya mengepung dan menariknya kembali ke bumi. Beberapa saat kemudian para penonton di bawa kembali ke realitas aktual di mana Guido hidup–saat ia berada di bilik praktik dokter.
Guido terbangun, ia seakan memperoleh ide untuk dituangkan di dalam film terbarunya. Guido berpikir bahwa ia akan bercerita tentang sutradara yang bingung, yang tidak memiliki rencana, dan yang tidak tahu apa yang ingin ia lakukan selanjutnya.
Masih belum yakin tentang sesuatu yang ingin ia kerjakan tersebut, Guido lantas secepatnya pergi untuk berdiskusi–membawa naskahnya kemanapun ia pergi dan membahas beberapa hal terkait proyek terbarunya dengan semua orang kepercayaannya seperti: partnernya dalam menulis naskah, produsernya yang kritis demi kesuksesan film yang tengah digarap, para pemain yang penuh ketidakpastian akan perannya, tak lupa gundiknya yang murahan tapi membakar gairahnya, hingga beberapa karakter insidental yang ia jumpai di spa kesehatan. Yang paling unik dan paling penting adalah, di dalam film terbarunya ini, ia berdialog dengan peristiwa masa lalu, impian, dan fantasinya.
Saat ia mendapatkan kegagalan-kegagalan dalam usahanya untuk membuat film terbarunya, ia juga menemui ancaman kehancuran rumah tangganya yang berada di ujung tanduk, namun dalam kondisi yang serba tidak jelas seperti ini, Guido justru nyaman menyelami fantasinya hingga ke titik yang paling dalam.
Pengalaman yang Nikmat dari Keterpecahan Simbolik
Pemikir asal Prancis, Jacques Lacan, melihat manusia tidak melulu terbentuk dari makna semesta simbolik yang terstrukturkan oleh yang Lain-Besar (the Big Other), akan tetapi subjek juga merupakan proyek internalnya sendiri dalam suatu kemungkinan fantasi.
Bagi Lacan, fantasi adalah penyebab utama. Fantasi adalah lubang yang tidak bisa diisi oleh subjek itu sendiri yang secara alamiah muncul dari Symptom atau gejala, yakni the real atau kekosongan dan ketidakbermaknaan hidup itu sendiri. Gejala, selalu sudah ada di dalam semesta simbolik sebagai foreclosure atau ‘penutupan’, yang tujuannya adalah untuk melenyapkan inti tata simbolik tersebut.
Di sini penulis berupaya untuk menyederhanakannya, gejala dapat dikatakan bukanlah suatu eksternalisasi dari yang ada, namun–di sinilah duduk perkaranya, gejala ini berfungsi sebagai bentuk keluasan subjek dalam usahanya untuk mendapat kenikmatan (Jouissance) dalam keterpecahan tata simbolik yang terletak di dalam fantasi. Inilah sebabnya mengapa, seperti apa yang diungkapkan muridnya, Slavoj Žižek, bahwa subjek ‘loves his/her symptom more than him/herself’. Kenikmatan dalam gejala ditawarkan pada subjek dalam bentuk fantasi dengan keliarannyatanpa simbolisasi, ketakteraturan, dan ketakajekan.
Terkait dengan fantasi alter ego-nya, Guido, dalam film ini–gaya Fellini sebagai sutradara sangat luar biasa menolak simbolisme layaknya film-film mainstream. Fantasi Guido, di sini berperan secara retroaktif sebagai cara baru untuk membaca kondisinya saat ini. Fantasi liarnya seperti daftar panjang perempuan-perempuan yang berhubungan dengannya dan rumah tangganya yang disatukan dalam semacam ‘sirkus’ dalam suatu adegan bagaikan surga chauvinisnya, sosok perempuan ideal dalam diri Claudia yang bisa menyelamatkan kekosongannya, pertemuan mistik dengan ruh orang tuanya dalam dialektika dunia material dan spiritual dalam pikirannya, juga pengalaman ‘nakal’ di masa remajanya saat ia mengunjungi La Saraghina atau pelacur paruh baya yang biasa melakukan tarian ajaib untuk Guido dan teman-temannya, di mana peristiwa ini juga menghasilkan pengalaman traumatik bagi Guido karena guru sekolah Katoliknya mengejarnya dan memberikan hukuman. Bagi penulis, beragam fantasi liar Guido berfungsi bukan hanya sebagai pengingatan tentang pengalaman kompleks masa lalunya, akan tetapi lebih dari itu, mozaik citraan-citraan dalam film ini direkonstruksikan secara visual di mana pikiran subjektif Guido bekerja untuk mengatasi masalahnya dengan masa kini.
Guido yang larut dalam fantasinya dan mengabaikan kesehariannya, paling tidak menemukan efek kenikmatannya itu dalam dua macam. Di satu sisi, ia mendapatkan kesenangan yang luar biasa, di sisi lain perasaan yang ia dapatkan tersebut menyebabkan ketidaknyamanan eksistensial dan cukup malu dirasakan jika ia harus menceritakan fantasinya kepada orang lain.
Namun, permasalahan lain muncul kemudian dalam pertanyaan; apakah permasalahan mendasar Guido hanya terletak di fantasi itu sendiri? Dan apa yang sebenarnya terjadi sehingga Guido tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya?
Dalam kerangka Lacanian, akar yang terpendam sangat dalam melampaui fantasi yang terbatas hanya membawa rasa nikmat saja pada diri Guido selaku subjek, yang menyebabkan ia masih hidup di dalam gejala tertentu yang tak lain adalah suatu Sinthome. Seperti di baca Žižek, “Symptom as sinthome is a certain signifying formation penetrated with enjoyment: it is a signifier as a bearer of jouis-sense, enjoyment-in-sense.” (1989: 81). Bukan hanya sekedar fantasi, sinthome menjadi semacam sekumpulan asosiasi yang mengkombinasikan gejala itu sendiri, penderitaan Guido selaku subjek, dan fantasi liarnya. Dengan kata lain, status ontologis dari gejala menjadi radikal dalam sinthome–sebagai enjoyment-in-sense, sinthome mewujudkan kenikmatan-yang-sesungguhnya dengan beragam variasi emosi yang terbentuk seperti kenikmatan itu sendiri, penderitaan, dan juga kegembiraan dan kesengsaraan yang berlangsung dan terasa pada waktu yang bersamaan.
Status radikal ini juga mengikat subjek pada suatu penandaan dalam formasi yang secara minimal menjamin konsistensi eksistensi kita di dunia. Permasalahan Guido tidak dapat diselesaikan dengan mudah, kecuali dengan bunuh diri dan peristiwa fatalistik lainnya, namun Fellini cukup radikal untuk tidak melakukannya dengan menggambarkan Guido yang masih terus menikmati gejalanya.
Guido yang larut dalam fantasinya dan mengabaikan kesehariannya, paling tidak menemukan efek kenikmatannya itu dalam dua macam. Di satu sisi, ia mendapatkan kesenangan yang luar biasa, di sisi lain perasaan yang ia dapatkan tersebut menyebabkan ketidaknyamanan eksistensial dan cukup malu dirasakan jika ia harus menceritakan fantasinya kepada orang lain.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, Guido hampir menemui setiap orang yang ia percaya, orang-orang di sekelilingnya, bahkan orang asing yang baru saja ia jumpai untuk mengatakan bahwa ia ingin membuat suatu proyek film yang jujur–tidak ada kebohongan apapun, sesuatu yang bermanfaat dan menyentuh bagi semua orang. Film yang mengubur selamanya perasaan kosong dalam dirinya. Namun, justru pada dirinya lah kekurangan untuk tidak mengubur apa pun itu tertanam.
Guido selalu mengutarakan keinginannya dalam bentuk kata-kata, namun hasrat dalam relung fantasi liarnya tidak mampu ia katakan. Oleh karena itu, bukannya tidak memiliki ide sama sekali terkait proyek barunya yang ingin ia buat, namun pada dasarnya Guido sulit untuk mengartikulasikan keterpenuhan inspirasi dari fantasi terdalamnya. Di sini, Guido terbelah di dalam dialektika antara keinginan dan hasratnya.
Hasrat selalu membawa Guido pada keterbelahan serta kekurangan pada dirinya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, secara mendalam, yang lebih penting ia sadar akan ketersituasiannya dalam tata simbolik di mana ia dan yang Lain hidup, memiliki keterbatasan. Semesta yang dihidupi subjek yang memiliki rasa kurang secara ontologis–yang dibentuk oleh yang Lain-Besar ini, juga selalu kontradiktif, traumatik, dan lengkara.
Sisi Lain ‘Rasa Kurang’ Guido
Krisis pribadi Guido pada awalnya memang dimulai dengan blok kreatifnya–kondisi di mana ia berada di titik terendah dirinya sebagai sutradara, seorang seniman, untuk memproduksi suatu idea kreatif. Namun, posisi ini kemudian memerangkap Guido ke dalam permasalahan lain seperti rasa kekurangannya sebagai manusia dan kekosongan hidupnya.
Gambaran situasi manusia dan dunianya yang direfleksikan pada Guido posisinya sangat radikal. Menurut penulis ‘rasa kurang’ yang dimiliki Guido memiliki juga sifat positifnya. Dalam sudut pandang Lacanian, seperti yang dijelaskan Žižek (1989):
“So it is precisely this lack in the Other which enables the subject to achieve a kind of ‘dealienation’ caned by Lacan separation: not in the sense that the subject experiences that now he is separated for ever from the object by the barrier of language, but that the object is separated from the Other itself, that the Other itself’ hasn’t got it’, hasn’t got the final answer – that is to say, is in itself blocked, desiring; that there is also a desire of the Other.” (Hal.137)
Kekurangan Guido sebagai subjek terhadap yang Lain ini membuat ia terbuka dan keluar dari isolasi dirinya. Hasrat Guido bukan semata-mata hasrat tanpa arah yang jelas, tetapi juga semacam dealienasi –hasrat untuk dekat dengan yang Lain, orang-orang yang berada di sekeliling Guido. Seperti dijelaskan Žižek, bukan dalam arti bahwa Guido sebagai subjek mengalami sesuatu bahwa sekarang ia dipisahkan selamanya dari objek oleh penghalang bahasa–keterbatasannya mengartikulasikan sesuatu dan lain sebagainya, akan tetapi bahwa objek itu terpisah dari yang Lain itu sendiri, bahwa yang Lain itu sendiri ‘tidak mendapatkannya’, tidak mendapatkan jawaban akhir, atau suatu hasrat terdalam dalam diri Guido. Artinya, dalam dirinya sendiri ia terhambat oleh suatu ketidakmungkinan atau sesuatu yang dihasrati, yang pada akhirnya ia menyadari bahwa dalam kondisi ini ada juga suatu hasrat dari yang Lain. Jadi, boleh dikatakan, kekurangan yang Lain pada diri Guido memungkinkan dia untuk menghindari keterasingan total dalam semesta simboliknya–tidak dengan mengisi kekurangannya, tetapi dengan memungkinkannya untuk mengidentifikasi kekurangan dirinya dan rasa kekurangannya akan yang Lain.
Seperti halnya Guido, manusia modern juga lebih mencintai fantasi dan impian-impiannya yang dibentuk oleh gejala simbolik itu sendiri untuk mendapatkan setitik makna dari pola hidup yang sangat mekanis.
Menurut penulis, bukan hanya seniman dan sutradara secara spesifik. Namun, secara umum suasana dari setiap adegan yang berkesan, gerak tubuh yang penuh penghayatan, dan nada emosional yang terkonstruksika dalam karya klasik ini membawa kita pada penggambaran suatu paradoks kehidupan manusia dalam kebudayaan modern yang teralienasi dari dirinya sendiri. Dalam hidupnya, Guido selalu menjumpai yang riil–sesuatu yang tidak bisa dijabarkan. Hasrat yang secara rutin muncul namun tidak dapat dijelaskan, hanya dapat dijelaskan dengan ketidakmampuan menjelaskan yang rill tersebut. Tempat kosong yang riil, hanya dapat ditempati oleh kegagalan Guido mengartikulasikan hasratnya yang terdalam. Meskipun tidak dalam realitas yang konkret, yang rill ini lah yang menginterupsi dan sekaligus melampaui tata simbolik di mana Guido hidup.
Manusia modern yang terombang-ambing, bagaikan Guido yang bingung tentang apa yang ingin dilakukannya dan tentang apa yang sedang terjadi. Seperti halnya Guido, manusia modern juga lebih mencintai fantasi dan impian-impiannya yang dibentuk oleh gejala simbolik itu sendiri untuk mendapatkan setitik makna dari pola hidup yang sangat mekanis. Manusia modern yang tereduksi dan hanyut dalam rutinitas simbolik dan tergenggam dengan berbagai macam pendefinisian dan representasi diri, tidak betul-betul memahami bahwa ia secara esensial adalah yang rill itu sendiri–semacam kegagalan dari simbolisasi konseptualnya. Kebahagiaan yang ditawarkan yang Lain-Besar, menjadi cita-cita hampir setiap orang. Padalah sesuatu yang ada adalah kesemuan-kesemuan simbolik dan manusia terjebak dalam lingkaran setan konsumerisme kapitalisme lanjut (late capitalism) saat ini. Namun kemana lagi kita akan pergi?
Seperti digambarkan dalam akhir film ini, bagaimanapun, kebingungan dan ketidakmampuan Guido untuk membuat film seperti apa yang dia dan orang lain inginkan, sampai filmnya tersebut hendak dibatalkan, tidak menutup fakta bahwa ia benar-benar memiliki sesuatu yang ‘nyata’ untuk menjalankan proyek tersebut. Guido masih konsisten menikmati gejalanya lebih baik dari dirinya sendiri. Ketika ia perlu menerima hidupnya, sebaliknya ia berusaha menyelesaikan kebingungan pribadinya dengan membuat film untuk membantu orang lain. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Guido dikelilingi oleh semua orang penting dalam hidupnya, yang melingkari hidupnya dengan cinta, termasuk istrinya yang juga terasing, Luisa.
Kesimpulannya sangat berantakan dan rumit, Guido membuat montase suatu adegan kerumunan layaknya sirkus di landasan peluncuran roket besar yang dibangun oleh dirinya sendiri untuk filmnya. Tidak ada pertanyaan yang diajukan yang benar-benar dijawab, karena Guido sendiri tidak mempunyai apapun untuk dikatakan. Namun, yang paling penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Guido mencintai gejalanya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Ini bukan berarti terjatuh ke dalam rasa puas diri atau bahkan lebih buruk lagi terjatuh dalam rantai relativisme yang tanpa putus ataupun keputusasaan nihilistik. Akan tetapi sebaliknya, kita perlu belajar mengenali gejala dalam diri kita sendiri dan orang lain–untuk memahami apa yang hendak gejala tersebut katakan tentang penderitaan diri sendiri dan orang lain. Jadi, nikmati saja gejalamu!
Referensi
Lacan, Jacques. (1988). The Seminar of Jacques Lacan, Book 1: Freud Paper’s on Technique. Cambridge: Cambridge University Press
Žižek, Slavoj. (1989). The Sublime Object of Ideology. London: Verso